Bab 5. Ternyata …
Tiba-tiba, kilasan ingatan menerpa pikiranku. “Adrian!” aku hampir berteriak saat kesadaranku muncul. Dia adalah Adrian, teman kuliahku dulu. Kenangan itu terlintas dengan jelas—momen-momen saat kami duduk di kelas yang sama, tawa saat kami belajar kelompok, dan obrolan-obrolan ringan yang membuatnya terasa dekat.
Aku membelalak, kaget, dan mengernyitkan dahi. “Kamu Adrian? Teman kuliahku?” tanyaku, terkejut dengan perubahan yang jelas terlihat pada dirinya. Penampilannya jauh berbeda—lebih dewasa, lebih maskulin, dengan aura percaya diri yang baru. Bahkan sekarang tidak menggunakan kacamata seperti dulu.
Dia tersenyum tipis, seolah bisa merasakan kebingunganku. “Iya, itu aku. Rasanya seperti sudah lama sekali, kan?” jawabnya, nadanya santai meskipun matanya menunjukkan kebingungan yang sama.
Aku merasa jantungku berdegup lebih cepat, antara kaget dan bahagia bisa bertemu kembali dengan seseorang dari masa lalu. “Kau sudah berubah banyak,” ucapku, mencoba menahan senyum. “Dan... kamu tidak lagi terlihat seperti mahasiswa yang dulu.”
Adrian tertawa kecil, mengangguk setuju. “Ya, banyak yang berubah sejak saat itu.”
Aku menatap Adrian, dan sekejap kenangan itu kembali menghantui pikiranku. Rasa malu menyelimuti hatiku saat aku teringat bahwa aku pernah menolak dia saat dia ingin menyatakan perasaannya padaku.
“Adrian… maafkan aku,” ucapku, suaraku bergetar sedikit. Aku menunduk, ingat sekali, dulu aku sempat menolak saat dia menyatakan perasaannya kepadaku saat wisuda itu terjadi. dan aku ingat betul kalau aku lebih memilih Danu.
“Aku mengangguk, menyadari bahwa Adrian jauh lebih baik daripada yang dulu. Dia tampak lebih matang dan percaya diri, dan entah mengapa, itu membuatku merasa sedikit lega—sepertinya dia baik-baik saja meski aku pernah menolaknya.
Aku mengangguk, nyatanya Adrian jauh lebih baik daripada dulu, itu artinya dia pastinya baik-baik saja karena aku sempat menolaknya dulu.
Tiba-tiba, ibunya menarik lengan Adrian dan membuatnya terkejut. “Adrian, ayo kita bicara sebentar di luar,” katanya, menggerakkan kepalanya ke arah pintu.
Adrian menatapku sejenak, matanya menyiratkan permohonan maaf. “Maaf, Rania. Kita lanjutkan nanti, ya?” ucapnya, lalu mengikuti ibunya keluar dari ruangan.
Aku mengangguk, tapi aku sedikit menyadari dengan mimik wajah ibu adrian yang agak berbeda dengan tadi, ataukah ini hanya pikiran burukku saja.
“Kak, aku enggak menyangka ternyata kalian teman kuliah kak Adrian, malam ini kakak nginep saja ya di sini!” tawar lia dengan menggamit lenganku,
Aku hanya tersenyum, mengamati respon ibunya barusan, dan ditambah Keadaan diriku yang sama sekali tidak tahu tujuan pulang, bahkan sepeser rupiah pun tidak aku miliki dan benar seperti seorang gembel, membuatku bimbang untuk memutuskan.
Ibu Adrian kembali dan duduk di sofa, senyumnya tampak canggung. Adrian menyusul duduk di sebelahnya, menciptakan suasana yang tidak nyaman. “Maaf jika pembicaraan kami membuat suasana tidak nyaman. Rania, terima kasih sekali lagi karena telah membantu Lia,” ucapnya dengan nada berusaha ramah, meskipun ada ketegangan di wajahnya.
“Namun, ini sudah larut malam. Tidak enak kalau lama-lama di sini,” lanjutnya, sedikit ragu.
Aku mengangguk, paham dengan keinginan ibu Adrian yang menginginkan aku untuk segera pulang. Momen ini semakin membuatku ingin melarikan diri dari rasa canggung yang menyelimuti.
