“Rania,” panggilnya, aku menoleh.
Dia terdiam sejenak, matanya menatapku dengan intens, seolah sedang berusaha menilai seberapa dalam luka yang kurasakan. "Keluarga kecil?" Dia menghela napas pelan, senyumnya samar namun terlihat getir. "Rania... Aku hanya tinggal berdua dengan anakku sekarang. Istriku sudah pergi."
Perkataan itu menghentikan napasku. "Pergi?" Aku menatapnya dengan dahi berkerut, tak percaya. Aku selalu mengira Adrian punya kehidupan yang sempurna, dengan istri dan anak yang bahagia. Kenyataannya berbeda jauh dari bayanganku.
"Iya," lanjutnya, suaranya terdengar datar namun sarat dengan rasa sakit yang terpendam. "Dia selingkuh. Pergi meninggalkan kami."
Kata-katanya menusuk lebih dalam dari yang kubayangkan. Aku merasa dadaku sesak. Bagaimana bisa aku tidak tahu? Selama ini, aku menganggap Adrian bahagia, hidupnya sempurna, sementara hidupku terperangkap dalam pernikahan yang kini hancur berantakan. Dan di depan mataku, berdiri Adrian yang terluka sama parahnya, mungkin bahkan lebih.
"Adrian, aku... aku nggak tahu," jawabku pelan, suaraku gemetar. Ada rasa bersalah yang menggantung di udara, tak terucap namun begitu jelas terasa. Aku pernah menolaknya—pria yang sekarang berdiri di hadapanku, menawarkan kebaikan tanpa pamrih—sementara aku memilih cinta yang akhirnya menghancurkanku sendiri.
Dia tersenyum kecil, tapi senyum itu terasa hampa, seperti upaya untuk menyembunyikan rasa sakit yang tak terucap. "Nggak apa-apa, Rania. Itu sudah lama berlalu. Yang penting sekarang, kamu aman di sini. Kamu nggak perlu takut."
Aku merasa hatiku mulai retak lagi, bukan karena rasa sakitku sendiri, tapi karena menyadari bahwa kami berdua terluka dalam cara yang berbeda. "Tapi... Adrian, aku nggak mau merepotkanmu. Aku takut mengganggu kalian."
Dia menatapku, kali ini lebih serius, tapi tatapannya hangat. "Kamu nggak mengganggu, Rania. Malah, kami butuh kamu di sini. Rumah ini sudah terlalu sepi. Anak-anakku akan senang kalau ada kamu. Lagipula... setelah apa yang terjadi malam ini, kamu nggak bisa terus berjalan sendirian, tanpa tujuan. Dunia di luar sana terlalu keras."
Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Tatapan matanya begitu meyakinkan, tulus, seperti tempat perlindungan di tengah badai. Aku tahu dia benar—aku butuh tempat aman, dan entah bagaimana, meski rasa takut masih menggantung di hatiku, aku merasa bisa mempercayainya.
"Baiklah," bisikku akhirnya, menyerah pada kelembutan yang dia tawarkan. "Aku akan tinggal... untuk sementara."
Aku masih merasakan dinginnya malam menusuk kulit saat akhirnya masuk di rumah Adrian. Kepalaku menyapu seluruh ruangan, baru pertama kalinya aku melngkahkan kakiku ke rumah ini. Namun, aku merasa sedikit aneh, kenapa ada rasa nyaman yang menjalar di tubuhku.
"Anakku sudah tidur," suara Adrian memecah lamunan. Ia tersenyum tipis, mengarahkanku ke kamar di ujung lorong. "Namanya Aisyah. Dia baru empat tahun."
Aku melangkah pelan menuju pintu yang sedikit terbuka, dan di sana, aku melihat sosok mungil Aisyah, tertidur pulas. Selimutnya tersampir rapi, wajahnya damai. Aku tak bisa menahan perasaan hangat yang menjalar di dadaku, bercampur dengan kenangan pahit—mimpi tentang menjadi seorang ibu yang tak pernah terwujud.
"Dia anak yang manis," bisikku pelan, mengalihkan pandangan sebelum kenangan itu menggulungku lagi. Aku mundur perlahan, berusaha menelan kepahitan yang tiba-tiba menyeruak.
Adrian menyusulku dengan membawa kaos dan celana yang tampak kebesaran. "Pakai ini saja dulu. Maaf, aku cuma punya pakaian laki-laki."
Aku tersenyum sekilas dan mengangguk, menerima pakaian itu dengan rasa terima kasih. Dia menunjukkan kamar mandi, dan aku segera melangkah masuk, menutup pintu di belakangku. Di bawah pancuran air hangat, semua rasa letih dan debu hari panjang mulai luruh. Aku menutup mata, berusaha sejenak melupakan segala luka dan pengkhianatan yang baru saja kualami. Namun, rasa perih itu terus menghantui, menggulung, seolah menolak untuk benar-benar lenyap.
Ketika selesai, aku mendengar suara dari dapur. Aroma mie instan mulai merayap di udara. Aku tersenyum kecil dan segera menyusul ke arah suara.
Dengan cepat aku membantu Adrian menyiapkan mangkuk.
“Maaf ya, hanya ada ini malam ini, besok kita belanja, memenuhi kulkas yang telah lama kosong itu,” ajak Adrian dengan tangan pelan menuangkan mie kuah itu.
“Heeem, keliatannya enak sekali.” Dengan cepat aku segera duduk di hadapannya.
Adrian mendongak dari panci yang diaduknya, tersenyum kepadaku, dan di sana—lesung pipitnya terlihat jelas. Ada sesuatu yang memanas di dadaku, perasaan yang sulit kujelaskan. Aku membalas senyuman itu dengan sekilas senyum tipis, meski dalam hati, aku merutuk. Bagaimana mungkin pria setampan dan sebaik ini pernah aku disia-siakan oleh seseorang?Ditinggal selingkuh lagi.
