Suara keras yang berasal dari kamar lantai dua mengagetkan hampir semua orang yang berada di dalam rumah itu. Baik itu bibi atau bahkan Ibu dan Ayah mertua juga. Mereka sangat terkejut karena tidak biasanya mendengar suara bantingan sekeras itu.
“Ada apa ini sebenarnya?” tanya ibu seraya melirik suaminya. Menatap heran sekaligus bingung.Ayah menggelengkan kepala, tidak mengerti jelas kenapa tapi firasatnya buruk.“Lebih baik kita segera ke sana.”Mendengarkan saran darinya, kemudian mereka bergegas pergi menuju lantai dua dan begitu terkejutnya saat membuka pintu ruangan dan melihat ruangan itu bagai kapal pecah. Di sudut dekat jendela, beberapa barang di sana tergeletak berantakan.“Arum, Julvri!” Ibunya memanggil cemas.Kursi berada jauh dari meja rias yang terlihat beberapa kosmetik dan lainnya berhamburan pecah ke mana-mana. Tidak hanya itu bahkan selimut di atas ranjang saja berantakan.Saking terkejutnya ibuHari demi hari telah berlalu begitu cepat, situasi di rumah mertua yang tidak ada bedanya semenjak saat itu pun tidak membuat Arum merasa jauh lebih baik. Namun entah ini karena kebiasaan atau karena paksaan, Arum mampu mengendalikan emosi dalam dirinya sehingga terlihat seolah baik-baik saja. Di minggu kedua, sebuah surat datang ke rumah mendiang ibu kandung Arum, secara kebetulan Julvri berada di sana sehingga ia lah yang menerima surat itu lalu memberikannya pada Arum langsung. “Ada surat untukmu, sepertinya ini penting.” Arum menganggukkan kepala sebelum menerima surat itu. Surat yang tergolong biasa, tidak ada yang spesial dari warna putih biasa namun jika dilihat dari siapa pengirimnya, barulah Arum merasa surat ini lebih spesial dari dugaannya.“Kakek, nenek.”Surat dari kampung halaman, tertulis nama sang nenek yang menceritakan kabar mereka di sana dan juga bertanya bagaimana kabar sekeluarga di sana. Tentu mereka tahu bahwa A
Surat yang datang berasal dari kampung halaman, karena itu Arum harus segera pulang tapi tidak sendirian justru bersama dengan Julvri yang merupakan suaminya. Di lain sisi Ayah mertua merasa begitu cemas seolah tahu apa yang akan dilakukan oleh putra mereka pada menantunya nanti. Bersama supir, mereka akhirnya berangkat menuju ke stasiun. Sepanjang waktu duduk di dalam mobil tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Mereka diam seolah bisu. Situasinya sangat hening sampai-sampai supir pun dibuat canggung oleh mereka.Sesampainya di stasiun tujuan, dilihat dari tiket kereta jadwalnya masih cukup lama. Mau tak mau mereka harus menunggu walau akan terasa membosankan. “Arum, aku tanya kenapa kamu tidak mau naik pesawat saja? Bukankah itu lebih cepat?” tanya Julvri. “Tidak ada apa-apa,” jawab Arum dengan dingin. Sejenak Julvri menghela napas panjang lantas menepuk pundak Arum dan kembali berkata, “Aku hanya bertanya.”“Sudah aku bilang, tidak apa-apa!” Kini Arum menjawabnya dengan sedikit be
Rencana Arum cukuplah sederhana, begitu ada kesempatan maka ia akan memanfaatkannya untuk menghubungi Jean. Memberikan informasi sedikit demi sedikit namun ternyata tidaklah semudah yang dibayangkan. Arum tersentak kaget, matanya menatap takut pada sosok pria di kejauhan. Lantas Arum berpikir di dalam benaknya, "Gawat, aku ketahuan memegang ponsel."Nyawa berada dalam genggaman sang suami, cukup tahu baginya kalau bertindak tergesa-gesa akan mengakibatkan kekacauan luar biasa. Terlintas kata, "mati", di dalam hatinya yang terasa sesak. ["Hei, Arum! Bicaralah sesuatu padaku! Apa yang terjadi? Kamu menemukan sesuatu?"] Jean bertanya tapi Arum tetap tak bersuara.Julvri berlari kencang menghampiri dengan tatapan tajam seolah akan menyakiti dirinya di sini. Arum mulai ketakutan lagi, tapi seluruh tubuhnya enggan bergerak seolah membeku, seakan ada yang memaku setiap bagian tubuhnya ke lantai ataupun kursi. “Jul—”Sebelum selesai menyebut namanya, sang empu langsung meremas kedua pundak