Tiba-tiba, Lia berbicara dengan penuh semangat, “Tapi, bagaimana kalau Mbak Rania tidur di sini? Mama pasti setuju, kan?”
Ekspresi ibunya seketika berubah, menatap Lia dengan campur aduk, seperti emosi bercampur sungkan.
Melihat ketegangan di wajah ibunya, aku membuka suara, berusaha meredakan suasana. “Terima kasih, Lia, tapi saya lebih baik pulang saja. Tidak enak juga kalau saya menginap, nanti bisa menimbulkan fitnah,” jawabku sambil mencoba tersenyum.
“Iya, Mama juga setuju dengan apa yang diucapkan Rania,” Ibu Adrian menimpali, menatapku dengan harapan yang samar.
Aku mengangguk, merasakan keputusan itu sebagai jalan terbaik. Bangkit berdiri, aku berkata, “Saya izin pamit ya, Bu. Terima kasih untuk tehnya.”
Aku bangkit berdiri.
“Biar aku antar!” tawar Adrian ikut bangkit.
“Tidak Adrian, biar dia diantar sama sopir kita, kamu juga baru sampai rumah,” sergah ibunya dengan wajah menegang.
“Bu, tidak apa-apa. Aku bisa pulang sendiri,” ucapku, berusaha untuk mengurangi ketegangan yang semakin mencekam.
Adrian menatapku dengan mata penuh harap, tetapi ibunya tampak lebih tegas. “Aku tidak mau kamu berisiko, Rania. Mungkin lebih baik kamu pulang dengan sopir saja,” jawabnya langsung.
Mendengar itu, jantungku berdegup semakin kencang. Aku tidak tahu harus bagaimana. Perasaan bingung dan canggung merayapi pikiranku. “Tapi…,” aku mulai, tetapi suaraku seolah tertahan.
“Bu, sudahlah, biar aku aja yang antar!”
“Adrian, cukup! Kita tidak perlu memperdebatkan ini,” tegas ibunya. Terdengar nada frustasi yang mengendap dalam suaranya, membuatku semakin ragu. aku sedikit curiga dengan sikap ibu yang tiba-tiba dingin, seperti tidak menyukaiku, apalagi setelah aku meminta maaf sama Adrian tadi.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan gejolak di hatiku. “Baiklah, kalau begitu,” kataku pelan, tidak ingin memperpanjang konflik ini. “Terima kasih sekali lagi, Bu. Semoga kita bisa berbicara lagi lain waktu.”
Ibu Adrian mengangguk, meskipun senyumnya terlihat dipaksakan. “Tentu, Rania. Hati-hati di jalan.”
Aku melangkah ke arah pintu, berusaha menutup babak canggung ini. Namun, saat melewati Adrian, aku tidak bisa menahan diri untuk menatapnya.Lalu aku segera menunduk, dan melangkah cepat keluar, dan sudah ditunggu oleh seseorang, mungkin sopir pribadi mereka.
“Mari saya antar!”
Aku mengangguk. “Terima kasih, Pak.”
“Alamatnya di mana, Mbak?” tanya bapak itu begitu kami sudah berada di mobil.
Aku terdiam, sekarang aku harus pulang ke mana? Tidak mungkin ke orangtuaku yang harus menempuh perjalanan berkilo-kilo meter.
“Ke masjid terdekat saja, Pak,” ucapku memutuskan.
Lebih baik seperti ini, malam ini aku tidur di masjid, baru esoknya mikir bagaiman cara mencari ongkos untuk pulang atautidak mencari tempat tinggal sementara di sini.
Mobil mulai melaju, dan tidak lama, mobil berhenti tepat di depan masjid. “Yakin cuma di sini saja, Mbak?” tanya Pak sopir itu ragu.
Aku mengangguk dan kemudian turun dari mobil. Begitu mobil melesat pergi, aku menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan.
Aku berbalik, mendongak menatap masjid ini, semoga saja, aku tidak menimbulkan masalah kalau bermalam di sini.
Bismillah!
