Mobil melaju dengan cepat, terkadang melambatsaat menemui jalanan yang ramai atau tikungan tajam. Sepanjang perjalanan, percakapan kami terhenti, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Aku masih terbayang pada kata-kata Adrian dan Liana, perasaan campur aduk antara harapan dan keraguan menguasai pikiranku. Tak lama kemudian, mobil memasuki halaman hotel yang cukup mewah, tempat yang tampaknya sudah disiapkan Adrian untukku agar bisa tinggal sementara.
Adrian memarkir mobil dan menoleh ke arahku. “Coba istirahat dulu di sini, Rania. Kamu butuh tempat yang nyaman sebelum menentukan apa langkah selanjutnya.”
Aku mengangguk, merasa ragu untuk menerima kebaikan ini, tapi terlalu lelah untuk menolak. “Terima kasih, Adrian,” gumamku dengan suara rendah.
“Liana, kamu temani dan iku ttidur di sini ya,” cetus Adrian.
“Ah, tidak! Tidak! Saya enggak papa di sini sendiri, Adrian, biarkan Liana istirahat di rumah, dia juga butuh menenangkan diri,” sanggahku langsung.
“Kamu yakin enggak papa sendiri di sini?” tanya Adrian memastikan.
Aku mengangguk.
“Baiklah, besok aku akan datang ke sini.”
“Tidak perlu, sepertinya besok aku harus pulang kampung, keluargaku wajib mengetahui drngan kondisiku sekarang.”
Adrian terlihat ragu saat aku mengatakan bahwa aku akan pulang kampung Dia menatapku, seakan berusaha memahami beban yang sedang kupikul. "Kalau kamu perlu bantuan untuk pulang, aku bisa mengantarmu," ucapnya.
Aku langsung menggeleng. “Tidak, Adrian. Terima kasih banyak, tapi aku bisa sendiri. Kalau kamu ikut mengantar, aku takut malah muncul fitnah atau gosip yang nggak diinginkan.”
Adrian menghela napas, terlihat agak kecewa, tapi dia paham. “Baiklah, kalau kamu memang merasa lebih nyaman begitu. Tapi, paling nggak, terima ini.” Dia membuka dompetnya dan memberikan sejumlah uang untuk ongkos pulang.
“Adrian, ini... terlalu banyak. Aku nggak bisa terima,” tolakku pelan, menatap uang di tanganku.
“Rania, anggap ini bantuanku untuk memastikan kamu bisa sampai ke kampung dengan nyaman. Kamu udah banyak menghadapi hal berat. Tolong, jangan pikir ini sebagai beban,” katanya, nadanya terdengar lembut namun tegas.
Aku menatapnya sejenak, merasa bersyukur namun juga sedikit segan. "Terima kasih, Adrian. Aku janji akan segera menggantinya begitu bisa."
Dia hanya tersenyum tipis. “Dan lagi, aku akan sewakan kamar di hotel ini untuk beberapa hari ke depan. Kalau kamu harus balik ke kota nanti, kamu nggak perlu bingung tempat tinggal.”
Aku terkesiap. "Adrian, kamu nggak perlu repot-repot sampai segitunya..."
“Tolong terima saja,” potongnya, tetap dengan nada lembut. "Kamu butuh tempat yang aman, Rania. Itu yang paling penting saat ini."
Aku mengangguk, merasa terharu. “Terima kasih.”
“Ayo, aku antar sampai ke dalam.
Aku mengangguk, lalu kami melangkah menuju meja resepsionis. Begitu selesai memesan kamer dan juga mendapatkan nomor kamar,
“Sebentar, aku catatkan nomorku dan juga Liana, nanti kalau butuh apa- apa, jangan sungkan untuk menghubungi kami,” ujar Adrian.
Aku mengangguk, mengamati gerakannya yang tengah meminta selembar kertas dengan petugas tadi.
Liana menarik tanganku pelan, “ Kak, jangan lupakan kami ya,” pintanya dengan mengulaskan senyum.
Aku mengangguk.
“Percayalah, Kak Adrian itu baik orangnya.”
Aku mengangguk lagi, meskipun baiknya gimana, aku harus sadar diri dan tak ingin merepotnya terlalu jauh.