Waktu tak menentu, jadwal keberangkatan memadat. Hari itu stasiun dipenuhi oleh banyak calon penumpang dan belum lagi proses para detektif itu yang bergerak terlambat karena adanya berbagai hambatan. Akan tetapi, saat sudah menemukan orang yang dicari justru mereka terlambat dan tertinggal. “S*al!” teriak Jean memaki sambil menghentakkan kaki kanan ke lantai lalu mengacak-acak rambutnya kasar. Kesal karena terlambat selangkah, tidak begitu kepikiran bagaiamana Jean kembali dihadapkan oleh keputusasaan. Han yang paling tenang, mencoba menenangkan rekan dan sahabatnya itu. “Bukan berarti kita kehabisan cara. Aku sudah mencatat nama kereta itu dan sekarang aku butuh bantuanmu.”“Oh, benar. Kita cek stasiun mana saja yang akan jadi pemberhentiannya.”“Iya, benar. Makanya dinginkan pikiranmu atau semuanya kacau,” ucap Han sembari menepuk pundak Jean.Keterlambatan ini tidak mungkin diputar ulang, asalkan ada rekaman suara Julvri yang tengah mengancam Arum saat itu sudah cukup untuk memb
“Karena aku merasa kita berdua sama saja.”Hati kecilnya seolah merespon, apa yang dikatakan olehnya pun tidak bisa dikatakan salah juga. Arum tidak menyangkal, berpikir itu benar mengingat masa lalunya juga tidak sebaik itu. “Kalau memang begitu, seharusnya kita berdua tidak cocok satu sama lain. Kita mungkin sama tapi itulah yang membuat kita berdua tidak cocok.”“Apa maksudmu?”“Karena kita berdua sama maka tidak ada kelebihan atau kekurangan yang bisa ditutupi masing-masing.”“Oh, aku mengerti. Pasangan sempurna dari si bodoh dan pintar, si bodoh itu baik sedangkan si pintar itu jahat. Seperti itu bukan?” “Bisa dibilang begitu tapi caramu memberikan contoh kejam juga ya.”Pramugari kembali datang dan memberikan sebotol air mineral pada mereka, kemudian ditawari beberapa makanan hangat yang mungkin diinginkan. Arum tertuju pada kacang-kacangan. “Apa? Mau itu?” tanya Julvri.Arum membuang muka, menghadap ke arah jendela tanpa menjawab pertanyaan darinya. Julvri lantas terkekeh da
Dari pukul lima sore hingga pukul 12 siang, waktu perjalanan yang menyentuh hingga setengah hari itu akan berakhir. Stasiun terakhir telah sampai, tidak hanya sisa penumpang lainnya bahkan Arum dan Julvri akan turun di sini.Selangkah demi selangkah turun dan berjalan menjauhi peron sambil bergandengan tangan, sejenak Arum menoleh ke sisi kiri yang jauh dari area stasiun. "Ah, rupanya dia belum datang." Arum membatin. Bercampur rasa sedih dan takut, Arum memiliki sedikit penyesalan terdalam pada malam di kereta hari itu. Terjadi sekitar pukul 9 malam, Julvri tertidur begitu pulas. Tampaknya ia sangat kelelahan. Berbeda dengan Arum, meskipun kelelahan ia tetap tidak bisa tidur. Sepanjang malam itu Arum selalu menghela napas panjang. “Bagaimana ini?” Arum bertanya-tanya pada dirinya sendiri, tentang apa yang akan ia lakukan dengan sebuah jarum dalam genggamannya itu.Jarum kecil itu berbalur sedikit racun, jika digunakan pada manusia atau bahkan mahluk hidup lainnya sudah pasti akan
