Share

Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai
Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai
Author: Turiyah

Bab 1. Hasil yang dinanti

Author: Turiyah
last update Last Updated: 2024-10-08 02:32:24

Bab 1: Hasil yang Dinanti

Alat tes kehamilan di tanganku masih belum menunjukkan hasilnya.

Meski begitu, aku sudah tahu. Hasilnya tidak seperti yang diharapkan oleh semua orang.

Di luar kamar, aku bisa mendengar percakapan lirih dari ruang tamu. Suara ibu mertuaku, tegas dan penuh harap, berdengung seperti suara lebah yang terus mengitari pikiranku. Suara itu juga yang mendesakku untuk melakukan tes kehamilan secara berkala, sekaligus dengan bebas mengutarakan keinginannya agar aku bisa memberikan keturunan laki-laki untuk keluarga ini.

Aku duduk di tepi tempat tidur, menggenggam alat kecil itu dengan tangan gemetar. Mengamati testpack di tanganku hingga hasilnya muncul dengan debar yang makin tak karuan, makin membuat dadaku sesak.

Perlahan, sebuah garis muncul di alat tersebut.

Negatif.

Sudah kuduga.

Tiba-tiba. pintu kamar terbuka sedikit. Wajah ibu mertuaku muncul di celah pintu. Tatapannya tajam, nyaris tak sabar.

"Sudah?" tanyanya, tak sabar.

Aku mengangguk perlahan, bibirku kelu untuk berkata apa-apa.

"Bagaimana hasilnya?" 

Sebelum aku bisa menjawab, ibu mertuaku sudah melangkah masuk. Tanpa diminta, dia merebut alat itu dari tanganku dan memandangnya dengan tatapan kecewa.

Detik berikutnya, dia mendesah panjang—suara yang menusuk ke telingaku.

"Negatif lagi?" bisiknya lirih, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepadaku. "Ck."

Aku tak mampu menjawab. 

"Keluar. Semuanya sedang menunggu," kata ibu mertuaku kemudian dengan nada dingin. Wanita paruh baya itu menggenggam lenganku dan menarikku keluar dari kamar tanpa menunggu balasanku..

Sama sekali tidak ada kata-kata penghiburan, tidak ada simpati. Jika saja hasilnya positif, pasti ibu mertuaku tidak akan bersikap sedingin ini.

Di ruang tamu, seluruh keluarga sudah berkumpul. Mas Danu duduk di sofa, terlihat resah, diapit kedua kakak perempuan Mas Danu tengah berdiam diri dengan tangan bersilang di dada. Wajah suamiku yang tadinya penuh harap langsung tampak kecewa saat melihatku keluar dengan lesu.

“Nih. Negatif lagi.” Ibu mertuaku membuang testpack yang kugunakan lagi, mengonfirmasi dugaan anggota keluarga yang lain. “Ck. Rania, jujur saja pada Ibu. Kamu sebenarnya mandul, kan?”

Buru-buru aku menggeleng. “Bu, kami sudah mencoba–”

"Tapi belum ada hasilnya." Ibu mertuaku memotong, suaranya terdengar begitu keras di telingaku. "Sudah berapa tahun, Rania? Lima tahun? Sampai kapan kami harus menunggu?"

Mataku menatap ke Mas Danu, berharap dia akan berkata sesuatu, memberikan dukungan. 

Tapi dia hanya diam. Menunduk, seolah menghindari tatapan dariku.

“Kamu tahu kan kalau Danu itu anak laki-laki satu-satunya di keluarga ini?” ucap ibu mertuaku lagi. “Kalau dua kakak Danu melahirkan anak pun, kemungkinan besar mereka ikut keluarga ayah mereka. Danu ini yang akan memimpin keluarga ini nantinya. Karenanya dia butuh penerus!”

Hening sejenak.

“Dan jika kamu tidak bisa memberikannya,” lanjut ibu mertuaku, membuat dasar perutku seperti diaduk-aduk. “Lebih baik Danu menikah lagi.”

Aku menggigit bibir, mencoba menahan gelombang emosi yang siap meluap. Kata-katanya menusuk jantungku, menghancurkan setiap keyakinan yang pernah kubangun dalam hubungan ini.

