Share

Bab 2. Ceraikan Aku

Author: Turiyah
last update Last Updated: 2024-10-08 02:33:41

Aku mungkin akan menikah lagi, ya. Tapi aku tidak akan menceraikanmu.”

Aku menggeleng. “Untuk apa aku tetap ada di sini? Bukankah aku tidak bisa memberikan keturunan untuk keluargamu?”

“Sudahlah, Rania jangan sok berlagak menjadi korban begitu. Seakan-akan kamu yang paling berjuang,” tukas ibu mertuaku. “Padahal di sini kamu yang tidak becus memberikan kami keturunan Danu.”

Hatiku bergetar mendengar kata-kata itu. Aku menggeleng, menatap tidak percaya ke arah ibu mertua yang selama ini aku hormati. 

“Bu, saya tidak mandul,” ucapku. Meski masih terdengar gemetar, tapi aku berusaha terdengar tegas.

“Tidak ada yang bermasalah dari saya. Hanya saja–”

Ibu mertuaku mendengus. “Kalau tidak mandul, tidak mungkin kamu belum hamil sampai sekarang. Sudahlah!”

Aku diam menatap wanita paruh baya itu. “Apakah memang fungsiku di sini hanya sebagai pencetak anak, Bu?” tanyaku lirih kemudian. “Apakah … semua yang keluarga ini lalui bersama saya … tidak ada artinya?”

Dulu, saat aku pertama bertemu Mas Danu, kondisi keluarga ini tidak sedang baik-baik saja. Ibu mertuaku kecelakaan, tertabrak hingga lumpuh. Semua biaya lari ke pengobatan ibu hingga kebutuhan semuanya terbengkalai.

Akulah yang merawat ibu mertuaku hingga Ibu bisa berjalan kembali. Di saat semua anaknya enggan dekat-dekat karena beliau bau pesing, bahkan enggan membantu Ibu bersih-bersih lantaran merasa jijik, akulah yang melakukan peran itu.

Sebagai baktiku. Sebagai istri Mas Danu, sekaligus menantu Ibu.

Namun, apakah semua itu … tidak ada artinya sekarang?

“Kamu ini ngomong apa sih? Mau makin berlagak, bahwa kamu satu–satunya yang suci di sini? Sementara kami semua orang jahat?” sergah ibu mertuaku kasar. “Tidak mempan!”

Ah, rupanya beliau sudah sejauh ini.

“Ran.” Mas Danu berdiri. “Duduk dulu. Ayo kita diskusi–”

“Mas. Keputusannya bukankah sudah ada? Untuk apa diskusi?” balasku. “Mas akan tetap menikah lagi, bukan? Kalau begitu, ceraikan saja aku.”

“Ran–”

“Aduh, drama sekali.” Ibu mertuaku tampak marah. “Ya sudahlah, Danu! Ceraikan saja dia.”

“Ibu!”

“Tapi, Rania. Kalau kamu pergi, kamu tidak akan mendapatkan apa pun, termasuk baju ganti!” Ibu mertuaku melanjutkan. “Semuanya dibeli oleh uang anakku. Kamu tidak berhak membawa apa pun.”

Aku terperangah. Sekali lagi dibuat tidak percaya dengan kata yang dilontarkan itu.

Sementara itu, ibu mertuaku tampak tersenyum penuh kemenangan.

“Kalau kamu tidak mau begitu, tetap di sini. Terima nasibmu dimadu, kerjakan tugasmu sebagai istri seperti biasanya.”

Ah. Rupanya begitu.

“Ibu memintaku tinggal agar aku bisa disuruh-suruh seperti biasa?” tanyaku pelan. “Apakah ini berarti, Ibu sebenarnya ingat apa saja yang telah keluarga ini lalui bersama saya?”

“Ck. Maksudmu itu apa? Saat aku lumpuh? Saat Danu tidak bisa melanjutkan kuliah karena masalah uang?” balas ibu mertuaku kasar. “Atau saat kamu tidak jadi lanjut studi magister? Kamu mau pamrih, hah? Itu semua keputusanmu sendiri! Jangan membebankannya pada kami, Rania!”