Aku melangkah naik tangga, dan hendak membuka pintu, dan begitu menariknya, aku mengendurkan pegangan begitu tahu kalau pintu ini terkunci. Ya allah, tidak mungkin aku tidur di teras ini tanpa penghalang apapun, apalagi langsung menghadap jalan utama, pasti bakal menarikbanyak perhatian orang yang lewat. Duh, gimana ini?
.
Aku mendengar suara klakson pelan mengagetkanku. Dengan cepat, aku berbalik, menatap mobil lain yang baru parkir di halaman masjid ini. Aku menahan napas. Seharusnya tidak ada orang yang mengenalku di sini, apalagi di tempat yang seharusnya menjadi pelarian sejenak dari hiruk-pikuk hidupku.Aku diam, hanya bisa mengamati saat pemilik mobil itu keluar. Dan ketika sosok itu muncul dari balik pintu, napasku terhenti sejenak. Adrian…“Katakan padaku, apa yang terjadi denganmu sekarang!” tanya Adrian, suaranya mengandung nada cemas saat ia langsung menarik lenganku dan membawaku ke mobilnya. Aku tak berdaya melawan.“Adrian, kenapa menyusulku?” tanyaku sedikit syok, tak dapat menyembunyikan kegugupan yang menyusup ke dalam suaraku.Dia menatapku dengan mata yang dalam. “Aku tidak bisa hanya membiarkanmu pergi begitu saja. Aku merasa ada yang tidak beres, dan aku tidak bisa hanya duduk diam tanpa mencari tahu.”Mendengar kata-katanya, hatiku bergetar. Dia tidak hanya mencemaskan keadaanku;
Mobil melaju dengan cepat, terkadang melambatsaat menemui jalanan yang ramai atau tikungan tajam. Sepanjang perjalanan, percakapan kami terhenti, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Aku masih terbayang pada kata-kata Adrian dan Liana, perasaan campur aduk antara harapan dan keraguan menguasai pikiranku. Tak lama kemudian, mobil memasuki halaman hotel yang cukup mewah, tempat yang tampaknya sudah disiapkan Adrian untukku agar bisa tinggal sementara.Adrian memarkir mobil dan menoleh ke arahku. “Coba istirahat dulu di sini, Rania. Kamu butuh tempat yang nyaman sebelum menentukan apa langkah selanjutnya.”Aku mengangguk, merasa ragu untuk menerima kebaikan ini, tapi terlalu lelah untuk menolak. “Terima kasih, Adrian,” gumamku dengan suara rendah.“Liana, kamu temani dan iku ttidur di sini ya,” cetus Adrian. “Ah, tidak! Tidak! Saya enggak papa di sini sendiri, Adrian, biarkan Liana istirahat di rumah, dia juga butuh menenangkan diri,” sanggahku langsung. “Kamu yakin engga
Degup jantungku kian kencang, dan jemariku mencengkeram erat tali tas yang kugenggam. Ada rasa takut dan benci yang bercampur jadi satu. Seharusnya dia tidak ada di sini. Mengapa dia datang? Kenapa sekarang, saat aku baru ingin kembali menguatkan diriku?Kakiku seperti tertahan di tanah, enggan melangkah maju atau bahkan bergerak. Aku menelan ludah, mencoba mengendalikan napas yang kini terasa berat dan tak teratur. Pandanganku terasa kabur, tubuhku kaku, dan dadaku serasa sesak.“Apa yang dia lakukan di sini?” bisikku dalam hati, hampir tidak mampu mengeluarkan suara. Rasa sakit yang masih belum mengering ini masih terasa di hati.Aku menatap mobil itu dengan tatapan kosong, otakku bekerja keras mencoba memahami alasan kehadirannya. Bayangan tentang semua kenangan buruk bersama Danu kembali menghantuiku. Semua perasaan terluka, rasa kecewa, dan pengkhianatan yang kubawa selama ini, seolah berkumpul lagi dalam satu detik yang sangat mencekam ini.Aku menguatkan diri, berusaha menarik