“Bu, kami saling mencintai,” kataku dengan suara gemetar. “Saya dan Mas Danu–”

Ibu mertuaku tertawa, otomatis memotong ucapanku. Membuatku bingung.

Apakah … ada yang lucu dari ucapanku?

“Cinta saja tidak cukup Rania. Memang cinta bisa membuatku dapat cucu, padahal dirimu tidak mampu?” Ibu mertuaku kemudian berkata, membuat hatiku seperti sedang diiris-iris.

“Bu, saya–kami juga ingin memiliki anak,” kataku lagi, masih berusaha memberanikan diri. “Namun, mungkin memang jalannya belum diberi oleh Tuhan. Kami tidak akan menyerah, tapi tolong, Bu.” Aku menatap ibu mertuaku. “Tolong jangan paksa Mas Danu untuk mengkhianati pernikahan ini.”

“Memangnya aku terlihat memaksa?” balas ibu mertuaku. “Sejak tadi aku tidak mendengar penolakan dari Danu. Kalau seperti ini, bukankah justru kamu yang terkesan memaksa putraku untuk setia padamu, padahal kamu tidak bisa hamil?”

“Bu,” aku hampir menangis, “tolong jangan seperti ini….”

Kualihkan pandanganku ke suamiku, melihat responsnya akan ucapan ibu mertua dan memohon bantuannya. 

Namun, harapan bahwa Mas Danu masih di pihakku langsung musnah seketika ketika dia hanya menatapku dengan pandangan datar. Seperti tidak keberatan dengan ucapan ibu mertua.

"Mas Danu, katakan sesuatu," bisikku, suaraku hampir tidak terdengar. Tidak percaya pria itu … tega.

Tapi Danu masih diam, seolah kata-kataku tidak lebih dari angin lalu.

Tanganku mengepal, berusaha menyembunyikan gemetar di sana, sementara kakiku terasa lemas. 

Ibu mertuaku mendengus. “Sudahlah, terima saja nasibmu,” kata wanita paruh baya itu. “Terima saja untuk dimadu.”

Aku menarik napas dalam-dalam, meski tersendat karena sesak dalam dada yang kutahan. 

“Mas, kamu benar-benar tidak berniat menyampaikan pendapatmu dalam hal ini?” tanyaku untuk yang terakhir kalinya. “Apakah kebersamaan kita selama ini tidak ada apa-apanya untukmu?”

“Ran, aku juga tidak ingin seperti ini.” Akhirnya, Mas Danu berucap. “Tapi sebagai anak laki-laki, aku harus mengutamakan keinginan Ibu.”

Aku kembali menghela napas.

Saat itu, seluruh harapanku mulai sirna. Aku sudah memberikan segalanya—uang, dukungan, cinta—dan kini, semua itu seolah tidak berarti.

“Kalau kamu berpikir mencari orang lain untuk memberikan keturunan adalah solusi,” kataku, berusaha menjaga suaraku tetap tenang meskipun hatiku berontak. “Maka mungkin kita perlu berpikir ulang tentang hubungan ini.”

Mas Danu langsung berdiri. “Aku tidak akan menceraikanmu, Rania,” katanya. ”Aku mungkin akan menikah lagi, ya. Tapi aku tidak akan menceraikanmu.”

Related chapters

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 2. Ceraikan Aku

    Aku mungkin akan menikah lagi, ya. Tapi aku tidak akan menceraikanmu.” Aku menggeleng. “Untuk apa aku tetap ada di sini? Bukankah aku tidak bisa memberikan keturunan untuk keluargamu?” “Sudahlah, Rania jangan sok berlagak menjadi korban begitu. Seakan-akan kamu yang paling berjuang,” tukas ibu mertuaku. “Padahal di sini kamu yang tidak becus memberikan kami keturunan Danu.” Hatiku bergetar mendengar kata-kata itu. Aku menggeleng, menatap tidak percaya ke arah ibu mertua yang selama ini aku hormati. “Bu, saya tidak mandul,” ucapku. Meski masih terdengar gemetar, tapi aku berusaha terdengar tegas.“Tidak ada yang bermasalah dari saya. Hanya saja–” Ibu mertuaku mendengus. “Kalau tidak mandul, tidak mungkin kamu belum hamil sampai sekarang. Sudahlah!” Aku diam menatap wanita paruh baya itu. “Apakah memang fungsiku di sini hanya sebagai pencetak anak, Bu?” tanyaku lirih kemudian. “Apakah … semua yang keluarga ini lalui bersama saya … tidak ada artinya?” Dulu, saat aku pertama bertem

    Last Updated : 2024-10-08
  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 3. Wanita itu.