Cuaca sedang tidak mendukung, situasi yang canggung dan aneh kembali dirasakan oleh mereka. Sempat merasa tidak nyaman namun pada akhirnya mereka dapat beristirahat dengan tenang. “Julvri, bangun.” Untuk pertama kalinya Arum bangun lebih awal, ia segera membangunkan sang suami. Perlahan menggerakkan tubuhnya yang sedang terlelap agar Julvri cepat terbangun. Setelah beberapa saat akhirnya Julvri membuka kedua matanya yang masih menyipit. “Selamat pagi, Arum.” Julvri tersenyum.“Ya, selamat pagi, Julvri.” Arum membalas senyumnya. “Tumben sekali kamu bangun pagi. Biasanya 'kan jam 9 baru bangun,” sindir Julvri seraya meregangkan tubuhnya. Arum memang tersindir atas kata-katanya tapi dirinya mampu menahan itu semua dengan mengulas senyum termanisnya. “Pandai sekali bicara. Ayo cepat keluar dari sini, aku ingin makan kentang pedas di warteg.”“Tidak sarapan di hotel saja?” “Tidak mau, bukan seleraku.”“Dasar wanita aneh.” Segera mereka bersiap dan chek out. Lekas beranjak keluar da
“Jangan kamu kira aku tidak tahu.”“Kenapa kamu berpikir begitu? Bisa saja bukan aku 'kan?” “Tapi kupikir begitu.”Semenjak perilaku Julvri yang sebenarnya terungkap jelas di depan mata, Arum dengannya selalu berdebat dan beradu kemampuan di samping ada rasa keinginan untuk melenyapkan. Kehidupan yang didambakan oleh Arum selama ini nyatanya takkan pernah terwujud karena orang yang sekarang berada di hadapannya. Apa yang Arum masukan ke dalam makanan Julvri adalah obat pencahar sementara Julvri memasukan obat pelemas otot sehingga dengan kondisi Arum saat ini akan cepat berefek, ia lemas dan sudah tak bertenaga lagi. “Taksi online pesanan kita sudah sampai. Ayo cepat pulang ke kampung halaman rumahmu, Arum.” Sambil tersenyum pria itu kembali menuntunnya masuk ke taksi online, Arum hanya bisa pasrah kala Julvri sepenuhnya mengendalikan dirinya seperti sekarang ini. “Ayo pak, jalan.”“Baik.” Perasaan mual kembali muncul setelah sekian lama, kehamilannya membuat keadaan Arum semaki
Kehadiran seorang lelaki adalah pendamping bagi seorang wanita dan begitu juga dengan sebaliknya. Akan tetapi pasutri yang terikat pernikahan suci selama setengah tahun ini memiliki persepsi berbeda dari lainnya. Mereka memiliki sisi buruk yang tak terbayangkan serta sisi baik tak terduga. "Aku ... akan mati." Pikiran Arum hanya tertuju pada kematian saja. Dirinya berpikir ini sudah berakhir hingga beberapa petugas kepolisian menerobos masuk ke dalam rumah sembari menodongkan senjata. “Angkat tanganmu!” Luka lecet, lebam, bekas tusukan, darah terus mengalir di bagian lukanya, bahkan bekas luka jeratan tali masih terlihat. Tidak hanya itu, luka di hati pun sudah terpampang jelas di hadapan mereka. Arum sudah lemas dan tak sanggup bergerak di sisa napasnya yang sedikit. “Gawat! Orang ini tidak mau berhenti!”“Biar saya yang melakukannya!” seru seorang lelaki berpakaian jas coklat muda. Lelaki itu bergegas menghampiri lalu mem
“Ah!” Arum terbangun dalam keadaan tubuh basah berkeringat dingin. Wajahnya memucat, pupil matanya pun bergetar kuat dengan mengingat semua hal buruk yang ia pikir sedang terjadi saat ini. Namun ternyata Arum salah, begitu kesadarannya pulih dan mendapati dirinya berada di atas ranjang, ia mulai merasa tenang dan lega.“Syukurlah,” ucap Arum. “Ada apa, Arum?” Sampai melupakan sosok lelaki yang membuat Arum bermimpi buruk itu bertanya. Julvri yang telah membuka mata, lantas meraih wajah Arum dan memberinya kecupan pagi.Perasaan gelisah kembali hadir, seolah kabur hitam mengitari sekeliling tubuh mereka. Merinding tanpa bisa berekspresi lebih selain terdiam merasa takut.“Arum?” Sekali lagi sang suami memanggil dan bertanya apa masalahnya. “Ada apa?”“Julvri ... aku hanya kembali bermimpi buruk.” Perlahan Arum berucap sembari menyentuh punggung tangan kekar itu. “Mimpi buruk? Apakah itu tentang aku?”Awalnya Arum terkejut, dengan mata terbelalak dan mulut sedikit menganga, nyaris
