Ibu mertuaku, yang sebelumnya kuharapkan tidak akan ada di sini, kini berdiri di tengah kamar dengan ekspresi gugup. Tangannya gemetar sedikit, dan sepertinya dia baru saja melemparkan sebuah baju yang tadi sempat dia ambil dari lemari milikku.“Ka—kamu ngapain balik lagi ke sini?” Teguran ibu mertuaku terdengar cemas, nada suaranya semakin tinggi, bahkan sedikit gemetar. Dia bangkit berdiri dengan cepat, wajahnya tampak bingung, seolah mencoba mencari-cari alasan untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi. Matanya bergerak liar, mencuri pandang ke segala arah, seolah takut ada yang akan mengetahuinya.Aku menatapnya dengan tenang, meskipun hatiku masih terasa sakit. “Kenapa? Ada yang salahkah, tadi putramu meminta aku untuk kembali, lho. Ibu tidak tahu ya?” jawabku dengan nada yang tak terlalu keras, namun tegas. Ibu mertuaku tampak terkejut mendengar jawabanku, bibirnya terbuka, namun tidak ada kata-kata yang keluar. Dia tampaknya berusaha menenangkan dirinya sendiri, namun aku tah
Aku sedang duduk di tepi ranjang hotel, menatap amplop cokelat berisi dokumen-dokumen penting yang baru saja kususun rapi. Pikiran masih berkecamuk, mencoba menyusun rencana apa yang harus kulakukan selanjutnya. Namun, lamunanku terhenti oleh suara ketukan di pintu.Awalnya, aku mengira itu housekeeping, tapi ketika kubuka, sosok Adrian berdiri di sana."Adrian?" tanyaku pelan, terkejut melihatnya. Dia tersenyum tipis, tangan kanannya memegang kantong kertas yang tampak berat."Aku cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja," katanya, nadanya hangat. "Boleh masuk?"Aku mengangguk, membuka pintu lebih lebar. Adrian masuk dengan langkah tenang, matanya menyapu kamar sederhana itu. Dia duduk di kursi di sudut ruangan, lalu menyerahkan kantong kertas itu padaku."Apa ini?" tanyaku sambil mengernyit, menatap kantong itu dengan ragu.“Cuma beberapa hal kecil. Aku pikir kamu perlu ini,” katanya santai.Aku membuka kantong itu perlahan. Di dalamnya ada setelan pakaian formal, sepatu baru, dan t
"Rania," katanya sambil memutar cangkir kopinya. "Setelah semua ini, aku ingin kamu bisa berdiri sendiri, tanpa bergantung pada siapa pun. Itu termasuk aku.Aku terkejut mendengar kata-katanya, tapi aku tahu dia benar. Dia telah melakukan banyak hal untukku, lebih dari yang aku bayangkan. Aku tidak bisa selamanya mengandalkan Adrian."Kamu sudah memberiku awal baru, Adrian. Aku akan mencoba untuk melanjutkannya sendiri," kataku dengan nada pelan tapi mantap.Adrian tersenyum, terlihat puas dengan jawabanku. "Itulah Rania yang aku kenal. Mulai besok, ada wawancara kerja untukmu. Aku sudah merekomendasikanmu ke salah satu perusahaan yang aku tahu membutuhkan orang dengan keahlianmu."Aku mengerutkan kening. "Kamu merekomendasikan aku? Adrian, aku tidak ingin pekerjaan itu karena koneksi. Aku ingin mendapatkan semuanya dengan usahaku sendiri."Dia mengangguk, seolah sudah mengantisipasi responsku. "Aku paham, dan aku menghormati itu. Tapi ingat, rekomendasi hanya pintu masuk. Sisanya ter