    “Dia pasti kekasih barunya,” tebakku dalam hati, merasakan jantungku berdebar. Rasa sakit di dadaku semakin dalam saat aku menyadari bahwa aku sedang melihat wanita yang menggantikan posisiku di hidup Danu. Gadis itu berjalan mendekat, tampak penuh percaya diri, seolah-olah dia telah menjadi bagian dari keluarga ini sejak lama. Ia menatapku dengan senyum yang penuh arti, seolah mengetahui betapa hancurnya hatiku saat ini.“Halo, kamu pasti Rania,” katanya, suaranya ceria dan menggoda. “Danu sering bercerita tentangmu.”Aku hanya bisa menatapnya, mulutku terasa kering. “Dia memang suka bercerita,” jawabku, mencoba untuk tidak menunjukkan betapa hancurnya aku. “Kamu harus tahu, aku sangat menghargai semua yang telah kamu lakukan untuk Danu.” Dia melanjutkan, nada suaranya manis tapi penuh kepalsuan. “Tapi, aku rasa sudah saatnya kamu memberi jalan untuk kami berdua.”“Sudah berapa lama kaliaan berhubungan di belakangku?” tanyaku pelan, setenang mungkin. Dia tersenyum lebar, menatapk

    Last Updated : 2024-10-08
  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   bab 4. Siapa lelaki itu?

    Bab 4. Siapa lelaki itu?Aku membimbing langkahnya pelan, memastikan dia tak tergesa-gesa. Rumahnya ternyata tak begitu jauh dari rumahku, hanya di ujung jalan yang sama. Sepanjang perjalanan, suasana sunyi, hanya suara langkah kami yang bergaung pelan di jalan sepi itu. Sesekali, aku melirik ke arahnya, wajahnya tampak lelah dan mata sembab akibat tangis yang belum sepenuhnya reda. “Kamu baik sekali, terima kasih sudah membantuku,” ucapnya serak, memaksakan senyum. Aku menepuk bahunya lagi. “Jangan dipikirkan, kamu sudah aman sekarang. Semuanya akan baik-baik saja.”Ketika kami tiba di depan rumahnya, dia berhenti sejenak, menatapku dengan mata yang penuh rasa terima kasih. "Aku nggak tahu bagaimana aku bisa membalas semua ini."“Kamu nggak perlu berpikir untuk membalas. Yang penting kamu baik-baik aja,” balasku, sedikit tersenyum. Begitu kami sampai di depan rumah, pintu langsung terbuka, dan seorang wanita muncul dari dalam dengan ekspresi panik. Matanya melebar saat melihat pu

    Last Updated : 2024-10-08
  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   bab 5. Ternyata ...

    Bab 5. Ternyata …Tiba-tiba, kilasan ingatan menerpa pikiranku. “Adrian!” aku hampir berteriak saat kesadaranku muncul. Dia adalah Adrian, teman kuliahku dulu. Kenangan itu terlintas dengan jelas—momen-momen saat kami duduk di kelas yang sama, tawa saat kami belajar kelompok, dan obrolan-obrolan ringan yang membuatnya terasa dekat.Aku membelalak, kaget, dan mengernyitkan dahi. “Kamu Adrian? Teman kuliahku?” tanyaku, terkejut dengan perubahan yang jelas terlihat pada dirinya. Penampilannya jauh berbeda—lebih dewasa, lebih maskulin, dengan aura percaya diri yang baru. Bahkan sekarang tidak menggunakan kacamata seperti dulu.Dia tersenyum tipis, seolah bisa merasakan kebingunganku. “Iya, itu aku. Rasanya seperti sudah lama sekali, kan?” jawabnya, nadanya santai meskipun matanya menunjukkan kebingungan yang sama.Aku merasa jantungku berdegup lebih cepat, antara kaget dan bahagia bisa bertemu kembali dengan seseorang dari masa lalu. “Kau sudah berubah banyak,” ucapku, mencoba menahan seny