Ucapan wanita paruh baya itu kembali menohokku. Selain karena tuduhan bahwa aku pamrih, padahal aku hanya ingin mereka semua mengingat bagaimana kita semua bersama-sama menghadapi kesulitan itu semua, juga karena sebuah fakta.

Itu semua adalah keputusanku. Akulah yang patut disalahkahkan karena hal itu.

Dan aku tidak ingin melakukan kesalahan lainnya dengan mengedepankan keinginan mereka semua, dibanding keinginanku sendiri.

“Saya akan pergi.” Aku memutuskan.

“Ran, jangan gegabah.” Mas Danu menggenggam tanganku. “Pikirkan baik-baik.”

Aku menatap Mas Danu, lalu menarik tanganku dari genggamannya.

“Kamu pada keputusanmu, Mas,” kataku. “Dan aku dengan keputusanku.”Lalu aku melangkah pergi, meninggalkan semuanya.

Barang-barangku. Kenanganku.

Keluarga suamiku.

Baru sampai di luar pintu, langkahku terhenti. Mataku tertuju pada seorang gadis yang baru saja turun dari mobil tepat di depanku. 

Dia mengenakan gaun cantik, dan senyumnya tampak menawan. Siapa dia?

“Permisi. Apakah kamu Rania?” Gadis cantik itu bertanya, membuatku mengernyit. 

“Siapa–”

“Perkenalkan,” ucapnya lagi. “Aku calon istri Danu. Dia sering bercerita tentang kamu, sampai aku langsung mengenalimu begitu melihat kamu.” Ia tersenyum. “Tapi rasanya, dia tidak menceritakan aku padamu ya?”

Sepasang mataku membeliak sesaat. “Apakah Mas Danu sudah melamarmu?” tanyaku.

“Benar. Kami akan segera menikah. Tolong jangan dihalangi ya.” Wanita itu kembali berkata. “Soalnya aku sedang hamil anaknya.”

“Ah, jadi begitu.” Aku tersenyum tipis.

Danu. Rupanya kamu sudah bermain di belakangku selama ini? Itu sebabnya kamu diam saja sejak tadi, ya?

“Semoga bahagia,” ucapku kemudian, lalu berjalan pergi setenang mungkin sekalipun air mata sudah kembali mengancam turun.

Beruntung, aku sudah cukup jauh dari rumah ketika pada akhirnya, tangisku meledak.

Related chapters

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 3. Wanita itu.

    “Dia pasti kekasih barunya,” tebakku dalam hati, merasakan jantungku berdebar. Rasa sakit di dadaku semakin dalam saat aku menyadari bahwa aku sedang melihat wanita yang menggantikan posisiku di hidup Danu. Gadis itu berjalan mendekat, tampak penuh percaya diri, seolah-olah dia telah menjadi bagian dari keluarga ini sejak lama. Ia menatapku dengan senyum yang penuh arti, seolah mengetahui betapa hancurnya hatiku saat ini.“Halo, kamu pasti Rania,” katanya, suaranya ceria dan menggoda. “Danu sering bercerita tentangmu.”Aku hanya bisa menatapnya, mulutku terasa kering. “Dia memang suka bercerita,” jawabku, mencoba untuk tidak menunjukkan betapa hancurnya aku. “Kamu harus tahu, aku sangat menghargai semua yang telah kamu lakukan untuk Danu.” Dia melanjutkan, nada suaranya manis tapi penuh kepalsuan. “Tapi, aku rasa sudah saatnya kamu memberi jalan untuk kami berdua.”“Sudah berapa lama kaliaan berhubungan di belakangku?” tanyaku pelan, setenang mungkin. Dia tersenyum lebar, menatapk

    Last Updated : 2024-10-08
  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   bab 4. Siapa lelaki itu?

