“Dia pasti kekasih barunya,” tebakku dalam hati, merasakan jantungku berdebar. Rasa sakit di dadaku semakin dalam saat aku menyadari bahwa aku sedang melihat wanita yang menggantikan posisiku di hidup Danu.
Gadis itu berjalan mendekat, tampak penuh percaya diri, seolah-olah dia telah menjadi bagian dari keluarga ini sejak lama. Ia menatapku dengan senyum yang penuh arti, seolah mengetahui betapa hancurnya hatiku saat ini.
“Halo, kamu pasti Rania,” katanya, suaranya ceria dan menggoda. “Danu sering bercerita tentangmu.”
Aku hanya bisa menatapnya, mulutku terasa kering. “Dia memang suka bercerita,” jawabku, mencoba untuk tidak menunjukkan betapa hancurnya aku.
“Kamu harus tahu, aku sangat menghargai semua yang telah kamu lakukan untuk Danu.” Dia melanjutkan, nada suaranya manis tapi penuh kepalsuan. “Tapi, aku rasa sudah saatnya kamu memberi jalan untuk kami berdua.”
“Sudah berapa lama kaliaan berhubungan di belakangku?” tanyaku pelan, setenang mungkin.
Dia tersenyum lebar, menatapku. “Berapa ya, aku lupa, setahun … dua tahun, entahlah, yang jelas, Danu dan aku saling mencintai. Kami memiliki impian yang ingin kami wujudkan bersama.”
Hatiku terasa seperti ditusuk belati. Bagaimana mungkin semua yang aku lakukan untuk Danu berujung seperti ini? Keputusan yang diambilnya, apakah semua pengorbanan dan kasih sayangku tidak berarti sama sekali?
“Kamu mungkin mencintainya, tapi kamu tidak tahu apa-apa tentang pengorbanan yang telah kulakukan,” kataku, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. “Danu tidak akan pernah menjadi seperti sekarang tanpa aku di sisinya.”
Dia hanya mengangkat bahu, menampilkan sikap acuh tak acuh. “Tapi dia sudah memilihku. Dan sekarang, waktunya bagi kamu untuk melanjutkan hidupmu.”
Saat itu, aku merasa diriku seperti dibuang ke tepi jalan. Di depanku berdiri gadis yang mengambil semua yang pernah menjadi milikku, dan di dalam hatiku, kesedihan bercampur kemarahan menjadi satu.
“Baiklah, aku akan pergi,” ujarku, berusaha untuk tidak menunjukkan kelemahanku.
Dengan langkah yang penuh keyakinan, aku melanjutkan keluar dari rumah itu. Di belakangku, tawa gadis itu terdengar seolah-olah menandakan kemenangan.
Saat aku melangkah pergi, aku tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tapi aku juga tahu bahwa inilah saatnya untuk menemukan kembali diriku sendiri. Tanpa Danu, tanpa tekanan dari keluarga, dan tanpa rasa sakit yang selama ini membelengguku.
Beberapa saat, langkahku terhenti saat sayup-sayup mendengar suara gelak tawa dari rumah itu, aku menoleh, tidak kulihat lagi gadis tadi dan menyisakan pintu rumah itu, sedikit terbuka.
Aku meringis, . Suara-suara itu, ceria dan riang, berasal dari dalam rumah, di mana keluargaku berkumpul dengan wanita itu. Wanita yang kini menjadi pengganti diriku di hati Danu. Setiap tawa mereka, terutama Danu, seolah-olah mengoyak luka di dalam hatiku. Kenapa mereka bisa setega ini?
“Apa mereka sudah melupakan semua yang pernah dilalui?” tanyaku dalam hati, merasakan air mata mulai menggenang di sudut mataku. Dulu, tawa yang sama pernah kami bagi, saat kami duduk di meja makan, bercerita, dan bermimpi tentang masa depan. Sekarang, semua itu terasa seperti kenangan yang terhapus dalam sekejap.
Ketika suara tawa itu semakin jelas, hatiku semakin perih. Kenangan manis bersamanya menghantui setiap langkahku. “Aku telah berjuang untuk kalian, dan inikah balasannya?” pikirku, rasa marah dan kecewa bercampur menjadi satu. Semua pengorbananku seolah sia-sia, dan aku hanya menjadi bayangan di rumah yang pernah kutinggali.
“Kamu kuat, Rania. Kamu bisa melewati ini,” bisikku pada diriku sendiri, berusaha menenangkan hati yang bergejolak. Tapi setiap tawa yang menggema dari dalam membuatku merasa terperangkap dalam kenangan menyakitkan. Aku merindukan Danu, merindukan cinta yang kami bangun bersama, tapi semua itu tampaknya hanya tinggal kenangan.