    Last Updated : 2024-10-08
  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 6. Tawaran

    Aku mendengar suara klakson pelan mengagetkanku. Dengan cepat, aku berbalik, menatap mobil lain yang baru parkir di halaman masjid ini. Aku menahan napas. Seharusnya tidak ada orang yang mengenalku di sini, apalagi di tempat yang seharusnya menjadi pelarian sejenak dari hiruk-pikuk hidupku.Aku diam, hanya bisa mengamati saat pemilik mobil itu keluar. Dan ketika sosok itu muncul dari balik pintu, napasku terhenti sejenak. Adrian…“Katakan padaku, apa yang terjadi denganmu sekarang!” tanya Adrian, suaranya mengandung nada cemas saat ia langsung menarik lenganku dan membawaku ke mobilnya. Aku tak berdaya melawan.“Adrian, kenapa menyusulku?” tanyaku sedikit syok, tak dapat menyembunyikan kegugupan yang menyusup ke dalam suaraku.Dia menatapku dengan mata yang dalam. “Aku tidak bisa hanya membiarkanmu pergi begitu saja. Aku merasa ada yang tidak beres, dan aku tidak bisa hanya duduk diam tanpa mencari tahu.”Mendengar kata-katanya, hatiku bergetar. Dia tidak hanya mencemaskan keadaanku;

    Last Updated : 2024-11-06
  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   bab 7. Pulang kampung

    Mobil melaju dengan cepat, terkadang melambatsaat menemui jalanan yang ramai atau tikungan tajam. Sepanjang perjalanan, percakapan kami terhenti, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Aku masih terbayang pada kata-kata Adrian dan Liana, perasaan campur aduk antara harapan dan keraguan menguasai pikiranku. Tak lama kemudian, mobil memasuki halaman hotel yang cukup mewah, tempat yang tampaknya sudah disiapkan Adrian untukku agar bisa tinggal sementara.Adrian memarkir mobil dan menoleh ke arahku. “Coba istirahat dulu di sini, Rania. Kamu butuh tempat yang nyaman sebelum menentukan apa langkah selanjutnya.”Aku mengangguk, merasa ragu untuk menerima kebaikan ini, tapi terlalu lelah untuk menolak. “Terima kasih, Adrian,” gumamku dengan suara rendah.“Liana, kamu temani dan iku ttidur di sini ya,” cetus Adrian. “Ah, tidak! Tidak! Saya enggak papa di sini sendiri, Adrian, biarkan Liana istirahat di rumah, dia juga butuh menenangkan diri,” sanggahku langsung. “Kamu yakin engga

    Last Updated : 2024-11-11
  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   bab 8. Bertemu dengan Danu lagi

    Degup jantungku kian kencang, dan jemariku mencengkeram erat tali tas yang kugenggam. Ada rasa takut dan benci yang bercampur jadi satu. Seharusnya dia tidak ada di sini. Mengapa dia datang? Kenapa sekarang, saat aku baru ingin kembali menguatkan diriku?Kakiku seperti tertahan di tanah, enggan melangkah maju atau bahkan bergerak. Aku menelan ludah, mencoba mengendalikan napas yang kini terasa berat dan tak teratur. Pandanganku terasa kabur, tubuhku kaku, dan dadaku serasa sesak.“Apa yang dia lakukan di sini?” bisikku dalam hati, hampir tidak mampu mengeluarkan suara. Rasa sakit yang masih belum mengering ini masih terasa di hati.Aku menatap mobil itu dengan tatapan kosong, otakku bekerja keras mencoba memahami alasan kehadirannya. Bayangan tentang semua kenangan buruk bersama Danu kembali menghantuiku. Semua perasaan terluka, rasa kecewa, dan pengkhianatan yang kubawa selama ini, seolah berkumpul lagi dalam satu detik yang sangat mencekam ini.Aku menguatkan diri, berusaha menarik

    Last Updated : 2024-11-12
  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 9. Akhirnya pergi