Semilir angin membawa pergi dedaunan gugur, beterbangan bagai sehelai bulu yang ringan dan entah ke mana perginya mereka kala angin terus menggerakkannya. Sejenak suasana terasa tenang, Arum merasa begitu memejamkan mata maka dirinya akan cepat terlelap. “Julvri, apa kamu benar-benar akan membunuhku?” Dari sekian banyaknya pertanyaan, hanya kalimat itu yang terlontar dari bibir tipisnya. Sosok lelaki yang hadir berada di sampingnya itu hanya bisa terdiam dengan mulut setengah terbuka seakan hendak mengatakan sesuatu tapi tertahan. Setelah beberapa saat lelaki itu melengos dan kembali menghadap arah depan sambil menggandeng tangan sang istri dengan kuat."Ada apa dengan Julvri?" batin Arum bertanya-tanya dalam kebingungan. Sebab tak pernah merasa bahwa Julvri akan bersikap begini karena ini adalah pertama kalinya. Rasa bimbang ataupun bingung, resah dan gelisah. Entah apa yang sebenarnya Julvri pikirkan. “Tidak menjawab itu artinya benar. Lalu kenapa nggak lakukan saja sekarang? Aku
“Lalu kamu akan melakukan apa setelah menemukan sesuatu di laptopku?” Bagai disambar petir di siang bolong, Arum tersentak kaget mendapat pertanyaan yang jelas adalah sebuah sindiran. Arum mengubah posisinya menjadi duduk, sekali lagi terkejut, ia menatap tajam pada Julvri seolah sedang berbalik menghakimi.Julvri lantas bangkit dan berkata, “Ayo katakan sesuatu. Jangan sampai aku dibuat penasaran.” Di lain sisi ia merasa ada seseorang yang memperhatikan mereka. Spontan Arum menoleh ke arah pintu yang terdapat celah sedikit. “Julvri, pintunya tidak ditutup?” tanyanya sembari berusaha mengalihkan pembicaraan. “Ah, benar. Aku melupakannya,” ucap Julvri. Di celah pintu terbuka, Arum melihat sosok siluet familiar. Ia pun turun dari ranjang dan berjalan ke arah pintu dan membukanya.“Bibi Elli?” Rasanya tak pernah habis keterkejutan Arum dalam hidupnya. Ia dikagetkan oleh bibinya sendiri yang ternyata mengintip.“Ikut aku sebentar, rum.” Begitulah bibi memanggil, lalu Arum hanya mengi
Bibi Ella dan Elli adalah kembar seiras, yah, meskipun dari sifat mereka berbanding terbalik. Bibi Ella orang yang lembut sedangkan bibi Elli orangnya galak. Lalu sekarang bibi Elli berhadapan dengannya, dan entah kenapa seperti sedang marah. “Aku tidak berharap kamu mengerti ucapanku, Arum. Tapi kupikir sebaiknya ...,”“Bibi membicarakan apa?” Seolah tak ingin membahas sesuatu hal buruk itu, Arum kembali melanjutkan jahitannya yang belum selesai. Mulai dari pakaian hingga ke taplak meja, dengan sangat giat Arum mengerjakannya sepenuh hati hingga kembali sempurna seperti sedia kala. Sementara ia merasakan punggungnya dingin akibat tatapan tajam dari bibi Elli. “Aku belum selesai bicara,” katanya.Arum menelan ludah, bibir bawahnya sedikit tergigit. Setelah selesai menjahit, ia lantas menoleh ke belakang. Arum sangat terkejut akan tatapan yang dirasa semakin tajam dan menakutkan itu. “Iya, baiklah. Aku akan mendengarkannya tapi tentang apa? Bibi Elli selalu bicara setengah-setenga
