“Tolong! Siapa pun! Tolong!” teriakku, suaraku pecah dalam ketakutan yang melumpuhkan.
Tiba-tiba, sebuah bayangan besar muncul dari kegelapan. Sebelum aku sempat mencerna apa yang terjadi, salah satu pria yang memegangku terpental ke belakang. Jeritan marah menggema di udara. Aku melihat seorang pria tak dikenal dengan wajah penuh amarah menghantam salah satu dari mereka dengan keras.
“Berhenti!” suaranya rendah namun penuh ancaman, membuat kedua pria itu tertegun sesaat. Tak membuang waktu, lelaki itu menyerang lagi, kali ini lebih cepat, lebih keras. Aku hanya bisa terpaku, tubuhku gemetar tanpa kendali.
Salah satu dari penyerangku terhuyung, kemudian berlari meninggalkan temannya yang sudah ambruk. Preman yang tersisa mencoba melawan, tetapi pukulan keras dari pria misterius itu membuatnya jatuh tak berdaya.
“Apa kamu baik-baik saja?” suara itu akhirnya menyentuh kesadaranku. Aku menoleh, pria itu kini berdiri di hadapanku, wajahnya masih tegang, tapi ada ketulusan di matanya.
Aku terisak, lelah, dan tak mampu berkata apa-apa. Seluruh tubuhku gemetar hebat. Hanya bisa mengangguk kecil, tanpa benar-benar memahami apa yang baru saja terjadi. Rasanya, dunia ini terlalu berbahaya, terlalu cepat berputar.
“Ayo, kita pergi dari sini,” katanya lembut, sambil menuntunku dengan hati-hati. Aku tak punya pilihan selain mengikuti langkahnya, masih terguncang oleh kejadian barusan.
Aku berjalan di sampingnya, tubuhku masih gemetar. Rasanya setiap langkah terasa berat, seolah-olah tubuhku dipaksa bergerak meski hatiku masih tertahan oleh ketakutan. Aku memandang sekilas ke arah pria di sebelahku, pria yang baru saja menyelamatkanku dari kengerian yang tak pernah kubayangkan. Wajahnya serius, tetapi ada kehangatan dalam matanya, sesuatu yang membuatku merasa sedikit lebih tenang.
Ketika kami sampai di sebuah tempat yang lebih terang, aku mulai melihat wajahnya lebih jelas. Ada sesuatu yang familiar di sana, sesuatu yang membuat jantungku berdetak lebih cepat, tapi kali ini bukan karena ketakutan. Rasa itu... Rasa yang sudah lama terkubur dalam ingatanku.
Lalu, tanpa peringatan, ingatan itu menyeruak ke permukaan.
“Adrian?” tanyaku lirih, suaraku hampir tenggelam dalam keterkejutan yang mendadak. Pria itu menoleh ke arahku, dan untuk sesaat, mata kami bertemu. Ada kilatan pengakuan di matanya, sesuatu yang mengonfirmasi kecurigaanku.
Dia mengangguk pelan. “Rania...” suaranya rendah, dan kali ini terasa ada kehangatan yang tak bisa kusembunyikan.
Bagaimana bisa aku melupakan dia? Adrian, pria yang dulu pernah menjadi bagian dari hidupku, seseorang yang kukenal dengan sangat baik saat kuliah. Dia adalah sosok yang selalu mendukungku diam-diam, seseorang yang menunggu di pinggir saat aku sibuk dengan hidupku yang lain, dengan Danu. Dia pernah menyatakan perasaannya padaku. Dan aku... aku menolaknya. Aku terlalu fokus pada Danu, pada cita-citaku membangun masa depan bersamanya, hingga tidak pernah benar-benar memperhatikan Adrian.
“Aku… aku tidak percaya ini,” gumamku, masih tak sepenuhnya paham apa yang sedang terjadi.
Adrian mengangguk lagi, kali ini dengan senyum tipis di wajahnya. “Sudah lama, ya?”
Aku mengangguk, rasa malu tiba-tiba menyergapku. Bagaimana bisa aku menolak pria sebaik ini? Dan sekarang, di saat aku jatuh, dia yang datang dan menyelamatkanku. Takdir sungguh bermain-main denganku.
“Kamu... Kamu menyelamatkanku,” kataku dengan suara serak. Perasaan bersalah dan rasa terima kasih bercampur aduk dalam dadaku. Aku tak tahu harus berkata apa lagi.
Adrian hanya tersenyum tipis. “Aku tidak bisa membiarkanmu sendirian tadi. Apalagi di situasi seperti itu.”
Kami berjalan dalam diam setelahnya. Aku teringat kembali momen-momen saat kami kuliah dulu, bagaimana Adrian selalu ada di sana, tapi aku tak pernah benar-benar memberinya kesempatan. Kini, dia ada di sini lagi, menolongku tanpa pamrih. Seperti sebuah takdir yang ingin mengembalikannya ke dalam hidupku pada saat yang paling tidak terduga.