Aku menatap wanita itu dari atas ke bawah, memastikan apa yang kulihat benar adanya. Ya, memang dia. Wanita yang pernah datang ke rumah Danu dengan penuh percaya diri, seolah-olah memiliki hak atas segalanya.“Wah, jadi kamu ke sini untuk mengikuti aku, ya?” cetusnya tiba-tiba, dengan nada penuh ejekan.Aku mengerutkan kening, masih berusaha mencerna situasi ini, sementara dia melangkah mendekat dengan senyum sinis menghiasi wajahnya.“Lihat, setelah suaminya meninggalkannya, dia pasti ke sini untuk mengejar aku,” lanjutnya tanpa ragu. “Duh, kasihan sekali. Benar-benar menyedihkan.”Beberapa rekan kerja yang tadi sibuk dengan percakapan masing-masing kini berhenti, menatap kami berdua dengan rasa penasaran yang tidak bisa disembunyikan. Aku bisa merasakan mata mereka yang mulai bergulir, menilai situasi ini.Aku menarik napas dalam, menahan emosi yang mulai bergejolak. Tidak, aku tidak akan jatuh ke dalam jebakan ini. Tidak kali ini.“Aku ke sini untuk bekerja, bukan untuk hal-hal yan
Aku menatap Sabrina dengan bingung. “Iri? Kenapa kamu bilang begitu?” tanyaku, mencoba menahan tawa kecil.Sabrina mencondongkan tubuh ke arahku, suaranya setengah berbisik. “Karena Adrian, siapa lagi?”“Adrian?” Aku mengerutkan dahi, masih belum paham arah pembicaraannya.Sabrina mengangguk cepat, matanya berbinar seperti sedang menyampaikan gosip paling menarik di dunia. “Iya! Kamu tahu kan dia siapa?”Aku menggeleng pelan, bingung dengan reaksinya. “Ya, dia teman lamaku. Kenapa memangnya?”Sabrina mendengus, lalu menatapku seperti aku baru saja mengatakan sesuatu yang sangat bodoh. “Dia atasan kita, Rania. Salah satu pemegang saham di sini. Dan tadi... dia berjalan langsung ke meja kamu. Semua orang pasti iri!”Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi itu. Adrian? Pemegang saham? Aku benar-benar tidak tahu apa-apa soal itu.“Kamu enggak bercanda, kan?” tanyaku pelan.“Mana mungkin aku bercanda soal hal sepenting ini? Dia jarang banget turun langsung ke lantai ini, apalagi be
“Rania?”Aku menoleh, dan Adrian berdiri di sana, di dekat meja kerjaku. Aku terkejut. “Adrian? Kenapa ke sini lagi?”Dia tersenyum tipis, matanya menatapku dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. “Kebetulan aku sedang ada rapat di lantai ini. Aku cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja.”Aku terdiam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku baik-baik saja. Terima kasih, Adrian.”Dia mengangguk, lalu berkata, “Bagus kalau begitu. Tapi jangan lupa, kalau ada apa-apa, aku di sini.”Suaranya begitu tulus, dan entah mengapa, aku merasakan dorongan semangat baru. Setelah dia pergi, aku kembali menatap layar ponselku, membaca pesan-pesan tadi. Kali ini, senyum kecil terlukis di wajahku. Mungkin, hanya mungkin, aku tidak benar-benar sendiri lagi.Hari menanjak naik, akhirnya hari pertama kerja terlewati juga. Aku merenggangkan otot sejenak, sebelum akhirnya bersiap pulang. “Ayo kita keliling sekarang!” ajak Sabrina penuh semangat, menggandeng lenganku dengan antusias.Aku mengang
Akhirnya kami memutuskan untuk mencari warung makan dulu sebelum mencari kost- kostan. Di tempat makan, Sabrina langsung memilih tempat di sudut yang cukup tenang, seolah tahu bahwa percakapan ini butuh ruang khusus. Dia menatapku penuh harap, sambil memindahkan gelas air mineralnya ke sisi meja.“Jadi, siapa dia? Mantan pacar? Atau mantan suami?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi.Aku terdiam sejenak, meresapi pertanyaannya. Sabrina memang terlalu blak-blakan, tapi kejujuran yang ia tawarkan membuatku merasa cukup nyaman untuk bicara. “Danu... dia mantan suamiku,” akhirnya aku mengakui, menatap langsung ke arah Sabrina.Mata Sabrina membelalak kaget. “Mantan suami? Jadi kamu sudah menikah sebelumnya?”Aku mengangguk pelan. “Ya, aku pernah menikah dengannya. Tapi semuanya berakhir... tidak baik.”Sabrina menghela napas panjang, seolah mencoba mencerna informasi itu. “Dan Denada? Dia yang sekarang bersamanya?”“Iya,” jawabku sambil tersenyum getir. “Bisa dibilang, dia salah satu alas
