“Dia pasti kekasih barunya,” tebakku dalam hati, merasakan jantungku berdebar. Rasa sakit di dadaku semakin dalam saat aku menyadari bahwa aku sedang melihat wanita yang menggantikan posisiku di hidup Danu.
Gadis itu berjalan mendekat, tampak penuh percaya diri, seolah-olah dia telah menjadi bagian dari keluarga ini sejak lama. Ia menatapku dengan senyum yang penuh arti, seolah mengetahui betapa hancurnya hatiku saat ini.
“Halo, kamu pasti Rania,” katanya, suaranya ceria dan menggoda. “Danu sering bercerita tentangmu.”
Aku hanya bisa menatapnya, mulutku terasa kering. “Dia memang suka bercerita,” jawabku, mencoba untuk tidak menunjukkan betapa hancurnya aku.
“Kamu harus tahu, aku sangat menghargai semua yang telah kamu lakukan untuk Danu.” Dia melanjutkan, nada suaranya manis tapi penuh kepalsuan. “Tapi, aku rasa sudah saatnya kamu memberi jalan untuk kami berdua.”
“Sudah berapa lama kaliaan berhubungan di belakangku?” tanyaku pelan, setenang mungkin.
Dia tersenyum lebar, menatapku. “Berapa ya, aku lupa, setahun … dua tahun, entahlah, yang jelas, Danu dan aku saling mencintai. Kami memiliki impian yang ingin kami wujudkan bersama.”
Hatiku terasa seperti ditusuk belati. Bagaimana mungkin semua yang aku lakukan untuk Danu berujung seperti ini? Keputusan yang diambilnya, apakah semua pengorbanan dan kasih sayangku tidak berarti sama sekali?
“Kamu mungkin mencintainya, tapi kamu tidak tahu apa-apa tentang pengorbanan yang telah kulakukan,” kataku, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. “Danu tidak akan pernah menjadi seperti sekarang tanpa aku di sisinya.”
Dia hanya mengangkat bahu, menampilkan sikap acuh tak acuh. “Tapi dia sudah memilihku. Dan sekarang, waktunya bagi kamu untuk melanjutkan hidupmu.”
Saat itu, aku merasa diriku seperti dibuang ke tepi jalan. Di depanku berdiri gadis yang mengambil semua yang pernah menjadi milikku, dan di dalam hatiku, kesedihan bercampur kemarahan menjadi satu.
“Baiklah, aku akan pergi,” ujarku, berusaha untuk tidak menunjukkan kelemahanku.
Dengan langkah yang penuh keyakinan, aku melanjutkan keluar dari rumah itu. Di belakangku, tawa gadis itu terdengar seolah-olah menandakan kemenangan.
Saat aku melangkah pergi, aku tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tapi aku juga tahu bahwa inilah saatnya untuk menemukan kembali diriku sendiri. Tanpa Danu, tanpa tekanan dari keluarga, dan tanpa rasa sakit yang selama ini membelengguku.
Beberapa saat, langkahku terhenti saat sayup-sayup mendengar suara gelak tawa dari rumah itu, aku menoleh, tidak kulihat lagi gadis tadi dan menyisakan pintu rumah itu, sedikit terbuka.
Aku meringis, . Suara-suara itu, ceria dan riang, berasal dari dalam rumah, di mana keluargaku berkumpul dengan wanita itu. Wanita yang kini menjadi pengganti diriku di hati Danu. Setiap tawa mereka, terutama Danu, seolah-olah mengoyak luka di dalam hatiku. Kenapa mereka bisa setega ini?
“Apa mereka sudah melupakan semua yang pernah dilalui?” tanyaku dalam hati, merasakan air mata mulai menggenang di sudut mataku. Dulu, tawa yang sama pernah kami bagi, saat kami duduk di meja makan, bercerita, dan bermimpi tentang masa depan. Sekarang, semua itu terasa seperti kenangan yang terhapus dalam sekejap.
Ketika suara tawa itu semakin jelas, hatiku semakin perih. Kenangan manis bersamanya menghantui setiap langkahku. “Aku telah berjuang untuk kalian, dan inikah balasannya?” pikirku, rasa marah dan kecewa bercampur menjadi satu. Semua pengorbananku seolah sia-sia, dan aku hanya menjadi bayangan di rumah yang pernah kutinggali.