“Apa kamu sudah melupakan semua pengorbananku, Danu?” aku berteriak dalam hati, meski mulutku tidak berani mengucapkan kata-kata itu. Hatiku seakan dipenuhi dengan rasa sakit yang tak tertahankan. Mendengar mereka tertawa bersama membuatku merasa seperti boneka yang dibuang, tanpa pemilik dan tanpa tujuan.
Aku menahan diri untuk tidak berteriak. Suara tawa mereka semakin kencang, dan air mataku mengalir tanpa bisa kutahan. “Aku tidak akan terjebak di sini,” ujarku dalam hati, menegaskan pada diriku sendiri. “Aku harus pergi, meskipun ini menyakitkan.”
Dengan satu tarikan napas dalam-dalam, aku berbalik dan melangkah pergi. Setiap langkahku terasa berat, tetapi aku tahu bahwa aku tidak bisa tetap di tempat yang membuatku terluka. Saat aku keluar, rasa sakit dan kesedihan menyelimuti diriku, tetapi aku bertekad untuk melanjutkan hidupku, meskipun saat ini dunia terasa sangat gelap.
“Aku akan menemukan jalanku sendiri, dan lihat nanti, aku akan memberi perhitungan kepada kalian” gumamku, berusaha menenangkan diri meski air mata masih mengalir di pipiku. Di luar sana, meskipun tidak terlihat, ada harapan baru yang menantiku. Aku harus percaya, meskipun sekarang terasa sulit.
Aku melangkah tanpa arah, pikiranku masih terjerat dalam kepingan-kepingan rasa sakit dan pengkhianatan. Langkah demi langkah, dunia di sekitarku terasa semakin samar, seolah kabur oleh air mata yang tak henti mengalir di dalam hati. Jalanan yang padat kini terasa kosong, dingin, dan menyesakkan. Aku mempercepat langkah, berusaha meninggalkan kenangan pahit tentang Danu dan keluarganya di belakang.
Namun, langkah kakiku terhenti saat dua sosok pria tiba-tiba muncul di hadapanku. Wajah mereka menyeringai jahat, tatapan mereka liar. Aku bisa merasakan naluriku berteriak, memohon agar aku segera menjauh. Tapi kaki ini terasa berat.
“Hei, cantik! Mau jalan-jalan sama kami?” salah satu dari mereka berseru dengan nada mengejek, senyum di bibirnya tampak memuakkan.
Aku menunduk, mencoba menghindari kontak mata, berpura-pura tak mendengar. Keringat dingin mulai membasahi punggungku. Aku mempercepat langkah, berharap mereka akan pergi. Tapi tidak. Sebuah tangan kasar tiba-tiba meraih lenganku, menarikku dengan kekuatan yang membuat tubuhku tersentak.
“Jangan pergi dulu! Kita cuma mau ngobrol kok,” ucapnya dengan suara manis yang penuh tipu muslihat. Jantungku mulai berpacu cepat, detaknya memekakkan telinga. Aku menepis tangannya dengan gemetar, tetapi genggamannya justru semakin kuat.
“Lepaskan aku!” suaraku bergetar, meski aku berusaha terdengar tegas. Tapi mereka tertawa, tawa yang dingin dan menyeramkan, seolah mematahkan harapanku untuk lolos.
“Jangan sok keras. Tenang saja, kita bakal bersenang-senang,” ujar pria yang lain dengan suara rendah. Aku bisa merasakan ketakutan merayap naik dari perutku ke tenggorokan, menjalar cepat ke seluruh tubuh. Mereka mulai menyeretku menuju sebuah gang gelap yang terasing dari keramaian.
Tidak! Ini tidak boleh terjadi.
Aku meronta, berusaha melepaskan diri, tapi tenagaku seolah tidak berarti dibandingkan dengan kekuatan mereka. Salah satu dari mereka memaksa tanganku di belakang, membuat tubuhku terlipat. Hatiku berteriak, kepalaku dipenuhi bayangan buruk tentang apa yang akan terjadi.
Mata mereka menyala seperti binatang buas yang menemukan mangsanya. Tangan-tangan mereka mulai beraksi, menyentuh tubuhku dengan cara yang membuat seluruh tubuhku meringis.
“Tolong! Siapa pun! Tolong!” teriakku, suaraku pecah dalam ketakutan yang melumpuhkan.
