Share

Kuntilanak dan Bunga Kematian
Kuntilanak dan Bunga Kematian
Penulis: Deva Shastravan

Chapter 01

Penulis: Deva Shastravan
last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-01 01:02:35

Suasana Desa Tirtamaya tak seperti malam-malam biasanya, terasa lebih sunyi, bahkan suara binatang malam pun tak terdengar, seolah-olah berhenti.

Arina tak dapat melupakan, dia masih teringat pertemuan terakhir dengan adiknya sebelum dia meninggal, sebuah keributan kecil dan mereka belum sempat berbaikan.

Lamunan Arina buyar tatkala dia mendengar suara ketukan halus di kaca jendelanya.

"Ah ... mungkin hanya perasaanku saja, bisa jadi itu karena hembusan angin," ujar Arini pada dirinya sendiri, karena kalau mau jujur ​​​​kesunyan malam ini benar-benar membuat perasaannya tak enak.

Sore tadi baru saja berlangsung acara tahlilan malam pertama adiknya itu, dan Arina tak mau memikirkan hal yang bukan-bukan tentang Arini, sebab dia teringat mitos yang tersebar di masyarakat kalau seseorang yang mati tak wajar akan gentayangan, tapi apakah kematian adiknya itu termasuk tak wajar?

Suara ketukan di jendela kamarnya kembali terdengar, sangat halus dan nyaris tak terdengar jika malam itu suasananya tak terlalu sunyi.

Degup jantung Arini mulai terasa semakin kencang, rasa takut mulai menjalar di sekujur tubuhnya, bayangan demi bayangan seram seperti yang pernah dilihatnya di dalam film-film horor kembali tampak jelas di benaknya, membuatnya kian takut, dan Arina mulai menggigil, tangannya gemetar.

Suara ketukan itu lagi, kali ini dibarengi dengan sebuah suara. Ya suara. Suara yang begitu dikenal Arina, suara itu memanggil namanya.

Terdengar begitu halus dan sedikit bergema, suara itu memanggilnya dengan nada seperti orang yang tengah terisak-isak, ada kesedihan mendalam yang ditanggungkannya. Arina semakin yakin kalau suara itu adalah suara ... Adiknya.

"Kak Rina ... Tolong aku, Kak. Sakit ... Sakit ...."

Sekali pun terdengar halus dan kecil, namun suara itu terdengar begitu jelas di telinga Arina, suara adiknya yang seperti meminta pertolongan.

Rasa takut bercampur rasa penasaran menggumpal menjadi satu dalam dada Arina. Perlahan dia bangkit dari tidurnya, berjalan menuju ke arah jendela kamar di mana tadi dia mendengar suara ketukan dan suara yang memanggil namanya.

"Kak Rina ...."

Dada Arina turun naik, napasnya tersengal. Ini adalah pengalaman pertamanya mengalami kejadian aneh dan terbilag cukup menakutkan. Namun dia tak bisa berdiam diri saja, karena suara panggilan dan ketika itu akan terus menyiksanya sepanjang malam jika dia tak membuka daun jendeka dan melihat sendiri siapa sebenarnya yang berada di sana, benarkan itu memang suara adiknya, sementara akalnya sendiri tahu dan berkata akalau adiknyabitu sudah meninggal. Mustahil untuk kembali lagi, mustahil untuk bergentayangan.

Gerendel jendela perlahan ditariknya, dan daun jendela berderit pelan membuka ke arah luar.

Sepi. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya pepohonan rindang yang bergoyang-goyang oleh terpaan angin, sementara hujan yang turun rintik-rintik masih betah berlama-lama turun membasahi tanah desa Tirtamaya malam itu. Udara dingin malam segera menyergap tubuh Arina ketika jendela kamarnya terbuka sepenuhnya.

"Tak ada siapa-siapa, memang ini hanya perasaanku saja, konyol sekali jika aku termakan perasaanku sendiri marasa kalau itu adalah suara Arini. Arini sudah tenang di alam sana, dan tak mungkin dia gentayangan sebagai ruh yang penasaran."

Sesekali terpaan air hujan rintik itu mengarah padanya terbawa hembusan dinginnya angin. Saat itu Arina mendengar suara lolongan anjing di kejauhan, lolongannya panjang dan terdengar menyayat hati bagi siapa yang mendengarnya.