“Kamu kuat, Rania. Kamu bisa melewati ini,” bisikku pada diriku sendiri, berusaha menenangkan hati yang bergejolak. Tapi setiap tawa yang menggema dari dalam membuatku merasa terperangkap dalam kenangan menyakitkan. Aku merindukan Danu, merindukan cinta yang kami bangun bersama, tapi semua itu tampaknya hanya tinggal kenangan.
“Apa kamu sudah melupakan semua pengorbananku, Danu?” aku berteriak dalam hati, meski mulutku tidak berani mengucapkan kata-kata itu. Hatiku seakan dipenuhi dengan rasa sakit yang tak tertahankan. Mendengar mereka tertawa bersama membuatku merasa seperti boneka yang dibuang, tanpa pemilik dan tanpa tujuan.
Aku menahan diri untuk tidak berteriak. Suara tawa mereka semakin kencang, dan air mataku mengalir tanpa bisa kutahan. “Aku tidak akan terjebak di sini,” ujarku dalam hati, menegaskan pada diriku sendiri. “Aku harus pergi, meskipun ini menyakitkan.”
Dengan satu tarikan napas dalam-dalam, aku berbalik dan melangkah pergi. Setiap langkahku terasa berat, tetapi aku tahu bahwa aku tidak bisa tetap di tempat yang membuatku terluka. Saat aku keluar, rasa sakit dan kesedihan menyelimuti diriku, tetapi aku bertekad untuk melanjutkan hidupku, meskipun saat ini dunia terasa sangat gelap.
“Aku akan menemukan jalanku sendiri, dan lihat nanti, aku akan memberi perhitungan kepada kalian” gumamku, berusaha menenangkan diri meski air mata masih mengalir di pipiku. Di luar sana, meskipun tidak terlihat, ada harapan baru yang menantiku. Aku harus percaya, meskipun sekarang terasa sulit.
Aku melangkah tanpa arah, pikiranku masih terjerat dalam kepingan-kepingan rasa sakit dan pengkhianatan. Langkah demi langkah, dunia di sekitarku terasa semakin samar, seolah kabur oleh air mata yang tak henti mengalir di dalam hati. Jalanan yang padat kini terasa kosong, dingin, dan menyesakkan. Aku mempercepat langkah, berusaha meninggalkan kenangan pahit tentang Danu dan keluarganya di belakang.
Namun, langkah kakiku terhenti saat dua sosok pria tiba-tiba muncul di hadapanku. Wajah mereka menyeringai jahat, tatapan mereka liar. Aku bisa merasakan naluriku berteriak, memohon agar aku segera menjauh. Tapi kaki ini terasa berat.
“Hei, cantik! Mau jalan-jalan sama kami?” salah satu dari mereka berseru dengan nada mengejek, senyum di bibirnya tampak memuakkan.
Aku menunduk, mencoba menghindari kontak mata, berpura-pura tak mendengar. Keringat dingin mulai membasahi punggungku. Aku mempercepat langkah, berharap mereka akan pergi. Tapi tidak. Sebuah tangan kasar tiba-tiba meraih lenganku, menarikku dengan kekuatan yang membuat tubuhku tersentak.
“Jangan pergi dulu! Kita cuma mau ngobrol kok,” ucapnya dengan suara manis yang penuh tipu muslihat. Jantungku mulai berpacu cepat, detaknya memekakkan telinga. Aku menepis tangannya dengan gemetar, tetapi genggamannya justru semakin kuat.
“Lepaskan aku!” suaraku bergetar, meski aku berusaha terdengar tegas. Tapi mereka tertawa, tawa yang dingin dan menyeramkan, seolah mematahkan harapanku untuk lolos.
“Jangan sok keras. Tenang saja, kita bakal bersenang-senang,” ujar pria yang lain dengan suara rendah. Aku bisa merasakan ketakutan merayap naik dari perutku ke tenggorokan, menjalar cepat ke seluruh tubuh. Mereka mulai menyeretku menuju sebuah gang gelap yang terasing dari keramaian.
Tidak! Ini tidak boleh terjadi.
