Share

Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai
Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai
Author: Turiyah

Bab 1. Hasil yang dinanti

Author: Turiyah
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Bab 1: Hasil yang Dinanti

Alat tes kehamilan di tanganku masih belum menunjukkan hasilnya.

Meski begitu, aku sudah tahu. Hasilnya tidak seperti yang diharapkan oleh semua orang.

Di luar kamar, aku bisa mendengar percakapan lirih dari ruang tamu. Suara ibu mertuaku, tegas dan penuh harap, berdengung seperti suara lebah yang terus mengitari pikiranku. Suara itu juga yang mendesakku untuk melakukan tes kehamilan secara berkala, sekaligus dengan bebas mengutarakan keinginannya agar aku bisa memberikan keturunan laki-laki untuk keluarga ini.

Aku duduk di tepi tempat tidur, menggenggam alat kecil itu dengan tangan gemetar. Mengamati testpack di tanganku hingga hasilnya muncul dengan debar yang makin tak karuan, makin membuat dadaku sesak.

Perlahan, sebuah garis muncul di alat tersebut.

Negatif.

Sudah kuduga.

Tiba-tiba. pintu kamar terbuka sedikit. Wajah ibu mertuaku muncul di celah pintu. Tatapannya tajam, nyaris tak sabar.

"Sudah?" tanyanya, tak sabar.

Aku mengangguk perlahan, bibirku kelu untuk berkata apa-apa.

"Bagaimana hasilnya?" 

Sebelum aku bisa menjawab, ibu mertuaku sudah melangkah masuk. Tanpa diminta, dia merebut alat itu dari tanganku dan memandangnya dengan tatapan kecewa.

Detik berikutnya, dia mendesah panjang—suara yang menusuk ke telingaku.

"Negatif lagi?" bisiknya lirih, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepadaku. "Ck."

Aku tak mampu menjawab. 

"Keluar. Semuanya sedang menunggu," kata ibu mertuaku kemudian dengan nada dingin. Wanita paruh baya itu menggenggam lenganku dan menarikku keluar dari kamar tanpa menunggu balasanku..

Sama sekali tidak ada kata-kata penghiburan, tidak ada simpati. Jika saja hasilnya positif, pasti ibu mertuaku tidak akan bersikap sedingin ini.

Di ruang tamu, seluruh keluarga sudah berkumpul. Mas Danu duduk di sofa, terlihat resah, diapit kedua kakak perempuan Mas Danu tengah berdiam diri dengan tangan bersilang di dada. Wajah suamiku yang tadinya penuh harap langsung tampak kecewa saat melihatku keluar dengan lesu.

“Nih. Negatif lagi.” Ibu mertuaku membuang testpack yang kugunakan lagi, mengonfirmasi dugaan anggota keluarga yang lain. “Ck. Rania, jujur saja pada Ibu. Kamu sebenarnya mandul, kan?”

Buru-buru aku menggeleng. “Bu, kami sudah mencoba–”

"Tapi belum ada hasilnya." Ibu mertuaku memotong, suaranya terdengar begitu keras di telingaku. "Sudah berapa tahun, Rania? Lima tahun? Sampai kapan kami harus menunggu?"

Mataku menatap ke Mas Danu, berharap dia akan berkata sesuatu, memberikan dukungan. 

Tapi dia hanya diam. Menunduk, seolah menghindari tatapan dariku.

“Kamu tahu kan kalau Danu itu anak laki-laki satu-satunya di keluarga ini?” ucap ibu mertuaku lagi. “Kalau dua kakak Danu melahirkan anak pun, kemungkinan besar mereka ikut keluarga ayah mereka. Danu ini yang akan memimpin keluarga ini nantinya. Karenanya dia butuh penerus!”

Hening sejenak.

“Dan jika kamu tidak bisa memberikannya,” lanjut ibu mertuaku, membuat dasar perutku seperti diaduk-aduk. “Lebih baik Danu menikah lagi.”

Aku menggigit bibir, mencoba menahan gelombang emosi yang siap meluap. Kata-katanya menusuk jantungku, menghancurkan setiap keyakinan yang pernah kubangun dalam hubungan ini.

“Bu, kami saling mencintai,” kataku dengan suara gemetar. “Saya dan Mas Danu–”

Ibu mertuaku tertawa, otomatis memotong ucapanku. Membuatku bingung.

Apakah … ada yang lucu dari ucapanku?

“Cinta saja tidak cukup Rania. Memang cinta bisa membuatku dapat cucu, padahal dirimu tidak mampu?” Ibu mertuaku kemudian berkata, membuat hatiku seperti sedang diiris-iris.

“Bu, saya–kami juga ingin memiliki anak,” kataku lagi, masih berusaha memberanikan diri. “Namun, mungkin memang jalannya belum diberi oleh Tuhan. Kami tidak akan menyerah, tapi tolong, Bu.” Aku menatap ibu mertuaku. “Tolong jangan paksa Mas Danu untuk mengkhianati pernikahan ini.”