Ibu menatapku dalam diam, matanya sendu, namun tatapannya dingin. Harapanku mendadak runtuh ketika dia hanya menarik napas panjang, seolah sedang memutuskan sesuatu dalam pikirannya. Akhirnya, dengan suara pelan namun tajam, Ibu berkata, "Rania, kamu tahu kan keluarga kita ini sudah cukup susah. Kamu tinggal dengan suamimu, jangan pulang dengan keluhan yang hanya bikin susah keluarga sendiri."Aku terpaku. Rasanya seolah ada yang menusuk jauh ke dalam dada. Seketika semua kekuatan yang kupunya lenyap. Ibu, orang yang kupikir akan berdiri di sisiku, justru mengabaikan luka yang selama ini kusembunyikan."Ibu, apakah Ibu tidak melihat apa yang sudah aku lalui selama ini? Aku sudah bertahan… terlalu lama." Suaraku hampir tenggelam, bergetar menahan perasaan yang terus menggelegak di dalam hati."Ibu paham, Rania… Tapi bagaimanapun, pernikahan itu harus dijalani, bukan malah dihindari. Danu suami yang baik, mungkin kamu saja yang terlalu cepat merasa lelah," jawabnya tanpa keraguan, seol
Tangan kupegang erat, mencoba menahan gemetar yang semakin menguasai tubuhku. Aku berjalan menuju pintu, mengabaikan tatapan mereka. Perasaanku sudah mati rasa. Aku melangkah keluar dari rumah itu dengan air mata yang terus mengalir. Setiap tetesnya adalah hasil dari segala pengorbanan yang tak pernah dihargai. Aku berjalan menuju hotel yang disewakan Adrian, berharap bisa menemukan sedikit kedamaian di sana, meski hatiku begitu hancur.Aku tahu, aku tidak boleh terpuruk lama-lama. Jika mereka sudah tidak menginginkanku, jika mereka takut aku hanya akan menjadi beban, aku akan pergi. Mungkin aku tidak akan pernah kembali, tapi jujur, ini sangat menyakitkan. Mengetahui bahwa keluarga lebih memilih untuk memihak orang lain, bukan aku, anak mereka sendiri.Aku berhenti sejenak di tengah jalan, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Rasanya seperti ada sesuatu yang terlepas dari dadaku, meski rasa sakit itu tak kunjung hilang. Setiap langkah yang kuambil terasa lebih bera
Ibu mertuaku, yang sebelumnya kuharapkan tidak akan ada di sini, kini berdiri di tengah kamar dengan ekspresi gugup. Tangannya gemetar sedikit, dan sepertinya dia baru saja melemparkan sebuah baju yang tadi sempat dia ambil dari lemari milikku.“Ka—kamu ngapain balik lagi ke sini?” Teguran ibu mertuaku terdengar cemas, nada suaranya semakin tinggi, bahkan sedikit gemetar. Dia bangkit berdiri dengan cepat, wajahnya tampak bingung, seolah mencoba mencari-cari alasan untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi. Matanya bergerak liar, mencuri pandang ke segala arah, seolah takut ada yang akan mengetahuinya.Aku menatapnya dengan tenang, meskipun hatiku masih terasa sakit. “Kenapa? Ada yang salahkah, tadi putramu meminta aku untuk kembali, lho. Ibu tidak tahu ya?” jawabku dengan nada yang tak terlalu keras, namun tegas. Ibu mertuaku tampak terkejut mendengar jawabanku, bibirnya terbuka, namun tidak ada kata-kata yang keluar. Dia tampaknya berusaha menenangkan dirinya sendiri, namun aku tah
Aku sedang duduk di tepi ranjang hotel, menatap amplop cokelat berisi dokumen-dokumen penting yang baru saja kususun rapi. Pikiran masih berkecamuk, mencoba menyusun rencana apa yang harus kulakukan selanjutnya. Namun, lamunanku terhenti oleh suara ketukan di pintu.Awalnya, aku mengira itu housekeeping, tapi ketika kubuka, sosok Adrian berdiri di sana."Adrian?" tanyaku pelan, terkejut melihatnya. Dia tersenyum tipis, tangan kanannya memegang kantong kertas yang tampak berat."Aku cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja," katanya, nadanya hangat. "Boleh masuk?"Aku mengangguk, membuka pintu lebih lebar. Adrian masuk dengan langkah tenang, matanya menyapu kamar sederhana itu. Dia duduk di kursi di sudut ruangan, lalu menyerahkan kantong kertas itu padaku."Apa ini?" tanyaku sambil mengernyit, menatap kantong itu dengan ragu.“Cuma beberapa hal kecil. Aku pikir kamu perlu ini,” katanya santai.Aku membuka kantong itu perlahan. Di dalamnya ada setelan pakaian formal, sepatu baru, dan t