Aku meronta, berusaha melepaskan diri, tapi tenagaku seolah tidak berarti dibandingkan dengan kekuatan mereka. Salah satu dari mereka memaksa tanganku di belakang, membuat tubuhku terlipat. Hatiku berteriak, kepalaku dipenuhi bayangan buruk tentang apa yang akan terjadi.
Mata mereka menyala seperti binatang buas yang menemukan mangsanya. Tangan-tangan mereka mulai beraksi, menyentuh tubuhku dengan cara yang membuat seluruh tubuhku meringis.
“Tolong! Siapa pun! Tolong!” teriakku, suaraku pecah dalam ketakutan yang melumpuhkan.
Bab 4. Siapa lelaki itu?Aku membimbing langkahnya pelan, memastikan dia tak tergesa-gesa. Rumahnya ternyata tak begitu jauh dari rumahku, hanya di ujung jalan yang sama. Sepanjang perjalanan, suasana sunyi, hanya suara langkah kami yang bergaung pelan di jalan sepi itu. Sesekali, aku melirik ke arahnya, wajahnya tampak lelah dan mata sembab akibat tangis yang belum sepenuhnya reda. “Kamu baik sekali, terima kasih sudah membantuku,” ucapnya serak, memaksakan senyum. Aku menepuk bahunya lagi. “Jangan dipikirkan, kamu sudah aman sekarang. Semuanya akan baik-baik saja.”Ketika kami tiba di depan rumahnya, dia berhenti sejenak, menatapku dengan mata yang penuh rasa terima kasih. "Aku nggak tahu bagaimana aku bisa membalas semua ini."“Kamu nggak perlu berpikir untuk membalas. Yang penting kamu baik-baik aja,” balasku, sedikit tersenyum. Begitu kami sampai di depan rumah, pintu langsung terbuka, dan seorang wanita muncul dari dalam dengan ekspresi panik. Matanya melebar saat melihat pu
Bab 5. Ternyata …Tiba-tiba, kilasan ingatan menerpa pikiranku. “Adrian!” aku hampir berteriak saat kesadaranku muncul. Dia adalah Adrian, teman kuliahku dulu. Kenangan itu terlintas dengan jelas—momen-momen saat kami duduk di kelas yang sama, tawa saat kami belajar kelompok, dan obrolan-obrolan ringan yang membuatnya terasa dekat.Aku membelalak, kaget, dan mengernyitkan dahi. “Kamu Adrian? Teman kuliahku?” tanyaku, terkejut dengan perubahan yang jelas terlihat pada dirinya. Penampilannya jauh berbeda—lebih dewasa, lebih maskulin, dengan aura percaya diri yang baru. Bahkan sekarang tidak menggunakan kacamata seperti dulu.Dia tersenyum tipis, seolah bisa merasakan kebingunganku. “Iya, itu aku. Rasanya seperti sudah lama sekali, kan?” jawabnya, nadanya santai meskipun matanya menunjukkan kebingungan yang sama.Aku merasa jantungku berdegup lebih cepat, antara kaget dan bahagia bisa bertemu kembali dengan seseorang dari masa lalu. “Kau sudah berubah banyak,” ucapku, mencoba menahan seny
Aku mendengar suara klakson pelan mengagetkanku. Dengan cepat, aku berbalik, menatap mobil lain yang baru parkir di halaman masjid ini. Aku menahan napas. Seharusnya tidak ada orang yang mengenalku di sini, apalagi di tempat yang seharusnya menjadi pelarian sejenak dari hiruk-pikuk hidupku.Aku diam, hanya bisa mengamati saat pemilik mobil itu keluar. Dan ketika sosok itu muncul dari balik pintu, napasku terhenti sejenak. Adrian…“Katakan padaku, apa yang terjadi denganmu sekarang!” tanya Adrian, suaranya mengandung nada cemas saat ia langsung menarik lenganku dan membawaku ke mobilnya. Aku tak berdaya melawan.“Adrian, kenapa menyusulku?” tanyaku sedikit syok, tak dapat menyembunyikan kegugupan yang menyusup ke dalam suaraku.Dia menatapku dengan mata yang dalam. “Aku tidak bisa hanya membiarkanmu pergi begitu saja. Aku merasa ada yang tidak beres, dan aku tidak bisa hanya duduk diam tanpa mencari tahu.”Mendengar kata-katanya, hatiku bergetar. Dia tidak hanya mencemaskan keadaanku;
