Share

Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai
Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai
Penulis: Turiyah

Bab 1. Hasil yang dinanti

Bab 1: Hasil yang Dinanti

Alat tes kehamilan di tanganku masih belum menunjukkan hasilnya.

Meski begitu, aku sudah tahu. Hasilnya tidak seperti yang diharapkan oleh semua orang.

Di luar kamar, aku bisa mendengar percakapan lirih dari ruang tamu. Suara ibu mertuaku, tegas dan penuh harap, berdengung seperti suara lebah yang terus mengitari pikiranku. Suara itu juga yang mendesakku untuk melakukan tes kehamilan secara berkala, sekaligus dengan bebas mengutarakan keinginannya agar aku bisa memberikan keturunan laki-laki untuk keluarga ini.

Aku duduk di tepi tempat tidur, menggenggam alat kecil itu dengan tangan gemetar. Mengamati testpack di tanganku hingga hasilnya muncul dengan debar yang makin tak karuan, makin membuat dadaku sesak.

Perlahan, sebuah garis muncul di alat tersebut.

Negatif.

Sudah kuduga.

Tiba-tiba. pintu kamar terbuka sedikit. Wajah ibu mertuaku muncul di celah pintu. Tatapannya tajam, nyaris tak sabar.

"Sudah?" tanyanya, tak sabar.

Aku mengangguk perlahan, bibirku kelu untuk berkata apa-apa.

"Bagaimana hasilnya?" 

Sebelum aku bisa menjawab, ibu mertuaku sudah melangkah masuk. Tanpa diminta, dia merebut alat itu dari tanganku dan memandangnya dengan tatapan kecewa.

Detik berikutnya, dia mendesah panjang—suara yang menusuk ke telingaku.

"Negatif lagi?" bisiknya lirih, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepadaku. "Ck."

Aku tak mampu menjawab. 

"Keluar. Semuanya sedang menunggu," kata ibu mertuaku kemudian dengan nada dingin. Wanita paruh baya itu menggenggam lenganku dan menarikku keluar dari kamar tanpa menunggu balasanku..

Sama sekali tidak ada kata-kata penghiburan, tidak ada simpati. Jika saja hasilnya positif, pasti ibu mertuaku tidak akan bersikap sedingin ini.

Di ruang tamu, seluruh keluarga sudah berkumpul. Mas Danu duduk di sofa, terlihat resah, diapit kedua kakak perempuan Mas Danu tengah berdiam diri dengan tangan bersilang di dada. Wajah suamiku yang tadinya penuh harap langsung tampak kecewa saat melihatku keluar dengan lesu.

“Nih. Negatif lagi.” Ibu mertuaku membuang testpack yang kugunakan lagi, mengonfirmasi dugaan anggota keluarga yang lain. “Ck. Rania, jujur saja pada Ibu. Kamu sebenarnya mandul, kan?”

Buru-buru aku menggeleng. “Bu, kami sudah mencoba–”

"Tapi belum ada hasilnya." Ibu mertuaku memotong, suaranya terdengar begitu keras di telingaku. "Sudah berapa tahun, Rania? Lima tahun? Sampai kapan kami harus menunggu?"

Mataku menatap ke Mas Danu, berharap dia akan berkata sesuatu, memberikan dukungan. 

Tapi dia hanya diam. Menunduk, seolah menghindari tatapan dariku.

“Kamu tahu kan kalau Danu itu anak laki-laki satu-satunya di keluarga ini?” ucap ibu mertuaku lagi. “Kalau dua kakak Danu melahirkan anak pun, kemungkinan besar mereka ikut keluarga ayah mereka. Danu ini yang akan memimpin keluarga ini nantinya. Karenanya dia butuh penerus!”

Hening sejenak.

“Dan jika kamu tidak bisa memberikannya,” lanjut ibu mertuaku, membuat dasar perutku seperti diaduk-aduk. “Lebih baik Danu menikah lagi.”

Aku menggigit bibir, mencoba menahan gelombang emosi yang siap meluap. Kata-katanya menusuk jantungku, menghancurkan setiap keyakinan yang pernah kubangun dalam hubungan ini.

“Bu, kami saling mencintai,” kataku dengan suara gemetar. “Saya dan Mas Danu–”

Ibu mertuaku tertawa, otomatis memotong ucapanku. Membuatku bingung.

Apakah … ada yang lucu dari ucapanku?

“Cinta saja tidak cukup Rania. Memang cinta bisa membuatku dapat cucu, padahal dirimu tidak mampu?” Ibu mertuaku kemudian berkata, membuat hatiku seperti sedang diiris-iris.

“Bu, saya–kami juga ingin memiliki anak,” kataku lagi, masih berusaha memberanikan diri. “Namun, mungkin memang jalannya belum diberi oleh Tuhan. Kami tidak akan menyerah, tapi tolong, Bu.” Aku menatap ibu mertuaku. “Tolong jangan paksa Mas Danu untuk mengkhianati pernikahan ini.”

“Memangnya aku terlihat memaksa?” balas ibu mertuaku. “Sejak tadi aku tidak mendengar penolakan dari Danu. Kalau seperti ini, bukankah justru kamu yang terkesan memaksa putraku untuk setia padamu, padahal kamu tidak bisa hamil?”

“Bu,” aku hampir menangis, “tolong jangan seperti ini….”

Kualihkan pandanganku ke suamiku, melihat responsnya akan ucapan ibu mertua dan memohon bantuannya. 

Namun, harapan bahwa Mas Danu masih di pihakku langsung musnah seketika ketika dia hanya menatapku dengan pandangan datar. Seperti tidak keberatan dengan ucapan ibu mertua.

"Mas Danu, katakan sesuatu," bisikku, suaraku hampir tidak terdengar. Tidak percaya pria itu … tega.

Tapi Danu masih diam, seolah kata-kataku tidak lebih dari angin lalu.

Tanganku mengepal, berusaha menyembunyikan gemetar di sana, sementara kakiku terasa lemas. 

Ibu mertuaku mendengus. “Sudahlah, terima saja nasibmu,” kata wanita paruh baya itu. “Terima saja untuk dimadu.”

Aku menarik napas dalam-dalam, meski tersendat karena sesak dalam dada yang kutahan. 

“Mas, kamu benar-benar tidak berniat menyampaikan pendapatmu dalam hal ini?” tanyaku untuk yang terakhir kalinya. “Apakah kebersamaan kita selama ini tidak ada apa-apanya untukmu?”

“Ran, aku juga tidak ingin seperti ini.” Akhirnya, Mas Danu berucap. “Tapi sebagai anak laki-laki, aku harus mengutamakan keinginan Ibu.”

Aku kembali menghela napas.

Saat itu, seluruh harapanku mulai sirna. Aku sudah memberikan segalanya—uang, dukungan, cinta—dan kini, semua itu seolah tidak berarti.

“Kalau kamu berpikir mencari orang lain untuk memberikan keturunan adalah solusi,” kataku, berusaha menjaga suaraku tetap tenang meskipun hatiku berontak. “Maka mungkin kita perlu berpikir ulang tentang hubungan ini.”

Mas Danu langsung berdiri. “Aku tidak akan menceraikanmu, Rania,” katanya. ”Aku mungkin akan menikah lagi, ya. Tapi aku tidak akan menceraikanmu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status