Segera Arina menutup kembali jendela kamarnya rapat-rapat, dia ingin semua yang dialaminya malam ini segera berlalu. Dia tak mau larut dalam hakusianasinya sendiri dan berpikir yang tidak-tidak tentang adik tercintanya.

Kematian Arini yang tertabrak mobil itu sepatutnyalah hanya sebuah kecelakaan biasa. Hal yang membuat Arina heran adalah manakala dia mendengar bisik-bisik dari para pelayat yang mengatakan kalau Arini meninggal secara tidak wajar.

Sesampainya di pembaringan, Arina kembali merebahkan tubuhnya, dan memejamkan mata, tetapi lagi-lagi suara ketukan halus di jendela kamar kembali didengarnya.

Arina berdengus kesal, dia sudah membuka sendiri tadi dan jelas-jelas tak ada siapa pun di luar jendela. Apakah itu hanya orang iseng yang sekedar ingin menakut-nakutinya saja?

Tapi semakin lama suara ketukan di jendela malah semakin lebih sering di dengarnya, Arina bangkit dan cepat-cepat menuju jendela, mumbukanya dan ingin langsung menangkap basah siapa orangnya yang telah usil mengerjainya malam-malam begini.

Tetapi begitu jendela terbuka, mulut Arina langsung menganga tanpa satu suara pun yang keluar. Matanya jelas tak salah lihat, di luar sana sangat jelas sosok adiknya berdiri memunggunginya dengan rambut panjangnya yang terurai dan berderai tersapu angin malam.

"Kak Rina, tolong aku. Sakit, Kak...."

Suara halus yang memanggil namanya kembali terdengar, asalnya memang dari sosok yang berdiri di hadapannya. Arina ingin menyapa tapi lidahnya terasa kelu untuk bersuara. Dia masih tak peryaca kalau yang berdiri di hadapannya saat itu adalah sosok Arini, yang kini menjelma menjadi ruh yang penasaran.

Perlahan sosok itu berbalik sampai tubuhnya kini benar-benar menghadap ke arah Arina.

Arina melihatnya, sosok itu berdiri dengan menundukkan wajah, hingga rambutnya yang terurai itu menutupi keseluruhan mukanya. Memakai gaun berwarna putih yang terlihat kotor penuh dengan noda tanah, dan di beberapa bagian Arina bisa melihat jelas warna kemerahan yang pekat dan kental, itu adalah darah! Ya, bercak darah. Darah Arini!

Perlahan sosok itu mendekat ke arah jendela, jantung Arina kembali berdetak keras. Apalagi suara lolongan anjing itu makin terdengar pilu, seakan melakukan kesedihan yang teramat sangat.

Sosok itu kini telah berdiri tepat di dekat jendela, berharap-hadapan langsung dengan Arina yang mematung tak bersuara.

"Kak, ini aku Arini. Tolong...." perlahan tangan sosok bergaun putih lusuh itu bergerak naik, tampaklah kini kalau tangan itu berwarna sangat pucat. Sepucat mayat!

Tangan itu hendak meraih pundak Arina, dan saat menyentuh pundaknya, rasa dingin pun mulai menjalar ke sekujur tubuh.

Saat itulah Arina melihat satu gambaran di kepalanya, sebuah Altar terbuat dari batu, ada sosok perempuan yang tak berdaya terbaring di sana, di keliling oleh beberapa orang yang mengenakan pakaian serba hitam dengan wajah yang tertutup kerudung hitam.

Di bagian dekat kepala gadis yang terbaring itu tampak seseorang dengan pakaian yang sama serba hitam memegang sebilah belati, setelah usai membaca sesuatu yang entah apa, dia menempelkan belati tersebut ke leher gadis itu, merobek ya dan mengalirlah darah segar membasahi altar.

Bayangan itu hilang, Arina kembali ke kesadarannya. Tapi alangkah terkejutnya Arina ketika dia membuka matanya. Sosok bergaun putih yang tubuhnya sudah basah kuyup oleh hujan itu tak lagi menunduk, wajahnya menghadap ke Arina.

Arina kaget bukan utama, karena wajah dihadapannya adalah wajah penuh luka. Kulit wajah mengelupas dan penuh darah, sementara salah memperhatikan dan hanya menyisakan lubang hitam yang berdarah.