Besoknya, Sabrina menepati janjinya untuk menemaniku mencari kost. Meskipun sepanjang perjalanan dia terus bercerita tentang pengalaman-pengalamannya yang seru, pikiranku masih melayang pada tawarannya untuk berbagi kamar.Kami berhenti di depan sebuah bangunan kecil yang tampak nyaman. Sabrina menunjuk ke salah satu jendela di lantai dua.“Itu kamar kostku, Rania. Lihat? Enggak terlalu besar, tapi cukup nyaman. Kalau kita sekamar, aku yakin bakal lebih hidup.”Aku tersenyum kecil. “Sepertinya memang nyaman, Sabrina.”Setelah selesai melihat-lihat, Sabrina mengantarku ke depan bangunan. “Oke, Rania, aku enggak mau maksa, tapi tolong dipikirkan, ya. Aku serius banget mau kamu jadi roommate-ku.”Aku mengangguk, merasa bersyukur memiliki Sabrina sebagai teman. “Aku pasti pikirkan, Sabrina. Terima kasih sudah menawarkan.”Malam itu, aku duduk di hotel yang masih disewakan Adrian. Ponselku berbunyi, menampilkan pesan baru dari Adrian.[Bagaimana harimu? Semoga semuanya berjalan lancar. Jan
Aku mencoba menegakkan wajah, sadar akan satu hal, aku di sini cuma akting, tidak perlu dibawa perasaan. “Sepertinya Kak Danar lebih tertarik kepadaku ya, terlihat dari rasa penasarannya,” ujarku dengan senyum lebar, mencoba memasang wajah percaya diri meskipun di dalam hati aku masih goyah.Danar—yang tadi begitu lantang mengkritik—terlihat sedikit terkejut dengan responsku. Alisnya terangkat, tapi dia cepat-cepat menyembunyikan keterkejutannya dengan mendengus pelan.“Menarik? Hah, jangan salah paham. Aku hanya memastikan Adrian tidak salah langkah,” balasnya dengan nada dingin, meskipun aku bisa melihat sorot matanya sedikit berubah.Aku tersenyum kecil, berusaha tetap tenang. “Kalau begitu, terima kasih atas perhatian Kakak. Saya pastikan, Adrian tidak salah memilih.”Suasana sejenak terasa kaku. Adrian menatapku, matanya berbinar, seolah kagum dengan keberanianku menjawab balik.“Rania, kamu bisa atasi ini?” bisiknya pelan, hanya cukup untuk kudengar.Aku mengangguk sedikit, me
“Ini Rania, Bu,” potong Adrian cepat. “Pacarku.”Aku mencoba tersenyum sopan, dan mencoba menyesuaikan diri. “Oh, jadi ini Rania,” ujar wanita itu sambil mengamati penampilanku dari atas ke bawah. “Masuklah, semuanya sudah menunggu.”Aku melirik Adrian dengan perasaan campur aduk. Dia membalas tatapanku dengan senyum meyakinkan, seolah-olah ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi aku tahu, malam ini baru saja dimulai, dan rasanya ini akan jadi malam yang panjang.Langkahku memelan begitu sampai ke ruang utama, terlihat begitu banyak orang yang sudah duduk di sana dan saling bercengkrama, aku, aku mendadak merasa semakin kerdil rasanya. Aku mencengkeram lengan Adrian semakin kuat, nyaris membuatnya meringis kecil. Tapi dia hanya membalas dengan menyentuh tanganku, menyalurkan kehangatan dan ketenangan yang berusaha dia tawarkan.“Tenang saja, ini hanya pura-pura, oke?” bisiknya pelan, hampir seperti janji.Aku mengangguk kecil, meskipun hatiku masih terasa seperti b