"Makanlah!" Adrian mendorong salah satu mangkuk mie ke arahku, aromanya yang menguar membuat perutku langsung merespons.
Aku mengangguk cepat, merasa sedikit canggung. “Makasih.”
Saat aku mulai meraih sumpit, tiba-tiba ada ketukan keras di pintu depan. Suaranya memecah kehangatan di antara kami, seperti sirine yang tiba-tiba berdering di tengah malam yang tenang. Kami sama-sama tersentak, pandanganku beralih cepat ke arah Adrian yang sudah menoleh ke pintu dengan alis berkerut.
"Siapa yang datang malam-malam begini?"
Bab 1: Hasil yang Dinanti Alat tes kehamilan di tanganku masih belum menunjukkan hasilnya. Meski begitu, aku sudah tahu. Hasilnya tidak seperti yang diharapkan oleh semua orang. Di luar kamar, aku bisa mendengar percakapan lirih dari ruang tamu. Suara ibu mertuaku, tegas dan penuh harap, berdengung seperti suara lebah yang terus mengitari pikiranku. Suara itu juga yang mendesakku untuk melakukan tes kehamilan secara berkala, sekaligus dengan bebas mengutarakan keinginannya agar aku bisa memberikan keturunan laki-laki untuk keluarga ini. Aku duduk di tepi tempat tidur, menggenggam alat kecil itu dengan tangan gemetar. Mengamati testpack di tanganku hingga hasilnya muncul dengan debar yang makin tak karuan, makin membuat dadaku sesak. Perlahan, sebuah garis muncul di alat tersebut. Negatif. Sudah kuduga. Tiba-tiba. pintu kamar terbuka sedikit. Wajah ibu mertuaku muncul di celah pintu. Tatapannya tajam, nyaris tak sabar. "Sudah?" tanyanya, tak sabar. Aku mengangguk perlahan, bib
Aku mungkin akan menikah lagi, ya. Tapi aku tidak akan menceraikanmu.” Aku menggeleng. “Untuk apa aku tetap ada di sini? Bukankah aku tidak bisa memberikan keturunan untuk keluargamu?” “Sudahlah, Rania jangan sok berlagak menjadi korban begitu. Seakan-akan kamu yang paling berjuang,” tukas ibu mertuaku. “Padahal di sini kamu yang tidak becus memberikan kami keturunan Danu.” Hatiku bergetar mendengar kata-kata itu. Aku menggeleng, menatap tidak percaya ke arah ibu mertua yang selama ini aku hormati. “Bu, saya tidak mandul,” ucapku. Meski masih terdengar gemetar, tapi aku berusaha terdengar tegas.“Tidak ada yang bermasalah dari saya. Hanya saja–” Ibu mertuaku mendengus. “Kalau tidak mandul, tidak mungkin kamu belum hamil sampai sekarang. Sudahlah!” Aku diam menatap wanita paruh baya itu. “Apakah memang fungsiku di sini hanya sebagai pencetak anak, Bu?” tanyaku lirih kemudian. “Apakah … semua yang keluarga ini lalui bersama saya … tidak ada artinya?” Dulu, saat aku pertama bertem
“Dia pasti kekasih barunya,” tebakku dalam hati, merasakan jantungku berdebar. Rasa sakit di dadaku semakin dalam saat aku menyadari bahwa aku sedang melihat wanita yang menggantikan posisiku di hidup Danu. Gadis itu berjalan mendekat, tampak penuh percaya diri, seolah-olah dia telah menjadi bagian dari keluarga ini sejak lama. Ia menatapku dengan senyum yang penuh arti, seolah mengetahui betapa hancurnya hatiku saat ini.“Halo, kamu pasti Rania,” katanya, suaranya ceria dan menggoda. “Danu sering bercerita tentangmu.”Aku hanya bisa menatapnya, mulutku terasa kering. “Dia memang suka bercerita,” jawabku, mencoba untuk tidak menunjukkan betapa hancurnya aku. “Kamu harus tahu, aku sangat menghargai semua yang telah kamu lakukan untuk Danu.” Dia melanjutkan, nada suaranya manis tapi penuh kepalsuan. “Tapi, aku rasa sudah saatnya kamu memberi jalan untuk kami berdua.”“Sudah berapa lama kaliaan berhubungan di belakangku?” tanyaku pelan, setenang mungkin. Dia tersenyum lebar, menatapk
“Tolong! Siapa pun! Tolong!” teriakku, suaraku pecah dalam ketakutan yang melumpuhkan.Tiba-tiba, sebuah bayangan besar muncul dari kegelapan. Sebelum aku sempat mencerna apa yang terjadi, salah satu pria yang memegangku terpental ke belakang. Jeritan marah menggema di udara. Aku melihat seorang pria tak dikenal dengan wajah penuh amarah menghantam salah satu dari mereka dengan keras.“Berhenti!” suaranya rendah namun penuh ancaman, membuat kedua pria itu tertegun sesaat. Tak membuang waktu, lelaki itu menyerang lagi, kali ini lebih cepat, lebih keras. Aku hanya bisa terpaku, tubuhku gemetar tanpa kendali.Salah satu dari penyerangku terhuyung, kemudian berlari meninggalkan temannya yang sudah ambruk. Preman yang tersisa mencoba melawan, tetapi pukulan keras dari pria misterius itu membuatnya jatuh tak berdaya.“Apa kamu baik-baik saja?” suara itu akhirnya menyentuh kesadaranku. Aku menoleh, pria itu kini berdiri di hadapanku, wajahnya masih tegang, tapi ada ketulusan di matanya.Aku