"Rania," katanya sambil memutar cangkir kopinya. "Setelah semua ini, aku ingin kamu bisa berdiri sendiri, tanpa bergantung pada siapa pun. Itu termasuk aku.Aku terkejut mendengar kata-katanya, tapi aku tahu dia benar. Dia telah melakukan banyak hal untukku, lebih dari yang aku bayangkan. Aku tidak bisa selamanya mengandalkan Adrian."Kamu sudah memberiku awal baru, Adrian. Aku akan mencoba untuk melanjutkannya sendiri," kataku dengan nada pelan tapi mantap.Adrian tersenyum, terlihat puas dengan jawabanku. "Itulah Rania yang aku kenal. Mulai besok, ada wawancara kerja untukmu. Aku sudah merekomendasikanmu ke salah satu perusahaan yang aku tahu membutuhkan orang dengan keahlianmu."Aku mengerutkan kening. "Kamu merekomendasikan aku? Adrian, aku tidak ingin pekerjaan itu karena koneksi. Aku ingin mendapatkan semuanya dengan usahaku sendiri."Dia mengangguk, seolah sudah mengantisipasi responsku. "Aku paham, dan aku menghormati itu. Tapi ingat, rekomendasi hanya pintu masuk. Sisanya ter
Aku mencoba menegakkan wajah, sadar akan satu hal, aku di sini cuma akting, tidak perlu dibawa perasaan. “Sepertinya Kak Danar lebih tertarik kepadaku ya, terlihat dari rasa penasarannya,” ujarku dengan senyum lebar, mencoba memasang wajah percaya diri meskipun di dalam hati aku masih goyah.Danar—yang tadi begitu lantang mengkritik—terlihat sedikit terkejut dengan responsku. Alisnya terangkat, tapi dia cepat-cepat menyembunyikan keterkejutannya dengan mendengus pelan.“Menarik? Hah, jangan salah paham. Aku hanya memastikan Adrian tidak salah langkah,” balasnya dengan nada dingin, meskipun aku bisa melihat sorot matanya sedikit berubah.Aku tersenyum kecil, berusaha tetap tenang. “Kalau begitu, terima kasih atas perhatian Kakak. Saya pastikan, Adrian tidak salah memilih.”Suasana sejenak terasa kaku. Adrian menatapku, matanya berbinar, seolah kagum dengan keberanianku menjawab balik.“Rania, kamu bisa atasi ini?” bisiknya pelan, hanya cukup untuk kudengar.Aku mengangguk sedikit, me
“Ini Rania, Bu,” potong Adrian cepat. “Pacarku.”Aku mencoba tersenyum sopan, dan mencoba menyesuaikan diri. “Oh, jadi ini Rania,” ujar wanita itu sambil mengamati penampilanku dari atas ke bawah. “Masuklah, semuanya sudah menunggu.”Aku melirik Adrian dengan perasaan campur aduk. Dia membalas tatapanku dengan senyum meyakinkan, seolah-olah ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi aku tahu, malam ini baru saja dimulai, dan rasanya ini akan jadi malam yang panjang.Langkahku memelan begitu sampai ke ruang utama, terlihat begitu banyak orang yang sudah duduk di sana dan saling bercengkrama, aku, aku mendadak merasa semakin kerdil rasanya. Aku mencengkeram lengan Adrian semakin kuat, nyaris membuatnya meringis kecil. Tapi dia hanya membalas dengan menyentuh tanganku, menyalurkan kehangatan dan ketenangan yang berusaha dia tawarkan.“Tenang saja, ini hanya pura-pura, oke?” bisiknya pelan, hampir seperti janji.Aku mengangguk kecil, meskipun hatiku masih terasa seperti b