Malam pun tiba, dan Sabrina tidak main-main dengan kata-katanya. Di kamarnya yang kecil tapi rapi, dia mengatur segala perlengkapan make-up di meja. Aku hanya bisa duduk di kursi kecil, sementara Sabrina sibuk merias wajahku dengan telaten.“Rania, kamu harus ingat satu hal,” katanya sambil memulas pipiku dengan blush on. “Percaya diri. Kamu itu cantik, kok, cuma selama ini kamu terlalu menyembunyikan diri di balik kaos dan celana biasa.”Aku tertawa kecil, meski jujur, jantungku berdegup kencang. “Sab, aku cuma takut ini terlalu berlebihan. Lagian, Adrian itu atasan, aku nggak mau ini jadi bahan omongan.”Sabrina meletakkan kuasnya, menatapku serius. “Denger, ya, Rania. Adrian itu ngajak kamu makan malam bukan karena sekadar basa-basi. Percaya deh, dia lihat sesuatu yang spesial dari kamu. Jadi tolong, berhenti merendahkan diri sendiri.”Kata-katanya membuatku terdiam. Aku menghela napas panjang, mencoba meredakan kegugupan yang membuncah.Setelah hampir satu jam, Sabrina akhirnya se
Pagi itu aku terbangun lebih awal dari biasanya, mataku menatap sekeliling kamar yang sepi dan hampir tanpa barang. Rasanya aku sudah tidak sanggup lagi untuk tinggal di sini. Mungkin seminggu lagi terasa terlalu lama. Aku Aku berbaring sejenak, merenung. Sepertinya aku harus memberitahu Sabrina nanti, aku akan pindah ke kostnya besok pagi. Mungkin itu solusi terbaik untuk sementara waktu. Aku akhirnya bangkit dari ranjang, mengusap wajahku. Pagi ini, aku merasa sedikit lebih bersemangat untuk memulai hari. Ada pekerjaan yang menunggu, dan aku perlu memastikan segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Setelah membersihkan diri, aku cepat-cepat bersiap, berharap bisa tiba lebih awal di kantor. Ada beberapa hal yang harus aku lakukan, dan aku ingin meluangkan waktu untuk mencari sarapan di sekitar kantor, aku juga sudah mulai terbiasa dengan rutinitas ini—hidup mandiri, jauh dari keluarga, dan mencoba bertahan hidup dengan cara yang paling realistis.Aku mengambil dompet dari meja, me
Besoknya, Sabrina menepati janjinya untuk menemaniku mencari kost. Meskipun sepanjang perjalanan dia terus bercerita tentang pengalaman-pengalamannya yang seru, pikiranku masih melayang pada tawarannya untuk berbagi kamar.Kami berhenti di depan sebuah bangunan kecil yang tampak nyaman. Sabrina menunjuk ke salah satu jendela di lantai dua.“Itu kamar kostku, Rania. Lihat? Enggak terlalu besar, tapi cukup nyaman. Kalau kita sekamar, aku yakin bakal lebih hidup.”Aku tersenyum kecil. “Sepertinya memang nyaman, Sabrina.”Setelah selesai melihat-lihat, Sabrina mengantarku ke depan bangunan. “Oke, Rania, aku enggak mau maksa, tapi tolong dipikirkan, ya. Aku serius banget mau kamu jadi roommate-ku.”Aku mengangguk, merasa bersyukur memiliki Sabrina sebagai teman. “Aku pasti pikirkan, Sabrina. Terima kasih sudah menawarkan.”Malam itu, aku duduk di hotel yang masih disewakan Adrian. Ponselku berbunyi, menampilkan pesan baru dari Adrian.[Bagaimana harimu? Semoga semuanya berjalan lancar. Jan
Akhirnya kami memutuskan untuk mencari warung makan dulu sebelum mencari kost- kostan. Di tempat makan, Sabrina langsung memilih tempat di sudut yang cukup tenang, seolah tahu bahwa percakapan ini butuh ruang khusus. Dia menatapku penuh harap, sambil memindahkan gelas air mineralnya ke sisi meja.“Jadi, siapa dia? Mantan pacar? Atau mantan suami?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi.Aku terdiam sejenak, meresapi pertanyaannya. Sabrina memang terlalu blak-blakan, tapi kejujuran yang ia tawarkan membuatku merasa cukup nyaman untuk bicara. “Danu... dia mantan suamiku,” akhirnya aku mengakui, menatap langsung ke arah Sabrina.Mata Sabrina membelalak kaget. “Mantan suami? Jadi kamu sudah menikah sebelumnya?”Aku mengangguk pelan. “Ya, aku pernah menikah dengannya. Tapi semuanya berakhir... tidak baik.”Sabrina menghela napas panjang, seolah mencoba mencerna informasi itu. “Dan Denada? Dia yang sekarang bersamanya?”“Iya,” jawabku sambil tersenyum getir. “Bisa dibilang, dia salah satu alas