    Ibu menatapku dalam diam, matanya sendu, namun tatapannya dingin. Harapanku mendadak runtuh ketika dia hanya menarik napas panjang, seolah sedang memutuskan sesuatu dalam pikirannya. Akhirnya, dengan suara pelan namun tajam, Ibu berkata, "Rania, kamu tahu kan keluarga kita ini sudah cukup susah. Kamu tinggal dengan suamimu, jangan pulang dengan keluhan yang hanya bikin susah keluarga sendiri."Aku terpaku. Rasanya seolah ada yang menusuk jauh ke dalam dada. Seketika semua kekuatan yang kupunya lenyap. Ibu, orang yang kupikir akan berdiri di sisiku, justru mengabaikan luka yang selama ini kusembunyikan."Ibu, apakah Ibu tidak melihat apa yang sudah aku lalui selama ini? Aku sudah bertahan… terlalu lama." Suaraku hampir tenggelam, bergetar menahan perasaan yang terus menggelegak di dalam hati."Ibu paham, Rania… Tapi bagaimanapun, pernikahan itu harus dijalani, bukan malah dihindari. Danu suami yang baik, mungkin kamu saja yang terlalu cepat merasa lelah," jawabnya tanpa keraguan, seol

    Last Updated : 2024-11-14

Latest chapter

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 22. ke acara keluarga Suami

    Aku mencoba menegakkan wajah, sadar akan satu hal, aku di sini cuma akting, tidak perlu dibawa perasaan. “Sepertinya Kak Danar lebih tertarik kepadaku ya, terlihat dari rasa penasarannya,” ujarku dengan senyum lebar, mencoba memasang wajah percaya diri meskipun di dalam hati aku masih goyah.Danar—yang tadi begitu lantang mengkritik—terlihat sedikit terkejut dengan responsku. Alisnya terangkat, tapi dia cepat-cepat menyembunyikan keterkejutannya dengan mendengus pelan.“Menarik? Hah, jangan salah paham. Aku hanya memastikan Adrian tidak salah langkah,” balasnya dengan nada dingin, meskipun aku bisa melihat sorot matanya sedikit berubah.Aku tersenyum kecil, berusaha tetap tenang. “Kalau begitu, terima kasih atas perhatian Kakak. Saya pastikan, Adrian tidak salah memilih.”Suasana sejenak terasa kaku. Adrian menatapku, matanya berbinar, seolah kagum dengan keberanianku menjawab balik.“Rania, kamu bisa atasi ini?” bisiknya pelan, hanya cukup untuk kudengar.Aku mengangguk sedikit, me

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 21. Diajak bertemu keluarganya

    “Ini Rania, Bu,” potong Adrian cepat. “Pacarku.”Aku mencoba tersenyum sopan, dan mencoba menyesuaikan diri. “Oh, jadi ini Rania,” ujar wanita itu sambil mengamati penampilanku dari atas ke bawah. “Masuklah, semuanya sudah menunggu.”Aku melirik Adrian dengan perasaan campur aduk. Dia membalas tatapanku dengan senyum meyakinkan, seolah-olah ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi aku tahu, malam ini baru saja dimulai, dan rasanya ini akan jadi malam yang panjang.Langkahku memelan begitu sampai ke ruang utama, terlihat begitu banyak orang yang sudah duduk di sana dan saling bercengkrama, aku, aku mendadak merasa semakin kerdil rasanya. Aku mencengkeram lengan Adrian semakin kuat, nyaris membuatnya meringis kecil. Tapi dia hanya membalas dengan menyentuh tanganku, menyalurkan kehangatan dan ketenangan yang berusaha dia tawarkan.“Tenang saja, ini hanya pura-pura, oke?” bisiknya pelan, hampir seperti janji.Aku mengangguk kecil, meskipun hatiku masih terasa seperti b