Mobil melaju dengan cepat, terkadang melambatsaat menemui jalanan yang ramai atau tikungan tajam. Sepanjang perjalanan, percakapan kami terhenti, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Aku masih terbayang pada kata-kata Adrian dan Liana, perasaan campur aduk antara harapan dan keraguan menguasai pikiranku. Tak lama kemudian, mobil memasuki halaman hotel yang cukup mewah, tempat yang tampaknya sudah disiapkan Adrian untukku agar bisa tinggal sementara.Adrian memarkir mobil dan menoleh ke arahku. “Coba istirahat dulu di sini, Rania. Kamu butuh tempat yang nyaman sebelum menentukan apa langkah selanjutnya.”Aku mengangguk, merasa ragu untuk menerima kebaikan ini, tapi terlalu lelah untuk menolak. “Terima kasih, Adrian,” gumamku dengan suara rendah.“Liana, kamu temani dan iku ttidur di sini ya,” cetus Adrian. “Ah, tidak! Tidak! Saya enggak papa di sini sendiri, Adrian, biarkan Liana istirahat di rumah, dia juga butuh menenangkan diri,” sanggahku langsung. “Kamu yakin engga
Degup jantungku kian kencang, dan jemariku mencengkeram erat tali tas yang kugenggam. Ada rasa takut dan benci yang bercampur jadi satu. Seharusnya dia tidak ada di sini. Mengapa dia datang? Kenapa sekarang, saat aku baru ingin kembali menguatkan diriku?Kakiku seperti tertahan di tanah, enggan melangkah maju atau bahkan bergerak. Aku menelan ludah, mencoba mengendalikan napas yang kini terasa berat dan tak teratur. Pandanganku terasa kabur, tubuhku kaku, dan dadaku serasa sesak.“Apa yang dia lakukan di sini?” bisikku dalam hati, hampir tidak mampu mengeluarkan suara. Rasa sakit yang masih belum mengering ini masih terasa di hati.Aku menatap mobil itu dengan tatapan kosong, otakku bekerja keras mencoba memahami alasan kehadirannya. Bayangan tentang semua kenangan buruk bersama Danu kembali menghantuiku. Semua perasaan terluka, rasa kecewa, dan pengkhianatan yang kubawa selama ini, seolah berkumpul lagi dalam satu detik yang sangat mencekam ini.Aku menguatkan diri, berusaha menarik
Ibu menatapku dalam diam, matanya sendu, namun tatapannya dingin. Harapanku mendadak runtuh ketika dia hanya menarik napas panjang, seolah sedang memutuskan sesuatu dalam pikirannya. Akhirnya, dengan suara pelan namun tajam, Ibu berkata, "Rania, kamu tahu kan keluarga kita ini sudah cukup susah. Kamu tinggal dengan suamimu, jangan pulang dengan keluhan yang hanya bikin susah keluarga sendiri."Aku terpaku. Rasanya seolah ada yang menusuk jauh ke dalam dada. Seketika semua kekuatan yang kupunya lenyap. Ibu, orang yang kupikir akan berdiri di sisiku, justru mengabaikan luka yang selama ini kusembunyikan."Ibu, apakah Ibu tidak melihat apa yang sudah aku lalui selama ini? Aku sudah bertahan… terlalu lama." Suaraku hampir tenggelam, bergetar menahan perasaan yang terus menggelegak di dalam hati."Ibu paham, Rania… Tapi bagaimanapun, pernikahan itu harus dijalani, bukan malah dihindari. Danu suami yang baik, mungkin kamu saja yang terlalu cepat merasa lelah," jawabnya tanpa keraguan, seol
Tangan kupegang erat, mencoba menahan gemetar yang semakin menguasai tubuhku. Aku berjalan menuju pintu, mengabaikan tatapan mereka. Perasaanku sudah mati rasa. Aku melangkah keluar dari rumah itu dengan air mata yang terus mengalir. Setiap tetesnya adalah hasil dari segala pengorbanan yang tak pernah dihargai. Aku berjalan menuju hotel yang disewakan Adrian, berharap bisa menemukan sedikit kedamaian di sana, meski hatiku begitu hancur.Aku tahu, aku tidak boleh terpuruk lama-lama. Jika mereka sudah tidak menginginkanku, jika mereka takut aku hanya akan menjadi beban, aku akan pergi. Mungkin aku tidak akan pernah kembali, tapi jujur, ini sangat menyakitkan. Mengetahui bahwa keluarga lebih memilih untuk memihak orang lain, bukan aku, anak mereka sendiri.Aku berhenti sejenak di tengah jalan, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Rasanya seperti ada sesuatu yang terlepas dari dadaku, meski rasa sakit itu tak kunjung hilang. Setiap langkah yang kuambil terasa lebih bera