    Bab 4. Siapa lelaki itu?Aku membimbing langkahnya pelan, memastikan dia tak tergesa-gesa. Rumahnya ternyata tak begitu jauh dari rumahku, hanya di ujung jalan yang sama. Sepanjang perjalanan, suasana sunyi, hanya suara langkah kami yang bergaung pelan di jalan sepi itu. Sesekali, aku melirik ke arahnya, wajahnya tampak lelah dan mata sembab akibat tangis yang belum sepenuhnya reda. “Kamu baik sekali, terima kasih sudah membantuku,” ucapnya serak, memaksakan senyum. Aku menepuk bahunya lagi. “Jangan dipikirkan, kamu sudah aman sekarang. Semuanya akan baik-baik saja.”Ketika kami tiba di depan rumahnya, dia berhenti sejenak, menatapku dengan mata yang penuh rasa terima kasih. "Aku nggak tahu bagaimana aku bisa membalas semua ini."“Kamu nggak perlu berpikir untuk membalas. Yang penting kamu baik-baik aja,” balasku, sedikit tersenyum. Begitu kami sampai di depan rumah, pintu langsung terbuka, dan seorang wanita muncul dari dalam dengan ekspresi panik. Matanya melebar saat melihat pu

    Last Updated : 2024-10-08
  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   bab 5. Ternyata ...

    Bab 5. Ternyata …Tiba-tiba, kilasan ingatan menerpa pikiranku. “Adrian!” aku hampir berteriak saat kesadaranku muncul. Dia adalah Adrian, teman kuliahku dulu. Kenangan itu terlintas dengan jelas—momen-momen saat kami duduk di kelas yang sama, tawa saat kami belajar kelompok, dan obrolan-obrolan ringan yang membuatnya terasa dekat.Aku membelalak, kaget, dan mengernyitkan dahi. “Kamu Adrian? Teman kuliahku?” tanyaku, terkejut dengan perubahan yang jelas terlihat pada dirinya. Penampilannya jauh berbeda—lebih dewasa, lebih maskulin, dengan aura percaya diri yang baru. Bahkan sekarang tidak menggunakan kacamata seperti dulu.Dia tersenyum tipis, seolah bisa merasakan kebingunganku. “Iya, itu aku. Rasanya seperti sudah lama sekali, kan?” jawabnya, nadanya santai meskipun matanya menunjukkan kebingungan yang sama.Aku merasa jantungku berdegup lebih cepat, antara kaget dan bahagia bisa bertemu kembali dengan seseorang dari masa lalu. “Kau sudah berubah banyak,” ucapku, mencoba menahan seny

    Last Updated : 2024-10-08
  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 6. Tawaran

    Aku mendengar suara klakson pelan mengagetkanku. Dengan cepat, aku berbalik, menatap mobil lain yang baru parkir di halaman masjid ini. Aku menahan napas. Seharusnya tidak ada orang yang mengenalku di sini, apalagi di tempat yang seharusnya menjadi pelarian sejenak dari hiruk-pikuk hidupku.Aku diam, hanya bisa mengamati saat pemilik mobil itu keluar. Dan ketika sosok itu muncul dari balik pintu, napasku terhenti sejenak. Adrian…“Katakan padaku, apa yang terjadi denganmu sekarang!” tanya Adrian, suaranya mengandung nada cemas saat ia langsung menarik lenganku dan membawaku ke mobilnya. Aku tak berdaya melawan.“Adrian, kenapa menyusulku?” tanyaku sedikit syok, tak dapat menyembunyikan kegugupan yang menyusup ke dalam suaraku.Dia menatapku dengan mata yang dalam. “Aku tidak bisa hanya membiarkanmu pergi begitu saja. Aku merasa ada yang tidak beres, dan aku tidak bisa hanya duduk diam tanpa mencari tahu.”Mendengar kata-katanya, hatiku bergetar. Dia tidak hanya mencemaskan keadaanku;

    Last Updated : 2024-11-06
  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   bab 7. Pulang kampung