“Simpan ini!” pinta Adrian dengan menyodorkan kertas yang sudah terlulis dengan nomor telepon mereka.
“Terima kasih.”
Adrian mengangguk, lalu kami melangkah menuju kamar. Dia berhenti di depan pintu, memastikan semuanya baik-baik saja sebelum benar-benar meninggalkanku. Ada kerisauan di wajahnya yang tak bisa dia sembunyikan.
“Kamu jaga diri ya,” pesannya lembut namun tegas. “Pastikan pintu ini selalu terkunci rapat, dan besok, kalau ada waktu, belilah ponsel dengan uang tadi. Biar kamu bisa tetap terhubung. Kalau butuh apa-apa, langsung hubungi aku atau Liana.”
Aku mengangguk, menyadari bahwa pesan itu lebih dari sekadar perhatian biasa. “Terima kasih, Adrian. Benar-benar… Aku berutang banyak padamu.”
Dia hanya tersenyum tipis, lalu menepuk bahuku dengan penuh pengertian. “Kamu nggak berutang apa pun, Rania. Istirahatlah yang cukup, dan jangan pikirkan hal-hal yang berat dulu. Fokus pada apa yang perlu kamu lakukan besok.”
Aku mengangguk lagi, mencoba menyembunyikan keharuan yang tiba-tiba meluap. Adrian menghela napas panjang, seakan enggan meninggalkanku di sini. Dia lalu menoleh ke Liana yang sudah menunggunya di lorong.
“Ayo pulang sekarang,” ajaknya sambil memberikan tatapan penuh makna pada Liana, seakan menyuruhnya untuk pamit baik-baik.
Liana menatapku dengan senyum lembut. “Kak, kami pulang dulu ya. Kamu harus jaga diri, istirahat yang cukup. Aku dan Adrian akan selalu di sini kalau kamu butuh.”
Aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk. Liana dan Adrian lalu berjalan perlahan meninggalkan lorong, dan aku menyaksikan mereka hingga akhirnya mereka menghilang di balik pintu lift. Setelah itu, aku kembali ke kamar, menutup pintu rapat, dan memastikan kuncinya benar-benar terkunci.
Aku duduk di tepi ranjang, mencoba menenangkan pikiranku yang melayang ke segala arah. Ada ponsel baru yang harus kubeli besok, dan juga keputusan besar yang harus kuambil begitu sampai di kampung nanti. Namun, setidaknya, malam ini aku masih bisa beristirahat dengan tenang, aku bersyukur, setidaknya tidak perlu tidur di teras masjid.
….
Keesokan harinya, aku berdiri di depan cermin hotel, menatap bayangan diriku dengan perasaan campur aduk. Dulu, aku adalah gadis yang penuh energi, banyak prestasi, dan dikelilingi oleh teman-teman yang mendukung. Banyak juga yang mengagumiku, tak sedikit lelaki yang mencoba mendekat. Namun, kini, aku bahkan nyaris tak mengenali wajahku sendiri—mataku tampak lelah, dan senyum cerah yang dulu begitu sering menghiasi wajahku seakan lenyap.
Aku merindukan hari-hari itu, saat pujian teman-temanku memberikan semangat, dan aku yakin pada setiap langkah yang kuambil. Tapi sekarang, semua itu seakan hanyalah kenangan yang jauh. Aku tersadar, betapa besar kesalahanku karena salah memilih pasangan.
Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan, mencoba menenangkan hati. Ini bukan waktunya untuk menyesali apa yang sudah berlalu. Sekarang, aku harus kuat dan melangkah ke depan. Semua ini sudah masa lalu dan aku juga harus segera bangkit.
Akhirnya aku melangkah keluar, memesan ojek menuju terminal tidak lupa kau mencari konter penjualan ponsel yang terdekat dengan terminal lalu mencari bus yang sesuai dengan arah kampungku.
Setelah berjam-jam di perjalanan, bus akhirnya memasuki area desa. Jantungku berdebar saat aku melihat pemandangan yang sudah sangat akrab namun terasa asing setelah semua kejadian yang kualami. Saat bus berhenti di dekat jalan utama, aku turun dengan hati-hati, dengan tangan kuat- kuat menggenggam tas ponsel dan juga sisa uangku yang sudah kujadikan satu.