Ibu mertuaku, yang sebelumnya kuharapkan tidak akan ada di sini, kini berdiri di tengah kamar dengan ekspresi gugup. Tangannya gemetar sedikit, dan sepertinya dia baru saja melemparkan sebuah baju yang tadi sempat dia ambil dari lemari milikku.“Ka—kamu ngapain balik lagi ke sini?” Teguran ibu mertuaku terdengar cemas, nada suaranya semakin tinggi, bahkan sedikit gemetar. Dia bangkit berdiri dengan cepat, wajahnya tampak bingung, seolah mencoba mencari-cari alasan untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi. Matanya bergerak liar, mencuri pandang ke segala arah, seolah takut ada yang akan mengetahuinya.Aku menatapnya dengan tenang, meskipun hatiku masih terasa sakit. “Kenapa? Ada yang salahkah, tadi putramu meminta aku untuk kembali, lho. Ibu tidak tahu ya?” jawabku dengan nada yang tak terlalu keras, namun tegas. Ibu mertuaku tampak terkejut mendengar jawabanku, bibirnya terbuka, namun tidak ada kata-kata yang keluar. Dia tampaknya berusaha menenangkan dirinya sendiri, namun aku tah
Aku mencoba menegakkan wajah, sadar akan satu hal, aku di sini cuma akting, tidak perlu dibawa perasaan. “Sepertinya Kak Danar lebih tertarik kepadaku ya, terlihat dari rasa penasarannya,” ujarku dengan senyum lebar, mencoba memasang wajah percaya diri meskipun di dalam hati aku masih goyah.Danar—yang tadi begitu lantang mengkritik—terlihat sedikit terkejut dengan responsku. Alisnya terangkat, tapi dia cepat-cepat menyembunyikan keterkejutannya dengan mendengus pelan.“Menarik? Hah, jangan salah paham. Aku hanya memastikan Adrian tidak salah langkah,” balasnya dengan nada dingin, meskipun aku bisa melihat sorot matanya sedikit berubah.Aku tersenyum kecil, berusaha tetap tenang. “Kalau begitu, terima kasih atas perhatian Kakak. Saya pastikan, Adrian tidak salah memilih.”Suasana sejenak terasa kaku. Adrian menatapku, matanya berbinar, seolah kagum dengan keberanianku menjawab balik.“Rania, kamu bisa atasi ini?” bisiknya pelan, hanya cukup untuk kudengar.Aku mengangguk sedikit, me
“Ini Rania, Bu,” potong Adrian cepat. “Pacarku.”Aku mencoba tersenyum sopan, dan mencoba menyesuaikan diri. “Oh, jadi ini Rania,” ujar wanita itu sambil mengamati penampilanku dari atas ke bawah. “Masuklah, semuanya sudah menunggu.”Aku melirik Adrian dengan perasaan campur aduk. Dia membalas tatapanku dengan senyum meyakinkan, seolah-olah ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi aku tahu, malam ini baru saja dimulai, dan rasanya ini akan jadi malam yang panjang.Langkahku memelan begitu sampai ke ruang utama, terlihat begitu banyak orang yang sudah duduk di sana dan saling bercengkrama, aku, aku mendadak merasa semakin kerdil rasanya. Aku mencengkeram lengan Adrian semakin kuat, nyaris membuatnya meringis kecil. Tapi dia hanya membalas dengan menyentuh tanganku, menyalurkan kehangatan dan ketenangan yang berusaha dia tawarkan.“Tenang saja, ini hanya pura-pura, oke?” bisiknya pelan, hampir seperti janji.Aku mengangguk kecil, meskipun hatiku masih terasa seperti b