    Mobil melaju dengan cepat, terkadang melambatsaat menemui jalanan yang ramai atau tikungan tajam. Sepanjang perjalanan, percakapan kami terhenti, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Aku masih terbayang pada kata-kata Adrian dan Liana, perasaan campur aduk antara harapan dan keraguan menguasai pikiranku. Tak lama kemudian, mobil memasuki halaman hotel yang cukup mewah, tempat yang tampaknya sudah disiapkan Adrian untukku agar bisa tinggal sementara.Adrian memarkir mobil dan menoleh ke arahku. “Coba istirahat dulu di sini, Rania. Kamu butuh tempat yang nyaman sebelum menentukan apa langkah selanjutnya.”Aku mengangguk, merasa ragu untuk menerima kebaikan ini, tapi terlalu lelah untuk menolak. “Terima kasih, Adrian,” gumamku dengan suara rendah.“Liana, kamu temani dan iku ttidur di sini ya,” cetus Adrian. “Ah, tidak! Tidak! Saya enggak papa di sini sendiri, Adrian, biarkan Liana istirahat di rumah, dia juga butuh menenangkan diri,” sanggahku langsung. “Kamu yakin engga

    Last Updated : 2024-11-11
  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   bab 8. Bertemu dengan Danu lagi

    Degup jantungku kian kencang, dan jemariku mencengkeram erat tali tas yang kugenggam. Ada rasa takut dan benci yang bercampur jadi satu. Seharusnya dia tidak ada di sini. Mengapa dia datang? Kenapa sekarang, saat aku baru ingin kembali menguatkan diriku?Kakiku seperti tertahan di tanah, enggan melangkah maju atau bahkan bergerak. Aku menelan ludah, mencoba mengendalikan napas yang kini terasa berat dan tak teratur. Pandanganku terasa kabur, tubuhku kaku, dan dadaku serasa sesak.“Apa yang dia lakukan di sini?” bisikku dalam hati, hampir tidak mampu mengeluarkan suara. Rasa sakit yang masih belum mengering ini masih terasa di hati.Aku menatap mobil itu dengan tatapan kosong, otakku bekerja keras mencoba memahami alasan kehadirannya. Bayangan tentang semua kenangan buruk bersama Danu kembali menghantuiku. Semua perasaan terluka, rasa kecewa, dan pengkhianatan yang kubawa selama ini, seolah berkumpul lagi dalam satu detik yang sangat mencekam ini.Aku menguatkan diri, berusaha menarik

    Last Updated : 2024-11-12
  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 9. Akhirnya pergi

    Ibu menatapku dalam diam, matanya sendu, namun tatapannya dingin. Harapanku mendadak runtuh ketika dia hanya menarik napas panjang, seolah sedang memutuskan sesuatu dalam pikirannya. Akhirnya, dengan suara pelan namun tajam, Ibu berkata, "Rania, kamu tahu kan keluarga kita ini sudah cukup susah. Kamu tinggal dengan suamimu, jangan pulang dengan keluhan yang hanya bikin susah keluarga sendiri."Aku terpaku. Rasanya seolah ada yang menusuk jauh ke dalam dada. Seketika semua kekuatan yang kupunya lenyap. Ibu, orang yang kupikir akan berdiri di sisiku, justru mengabaikan luka yang selama ini kusembunyikan."Ibu, apakah Ibu tidak melihat apa yang sudah aku lalui selama ini? Aku sudah bertahan… terlalu lama." Suaraku hampir tenggelam, bergetar menahan perasaan yang terus menggelegak di dalam hati."Ibu paham, Rania… Tapi bagaimanapun, pernikahan itu harus dijalani, bukan malah dihindari. Danu suami yang baik, mungkin kamu saja yang terlalu cepat merasa lelah," jawabnya tanpa keraguan, seol

    Last Updated : 2024-11-14
  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 10. Mengambil barang yang tertinggal