Langkahku perlahan menyusuri jalan menuju rumah keluarga. Udara pedesaan yang sejuk dan semilir angin menyapa, seakan mencoba memberiku ketenangan. Tapi semakin dekat ke rumah, perasaan tidak nyaman semakin kuat.
Begitu sampai di depan halaman rumah, aku tertegun. Mata ini langsung tertuju pada sebuah mobil hitam yang terparkir di depan rumah. Napasku tersengal, hampir tak percaya pada penglihatan ini. Itu mobil Danu!
Degup jantungku kian kencang, dan jemariku mencengkeram erat tali tas yang kugenggam. Ada rasa takut dan benci yang bercampur jadi satu. Seharusnya dia tidak ada di sini. Mengapa dia datang? Kenapa sekarang, saat aku baru ingin kembali menguatkan diriku?Kakiku seperti tertahan di tanah, enggan melangkah maju atau bahkan bergerak. Aku menelan ludah, mencoba mengendalikan napas yang kini terasa berat dan tak teratur. Pandanganku terasa kabur, tubuhku kaku, dan dadaku serasa sesak.“Apa yang dia lakukan di sini?” bisikku dalam hati, hampir tidak mampu mengeluarkan suara. Rasa sakit yang masih belum mengering ini masih terasa di hati.Aku menatap mobil itu dengan tatapan kosong, otakku bekerja keras mencoba memahami alasan kehadirannya. Bayangan tentang semua kenangan buruk bersama Danu kembali menghantuiku. Semua perasaan terluka, rasa kecewa, dan pengkhianatan yang kubawa selama ini, seolah berkumpul lagi dalam satu detik yang sangat mencekam ini.Aku menguatkan diri, berusaha menarik
Ibu menatapku dalam diam, matanya sendu, namun tatapannya dingin. Harapanku mendadak runtuh ketika dia hanya menarik napas panjang, seolah sedang memutuskan sesuatu dalam pikirannya. Akhirnya, dengan suara pelan namun tajam, Ibu berkata, "Rania, kamu tahu kan keluarga kita ini sudah cukup susah. Kamu tinggal dengan suamimu, jangan pulang dengan keluhan yang hanya bikin susah keluarga sendiri."Aku terpaku. Rasanya seolah ada yang menusuk jauh ke dalam dada. Seketika semua kekuatan yang kupunya lenyap. Ibu, orang yang kupikir akan berdiri di sisiku, justru mengabaikan luka yang selama ini kusembunyikan."Ibu, apakah Ibu tidak melihat apa yang sudah aku lalui selama ini? Aku sudah bertahan… terlalu lama." Suaraku hampir tenggelam, bergetar menahan perasaan yang terus menggelegak di dalam hati."Ibu paham, Rania… Tapi bagaimanapun, pernikahan itu harus dijalani, bukan malah dihindari. Danu suami yang baik, mungkin kamu saja yang terlalu cepat merasa lelah," jawabnya tanpa keraguan, seol
Tangan kupegang erat, mencoba menahan gemetar yang semakin menguasai tubuhku. Aku berjalan menuju pintu, mengabaikan tatapan mereka. Perasaanku sudah mati rasa. Aku melangkah keluar dari rumah itu dengan air mata yang terus mengalir. Setiap tetesnya adalah hasil dari segala pengorbanan yang tak pernah dihargai. Aku berjalan menuju hotel yang disewakan Adrian, berharap bisa menemukan sedikit kedamaian di sana, meski hatiku begitu hancur.Aku tahu, aku tidak boleh terpuruk lama-lama. Jika mereka sudah tidak menginginkanku, jika mereka takut aku hanya akan menjadi beban, aku akan pergi. Mungkin aku tidak akan pernah kembali, tapi jujur, ini sangat menyakitkan. Mengetahui bahwa keluarga lebih memilih untuk memihak orang lain, bukan aku, anak mereka sendiri.Aku berhenti sejenak di tengah jalan, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Rasanya seperti ada sesuatu yang terlepas dari dadaku, meski rasa sakit itu tak kunjung hilang. Setiap langkah yang kuambil terasa lebih bera