Arina yang telah meningkatkan kesadarannya untuk berteriak dengan kuat, teriakan yang menyuarakan ketakutan. Siapapun yang mendengar teriakan itu pasti akan mulai berpikir, kalau ini adalah sebuah awal.

Awal dari kengerian yang akan membayang-bayangi Desa Tirtaya untuk waktu lama.

Bab terkait

  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 02

    Bangunan Pondok Pesantren Modern El Fikr berdiri di sebuah tanah yang cukup luas tepat di tengah-tengah kota, namun sekalipun letaknya yang berada di tengah perkotaan tidak mengurangi suasana kondusif untuk belajar, kota itu adalah sebuah kota yang baru berkembang dan dalam beberapa tahun belakangan ini saja mulai banyak dibangun ruko-ruko di pinggiran jalan besar, terutama jalan besar yang ada di tengah kota, berada di tengah-tengah kota di antara ruko-ruko itu, Pesantren Modern El Fikr tetap diminati banyak orang tua yang ingin memondokkan anaknya.Dari pintu depan pesantren keluar dua orang, yang seorang lelaki setengah baya dengan memakai kemeja hitam dengan lis dua garis berwarna kuning di kedua lengannya. Kopiahnya pun berwarna hitam, perawakan wajahnya teduh dengan aura kewibawaan bagi siapa saja yang melihatnya.Sementara itu yang seorang lagi adalah seorang pemuda yang usianya berkisar dua puluhan,

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-01
  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 03

    Dering smartphone yang diletakkan di saku celananya mengagetkan Reza Reinaldy yang tengah fokus mengendarai jeep.[Ya Hallo, ada apa, Ma?] ujar Reza yang menggenggam smartphone di tangan kirinya, karena tangan kanan tetap memegang stir jeep merahnya.[Lekas pulang, Re. Papamu masuk rumah sakit lagi. Susah dibilangin sih, masih bandel juga, Papamu makan apa yang jadi pantangan oleh dokter.] Suara perempuan yang ternyata adalah mamanya Reza.[Iya, Ma. Ini Reza sudah di jalan, mau pulang.]Reza mematikan telpon, ditambahnya kecepatan laju jeepnya agar secepatnya keluar dari kota ini, lalu memasuki kotanya dan menuju rumah sakit tempat biasa Papanya dirawat selama ini.Pak Burhanuddin Alif, adalah seorang pemilik hotel bintang lima di kotanya, namun kesederhanaan yang jadi teladan

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-01
  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 04

    "Bagaimana dengan kondisi Papa, Ma?" tanya Reza seraya tangannya meraih sebuah kursi dalam ruangan tempat Papanya dirawat. Dia duduk berhadapan dengan Mamanya, sementara Papanya masih terbaring tertidur di pembaringan."Untunglah Papamu cepat ditangani, Re. Jika terlambat sedikit saja mungkin...." Mamanya Reza tak meneruskan kata-katanya. Karena kata bisa menjadi doa. Ya, tentu saja."Reza menabrak seorang gadis, Ma. Dia meninggal saat hendak dirawat di IGD terdekat. Makanya Reza telat sampai sini."Mamanya Reza tak terlalu terkejut, karena sebelumnya memang Reza telah mengirimkan pesan teks alasan keterlambatannya. "Lantas bagaimana tanggapan keluarga korban, Nak? Apakah mereka akan menuntutmu, atau ba

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-01
  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 05

    Darno mencoba mendorong dengan bantuan bahunya, tetap sama saja hasilnya. Daun pintu tetap tak membuka atau bergeser."Jangan bercanda dong, Dar. Hari semakin gelap nih!" protes Eko."Siapa juga yang mau bercanda, coba saja sendiri nih, pintunya memang keras tak mau membuka." Darno lantas menjauh dari pintu, berganti Eko yang kini mendekat dan berusaha menarik gagang pintu gudang.Mata Eko membelalak, seakan tak percaya maka dicobanya beberapa kali mendorong pintu gudang untuk meyakinkan kalau memang pintu tersebut tak mau dibuka."Sialan betul, mana hari makin gelap tapi malah pintu gudang ini seakan tak mau membuka." Ke

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-01
  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 06