Malam pun tiba, dan Sabrina tidak main-main dengan kata-katanya. Di kamarnya yang kecil tapi rapi, dia mengatur segala perlengkapan make-up di meja. Aku hanya bisa duduk di kursi kecil, sementara Sabrina sibuk merias wajahku dengan telaten.“Rania, kamu harus ingat satu hal,” katanya sambil memulas pipiku dengan blush on. “Percaya diri. Kamu itu cantik, kok, cuma selama ini kamu terlalu menyembunyikan diri di balik kaos dan celana biasa.”Aku tertawa kecil, meski jujur, jantungku berdegup kencang. “Sab, aku cuma takut ini terlalu berlebihan. Lagian, Adrian itu atasan, aku nggak mau ini jadi bahan omongan.”Sabrina meletakkan kuasnya, menatapku serius. “Denger, ya, Rania. Adrian itu ngajak kamu makan malam bukan karena sekadar basa-basi. Percaya deh, dia lihat sesuatu yang spesial dari kamu. Jadi tolong, berhenti merendahkan diri sendiri.”Kata-katanya membuatku terdiam. Aku menghela napas panjang, mencoba meredakan kegugupan yang membuncah.Setelah hampir satu jam, Sabrina akhirnya se
Pagi itu aku terbangun lebih awal dari biasanya, mataku menatap sekeliling kamar yang sepi dan hampir tanpa barang. Rasanya aku sudah tidak sanggup lagi untuk tinggal di sini. Mungkin seminggu lagi terasa terlalu lama. Aku Aku berbaring sejenak, merenung. Sepertinya aku harus memberitahu Sabrina nanti, aku akan pindah ke kostnya besok pagi. Mungkin itu solusi terbaik untuk sementara waktu. Aku akhirnya bangkit dari ranjang, mengusap wajahku. Pagi ini, aku merasa sedikit lebih bersemangat untuk memulai hari. Ada pekerjaan yang menunggu, dan aku perlu memastikan segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Setelah membersihkan diri, aku cepat-cepat bersiap, berharap bisa tiba lebih awal di kantor. Ada beberapa hal yang harus aku lakukan, dan aku ingin meluangkan waktu untuk mencari sarapan di sekitar kantor, aku juga sudah mulai terbiasa dengan rutinitas ini—hidup mandiri, jauh dari keluarga, dan mencoba bertahan hidup dengan cara yang paling realistis.Aku mengambil dompet dari meja, me
Besoknya, Sabrina menepati janjinya untuk menemaniku mencari kost. Meskipun sepanjang perjalanan dia terus bercerita tentang pengalaman-pengalamannya yang seru, pikiranku masih melayang pada tawarannya untuk berbagi kamar.Kami berhenti di depan sebuah bangunan kecil yang tampak nyaman. Sabrina menunjuk ke salah satu jendela di lantai dua.“Itu kamar kostku, Rania. Lihat? Enggak terlalu besar, tapi cukup nyaman. Kalau kita sekamar, aku yakin bakal lebih hidup.”Aku tersenyum kecil. “Sepertinya memang nyaman, Sabrina.”Setelah selesai melihat-lihat, Sabrina mengantarku ke depan bangunan. “Oke, Rania, aku enggak mau maksa, tapi tolong dipikirkan, ya. Aku serius banget mau kamu jadi roommate-ku.”Aku mengangguk, merasa bersyukur memiliki Sabrina sebagai teman. “Aku pasti pikirkan, Sabrina. Terima kasih sudah menawarkan.”Malam itu, aku duduk di hotel yang masih disewakan Adrian. Ponselku berbunyi, menampilkan pesan baru dari Adrian.[Bagaimana harimu? Semoga semuanya berjalan lancar. Jan
Akhirnya kami memutuskan untuk mencari warung makan dulu sebelum mencari kost- kostan. Di tempat makan, Sabrina langsung memilih tempat di sudut yang cukup tenang, seolah tahu bahwa percakapan ini butuh ruang khusus. Dia menatapku penuh harap, sambil memindahkan gelas air mineralnya ke sisi meja.“Jadi, siapa dia? Mantan pacar? Atau mantan suami?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi.Aku terdiam sejenak, meresapi pertanyaannya. Sabrina memang terlalu blak-blakan, tapi kejujuran yang ia tawarkan membuatku merasa cukup nyaman untuk bicara. “Danu... dia mantan suamiku,” akhirnya aku mengakui, menatap langsung ke arah Sabrina.Mata Sabrina membelalak kaget. “Mantan suami? Jadi kamu sudah menikah sebelumnya?”Aku mengangguk pelan. “Ya, aku pernah menikah dengannya. Tapi semuanya berakhir... tidak baik.”Sabrina menghela napas panjang, seolah mencoba mencerna informasi itu. “Dan Denada? Dia yang sekarang bersamanya?”“Iya,” jawabku sambil tersenyum getir. “Bisa dibilang, dia salah satu alas