Ibu mertuaku, yang sebelumnya kuharapkan tidak akan ada di sini, kini berdiri di tengah kamar dengan ekspresi gugup. Tangannya gemetar sedikit, dan sepertinya dia baru saja melemparkan sebuah baju yang tadi sempat dia ambil dari lemari milikku.“Ka—kamu ngapain balik lagi ke sini?” Teguran ibu mertuaku terdengar cemas, nada suaranya semakin tinggi, bahkan sedikit gemetar. Dia bangkit berdiri dengan cepat, wajahnya tampak bingung, seolah mencoba mencari-cari alasan untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi. Matanya bergerak liar, mencuri pandang ke segala arah, seolah takut ada yang akan mengetahuinya.Aku menatapnya dengan tenang, meskipun hatiku masih terasa sakit. “Kenapa? Ada yang salahkah, tadi putramu meminta aku untuk kembali, lho. Ibu tidak tahu ya?” jawabku dengan nada yang tak terlalu keras, namun tegas. Ibu mertuaku tampak terkejut mendengar jawabanku, bibirnya terbuka, namun tidak ada kata-kata yang keluar. Dia tampaknya berusaha menenangkan dirinya sendiri, namun aku tah
Bab 1: Hasil yang Dinanti Alat tes kehamilan di tanganku masih belum menunjukkan hasilnya. Meski begitu, aku sudah tahu. Hasilnya tidak seperti yang diharapkan oleh semua orang. Di luar kamar, aku bisa mendengar percakapan lirih dari ruang tamu. Suara ibu mertuaku, tegas dan penuh harap, berdengung seperti suara lebah yang terus mengitari pikiranku. Suara itu juga yang mendesakku untuk melakukan tes kehamilan secara berkala, sekaligus dengan bebas mengutarakan keinginannya agar aku bisa memberikan keturunan laki-laki untuk keluarga ini. Aku duduk di tepi tempat tidur, menggenggam alat kecil itu dengan tangan gemetar. Mengamati testpack di tanganku hingga hasilnya muncul dengan debar yang makin tak karuan, makin membuat dadaku sesak. Perlahan, sebuah garis muncul di alat tersebut. Negatif. Sudah kuduga. Tiba-tiba. pintu kamar terbuka sedikit. Wajah ibu mertuaku muncul di celah pintu. Tatapannya tajam, nyaris tak sabar. "Sudah?" tanyanya, tak sabar. Aku mengangguk perlahan, bib
Aku mungkin akan menikah lagi, ya. Tapi aku tidak akan menceraikanmu.” Aku menggeleng. “Untuk apa aku tetap ada di sini? Bukankah aku tidak bisa memberikan keturunan untuk keluargamu?” “Sudahlah, Rania jangan sok berlagak menjadi korban begitu. Seakan-akan kamu yang paling berjuang,” tukas ibu mertuaku. “Padahal di sini kamu yang tidak becus memberikan kami keturunan Danu.” Hatiku bergetar mendengar kata-kata itu. Aku menggeleng, menatap tidak percaya ke arah ibu mertua yang selama ini aku hormati. “Bu, saya tidak mandul,” ucapku. Meski masih terdengar gemetar, tapi aku berusaha terdengar tegas.“Tidak ada yang bermasalah dari saya. Hanya saja–” Ibu mertuaku mendengus. “Kalau tidak mandul, tidak mungkin kamu belum hamil sampai sekarang. Sudahlah!” Aku diam menatap wanita paruh baya itu. “Apakah memang fungsiku di sini hanya sebagai pencetak anak, Bu?” tanyaku lirih kemudian. “Apakah … semua yang keluarga ini lalui bersama saya … tidak ada artinya?” Dulu, saat aku pertama bertem
“Dia pasti kekasih barunya,” tebakku dalam hati, merasakan jantungku berdebar. Rasa sakit di dadaku semakin dalam saat aku menyadari bahwa aku sedang melihat wanita yang menggantikan posisiku di hidup Danu. Gadis itu berjalan mendekat, tampak penuh percaya diri, seolah-olah dia telah menjadi bagian dari keluarga ini sejak lama. Ia menatapku dengan senyum yang penuh arti, seolah mengetahui betapa hancurnya hatiku saat ini.“Halo, kamu pasti Rania,” katanya, suaranya ceria dan menggoda. “Danu sering bercerita tentangmu.”Aku hanya bisa menatapnya, mulutku terasa kering. “Dia memang suka bercerita,” jawabku, mencoba untuk tidak menunjukkan betapa hancurnya aku. “Kamu harus tahu, aku sangat menghargai semua yang telah kamu lakukan untuk Danu.” Dia melanjutkan, nada suaranya manis tapi penuh kepalsuan. “Tapi, aku rasa sudah saatnya kamu memberi jalan untuk kami berdua.”“Sudah berapa lama kaliaan berhubungan di belakangku?” tanyaku pelan, setenang mungkin. Dia tersenyum lebar, menatapk