“Tolong! Siapa pun! Tolong!” teriakku, suaraku pecah dalam ketakutan yang melumpuhkan.Tiba-tiba, sebuah bayangan besar muncul dari kegelapan. Sebelum aku sempat mencerna apa yang terjadi, salah satu pria yang memegangku terpental ke belakang. Jeritan marah menggema di udara. Aku melihat seorang pria tak dikenal dengan wajah penuh amarah menghantam salah satu dari mereka dengan keras.“Berhenti!” suaranya rendah namun penuh ancaman, membuat kedua pria itu tertegun sesaat. Tak membuang waktu, lelaki itu menyerang lagi, kali ini lebih cepat, lebih keras. Aku hanya bisa terpaku, tubuhku gemetar tanpa kendali.Salah satu dari penyerangku terhuyung, kemudian berlari meninggalkan temannya yang sudah ambruk. Preman yang tersisa mencoba melawan, tetapi pukulan keras dari pria misterius itu membuatnya jatuh tak berdaya.“Apa kamu baik-baik saja?” suara itu akhirnya menyentuh kesadaranku. Aku menoleh, pria itu kini berdiri di hadapanku, wajahnya masih tegang, tapi ada ketulusan di matanya.Aku
“Rania,” panggilnya, aku menoleh. Dia terdiam sejenak, matanya menatapku dengan intens, seolah sedang berusaha menilai seberapa dalam luka yang kurasakan. "Keluarga kecil?" Dia menghela napas pelan, senyumnya samar namun terlihat getir. "Rania... Aku hanya tinggal berdua dengan anakku sekarang. Istriku sudah pergi."Perkataan itu menghentikan napasku. "Pergi?" Aku menatapnya dengan dahi berkerut, tak percaya. Aku selalu mengira Adrian punya kehidupan yang sempurna, dengan istri dan anak yang bahagia. Kenyataannya berbeda jauh dari bayanganku."Iya," lanjutnya, suaranya terdengar datar namun sarat dengan rasa sakit yang terpendam. "Dia selingkuh. Pergi meninggalkan kami."Kata-katanya menusuk lebih dalam dari yang kubayangkan. Aku merasa dadaku sesak. Bagaimana bisa aku tidak tahu? Selama ini, aku menganggap Adrian bahagia, hidupnya sempurna, sementara hidupku terperangkap dalam pernikahan yang kini hancur berantakan. Dan di depan mataku, berdiri Adrian yang terluka sama parahnya, mun
Bab 1: Hasil yang Dinanti Alat tes kehamilan di tanganku masih belum menunjukkan hasilnya. Meski begitu, aku sudah tahu. Hasilnya tidak seperti yang diharapkan oleh semua orang. Di luar kamar, aku bisa mendengar percakapan lirih dari ruang tamu. Suara ibu mertuaku, tegas dan penuh harap, berdengung seperti suara lebah yang terus mengitari pikiranku. Suara itu juga yang mendesakku untuk melakukan tes kehamilan secara berkala, sekaligus dengan bebas mengutarakan keinginannya agar aku bisa memberikan keturunan laki-laki untuk keluarga ini. Aku duduk di tepi tempat tidur, menggenggam alat kecil itu dengan tangan gemetar. Mengamati testpack di tanganku hingga hasilnya muncul dengan debar yang makin tak karuan, makin membuat dadaku sesak. Perlahan, sebuah garis muncul di alat tersebut. Negatif. Sudah kuduga. Tiba-tiba. pintu kamar terbuka sedikit. Wajah ibu mertuaku muncul di celah pintu. Tatapannya tajam, nyaris tak sabar. "Sudah?" tanyanya, tak sabar. Aku mengangguk perlahan, bib
Aku mungkin akan menikah lagi, ya. Tapi aku tidak akan menceraikanmu.” Aku menggeleng. “Untuk apa aku tetap ada di sini? Bukankah aku tidak bisa memberikan keturunan untuk keluargamu?” “Sudahlah, Rania jangan sok berlagak menjadi korban begitu. Seakan-akan kamu yang paling berjuang,” tukas ibu mertuaku. “Padahal di sini kamu yang tidak becus memberikan kami keturunan Danu.” Hatiku bergetar mendengar kata-kata itu. Aku menggeleng, menatap tidak percaya ke arah ibu mertua yang selama ini aku hormati. “Bu, saya tidak mandul,” ucapku. Meski masih terdengar gemetar, tapi aku berusaha terdengar tegas.“Tidak ada yang bermasalah dari saya. Hanya saja–” Ibu mertuaku mendengus. “Kalau tidak mandul, tidak mungkin kamu belum hamil sampai sekarang. Sudahlah!” Aku diam menatap wanita paruh baya itu. “Apakah memang fungsiku di sini hanya sebagai pencetak anak, Bu?” tanyaku lirih kemudian. “Apakah … semua yang keluarga ini lalui bersama saya … tidak ada artinya?” Dulu, saat aku pertama bertem