Suasana di kampung halaman yang terasa lebih sejuk membuat Arum merasa rileks sejenak. Saat ini ia sedang membantu nenek menjahit pakaian yang sedikit rusak dengan cara manual. Nenek tampak sehat dengan kegesitan yang ia gunakan tuk menjahit. Sungguh hebat. “Arum, jujurlah pada nenekmu ini tentang satu hal.”Nenek memulai percakapan yang sejujurnya terdengar seolah Arum menyembunyikan sesuatu. Arum pun menghentikan gerakan tangannya terkejut. “Iya, nek. Kenapa?”“Ibumu sudah tiada dan aku ingin tahu bagaimana keadaan Ayahmu.” Rasa terkejut kembali bertambah, Arum sepenuhnya bungkam karena tak mengira bahwa nenek tidak mengetahui kabar tentang Ayahnya.“Ayahku ...,” Arum menggumam. Pikirannya mulai kalut dalam kebingungan, ia bimbang apakah perlu menceritakan yang sebenarnya atau tidak lantaran ibunya sendiri pun sengaja tidak memberitahukan hal tersebut. "Kenapa Ibu menyembunyikan hal ini? Kejadiannya sudah cukup lama. Apa aku perlu menceritakannya?" batin Arum yang memiliki bany
Arum mencercanya habis-habisan tanpa kenal takut, ia sudah tidak peduli bila suaminya akan marah karena hal ini sebab Arum pun merasa bahwa dirinya sudah tidak bisa menahannya lebih lama lagi. "Aku ingin merekam bagian ini tapi tak aku sangka aku kehabisan cara dan yang aku andalkan sekarang kata-kata meskipun tenggorokanku terasa kering sekarang," batin Arum. Rasa takut adalah hal wajar, ia berpikir sudah tak mungkin menyembunyikan kekesalannya lagi tapi di luar dugaan Julvri merespon seolah ini candaan. “Hahaha! Apa yang kamu bicarakan, Arum?” sahut Julvri yang juga tertawa bahak-bahak.“Sejak tadi kamu sepertinya berusaha membuatku marah ya? Tapi tidak masalah,” imbuhnya. “Kamu lah yang mempermainkan aku, membuatku marah dan jengkel karena terus memperlakukan aku seperti hewan ternak. Kalau kamu kesal seharusnya bunuh saja aku!” Senyum terukir semakin lebar di wajahnya yang tampan. Jemari yang besarnya dua kali lipat itu lantas kembali meraih dan membelai wajahnya dengan penuh
Dengan memanfaatkan paras tampannya, Julvri Vandam selalu mencari kesempatan untuk bermain dengan banyak wanita. Bohong kalau ia sungguhan mencintai mereka, sebab kenyatannya ia hanya mempermainkan para wanita saja. Ia bersenang-senang demi dirinya sendiri. Julvri adalah seorang lelaki tidak waras. “Hei, bagaimana kalau kita kencan besok?” Paras tampan, berduit dan memiliki hati yang baik. Itu semua terlihat di mata para wanita, ketika diajak kencan, siapa yang akan menolak? Tentu saja tidak akan ada kecuali orang buta.“B-boleh saja.” Wanita berambut pendek sebahu menjawab dengan gugup. Namun satu syarat mutlak bagi Julvri, ia memilih wanita yang sama sekali tidak berguna di kemasyarakatan. Julvri akan mengencani setiap wanita yang statusnya kadang tidak jelas, ada yang buron, setengah tidak waras, peminum dan masih banyak lagi. Rata-rata wanitanya tidak bisa dibilang wanita normal sehingga akan mudah bagi Julvri yang akan menghabisi mereka jika sudah bosan. “Julvri, hari ini kit
“Jangan kamu kira aku tidak tahu.”“Kenapa kamu berpikir begitu? Bisa saja bukan aku 'kan?” “Tapi kupikir begitu.”Semenjak perilaku Julvri yang sebenarnya terungkap jelas di depan mata, Arum dengannya selalu berdebat dan beradu kemampuan di samping ada rasa keinginan untuk melenyapkan. Kehidupan yang didambakan oleh Arum selama ini nyatanya takkan pernah terwujud karena orang yang sekarang berada di hadapannya. Apa yang Arum masukan ke dalam makanan Julvri adalah obat pencahar sementara Julvri memasukan obat pelemas otot sehingga dengan kondisi Arum saat ini akan cepat berefek, ia lemas dan sudah tak bertenaga lagi. “Taksi online pesanan kita sudah sampai. Ayo cepat pulang ke kampung halaman rumahmu, Arum.” Sambil tersenyum pria itu kembali menuntunnya masuk ke taksi online, Arum hanya bisa pasrah kala Julvri sepenuhnya mengendalikan dirinya seperti sekarang ini. “Ayo pak, jalan.”“Baik.” Perasaan mual kembali muncul setelah sekian lama, kehamilannya membuat keadaan Arum semaki