Bab 4. Siapa lelaki itu?Aku membimbing langkahnya pelan, memastikan dia tak tergesa-gesa. Rumahnya ternyata tak begitu jauh dari rumahku, hanya di ujung jalan yang sama. Sepanjang perjalanan, suasana sunyi, hanya suara langkah kami yang bergaung pelan di jalan sepi itu. Sesekali, aku melirik ke arahnya, wajahnya tampak lelah dan mata sembab akibat tangis yang belum sepenuhnya reda. “Kamu baik sekali, terima kasih sudah membantuku,” ucapnya serak, memaksakan senyum. Aku menepuk bahunya lagi. “Jangan dipikirkan, kamu sudah aman sekarang. Semuanya akan baik-baik saja.”Ketika kami tiba di depan rumahnya, dia berhenti sejenak, menatapku dengan mata yang penuh rasa terima kasih. "Aku nggak tahu bagaimana aku bisa membalas semua ini."“Kamu nggak perlu berpikir untuk membalas. Yang penting kamu baik-baik aja,” balasku, sedikit tersenyum. Begitu kami sampai di depan rumah, pintu langsung terbuka, dan seorang wanita muncul dari dalam dengan ekspresi panik. Matanya melebar saat melihat pu
Ibu mertuaku, yang sebelumnya kuharapkan tidak akan ada di sini, kini berdiri di tengah kamar dengan ekspresi gugup. Tangannya gemetar sedikit, dan sepertinya dia baru saja melemparkan sebuah baju yang tadi sempat dia ambil dari lemari milikku.“Ka—kamu ngapain balik lagi ke sini?” Teguran ibu mertuaku terdengar cemas, nada suaranya semakin tinggi, bahkan sedikit gemetar. Dia bangkit berdiri dengan cepat, wajahnya tampak bingung, seolah mencoba mencari-cari alasan untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi. Matanya bergerak liar, mencuri pandang ke segala arah, seolah takut ada yang akan mengetahuinya.Aku menatapnya dengan tenang, meskipun hatiku masih terasa sakit. “Kenapa? Ada yang salahkah, tadi putramu meminta aku untuk kembali, lho. Ibu tidak tahu ya?” jawabku dengan nada yang tak terlalu keras, namun tegas. Ibu mertuaku tampak terkejut mendengar jawabanku, bibirnya terbuka, namun tidak ada kata-kata yang keluar. Dia tampaknya berusaha menenangkan dirinya sendiri, namun aku tah
Tangan kupegang erat, mencoba menahan gemetar yang semakin menguasai tubuhku. Aku berjalan menuju pintu, mengabaikan tatapan mereka. Perasaanku sudah mati rasa. Aku melangkah keluar dari rumah itu dengan air mata yang terus mengalir. Setiap tetesnya adalah hasil dari segala pengorbanan yang tak pernah dihargai. Aku berjalan menuju hotel yang disewakan Adrian, berharap bisa menemukan sedikit kedamaian di sana, meski hatiku begitu hancur.Aku tahu, aku tidak boleh terpuruk lama-lama. Jika mereka sudah tidak menginginkanku, jika mereka takut aku hanya akan menjadi beban, aku akan pergi. Mungkin aku tidak akan pernah kembali, tapi jujur, ini sangat menyakitkan. Mengetahui bahwa keluarga lebih memilih untuk memihak orang lain, bukan aku, anak mereka sendiri.Aku berhenti sejenak di tengah jalan, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Rasanya seperti ada sesuatu yang terlepas dari dadaku, meski rasa sakit itu tak kunjung hilang. Setiap langkah yang kuambil terasa lebih bera