    Mbah Raji berdiri di halaman rumahnya, dia sejak tadi berdiri lama bergeming, tak tahu apa yang dilakukannya. Matanya menatap ke langit dengan garapan kosong, namun di wajahnya yang telah penuh dengan keriput kerjaannya itu, keningnya berkerut, seakan ada hal berat yang tengah dipikirkannya. Usia Mbah Raji telah mencapai angka delapan puluhan, namun kondisi fisiknya masih terlihat seperti usia lima puluhan, hari-harinya selain sibuk di kebunnya sendiri dia kadang berada di pemakaman. Jika ada yang meninggal Mbah Raji lah yang menunjukan tanah yang tepat untuk digali, dia yang juga ditugasi membersihkan makam agar tak terlalu suram dan penuh rumputan liar, dia juga dipercaya memegang kunci gudang alat-alat pemakaman yang letaknya berada dalam area makam.

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-16
  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 07

    Ketika ketiganya sudah keluar dari area makam, barulah Darno memberanikan bertanya kepada pada Jaka, apakah dia melihat juga kalau jenazah Arini panjangnya bisa pas dengan panjang makam yang mereka gali. "Kupikir cuma aku saja yang melihatnya, rupanya kamu juga, Dar? Aku nggak mau bilang pada kalian berdua karena khawatir kalian akan menanggap aku halu. Makanya aku memilih diam saja dari tadi." Kata-kata Jaka menguatkan apa yang telah dilihat sendiri oleh mata kepala Darno. Dengan ekspresi kemenangan dia berkata kepada Eko. "Nah kan, apa kubilang. Aku nggak mungkin salah lihat." Eko tak menjawab, dia hanya diam tanpa reaksi. Tetapi di dalam kepalanya jadi berkecamuk berbagai pertanyaan dan dugaan terkait meninggalnya Arini. === Semua warga yang tadi mengantarkan jenazah Arini ke peristirahatan terakhirnya tidak langsung pulang ke rumah masing-masing, tetapi kembali ke rumah Pak Baruna karena malam itu juga akan dilaksanakan tahlilan mala

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-10

Bab terbaru

  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 07

    Ketika ketiganya sudah keluar dari area makam, barulah Darno memberanikan bertanya kepada pada Jaka, apakah dia melihat juga kalau jenazah Arini panjangnya bisa pas dengan panjang makam yang mereka gali. "Kupikir cuma aku saja yang melihatnya, rupanya kamu juga, Dar? Aku nggak mau bilang pada kalian berdua karena khawatir kalian akan menanggap aku halu. Makanya aku memilih diam saja dari tadi." Kata-kata Jaka menguatkan apa yang telah dilihat sendiri oleh mata kepala Darno. Dengan ekspresi kemenangan dia berkata kepada Eko. "Nah kan, apa kubilang. Aku nggak mungkin salah lihat." Eko tak menjawab, dia hanya diam tanpa reaksi. Tetapi di dalam kepalanya jadi berkecamuk berbagai pertanyaan dan dugaan terkait meninggalnya Arini. === Semua warga yang tadi mengantarkan jenazah Arini ke peristirahatan terakhirnya tidak langsung pulang ke rumah masing-masing, tetapi kembali ke rumah Pak Baruna karena malam itu juga akan dilaksanakan tahlilan mala

  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 06

    Mbah Raji berdiri di halaman rumahnya, dia sejak tadi berdiri lama bergeming, tak tahu apa yang dilakukannya. Matanya menatap ke langit dengan garapan kosong, namun di wajahnya yang telah penuh dengan keriput kerjaannya itu, keningnya berkerut, seakan ada hal berat yang tengah dipikirkannya. Usia Mbah Raji telah mencapai angka delapan puluhan, namun kondisi fisiknya masih terlihat seperti usia lima puluhan, hari-harinya selain sibuk di kebunnya sendiri dia kadang berada di pemakaman. Jika ada yang meninggal Mbah Raji lah yang menunjukan tanah yang tepat untuk digali, dia yang juga ditugasi membersihkan makam agar tak terlalu suram dan penuh rumputan liar, dia juga dipercaya memegang kunci gudang alat-alat pemakaman yang letaknya berada dalam area makam.