Namun kali ini, situasinya berbeda. Hatiku sudah hancur berkeping-keping karena pengkhianatan Danu.
“Adrian... kenapa kamu masih peduli?” tanyaku pelan, mencoba memahami mengapa dia masih di sini, mengapa dia repot-repot menyelamatkan seseorang yang pernah menolaknya.
Adrian hanya tersenyum tipis, mengabaikan pertanyaanku dan terus melangkah.
Adrian berhenti di depan pintu rumahnya, dan aku baru sadar, ternyata jarak rumah kami tidak terlalu jauh dan bisa dijangkau dengan jalan kaki meskipun sedikit lama.
Adrian memutar tubuh, menatapku dengan tatapan yang seperti penuh pertanyaan dan ada kekhawatiran di sana.. “Rania,” suaranya terdengar pelan, namun jelas, “kenapa kamu berjalan sendirian di jalan sepi? Malam-malam begini, tanpa alas kaki pula.”
Aku menunduk, baru menyadari betapa kacaunya penampilanku. Kaki telanjangku terasa dingin, dan kotoran dari jalanan tampak jelas di telapak kakiku. Gaun yang kupakai sudah lusuh dan kusut. Tapi semua itu tak lebih menyakitkan dibandingkan dengan apa yang baru saja terjadi di rumah mertuaku.
Aku mendesah, mencoba menyusun kata-kata, tapi semuanya terasa terlalu berat untuk diucapkan. “Aku… aku diusir,” kataku akhirnya, suaraku terdengar pecah. “Mereka bilang aku nggak bisa kasih mereka cucu. Jadi aku harus pergi.”
Adrian terdiam sejenak, seolah mencerna kata-kataku. “Diusir? Karena… karena kamu belum bisa hamil?”
Aku mengangguk lemah. “Ibu mertua dan Danu... mereka semua sudah tidak ingin aku lagi.”
Matanya terlihat memancarkan kemarahan yang tertahan,. “Dan kamu keluar begitu saja? Tanpa apa pun?”tanyanya lagi.
Aku mengangguk lagi. “Aku nggak punya pilihan. Aku harus pergi.” Suaraku hampir pecah saat mengingat pemandangan terakhir yang kulihat—Danu bersama wanita itu, keluarganya tertawa bahagia, seolah tidak ada yang peduli lagi denganku.
Kudengar helaan napas darinnya. “Kalau begitu, kamu aman di sini untuk sekarang. Jangan khawatir.” Dia melangkah mendekat, menatapku dengan lebih serius. “Tapi, lain kali jangan lakukan ini lagi. Malam-malam, sendirian, tanpa alas kaki. Dunia ini terlalu kejam untuk seseorang sebaik kamu.”
Aku hanya bisa menatapnya dalam diam, merasakan beban berat di hatiku sedikit terangkat. Meski rasa sakitku belum hilang, kehadiran Adrian memberikan sedikit rasa aman yang sudah lama tak kurasakan.
“Untuk sementara ini, kamu boleh tinggal di rumahku,” kata Adrian, suaranya lembut namun penuh keyakinan.
Aku menelan ludah, merasakan ketidaknyamanan yang mulai merayap dalam pikiranku. Apa aku bisa menerima tawaran ini? Setelah semua yang terjadi? "Adrian," ucapku dengan suara lirih, nyaris gemetar, "Aku... aku nggak bisa tinggal di sini. Aku nggak mau merepotkanmu. Kamu pasti punya keluarga kecil yang harus kamu urus."
Adrian hanya diam, dan aku bisa melihat ekspresi wajahnya berubah. Sesuatu di matanya seolah berat, seperti ada beban yang tak terlihat namun jelas terasa. Dia mengalihkan pandangannya sesaat, seolah berusaha merangkai kata-kata yang tepat, tapi tak kunjung menemukan jawabannya.
"Aku nggak mau merepotkanmu, Adrian," ulangku, kali ini suaraku lebih tenang, meski hatiku masih penuh keraguan. "Kamu pasti punya kehidupanmu sendiri, keluarga yang menunggumu di rumah."
Dia menatap lantai, seakan kesulitan untuk merespon. Dadaku semakin sesak menunggu penjelasan yang tak kunjung datang. Apa sebenarnya yang sedang dia pikirkan? Mengapa dia diam begitu lama?
Akhirnya, dengan napas panjang, dia mengangkat wajahnya. Matanya bertemu dengan milikku, dan di sana, aku melihat ada kesedihan yang mendalam. "Rania...".