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 20. Salah paham

    Malam pun tiba, dan Sabrina tidak main-main dengan kata-katanya. Di kamarnya yang kecil tapi rapi, dia mengatur segala perlengkapan make-up di meja. Aku hanya bisa duduk di kursi kecil, sementara Sabrina sibuk merias wajahku dengan telaten.“Rania, kamu harus ingat satu hal,” katanya sambil memulas pipiku dengan blush on. “Percaya diri. Kamu itu cantik, kok, cuma selama ini kamu terlalu menyembunyikan diri di balik kaos dan celana biasa.”Aku tertawa kecil, meski jujur, jantungku berdegup kencang. “Sab, aku cuma takut ini terlalu berlebihan. Lagian, Adrian itu atasan, aku nggak mau ini jadi bahan omongan.”Sabrina meletakkan kuasnya, menatapku serius. “Denger, ya, Rania. Adrian itu ngajak kamu makan malam bukan karena sekadar basa-basi. Percaya deh, dia lihat sesuatu yang spesial dari kamu. Jadi tolong, berhenti merendahkan diri sendiri.”Kata-katanya membuatku terdiam. Aku menghela napas panjang, mencoba meredakan kegugupan yang membuncah.Setelah hampir satu jam, Sabrina akhirnya se

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 19. Cemas

    Pagi itu aku terbangun lebih awal dari biasanya, mataku menatap sekeliling kamar yang sepi dan hampir tanpa barang. Rasanya aku sudah tidak sanggup lagi untuk tinggal di sini. Mungkin seminggu lagi terasa terlalu lama. Aku Aku berbaring sejenak, merenung. Sepertinya aku harus memberitahu Sabrina nanti, aku akan pindah ke kostnya besok pagi. Mungkin itu solusi terbaik untuk sementara waktu. Aku akhirnya bangkit dari ranjang, mengusap wajahku. Pagi ini, aku merasa sedikit lebih bersemangat untuk memulai hari. Ada pekerjaan yang menunggu, dan aku perlu memastikan segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Setelah membersihkan diri, aku cepat-cepat bersiap, berharap bisa tiba lebih awal di kantor. Ada beberapa hal yang harus aku lakukan, dan aku ingin meluangkan waktu untuk mencari sarapan di sekitar kantor, aku juga sudah mulai terbiasa dengan rutinitas ini—hidup mandiri, jauh dari keluarga, dan mencoba bertahan hidup dengan cara yang paling realistis.Aku mengambil dompet dari meja, me

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 18. Ajakan makan malam

    Besoknya, Sabrina menepati janjinya untuk menemaniku mencari kost. Meskipun sepanjang perjalanan dia terus bercerita tentang pengalaman-pengalamannya yang seru, pikiranku masih melayang pada tawarannya untuk berbagi kamar.Kami berhenti di depan sebuah bangunan kecil yang tampak nyaman. Sabrina menunjuk ke salah satu jendela di lantai dua.“Itu kamar kostku, Rania. Lihat? Enggak terlalu besar, tapi cukup nyaman. Kalau kita sekamar, aku yakin bakal lebih hidup.”Aku tersenyum kecil. “Sepertinya memang nyaman, Sabrina.”Setelah selesai melihat-lihat, Sabrina mengantarku ke depan bangunan. “Oke, Rania, aku enggak mau maksa, tapi tolong dipikirkan, ya. Aku serius banget mau kamu jadi roommate-ku.”Aku mengangguk, merasa bersyukur memiliki Sabrina sebagai teman. “Aku pasti pikirkan, Sabrina. Terima kasih sudah menawarkan.”Malam itu, aku duduk di hotel yang masih disewakan Adrian. Ponselku berbunyi, menampilkan pesan baru dari Adrian.[Bagaimana harimu? Semoga semuanya berjalan lancar. Jan

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 17. perhatian Adrian

    Akhirnya kami memutuskan untuk mencari warung makan dulu sebelum mencari kost- kostan. Di tempat makan, Sabrina langsung memilih tempat di sudut yang cukup tenang, seolah tahu bahwa percakapan ini butuh ruang khusus. Dia menatapku penuh harap, sambil memindahkan gelas air mineralnya ke sisi meja.“Jadi, siapa dia? Mantan pacar? Atau mantan suami?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi.Aku terdiam sejenak, meresapi pertanyaannya. Sabrina memang terlalu blak-blakan, tapi kejujuran yang ia tawarkan membuatku merasa cukup nyaman untuk bicara. “Danu... dia mantan suamiku,” akhirnya aku mengakui, menatap langsung ke arah Sabrina.Mata Sabrina membelalak kaget. “Mantan suami? Jadi kamu sudah menikah sebelumnya?”Aku mengangguk pelan. “Ya, aku pernah menikah dengannya. Tapi semuanya berakhir... tidak baik.”Sabrina menghela napas panjang, seolah mencoba mencerna informasi itu. “Dan Denada? Dia yang sekarang bersamanya?”“Iya,” jawabku sambil tersenyum getir. “Bisa dibilang, dia salah satu alas

