Share

bab 5. Tamu di malam hari

“Rania,” panggilnya, aku menoleh. 

Dia terdiam sejenak, matanya menatapku dengan intens, seolah sedang berusaha menilai seberapa dalam luka yang kurasakan. "Keluarga kecil?" Dia menghela napas pelan, senyumnya samar namun terlihat getir. "Rania... Aku hanya tinggal berdua dengan anakku sekarang. Istriku sudah pergi."

Perkataan itu menghentikan napasku. "Pergi?" Aku menatapnya dengan dahi berkerut, tak percaya. Aku selalu mengira Adrian punya kehidupan yang sempurna, dengan istri dan anak yang bahagia. Kenyataannya berbeda jauh dari bayanganku.

"Iya," lanjutnya, suaranya terdengar datar namun sarat dengan rasa sakit yang terpendam. "Dia selingkuh. Pergi meninggalkan kami."

Kata-katanya menusuk lebih dalam dari yang kubayangkan. Aku merasa dadaku sesak. Bagaimana bisa aku tidak tahu? Selama ini, aku menganggap Adrian bahagia, hidupnya sempurna, sementara hidupku terperangkap dalam pernikahan yang kini hancur berantakan. Dan di depan mataku, berdiri Adrian yang terluka sama parahnya, mungkin bahkan lebih.

"Adrian, aku... aku nggak tahu," jawabku pelan, suaraku gemetar. Ada rasa bersalah yang menggantung di udara, tak terucap namun begitu jelas terasa. Aku pernah menolaknya—pria yang sekarang berdiri di hadapanku, menawarkan kebaikan tanpa pamrih—sementara aku memilih cinta yang akhirnya menghancurkanku sendiri.

Dia tersenyum kecil, tapi senyum itu terasa hampa, seperti upaya untuk menyembunyikan rasa sakit yang tak terucap. "Nggak apa-apa, Rania. Itu sudah lama berlalu. Yang penting sekarang, kamu aman di sini. Kamu nggak perlu takut."

Aku merasa hatiku mulai retak lagi, bukan karena rasa sakitku sendiri, tapi karena menyadari bahwa kami berdua terluka dalam cara yang berbeda. "Tapi... Adrian, aku nggak mau merepotkanmu. Aku takut mengganggu kalian."

Dia menatapku, kali ini lebih serius, tapi tatapannya hangat. "Kamu nggak mengganggu, Rania. Malah, kami butuh kamu di sini. Rumah ini sudah terlalu sepi. Anak-anakku akan senang kalau ada kamu. Lagipula... setelah apa yang terjadi malam ini, kamu nggak bisa terus berjalan sendirian, tanpa tujuan. Dunia di luar sana terlalu keras."

Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Tatapan matanya begitu meyakinkan, tulus, seperti tempat perlindungan di tengah badai. Aku tahu dia benar—aku butuh tempat aman, dan entah bagaimana, meski rasa takut masih menggantung di hatiku, aku merasa bisa mempercayainya.

"Baiklah," bisikku akhirnya, menyerah pada kelembutan yang dia tawarkan. "Aku akan tinggal... untuk sementara."

Aku masih merasakan dinginnya malam menusuk kulit saat akhirnya masuk di rumah Adrian. Kepalaku menyapu seluruh ruangan, baru pertama kalinya aku melngkahkan kakiku ke rumah ini. Namun, aku merasa sedikit aneh, kenapa ada rasa nyaman yang menjalar di tubuhku. 

"Anakku sudah tidur," suara Adrian memecah lamunan. Ia tersenyum tipis, mengarahkanku ke kamar  di ujung lorong. "Namanya Aisyah. Dia baru empat tahun."

Aku melangkah pelan menuju pintu yang sedikit terbuka, dan di sana, aku melihat sosok mungil Aisyah, tertidur pulas. Selimutnya tersampir rapi, wajahnya damai. Aku tak bisa menahan perasaan hangat yang menjalar di dadaku, bercampur dengan kenangan pahit—mimpi tentang menjadi seorang ibu yang tak pernah terwujud.

"Dia anak yang manis," bisikku pelan, mengalihkan pandangan sebelum kenangan itu menggulungku lagi. Aku mundur perlahan, berusaha menelan kepahitan yang tiba-tiba menyeruak.

Adrian menyusulku dengan membawa kaos dan celana yang tampak kebesaran. "Pakai ini saja dulu. Maaf, aku cuma punya pakaian laki-laki."

Aku tersenyum sekilas dan mengangguk, menerima pakaian itu dengan rasa terima kasih. Dia menunjukkan kamar mandi, dan aku segera melangkah masuk, menutup pintu di belakangku. Di bawah pancuran air hangat, semua rasa letih dan debu hari panjang mulai luruh. Aku menutup mata, berusaha sejenak melupakan segala luka dan pengkhianatan yang baru saja kualami. Namun, rasa perih itu terus menghantui, menggulung, seolah menolak untuk benar-benar lenyap.

Ketika selesai, aku mendengar suara dari dapur. Aroma mie instan mulai merayap di udara. Aku tersenyum kecil dan segera menyusul ke arah suara. 

Dengan cepat aku membantu Adrian menyiapkan mangkuk. 

“Maaf ya, hanya ada ini malam ini, besok kita belanja, memenuhi kulkas yang telah lama kosong itu,” ajak Adrian dengan tangan pelan menuangkan mie kuah itu. 

“Heeem, keliatannya enak sekali.” Dengan cepat aku segera duduk di hadapannya. 

Adrian mendongak dari panci yang diaduknya, tersenyum kepadaku, dan di sana—lesung pipitnya terlihat jelas. Ada sesuatu yang memanas di dadaku, perasaan yang sulit kujelaskan. Aku membalas senyuman itu dengan sekilas senyum tipis, meski dalam hati, aku merutuk. Bagaimana mungkin pria setampan dan sebaik ini pernah aku disia-siakan oleh seseorang?Ditinggal selingkuh lagi. 

"Makanlah!" Adrian mendorong salah satu mangkuk mie ke arahku, aromanya yang menguar membuat perutku langsung merespons. 

Aku mengangguk cepat, merasa sedikit canggung. “Makasih.”

Saat aku mulai meraih sumpit, tiba-tiba ada ketukan keras di pintu depan. Suaranya memecah kehangatan di antara kami, seperti sirine yang tiba-tiba berdering di tengah malam yang tenang. Kami sama-sama tersentak, pandanganku beralih cepat ke arah Adrian yang sudah menoleh ke pintu dengan alis berkerut.

"Siapa yang datang malam-malam begini?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status