“Rania,” panggilnya, aku menoleh. Dia terdiam sejenak, matanya menatapku dengan intens, seolah sedang berusaha menilai seberapa dalam luka yang kurasakan. "Keluarga kecil?" Dia menghela napas pelan, senyumnya samar namun terlihat getir. "Rania... Aku hanya tinggal berdua dengan anakku sekarang. Istriku sudah pergi."Perkataan itu menghentikan napasku. "Pergi?" Aku menatapnya dengan dahi berkerut, tak percaya. Aku selalu mengira Adrian punya kehidupan yang sempurna, dengan istri dan anak yang bahagia. Kenyataannya berbeda jauh dari bayanganku."Iya," lanjutnya, suaranya terdengar datar namun sarat dengan rasa sakit yang terpendam. "Dia selingkuh. Pergi meninggalkan kami."Kata-katanya menusuk lebih dalam dari yang kubayangkan. Aku merasa dadaku sesak. Bagaimana bisa aku tidak tahu? Selama ini, aku menganggap Adrian bahagia, hidupnya sempurna, sementara hidupku terperangkap dalam pernikahan yang kini hancur berantakan. Dan di depan mataku, berdiri Adrian yang terluka sama parahnya, mun
Bab 1: Hasil yang Dinanti Alat tes kehamilan di tanganku masih belum menunjukkan hasilnya. Meski begitu, aku sudah tahu. Hasilnya tidak seperti yang diharapkan oleh semua orang. Di luar kamar, aku bisa mendengar percakapan lirih dari ruang tamu. Suara ibu mertuaku, tegas dan penuh harap, berdengung seperti suara lebah yang terus mengitari pikiranku. Suara itu juga yang mendesakku untuk melakukan tes kehamilan secara berkala, sekaligus dengan bebas mengutarakan keinginannya agar aku bisa memberikan keturunan laki-laki untuk keluarga ini. Aku duduk di tepi tempat tidur, menggenggam alat kecil itu dengan tangan gemetar. Mengamati testpack di tanganku hingga hasilnya muncul dengan debar yang makin tak karuan, makin membuat dadaku sesak. Perlahan, sebuah garis muncul di alat tersebut. Negatif. Sudah kuduga. Tiba-tiba. pintu kamar terbuka sedikit. Wajah ibu mertuaku muncul di celah pintu. Tatapannya tajam, nyaris tak sabar. "Sudah?" tanyanya, tak sabar. Aku mengangguk perlahan, bib
Aku mungkin akan menikah lagi, ya. Tapi aku tidak akan menceraikanmu.” Aku menggeleng. “Untuk apa aku tetap ada di sini? Bukankah aku tidak bisa memberikan keturunan untuk keluargamu?” “Sudahlah, Rania jangan sok berlagak menjadi korban begitu. Seakan-akan kamu yang paling berjuang,” tukas ibu mertuaku. “Padahal di sini kamu yang tidak becus memberikan kami keturunan Danu.” Hatiku bergetar mendengar kata-kata itu. Aku menggeleng, menatap tidak percaya ke arah ibu mertua yang selama ini aku hormati. “Bu, saya tidak mandul,” ucapku. Meski masih terdengar gemetar, tapi aku berusaha terdengar tegas.“Tidak ada yang bermasalah dari saya. Hanya saja–” Ibu mertuaku mendengus. “Kalau tidak mandul, tidak mungkin kamu belum hamil sampai sekarang. Sudahlah!” Aku diam menatap wanita paruh baya itu. “Apakah memang fungsiku di sini hanya sebagai pencetak anak, Bu?” tanyaku lirih kemudian. “Apakah … semua yang keluarga ini lalui bersama saya … tidak ada artinya?” Dulu, saat aku pertama bertem
“Dia pasti kekasih barunya,” tebakku dalam hati, merasakan jantungku berdebar. Rasa sakit di dadaku semakin dalam saat aku menyadari bahwa aku sedang melihat wanita yang menggantikan posisiku di hidup Danu. Gadis itu berjalan mendekat, tampak penuh percaya diri, seolah-olah dia telah menjadi bagian dari keluarga ini sejak lama. Ia menatapku dengan senyum yang penuh arti, seolah mengetahui betapa hancurnya hatiku saat ini.“Halo, kamu pasti Rania,” katanya, suaranya ceria dan menggoda. “Danu sering bercerita tentangmu.”Aku hanya bisa menatapnya, mulutku terasa kering. “Dia memang suka bercerita,” jawabku, mencoba untuk tidak menunjukkan betapa hancurnya aku. “Kamu harus tahu, aku sangat menghargai semua yang telah kamu lakukan untuk Danu.” Dia melanjutkan, nada suaranya manis tapi penuh kepalsuan. “Tapi, aku rasa sudah saatnya kamu memberi jalan untuk kami berdua.”“Sudah berapa lama kaliaan berhubungan di belakangku?” tanyaku pelan, setenang mungkin. Dia tersenyum lebar, menatapk