Aku mungkin akan menikah lagi, ya. Tapi aku tidak akan menceraikanmu.”
Aku menggeleng. “Untuk apa aku tetap ada di sini? Bukankah aku tidak bisa memberikan keturunan untuk keluargamu?” “Sudahlah, Rania jangan sok berlagak menjadi korban begitu. Seakan-akan kamu yang paling berjuang,” tukas ibu mertuaku. “Padahal di sini kamu yang tidak becus memberikan kami keturunan Danu.” Hatiku bergetar mendengar kata-kata itu. Aku menggeleng, menatap tidak percaya ke arah ibu mertua yang selama ini aku hormati. “Bu, saya tidak mandul,” ucapku. Meski masih terdengar gemetar, tapi aku berusaha terdengar tegas.“Tidak ada yang bermasalah dari saya. Hanya saja–”
Ibu mertuaku mendengus. “Kalau tidak mandul, tidak mungkin kamu belum hamil sampai sekarang. Sudahlah!” Aku diam menatap wanita paruh baya itu. “Apakah memang fungsiku di sini hanya sebagai pencetak anak, Bu?” tanyaku lirih kemudian. “Apakah … semua yang keluarga ini lalui bersama saya … tidak ada artinya?” Dulu, saat aku pertama bertemu Mas Danu, kondisi keluarga ini tidak sedang baik-baik saja. Ibu mertuaku kecelakaan, tertabrak hingga lumpuh. Semua biaya lari ke pengobatan ibu hingga kebutuhan semuanya terbengkalai. Akulah yang merawat ibu mertuaku hingga Ibu bisa berjalan kembali. Di saat semua anaknya enggan dekat-dekat karena beliau bau pesing, bahkan enggan membantu Ibu bersih-bersih lantaran merasa jijik, akulah yang melakukan peran itu.Sebagai baktiku. Sebagai istri Mas Danu, sekaligus menantu Ibu.
Namun, apakah semua itu … tidak ada artinya sekarang? “Kamu ini ngomong apa sih? Mau makin berlagak, bahwa kamu satu–satunya yang suci di sini? Sementara kami semua orang jahat?” sergah ibu mertuaku kasar. “Tidak mempan!” Ah, rupanya beliau sudah sejauh ini. “Ran.” Mas Danu berdiri. “Duduk dulu. Ayo kita diskusi–” “Mas. Keputusannya bukankah sudah ada? Untuk apa diskusi?” balasku. “Mas akan tetap menikah lagi, bukan? Kalau begitu, ceraikan saja aku.” “Ran–” “Aduh, drama sekali.” Ibu mertuaku tampak marah. “Ya sudahlah, Danu! Ceraikan saja dia.” “Ibu!” “Tapi, Rania. Kalau kamu pergi, kamu tidak akan mendapatkan apa pun, termasuk baju ganti!” Ibu mertuaku melanjutkan. “Semuanya dibeli oleh uang anakku. Kamu tidak berhak membawa apa pun.” Aku terperangah. Sekali lagi dibuat tidak percaya dengan kata yang dilontarkan itu. Sementara itu, ibu mertuaku tampak tersenyum penuh kemenangan. “Kalau kamu tidak mau begitu, tetap di sini. Terima nasibmu dimadu, kerjakan tugasmu sebagai istri seperti biasanya.” Ah. Rupanya begitu. “Ibu memintaku tinggal agar aku bisa disuruh-suruh seperti biasa?” tanyaku pelan. “Apakah ini berarti, Ibu sebenarnya ingat apa saja yang telah keluarga ini lalui bersama saya?” “Ck. Maksudmu itu apa? Saat aku lumpuh? Saat Danu tidak bisa melanjutkan kuliah karena masalah uang?” balas ibu mertuaku kasar. “Atau saat kamu tidak jadi lanjut studi magister? Kamu mau pamrih, hah? Itu semua keputusanmu sendiri! Jangan membebankannya pada kami, Rania!” Ucapan wanita paruh baya itu kembali menohokku. Selain karena tuduhan bahwa aku pamrih, padahal aku hanya ingin mereka semua mengingat bagaimana kita semua bersama-sama menghadapi kesulitan itu semua, juga karena sebuah fakta. Itu semua adalah keputusanku. Akulah yang patut disalahkahkan karena hal itu. Dan aku tidak ingin melakukan kesalahan lainnya dengan mengedepankan keinginan mereka semua, dibanding keinginanku sendiri. “Saya akan pergi.” Aku memutuskan. “Ran, jangan gegabah.” Mas Danu menggenggam tanganku. “Pikirkan baik-baik.” Aku menatap Mas Danu, lalu menarik tanganku dari genggamannya. “Kamu pada keputusanmu, Mas,” kataku. “Dan aku dengan keputusanku.”Lalu aku melangkah pergi, meninggalkan semuanya. Barang-barangku. Kenanganku. Keluarga suamiku. Baru sampai di luar pintu, langkahku terhenti. Mataku tertuju pada seorang gadis yang baru saja turun dari mobil tepat di depanku. Dia mengenakan gaun cantik, dan senyumnya tampak menawan. Siapa dia? “Permisi. Apakah kamu Rania?” Gadis cantik itu bertanya, membuatku mengernyit. “Siapa–” “Perkenalkan,” ucapnya lagi. “Aku calon istri Danu. Dia sering bercerita tentang kamu, sampai aku langsung mengenalimu begitu melihat kamu.” Ia tersenyum. “Tapi rasanya, dia tidak menceritakan aku padamu ya?” Sepasang mataku membeliak sesaat. “Apakah Mas Danu sudah melamarmu?” tanyaku. “Benar. Kami akan segera menikah. Tolong jangan dihalangi ya.” Wanita itu kembali berkata. “Soalnya aku sedang hamil anaknya.” “Ah, jadi begitu.” Aku tersenyum tipis. Danu. Rupanya kamu sudah bermain di belakangku selama ini? Itu sebabnya kamu diam saja sejak tadi, ya? “Semoga bahagia,” ucapku kemudian, lalu berjalan pergi setenang mungkin sekalipun air mata sudah kembali mengancam turun. Beruntung, aku sudah cukup jauh dari rumah ketika pada akhirnya, tangisku meledak.