“Rania?”Aku menoleh, dan Adrian berdiri di sana, di dekat meja kerjaku. Aku terkejut. “Adrian? Kenapa ke sini lagi?”Dia tersenyum tipis, matanya menatapku dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. “Kebetulan aku sedang ada rapat di lantai ini. Aku cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja.”Aku terdiam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku baik-baik saja. Terima kasih, Adrian.”Dia mengangguk, lalu berkata, “Bagus kalau begitu. Tapi jangan lupa, kalau ada apa-apa, aku di sini.”Suaranya begitu tulus, dan entah mengapa, aku merasakan dorongan semangat baru. Setelah dia pergi, aku kembali menatap layar ponselku, membaca pesan-pesan tadi. Kali ini, senyum kecil terlukis di wajahku. Mungkin, hanya mungkin, aku tidak benar-benar sendiri lagi.Hari menanjak naik, akhirnya hari pertama kerja terlewati juga. Aku merenggangkan otot sejenak, sebelum akhirnya bersiap pulang. “Ayo kita keliling sekarang!” ajak Sabrina penuh semangat, menggandeng lenganku dengan antusias.Aku mengang
Aku menatap Sabrina dengan bingung. “Iri? Kenapa kamu bilang begitu?” tanyaku, mencoba menahan tawa kecil.Sabrina mencondongkan tubuh ke arahku, suaranya setengah berbisik. “Karena Adrian, siapa lagi?”“Adrian?” Aku mengerutkan dahi, masih belum paham arah pembicaraannya.Sabrina mengangguk cepat, matanya berbinar seperti sedang menyampaikan gosip paling menarik di dunia. “Iya! Kamu tahu kan dia siapa?”Aku menggeleng pelan, bingung dengan reaksinya. “Ya, dia teman lamaku. Kenapa memangnya?”Sabrina mendengus, lalu menatapku seperti aku baru saja mengatakan sesuatu yang sangat bodoh. “Dia atasan kita, Rania. Salah satu pemegang saham di sini. Dan tadi... dia berjalan langsung ke meja kamu. Semua orang pasti iri!”Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi itu. Adrian? Pemegang saham? Aku benar-benar tidak tahu apa-apa soal itu.“Kamu enggak bercanda, kan?” tanyaku pelan.“Mana mungkin aku bercanda soal hal sepenting ini? Dia jarang banget turun langsung ke lantai ini, apalagi be
Aku menatap wanita itu dari atas ke bawah, memastikan apa yang kulihat benar adanya. Ya, memang dia. Wanita yang pernah datang ke rumah Danu dengan penuh percaya diri, seolah-olah memiliki hak atas segalanya.“Wah, jadi kamu ke sini untuk mengikuti aku, ya?” cetusnya tiba-tiba, dengan nada penuh ejekan.Aku mengerutkan kening, masih berusaha mencerna situasi ini, sementara dia melangkah mendekat dengan senyum sinis menghiasi wajahnya.“Lihat, setelah suaminya meninggalkannya, dia pasti ke sini untuk mengejar aku,” lanjutnya tanpa ragu. “Duh, kasihan sekali. Benar-benar menyedihkan.”Beberapa rekan kerja yang tadi sibuk dengan percakapan masing-masing kini berhenti, menatap kami berdua dengan rasa penasaran yang tidak bisa disembunyikan. Aku bisa merasakan mata mereka yang mulai bergulir, menilai situasi ini.Aku menarik napas dalam, menahan emosi yang mulai bergejolak. Tidak, aku tidak akan jatuh ke dalam jebakan ini. Tidak kali ini.“Aku ke sini untuk bekerja, bukan untuk hal-hal yan