“Rania?”Aku menoleh, dan Adrian berdiri di sana, di dekat meja kerjaku. Aku terkejut. “Adrian? Kenapa ke sini lagi?”Dia tersenyum tipis, matanya menatapku dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. “Kebetulan aku sedang ada rapat di lantai ini. Aku cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja.”Aku terdiam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku baik-baik saja. Terima kasih, Adrian.”Dia mengangguk, lalu berkata, “Bagus kalau begitu. Tapi jangan lupa, kalau ada apa-apa, aku di sini.”Suaranya begitu tulus, dan entah mengapa, aku merasakan dorongan semangat baru. Setelah dia pergi, aku kembali menatap layar ponselku, membaca pesan-pesan tadi. Kali ini, senyum kecil terlukis di wajahku. Mungkin, hanya mungkin, aku tidak benar-benar sendiri lagi.Hari menanjak naik, akhirnya hari pertama kerja terlewati juga. Aku merenggangkan otot sejenak, sebelum akhirnya bersiap pulang. “Ayo kita keliling sekarang!” ajak Sabrina penuh semangat, menggandeng lenganku dengan antusias.Aku mengang
Aku menatap Sabrina dengan bingung. “Iri? Kenapa kamu bilang begitu?” tanyaku, mencoba menahan tawa kecil.Sabrina mencondongkan tubuh ke arahku, suaranya setengah berbisik. “Karena Adrian, siapa lagi?”“Adrian?” Aku mengerutkan dahi, masih belum paham arah pembicaraannya.Sabrina mengangguk cepat, matanya berbinar seperti sedang menyampaikan gosip paling menarik di dunia. “Iya! Kamu tahu kan dia siapa?”Aku menggeleng pelan, bingung dengan reaksinya. “Ya, dia teman lamaku. Kenapa memangnya?”Sabrina mendengus, lalu menatapku seperti aku baru saja mengatakan sesuatu yang sangat bodoh. “Dia atasan kita, Rania. Salah satu pemegang saham di sini. Dan tadi... dia berjalan langsung ke meja kamu. Semua orang pasti iri!”Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi itu. Adrian? Pemegang saham? Aku benar-benar tidak tahu apa-apa soal itu.“Kamu enggak bercanda, kan?” tanyaku pelan.“Mana mungkin aku bercanda soal hal sepenting ini? Dia jarang banget turun langsung ke lantai ini, apalagi be
Aku menatap wanita itu dari atas ke bawah, memastikan apa yang kulihat benar adanya. Ya, memang dia. Wanita yang pernah datang ke rumah Danu dengan penuh percaya diri, seolah-olah memiliki hak atas segalanya.“Wah, jadi kamu ke sini untuk mengikuti aku, ya?” cetusnya tiba-tiba, dengan nada penuh ejekan.Aku mengerutkan kening, masih berusaha mencerna situasi ini, sementara dia melangkah mendekat dengan senyum sinis menghiasi wajahnya.“Lihat, setelah suaminya meninggalkannya, dia pasti ke sini untuk mengejar aku,” lanjutnya tanpa ragu. “Duh, kasihan sekali. Benar-benar menyedihkan.”Beberapa rekan kerja yang tadi sibuk dengan percakapan masing-masing kini berhenti, menatap kami berdua dengan rasa penasaran yang tidak bisa disembunyikan. Aku bisa merasakan mata mereka yang mulai bergulir, menilai situasi ini.Aku menarik napas dalam, menahan emosi yang mulai bergejolak. Tidak, aku tidak akan jatuh ke dalam jebakan ini. Tidak kali ini.“Aku ke sini untuk bekerja, bukan untuk hal-hal yan