“Dia pasti kekasih barunya,” tebakku dalam hati, merasakan jantungku berdebar. Rasa sakit di dadaku semakin dalam saat aku menyadari bahwa aku sedang melihat wanita yang menggantikan posisiku di hidup Danu. Gadis itu berjalan mendekat, tampak penuh percaya diri, seolah-olah dia telah menjadi bagian dari keluarga ini sejak lama. Ia menatapku dengan senyum yang penuh arti, seolah mengetahui betapa hancurnya hatiku saat ini.“Halo, kamu pasti Rania,” katanya, suaranya ceria dan menggoda. “Danu sering bercerita tentangmu.”Aku hanya bisa menatapnya, mulutku terasa kering. “Dia memang suka bercerita,” jawabku, mencoba untuk tidak menunjukkan betapa hancurnya aku. “Kamu harus tahu, aku sangat menghargai semua yang telah kamu lakukan untuk Danu.” Dia melanjutkan, nada suaranya manis tapi penuh kepalsuan. “Tapi, aku rasa sudah saatnya kamu memberi jalan untuk kami berdua.”“Sudah berapa lama kaliaan berhubungan di belakangku?” tanyaku pelan, setenang mungkin. Dia tersenyum lebar, menatapk
“Tolong! Siapa pun! Tolong!” teriakku, suaraku pecah dalam ketakutan yang melumpuhkan.Tiba-tiba, sebuah bayangan besar muncul dari kegelapan. Sebelum aku sempat mencerna apa yang terjadi, salah satu pria yang memegangku terpental ke belakang. Jeritan marah menggema di udara. Aku melihat seorang pria tak dikenal dengan wajah penuh amarah menghantam salah satu dari mereka dengan keras.“Berhenti!” suaranya rendah namun penuh ancaman, membuat kedua pria itu tertegun sesaat. Tak membuang waktu, lelaki itu menyerang lagi, kali ini lebih cepat, lebih keras. Aku hanya bisa terpaku, tubuhku gemetar tanpa kendali.Salah satu dari penyerangku terhuyung, kemudian berlari meninggalkan temannya yang sudah ambruk. Preman yang tersisa mencoba melawan, tetapi pukulan keras dari pria misterius itu membuatnya jatuh tak berdaya.“Apa kamu baik-baik saja?” suara itu akhirnya menyentuh kesadaranku. Aku menoleh, pria itu kini berdiri di hadapanku, wajahnya masih tegang, tapi ada ketulusan di matanya.Aku
“Rania,” panggilnya, aku menoleh. Dia terdiam sejenak, matanya menatapku dengan intens, seolah sedang berusaha menilai seberapa dalam luka yang kurasakan. "Keluarga kecil?" Dia menghela napas pelan, senyumnya samar namun terlihat getir. "Rania... Aku hanya tinggal berdua dengan anakku sekarang. Istriku sudah pergi."Perkataan itu menghentikan napasku. "Pergi?" Aku menatapnya dengan dahi berkerut, tak percaya. Aku selalu mengira Adrian punya kehidupan yang sempurna, dengan istri dan anak yang bahagia. Kenyataannya berbeda jauh dari bayanganku."Iya," lanjutnya, suaranya terdengar datar namun sarat dengan rasa sakit yang terpendam. "Dia selingkuh. Pergi meninggalkan kami."Kata-katanya menusuk lebih dalam dari yang kubayangkan. Aku merasa dadaku sesak. Bagaimana bisa aku tidak tahu? Selama ini, aku menganggap Adrian bahagia, hidupnya sempurna, sementara hidupku terperangkap dalam pernikahan yang kini hancur berantakan. Dan di depan mataku, berdiri Adrian yang terluka sama parahnya, mun
Bab 1: Hasil yang Dinanti Alat tes kehamilan di tanganku masih belum menunjukkan hasilnya. Meski begitu, aku sudah tahu. Hasilnya tidak seperti yang diharapkan oleh semua orang. Di luar kamar, aku bisa mendengar percakapan lirih dari ruang tamu. Suara ibu mertuaku, tegas dan penuh harap, berdengung seperti suara lebah yang terus mengitari pikiranku. Suara itu juga yang mendesakku untuk melakukan tes kehamilan secara berkala, sekaligus dengan bebas mengutarakan keinginannya agar aku bisa memberikan keturunan laki-laki untuk keluarga ini. Aku duduk di tepi tempat tidur, menggenggam alat kecil itu dengan tangan gemetar. Mengamati testpack di tanganku hingga hasilnya muncul dengan debar yang makin tak karuan, makin membuat dadaku sesak. Perlahan, sebuah garis muncul di alat tersebut. Negatif. Sudah kuduga. Tiba-tiba. pintu kamar terbuka sedikit. Wajah ibu mertuaku muncul di celah pintu. Tatapannya tajam, nyaris tak sabar. "Sudah?" tanyanya, tak sabar. Aku mengangguk perlahan, bib