  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 05

    Darno mencoba mendorong dengan bantuan bahunya, tetap sama saja hasilnya. Daun pintu tetap tak membuka atau bergeser."Jangan bercanda dong, Dar. Hari semakin gelap nih!" protes Eko."Siapa juga yang mau bercanda, coba saja sendiri nih, pintunya memang keras tak mau membuka." Darno lantas menjauh dari pintu, berganti Eko yang kini mendekat dan berusaha menarik gagang pintu gudang.Mata Eko membelalak, seakan tak percaya maka dicobanya beberapa kali mendorong pintu gudang untuk meyakinkan kalau memang pintu tersebut tak mau dibuka."Sialan betul, mana hari makin gelap tapi malah pintu gudang ini seakan tak mau membuka." Ke

  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 04

    "Bagaimana dengan kondisi Papa, Ma?" tanya Reza seraya tangannya meraih sebuah kursi dalam ruangan tempat Papanya dirawat. Dia duduk berhadapan dengan Mamanya, sementara Papanya masih terbaring tertidur di pembaringan."Untunglah Papamu cepat ditangani, Re. Jika terlambat sedikit saja mungkin...." Mamanya Reza tak meneruskan kata-katanya. Karena kata bisa menjadi doa. Ya, tentu saja."Reza menabrak seorang gadis, Ma. Dia meninggal saat hendak dirawat di IGD terdekat. Makanya Reza telat sampai sini."Mamanya Reza tak terlalu terkejut, karena sebelumnya memang Reza telah mengirimkan pesan teks alasan keterlambatannya. "Lantas bagaimana tanggapan keluarga korban, Nak? Apakah mereka akan menuntutmu, atau ba

  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 03

    Dering smartphone yang diletakkan di saku celananya mengagetkan Reza Reinaldy yang tengah fokus mengendarai jeep.[Ya Hallo, ada apa, Ma?] ujar Reza yang menggenggam smartphone di tangan kirinya, karena tangan kanan tetap memegang stir jeep merahnya.[Lekas pulang, Re. Papamu masuk rumah sakit lagi. Susah dibilangin sih, masih bandel juga, Papamu makan apa yang jadi pantangan oleh dokter.] Suara perempuan yang ternyata adalah mamanya Reza.[Iya, Ma. Ini Reza sudah di jalan, mau pulang.]Reza mematikan telpon, ditambahnya kecepatan laju jeepnya agar secepatnya keluar dari kota ini, lalu memasuki kotanya dan menuju rumah sakit tempat biasa Papanya dirawat selama ini.Pak Burhanuddin Alif, adalah seorang pemilik hotel bintang lima di kotanya, namun kesederhanaan yang jadi teladan

  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 02

    Bangunan Pondok Pesantren Modern El Fikr berdiri di sebuah tanah yang cukup luas tepat di tengah-tengah kota, namun sekalipun letaknya yang berada di tengah perkotaan tidak mengurangi suasana kondusif untuk belajar, kota itu adalah sebuah kota yang baru berkembang dan dalam beberapa tahun belakangan ini saja mulai banyak dibangun ruko-ruko di pinggiran jalan besar, terutama jalan besar yang ada di tengah kota, berada di tengah-tengah kota di antara ruko-ruko itu, Pesantren Modern El Fikr tetap diminati banyak orang tua yang ingin memondokkan anaknya.Dari pintu depan pesantren keluar dua orang, yang seorang lelaki setengah baya dengan memakai kemeja hitam dengan lis dua garis berwarna kuning di kedua lengannya. Kopiahnya pun berwarna hitam, perawakan wajahnya teduh dengan aura kewibawaan bagi siapa saja yang melihatnya.Sementara itu yang seorang lagi adalah seorang pemuda yang usianya berkisar dua puluhan,

  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 01

    Suasana Desa Tirtamaya tak seperti malam-malam biasanya, terasa lebih sunyi, bahkan suara binatang malam pun tak terdengar, seolah-olah berhenti.Arina tak dapat melupakan, dia masih teringat pertemuan terakhir dengan adiknya sebelum dia meninggal, sebuah keributan kecil dan mereka belum sempat berbaikan.Lamunan Arina buyar tatkala dia mendengar suara ketukan halus di kaca jendelanya."Ah ... mungkin hanya perasaanku saja, bisa jadi itu karena hembusan angin," ujar Arini pada dirinya sendiri, karena kalau mau jujur ​​​​kesunyan malam ini benar-benar membuat perasaannya tak enak.

DMCA.com Protection Status