    Tangan kupegang erat, mencoba menahan gemetar yang semakin menguasai tubuhku. Aku berjalan menuju pintu, mengabaikan tatapan mereka. Perasaanku sudah mati rasa. Aku melangkah keluar dari rumah itu dengan air mata yang terus mengalir. Setiap tetesnya adalah hasil dari segala pengorbanan yang tak pernah dihargai. Aku berjalan menuju hotel yang disewakan Adrian, berharap bisa menemukan sedikit kedamaian di sana, meski hatiku begitu hancur.Aku tahu, aku tidak boleh terpuruk lama-lama. Jika mereka sudah tidak menginginkanku, jika mereka takut aku hanya akan menjadi beban, aku akan pergi. Mungkin aku tidak akan pernah kembali, tapi jujur, ini sangat menyakitkan. Mengetahui bahwa keluarga lebih memilih untuk memihak orang lain, bukan aku, anak mereka sendiri.Aku berhenti sejenak di tengah jalan, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Rasanya seperti ada sesuatu yang terlepas dari dadaku, meski rasa sakit itu tak kunjung hilang. Setiap langkah yang kuambil terasa lebih bera

    Last Updated : 2024-11-20

Latest chapter

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 22. ke acara keluarga Suami

    Aku mencoba menegakkan wajah, sadar akan satu hal, aku di sini cuma akting, tidak perlu dibawa perasaan. “Sepertinya Kak Danar lebih tertarik kepadaku ya, terlihat dari rasa penasarannya,” ujarku dengan senyum lebar, mencoba memasang wajah percaya diri meskipun di dalam hati aku masih goyah.Danar—yang tadi begitu lantang mengkritik—terlihat sedikit terkejut dengan responsku. Alisnya terangkat, tapi dia cepat-cepat menyembunyikan keterkejutannya dengan mendengus pelan.“Menarik? Hah, jangan salah paham. Aku hanya memastikan Adrian tidak salah langkah,” balasnya dengan nada dingin, meskipun aku bisa melihat sorot matanya sedikit berubah.Aku tersenyum kecil, berusaha tetap tenang. “Kalau begitu, terima kasih atas perhatian Kakak. Saya pastikan, Adrian tidak salah memilih.”Suasana sejenak terasa kaku. Adrian menatapku, matanya berbinar, seolah kagum dengan keberanianku menjawab balik.“Rania, kamu bisa atasi ini?” bisiknya pelan, hanya cukup untuk kudengar.Aku mengangguk sedikit, me

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 21. Diajak bertemu keluarganya

    “Ini Rania, Bu,” potong Adrian cepat. “Pacarku.”Aku mencoba tersenyum sopan, dan mencoba menyesuaikan diri. “Oh, jadi ini Rania,” ujar wanita itu sambil mengamati penampilanku dari atas ke bawah. “Masuklah, semuanya sudah menunggu.”Aku melirik Adrian dengan perasaan campur aduk. Dia membalas tatapanku dengan senyum meyakinkan, seolah-olah ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi aku tahu, malam ini baru saja dimulai, dan rasanya ini akan jadi malam yang panjang.Langkahku memelan begitu sampai ke ruang utama, terlihat begitu banyak orang yang sudah duduk di sana dan saling bercengkrama, aku, aku mendadak merasa semakin kerdil rasanya. Aku mencengkeram lengan Adrian semakin kuat, nyaris membuatnya meringis kecil. Tapi dia hanya membalas dengan menyentuh tanganku, menyalurkan kehangatan dan ketenangan yang berusaha dia tawarkan.“Tenang saja, ini hanya pura-pura, oke?” bisiknya pelan, hampir seperti janji.Aku mengangguk kecil, meskipun hatiku masih terasa seperti b

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 20. Salah paham

    Malam pun tiba, dan Sabrina tidak main-main dengan kata-katanya. Di kamarnya yang kecil tapi rapi, dia mengatur segala perlengkapan make-up di meja. Aku hanya bisa duduk di kursi kecil, sementara Sabrina sibuk merias wajahku dengan telaten.“Rania, kamu harus ingat satu hal,” katanya sambil memulas pipiku dengan blush on. “Percaya diri. Kamu itu cantik, kok, cuma selama ini kamu terlalu menyembunyikan diri di balik kaos dan celana biasa.”Aku tertawa kecil, meski jujur, jantungku berdegup kencang. “Sab, aku cuma takut ini terlalu berlebihan. Lagian, Adrian itu atasan, aku nggak mau ini jadi bahan omongan.”Sabrina meletakkan kuasnya, menatapku serius. “Denger, ya, Rania. Adrian itu ngajak kamu makan malam bukan karena sekadar basa-basi. Percaya deh, dia lihat sesuatu yang spesial dari kamu. Jadi tolong, berhenti merendahkan diri sendiri.”Kata-katanya membuatku terdiam. Aku menghela napas panjang, mencoba meredakan kegugupan yang membuncah.Setelah hampir satu jam, Sabrina akhirnya se