Ibu menatapku dalam diam, matanya sendu, namun tatapannya dingin. Harapanku mendadak runtuh ketika dia hanya menarik napas panjang, seolah sedang memutuskan sesuatu dalam pikirannya. Akhirnya, dengan suara pelan namun tajam, Ibu berkata, "Rania, kamu tahu kan keluarga kita ini sudah cukup susah. Kamu tinggal dengan suamimu, jangan pulang dengan keluhan yang hanya bikin susah keluarga sendiri."Aku terpaku. Rasanya seolah ada yang menusuk jauh ke dalam dada. Seketika semua kekuatan yang kupunya lenyap. Ibu, orang yang kupikir akan berdiri di sisiku, justru mengabaikan luka yang selama ini kusembunyikan."Ibu, apakah Ibu tidak melihat apa yang sudah aku lalui selama ini? Aku sudah bertahan… terlalu lama." Suaraku hampir tenggelam, bergetar menahan perasaan yang terus menggelegak di dalam hati."Ibu paham, Rania… Tapi bagaimanapun, pernikahan itu harus dijalani, bukan malah dihindari. Danu suami yang baik, mungkin kamu saja yang terlalu cepat merasa lelah," jawabnya tanpa keraguan, seol
Degup jantungku kian kencang, dan jemariku mencengkeram erat tali tas yang kugenggam. Ada rasa takut dan benci yang bercampur jadi satu. Seharusnya dia tidak ada di sini. Mengapa dia datang? Kenapa sekarang, saat aku baru ingin kembali menguatkan diriku?Kakiku seperti tertahan di tanah, enggan melangkah maju atau bahkan bergerak. Aku menelan ludah, mencoba mengendalikan napas yang kini terasa berat dan tak teratur. Pandanganku terasa kabur, tubuhku kaku, dan dadaku serasa sesak.“Apa yang dia lakukan di sini?” bisikku dalam hati, hampir tidak mampu mengeluarkan suara. Rasa sakit yang masih belum mengering ini masih terasa di hati.Aku menatap mobil itu dengan tatapan kosong, otakku bekerja keras mencoba memahami alasan kehadirannya. Bayangan tentang semua kenangan buruk bersama Danu kembali menghantuiku. Semua perasaan terluka, rasa kecewa, dan pengkhianatan yang kubawa selama ini, seolah berkumpul lagi dalam satu detik yang sangat mencekam ini.Aku menguatkan diri, berusaha menarik
Mobil melaju dengan cepat, terkadang melambatsaat menemui jalanan yang ramai atau tikungan tajam. Sepanjang perjalanan, percakapan kami terhenti, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Aku masih terbayang pada kata-kata Adrian dan Liana, perasaan campur aduk antara harapan dan keraguan menguasai pikiranku. Tak lama kemudian, mobil memasuki halaman hotel yang cukup mewah, tempat yang tampaknya sudah disiapkan Adrian untukku agar bisa tinggal sementara.Adrian memarkir mobil dan menoleh ke arahku. “Coba istirahat dulu di sini, Rania. Kamu butuh tempat yang nyaman sebelum menentukan apa langkah selanjutnya.”Aku mengangguk, merasa ragu untuk menerima kebaikan ini, tapi terlalu lelah untuk menolak. “Terima kasih, Adrian,” gumamku dengan suara rendah.“Liana, kamu temani dan iku ttidur di sini ya,” cetus Adrian. “Ah, tidak! Tidak! Saya enggak papa di sini sendiri, Adrian, biarkan Liana istirahat di rumah, dia juga butuh menenangkan diri,” sanggahku langsung. “Kamu yakin engga
Aku mendengar suara klakson pelan mengagetkanku. Dengan cepat, aku berbalik, menatap mobil lain yang baru parkir di halaman masjid ini. Aku menahan napas. Seharusnya tidak ada orang yang mengenalku di sini, apalagi di tempat yang seharusnya menjadi pelarian sejenak dari hiruk-pikuk hidupku.Aku diam, hanya bisa mengamati saat pemilik mobil itu keluar. Dan ketika sosok itu muncul dari balik pintu, napasku terhenti sejenak. Adrian…“Katakan padaku, apa yang terjadi denganmu sekarang!” tanya Adrian, suaranya mengandung nada cemas saat ia langsung menarik lenganku dan membawaku ke mobilnya. Aku tak berdaya melawan.“Adrian, kenapa menyusulku?” tanyaku sedikit syok, tak dapat menyembunyikan kegugupan yang menyusup ke dalam suaraku.Dia menatapku dengan mata yang dalam. “Aku tidak bisa hanya membiarkanmu pergi begitu saja. Aku merasa ada yang tidak beres, dan aku tidak bisa hanya duduk diam tanpa mencari tahu.”Mendengar kata-katanya, hatiku bergetar. Dia tidak hanya mencemaskan keadaanku;