Malam pun tiba, dan Sabrina tidak main-main dengan kata-katanya. Di kamarnya yang kecil tapi rapi, dia mengatur segala perlengkapan make-up di meja. Aku hanya bisa duduk di kursi kecil, sementara Sabrina sibuk merias wajahku dengan telaten.“Rania, kamu harus ingat satu hal,” katanya sambil memulas pipiku dengan blush on. “Percaya diri. Kamu itu cantik, kok, cuma selama ini kamu terlalu menyembunyikan diri di balik kaos dan celana biasa.”Aku tertawa kecil, meski jujur, jantungku berdegup kencang. “Sab, aku cuma takut ini terlalu berlebihan. Lagian, Adrian itu atasan, aku nggak mau ini jadi bahan omongan.”Sabrina meletakkan kuasnya, menatapku serius. “Denger, ya, Rania. Adrian itu ngajak kamu makan malam bukan karena sekadar basa-basi. Percaya deh, dia lihat sesuatu yang spesial dari kamu. Jadi tolong, berhenti merendahkan diri sendiri.”Kata-katanya membuatku terdiam. Aku menghela napas panjang, mencoba meredakan kegugupan yang membuncah.Setelah hampir satu jam, Sabrina akhirnya se
Pagi itu aku terbangun lebih awal dari biasanya, mataku menatap sekeliling kamar yang sepi dan hampir tanpa barang. Rasanya aku sudah tidak sanggup lagi untuk tinggal di sini. Mungkin seminggu lagi terasa terlalu lama. Aku Aku berbaring sejenak, merenung. Sepertinya aku harus memberitahu Sabrina nanti, aku akan pindah ke kostnya besok pagi. Mungkin itu solusi terbaik untuk sementara waktu. Aku akhirnya bangkit dari ranjang, mengusap wajahku. Pagi ini, aku merasa sedikit lebih bersemangat untuk memulai hari. Ada pekerjaan yang menunggu, dan aku perlu memastikan segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Setelah membersihkan diri, aku cepat-cepat bersiap, berharap bisa tiba lebih awal di kantor. Ada beberapa hal yang harus aku lakukan, dan aku ingin meluangkan waktu untuk mencari sarapan di sekitar kantor, aku juga sudah mulai terbiasa dengan rutinitas ini—hidup mandiri, jauh dari keluarga, dan mencoba bertahan hidup dengan cara yang paling realistis.Aku mengambil dompet dari meja, me
Besoknya, Sabrina menepati janjinya untuk menemaniku mencari kost. Meskipun sepanjang perjalanan dia terus bercerita tentang pengalaman-pengalamannya yang seru, pikiranku masih melayang pada tawarannya untuk berbagi kamar.Kami berhenti di depan sebuah bangunan kecil yang tampak nyaman. Sabrina menunjuk ke salah satu jendela di lantai dua.“Itu kamar kostku, Rania. Lihat? Enggak terlalu besar, tapi cukup nyaman. Kalau kita sekamar, aku yakin bakal lebih hidup.”Aku tersenyum kecil. “Sepertinya memang nyaman, Sabrina.”Setelah selesai melihat-lihat, Sabrina mengantarku ke depan bangunan. “Oke, Rania, aku enggak mau maksa, tapi tolong dipikirkan, ya. Aku serius banget mau kamu jadi roommate-ku.”Aku mengangguk, merasa bersyukur memiliki Sabrina sebagai teman. “Aku pasti pikirkan, Sabrina. Terima kasih sudah menawarkan.”Malam itu, aku duduk di hotel yang masih disewakan Adrian. Ponselku berbunyi, menampilkan pesan baru dari Adrian.[Bagaimana harimu? Semoga semuanya berjalan lancar. Jan
Akhirnya kami memutuskan untuk mencari warung makan dulu sebelum mencari kost- kostan. Di tempat makan, Sabrina langsung memilih tempat di sudut yang cukup tenang, seolah tahu bahwa percakapan ini butuh ruang khusus. Dia menatapku penuh harap, sambil memindahkan gelas air mineralnya ke sisi meja.“Jadi, siapa dia? Mantan pacar? Atau mantan suami?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi.Aku terdiam sejenak, meresapi pertanyaannya. Sabrina memang terlalu blak-blakan, tapi kejujuran yang ia tawarkan membuatku merasa cukup nyaman untuk bicara. “Danu... dia mantan suamiku,” akhirnya aku mengakui, menatap langsung ke arah Sabrina.Mata Sabrina membelalak kaget. “Mantan suami? Jadi kamu sudah menikah sebelumnya?”Aku mengangguk pelan. “Ya, aku pernah menikah dengannya. Tapi semuanya berakhir... tidak baik.”Sabrina menghela napas panjang, seolah mencoba mencerna informasi itu. “Dan Denada? Dia yang sekarang bersamanya?”“Iya,” jawabku sambil tersenyum getir. “Bisa dibilang, dia salah satu alas