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 19. Cemas

    Pagi itu aku terbangun lebih awal dari biasanya, mataku menatap sekeliling kamar yang sepi dan hampir tanpa barang. Rasanya aku sudah tidak sanggup lagi untuk tinggal di sini. Mungkin seminggu lagi terasa terlalu lama. Aku Aku berbaring sejenak, merenung. Sepertinya aku harus memberitahu Sabrina nanti, aku akan pindah ke kostnya besok pagi. Mungkin itu solusi terbaik untuk sementara waktu. Aku akhirnya bangkit dari ranjang, mengusap wajahku. Pagi ini, aku merasa sedikit lebih bersemangat untuk memulai hari. Ada pekerjaan yang menunggu, dan aku perlu memastikan segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Setelah membersihkan diri, aku cepat-cepat bersiap, berharap bisa tiba lebih awal di kantor. Ada beberapa hal yang harus aku lakukan, dan aku ingin meluangkan waktu untuk mencari sarapan di sekitar kantor, aku juga sudah mulai terbiasa dengan rutinitas ini—hidup mandiri, jauh dari keluarga, dan mencoba bertahan hidup dengan cara yang paling realistis.Aku mengambil dompet dari meja, me

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 18. Ajakan makan malam

    Besoknya, Sabrina menepati janjinya untuk menemaniku mencari kost. Meskipun sepanjang perjalanan dia terus bercerita tentang pengalaman-pengalamannya yang seru, pikiranku masih melayang pada tawarannya untuk berbagi kamar.Kami berhenti di depan sebuah bangunan kecil yang tampak nyaman. Sabrina menunjuk ke salah satu jendela di lantai dua.“Itu kamar kostku, Rania. Lihat? Enggak terlalu besar, tapi cukup nyaman. Kalau kita sekamar, aku yakin bakal lebih hidup.”Aku tersenyum kecil. “Sepertinya memang nyaman, Sabrina.”Setelah selesai melihat-lihat, Sabrina mengantarku ke depan bangunan. “Oke, Rania, aku enggak mau maksa, tapi tolong dipikirkan, ya. Aku serius banget mau kamu jadi roommate-ku.”Aku mengangguk, merasa bersyukur memiliki Sabrina sebagai teman. “Aku pasti pikirkan, Sabrina. Terima kasih sudah menawarkan.”Malam itu, aku duduk di hotel yang masih disewakan Adrian. Ponselku berbunyi, menampilkan pesan baru dari Adrian.[Bagaimana harimu? Semoga semuanya berjalan lancar. Jan

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 17. perhatian Adrian

    Akhirnya kami memutuskan untuk mencari warung makan dulu sebelum mencari kost- kostan. Di tempat makan, Sabrina langsung memilih tempat di sudut yang cukup tenang, seolah tahu bahwa percakapan ini butuh ruang khusus. Dia menatapku penuh harap, sambil memindahkan gelas air mineralnya ke sisi meja.“Jadi, siapa dia? Mantan pacar? Atau mantan suami?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi.Aku terdiam sejenak, meresapi pertanyaannya. Sabrina memang terlalu blak-blakan, tapi kejujuran yang ia tawarkan membuatku merasa cukup nyaman untuk bicara. “Danu... dia mantan suamiku,” akhirnya aku mengakui, menatap langsung ke arah Sabrina.Mata Sabrina membelalak kaget. “Mantan suami? Jadi kamu sudah menikah sebelumnya?”Aku mengangguk pelan. “Ya, aku pernah menikah dengannya. Tapi semuanya berakhir... tidak baik.”Sabrina menghela napas panjang, seolah mencoba mencerna informasi itu. “Dan Denada? Dia yang sekarang bersamanya?”“Iya,” jawabku sambil tersenyum getir. “Bisa dibilang, dia salah satu alas