Bab 5. Ternyata …Tiba-tiba, kilasan ingatan menerpa pikiranku. “Adrian!” aku hampir berteriak saat kesadaranku muncul. Dia adalah Adrian, teman kuliahku dulu. Kenangan itu terlintas dengan jelas—momen-momen saat kami duduk di kelas yang sama, tawa saat kami belajar kelompok, dan obrolan-obrolan ringan yang membuatnya terasa dekat.Aku membelalak, kaget, dan mengernyitkan dahi. “Kamu Adrian? Teman kuliahku?” tanyaku, terkejut dengan perubahan yang jelas terlihat pada dirinya. Penampilannya jauh berbeda—lebih dewasa, lebih maskulin, dengan aura percaya diri yang baru. Bahkan sekarang tidak menggunakan kacamata seperti dulu.Dia tersenyum tipis, seolah bisa merasakan kebingunganku. “Iya, itu aku. Rasanya seperti sudah lama sekali, kan?” jawabnya, nadanya santai meskipun matanya menunjukkan kebingungan yang sama.Aku merasa jantungku berdegup lebih cepat, antara kaget dan bahagia bisa bertemu kembali dengan seseorang dari masa lalu. “Kau sudah berubah banyak,” ucapku, mencoba menahan seny
Bab 4. Siapa lelaki itu?Aku membimbing langkahnya pelan, memastikan dia tak tergesa-gesa. Rumahnya ternyata tak begitu jauh dari rumahku, hanya di ujung jalan yang sama. Sepanjang perjalanan, suasana sunyi, hanya suara langkah kami yang bergaung pelan di jalan sepi itu. Sesekali, aku melirik ke arahnya, wajahnya tampak lelah dan mata sembab akibat tangis yang belum sepenuhnya reda. “Kamu baik sekali, terima kasih sudah membantuku,” ucapnya serak, memaksakan senyum. Aku menepuk bahunya lagi. “Jangan dipikirkan, kamu sudah aman sekarang. Semuanya akan baik-baik saja.”Ketika kami tiba di depan rumahnya, dia berhenti sejenak, menatapku dengan mata yang penuh rasa terima kasih. "Aku nggak tahu bagaimana aku bisa membalas semua ini."“Kamu nggak perlu berpikir untuk membalas. Yang penting kamu baik-baik aja,” balasku, sedikit tersenyum. Begitu kami sampai di depan rumah, pintu langsung terbuka, dan seorang wanita muncul dari dalam dengan ekspresi panik. Matanya melebar saat melihat pu
“Dia pasti kekasih barunya,” tebakku dalam hati, merasakan jantungku berdebar. Rasa sakit di dadaku semakin dalam saat aku menyadari bahwa aku sedang melihat wanita yang menggantikan posisiku di hidup Danu. Gadis itu berjalan mendekat, tampak penuh percaya diri, seolah-olah dia telah menjadi bagian dari keluarga ini sejak lama. Ia menatapku dengan senyum yang penuh arti, seolah mengetahui betapa hancurnya hatiku saat ini.“Halo, kamu pasti Rania,” katanya, suaranya ceria dan menggoda. “Danu sering bercerita tentangmu.”Aku hanya bisa menatapnya, mulutku terasa kering. “Dia memang suka bercerita,” jawabku, mencoba untuk tidak menunjukkan betapa hancurnya aku. “Kamu harus tahu, aku sangat menghargai semua yang telah kamu lakukan untuk Danu.” Dia melanjutkan, nada suaranya manis tapi penuh kepalsuan. “Tapi, aku rasa sudah saatnya kamu memberi jalan untuk kami berdua.”“Sudah berapa lama kaliaan berhubungan di belakangku?” tanyaku pelan, setenang mungkin. Dia tersenyum lebar, menatapk