“Rania?”Aku menoleh, dan Adrian berdiri di sana, di dekat meja kerjaku. Aku terkejut. “Adrian? Kenapa ke sini lagi?”Dia tersenyum tipis, matanya menatapku dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. “Kebetulan aku sedang ada rapat di lantai ini. Aku cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja.”Aku terdiam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku baik-baik saja. Terima kasih, Adrian.”Dia mengangguk, lalu berkata, “Bagus kalau begitu. Tapi jangan lupa, kalau ada apa-apa, aku di sini.”Suaranya begitu tulus, dan entah mengapa, aku merasakan dorongan semangat baru. Setelah dia pergi, aku kembali menatap layar ponselku, membaca pesan-pesan tadi. Kali ini, senyum kecil terlukis di wajahku. Mungkin, hanya mungkin, aku tidak benar-benar sendiri lagi.Hari menanjak naik, akhirnya hari pertama kerja terlewati juga. Aku merenggangkan otot sejenak, sebelum akhirnya bersiap pulang. “Ayo kita keliling sekarang!” ajak Sabrina penuh semangat, menggandeng lenganku dengan antusias.Aku mengang
Aku menatap Sabrina dengan bingung. “Iri? Kenapa kamu bilang begitu?” tanyaku, mencoba menahan tawa kecil.Sabrina mencondongkan tubuh ke arahku, suaranya setengah berbisik. “Karena Adrian, siapa lagi?”“Adrian?” Aku mengerutkan dahi, masih belum paham arah pembicaraannya.Sabrina mengangguk cepat, matanya berbinar seperti sedang menyampaikan gosip paling menarik di dunia. “Iya! Kamu tahu kan dia siapa?”Aku menggeleng pelan, bingung dengan reaksinya. “Ya, dia teman lamaku. Kenapa memangnya?”Sabrina mendengus, lalu menatapku seperti aku baru saja mengatakan sesuatu yang sangat bodoh. “Dia atasan kita, Rania. Salah satu pemegang saham di sini. Dan tadi... dia berjalan langsung ke meja kamu. Semua orang pasti iri!”Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi itu. Adrian? Pemegang saham? Aku benar-benar tidak tahu apa-apa soal itu.“Kamu enggak bercanda, kan?” tanyaku pelan.“Mana mungkin aku bercanda soal hal sepenting ini? Dia jarang banget turun langsung ke lantai ini, apalagi be
Aku menatap wanita itu dari atas ke bawah, memastikan apa yang kulihat benar adanya. Ya, memang dia. Wanita yang pernah datang ke rumah Danu dengan penuh percaya diri, seolah-olah memiliki hak atas segalanya.“Wah, jadi kamu ke sini untuk mengikuti aku, ya?” cetusnya tiba-tiba, dengan nada penuh ejekan.Aku mengerutkan kening, masih berusaha mencerna situasi ini, sementara dia melangkah mendekat dengan senyum sinis menghiasi wajahnya.“Lihat, setelah suaminya meninggalkannya, dia pasti ke sini untuk mengejar aku,” lanjutnya tanpa ragu. “Duh, kasihan sekali. Benar-benar menyedihkan.”Beberapa rekan kerja yang tadi sibuk dengan percakapan masing-masing kini berhenti, menatap kami berdua dengan rasa penasaran yang tidak bisa disembunyikan. Aku bisa merasakan mata mereka yang mulai bergulir, menilai situasi ini.Aku menarik napas dalam, menahan emosi yang mulai bergejolak. Tidak, aku tidak akan jatuh ke dalam jebakan ini. Tidak kali ini.“Aku ke sini untuk bekerja, bukan untuk hal-hal yan