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   bab 16. Penjelasan

    “Rania?”Aku menoleh, dan Adrian berdiri di sana, di dekat meja kerjaku. Aku terkejut. “Adrian? Kenapa ke sini lagi?”Dia tersenyum tipis, matanya menatapku dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. “Kebetulan aku sedang ada rapat di lantai ini. Aku cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja.”Aku terdiam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku baik-baik saja. Terima kasih, Adrian.”Dia mengangguk, lalu berkata, “Bagus kalau begitu. Tapi jangan lupa, kalau ada apa-apa, aku di sini.”Suaranya begitu tulus, dan entah mengapa, aku merasakan dorongan semangat baru. Setelah dia pergi, aku kembali menatap layar ponselku, membaca pesan-pesan tadi. Kali ini, senyum kecil terlukis di wajahku. Mungkin, hanya mungkin, aku tidak benar-benar sendiri lagi.Hari menanjak naik, akhirnya hari pertama kerja terlewati juga. Aku merenggangkan otot sejenak, sebelum akhirnya bersiap pulang. “Ayo kita keliling sekarang!” ajak Sabrina penuh semangat, menggandeng lenganku dengan antusias.Aku mengang

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   bab 15. Status Andre ternyata ...

    Aku menatap Sabrina dengan bingung. “Iri? Kenapa kamu bilang begitu?” tanyaku, mencoba menahan tawa kecil.Sabrina mencondongkan tubuh ke arahku, suaranya setengah berbisik. “Karena Adrian, siapa lagi?”“Adrian?” Aku mengerutkan dahi, masih belum paham arah pembicaraannya.Sabrina mengangguk cepat, matanya berbinar seperti sedang menyampaikan gosip paling menarik di dunia. “Iya! Kamu tahu kan dia siapa?”Aku menggeleng pelan, bingung dengan reaksinya. “Ya, dia teman lamaku. Kenapa memangnya?”Sabrina mendengus, lalu menatapku seperti aku baru saja mengatakan sesuatu yang sangat bodoh. “Dia atasan kita, Rania. Salah satu pemegang saham di sini. Dan tadi... dia berjalan langsung ke meja kamu. Semua orang pasti iri!”Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi itu. Adrian? Pemegang saham? Aku benar-benar tidak tahu apa-apa soal itu.“Kamu enggak bercanda, kan?” tanyaku pelan.“Mana mungkin aku bercanda soal hal sepenting ini? Dia jarang banget turun langsung ke lantai ini, apalagi be

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   bab 14. Di kantor.

    Aku menatap wanita itu dari atas ke bawah, memastikan apa yang kulihat benar adanya. Ya, memang dia. Wanita yang pernah datang ke rumah Danu dengan penuh percaya diri, seolah-olah memiliki hak atas segalanya.“Wah, jadi kamu ke sini untuk mengikuti aku, ya?” cetusnya tiba-tiba, dengan nada penuh ejekan.Aku mengerutkan kening, masih berusaha mencerna situasi ini, sementara dia melangkah mendekat dengan senyum sinis menghiasi wajahnya.“Lihat, setelah suaminya meninggalkannya, dia pasti ke sini untuk mengejar aku,” lanjutnya tanpa ragu. “Duh, kasihan sekali. Benar-benar menyedihkan.”Beberapa rekan kerja yang tadi sibuk dengan percakapan masing-masing kini berhenti, menatap kami berdua dengan rasa penasaran yang tidak bisa disembunyikan. Aku bisa merasakan mata mereka yang mulai bergulir, menilai situasi ini.Aku menarik napas dalam, menahan emosi yang mulai bergejolak. Tidak, aku tidak akan jatuh ke dalam jebakan ini. Tidak kali ini.“Aku ke sini untuk bekerja, bukan untuk hal-hal yan

DMCA.com Protection Status