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   bab 16. Penjelasan

    “Rania?”Aku menoleh, dan Adrian berdiri di sana, di dekat meja kerjaku. Aku terkejut. “Adrian? Kenapa ke sini lagi?”Dia tersenyum tipis, matanya menatapku dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. “Kebetulan aku sedang ada rapat di lantai ini. Aku cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja.”Aku terdiam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku baik-baik saja. Terima kasih, Adrian.”Dia mengangguk, lalu berkata, “Bagus kalau begitu. Tapi jangan lupa, kalau ada apa-apa, aku di sini.”Suaranya begitu tulus, dan entah mengapa, aku merasakan dorongan semangat baru. Setelah dia pergi, aku kembali menatap layar ponselku, membaca pesan-pesan tadi. Kali ini, senyum kecil terlukis di wajahku. Mungkin, hanya mungkin, aku tidak benar-benar sendiri lagi.Hari menanjak naik, akhirnya hari pertama kerja terlewati juga. Aku merenggangkan otot sejenak, sebelum akhirnya bersiap pulang. “Ayo kita keliling sekarang!” ajak Sabrina penuh semangat, menggandeng lenganku dengan antusias.Aku mengang

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   bab 15. Status Andre ternyata ...

    Aku menatap Sabrina dengan bingung. “Iri? Kenapa kamu bilang begitu?” tanyaku, mencoba menahan tawa kecil.Sabrina mencondongkan tubuh ke arahku, suaranya setengah berbisik. “Karena Adrian, siapa lagi?”“Adrian?” Aku mengerutkan dahi, masih belum paham arah pembicaraannya.Sabrina mengangguk cepat, matanya berbinar seperti sedang menyampaikan gosip paling menarik di dunia. “Iya! Kamu tahu kan dia siapa?”Aku menggeleng pelan, bingung dengan reaksinya. “Ya, dia teman lamaku. Kenapa memangnya?”Sabrina mendengus, lalu menatapku seperti aku baru saja mengatakan sesuatu yang sangat bodoh. “Dia atasan kita, Rania. Salah satu pemegang saham di sini. Dan tadi... dia berjalan langsung ke meja kamu. Semua orang pasti iri!”Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi itu. Adrian? Pemegang saham? Aku benar-benar tidak tahu apa-apa soal itu.“Kamu enggak bercanda, kan?” tanyaku pelan.“Mana mungkin aku bercanda soal hal sepenting ini? Dia jarang banget turun langsung ke lantai ini, apalagi be

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   bab 14. Di kantor.

    Aku menatap wanita itu dari atas ke bawah, memastikan apa yang kulihat benar adanya. Ya, memang dia. Wanita yang pernah datang ke rumah Danu dengan penuh percaya diri, seolah-olah memiliki hak atas segalanya.“Wah, jadi kamu ke sini untuk mengikuti aku, ya?” cetusnya tiba-tiba, dengan nada penuh ejekan.Aku mengerutkan kening, masih berusaha mencerna situasi ini, sementara dia melangkah mendekat dengan senyum sinis menghiasi wajahnya.“Lihat, setelah suaminya meninggalkannya, dia pasti ke sini untuk mengejar aku,” lanjutnya tanpa ragu. “Duh, kasihan sekali. Benar-benar menyedihkan.”Beberapa rekan kerja yang tadi sibuk dengan percakapan masing-masing kini berhenti, menatap kami berdua dengan rasa penasaran yang tidak bisa disembunyikan. Aku bisa merasakan mata mereka yang mulai bergulir, menilai situasi ini.Aku menarik napas dalam, menahan emosi yang mulai bergejolak. Tidak, aku tidak akan jatuh ke dalam jebakan ini. Tidak kali ini.“Aku ke sini untuk bekerja, bukan untuk hal-hal yan

DMCA.com Protection Status