“Memangnya aku terlihat memaksa?” balas ibu mertuaku. “Sejak tadi aku tidak mendengar penolakan dari Danu. Kalau seperti ini, bukankah justru kamu yang terkesan memaksa putraku untuk setia padamu, padahal kamu tidak bisa hamil?”

“Bu,” aku hampir menangis, “tolong jangan seperti ini….”

Kualihkan pandanganku ke suamiku, melihat responsnya akan ucapan ibu mertua dan memohon bantuannya. 

Namun, harapan bahwa Mas Danu masih di pihakku langsung musnah seketika ketika dia hanya menatapku dengan pandangan datar. Seperti tidak keberatan dengan ucapan ibu mertua.

"Mas Danu, katakan sesuatu," bisikku, suaraku hampir tidak terdengar. Tidak percaya pria itu … tega.

Tapi Danu masih diam, seolah kata-kataku tidak lebih dari angin lalu.

Tanganku mengepal, berusaha menyembunyikan gemetar di sana, sementara kakiku terasa lemas. 

Ibu mertuaku mendengus. “Sudahlah, terima saja nasibmu,” kata wanita paruh baya itu. “Terima saja untuk dimadu.”

Aku menarik napas dalam-dalam, meski tersendat karena sesak dalam dada yang kutahan. 

“Mas, kamu benar-benar tidak berniat menyampaikan pendapatmu dalam hal ini?” tanyaku untuk yang terakhir kalinya. “Apakah kebersamaan kita selama ini tidak ada apa-apanya untukmu?”

“Ran, aku juga tidak ingin seperti ini.” Akhirnya, Mas Danu berucap. “Tapi sebagai anak laki-laki, aku harus mengutamakan keinginan Ibu.”

Aku kembali menghela napas.

Saat itu, seluruh harapanku mulai sirna. Aku sudah memberikan segalanya—uang, dukungan, cinta—dan kini, semua itu seolah tidak berarti.

“Kalau kamu berpikir mencari orang lain untuk memberikan keturunan adalah solusi,” kataku, berusaha menjaga suaraku tetap tenang meskipun hatiku berontak. “Maka mungkin kita perlu berpikir ulang tentang hubungan ini.”

Mas Danu langsung berdiri. “Aku tidak akan menceraikanmu, Rania,” katanya. ”Aku mungkin akan menikah lagi, ya. Tapi aku tidak akan menceraikanmu.”

Related chapters

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 2. Ceraikan Aku

    Aku mungkin akan menikah lagi, ya. Tapi aku tidak akan menceraikanmu.” Aku menggeleng. “Untuk apa aku tetap ada di sini? Bukankah aku tidak bisa memberikan keturunan untuk keluargamu?” “Sudahlah, Rania jangan sok berlagak menjadi korban begitu. Seakan-akan kamu yang paling berjuang,” tukas ibu mertuaku. “Padahal di sini kamu yang tidak becus memberikan kami keturunan Danu.” Hatiku bergetar mendengar kata-kata itu. Aku menggeleng, menatap tidak percaya ke arah ibu mertua yang selama ini aku hormati. “Bu, saya tidak mandul,” ucapku. Meski masih terdengar gemetar, tapi aku berusaha terdengar tegas.“Tidak ada yang bermasalah dari saya. Hanya saja–” Ibu mertuaku mendengus. “Kalau tidak mandul, tidak mungkin kamu belum hamil sampai sekarang. Sudahlah!” Aku diam menatap wanita paruh baya itu. “Apakah memang fungsiku di sini hanya sebagai pencetak anak, Bu?” tanyaku lirih kemudian. “Apakah … semua yang keluarga ini lalui bersama saya … tidak ada artinya?” Dulu, saat aku pertama bertem

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 3. Wanita itu.

    “Dia pasti kekasih barunya,” tebakku dalam hati, merasakan jantungku berdebar. Rasa sakit di dadaku semakin dalam saat aku menyadari bahwa aku sedang melihat wanita yang menggantikan posisiku di hidup Danu. Gadis itu berjalan mendekat, tampak penuh percaya diri, seolah-olah dia telah menjadi bagian dari keluarga ini sejak lama. Ia menatapku dengan senyum yang penuh arti, seolah mengetahui betapa hancurnya hatiku saat ini.“Halo, kamu pasti Rania,” katanya, suaranya ceria dan menggoda. “Danu sering bercerita tentangmu.”Aku hanya bisa menatapnya, mulutku terasa kering. “Dia memang suka bercerita,” jawabku, mencoba untuk tidak menunjukkan betapa hancurnya aku. “Kamu harus tahu, aku sangat menghargai semua yang telah kamu lakukan untuk Danu.” Dia melanjutkan, nada suaranya manis tapi penuh kepalsuan. “Tapi, aku rasa sudah saatnya kamu memberi jalan untuk kami berdua.”“Sudah berapa lama kaliaan berhubungan di belakangku?” tanyaku pelan, setenang mungkin. Dia tersenyum lebar, menatapk

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   bab 4. Siapa lelaki itu?

    Bab 4. Siapa lelaki itu?Aku membimbing langkahnya pelan, memastikan dia tak tergesa-gesa. Rumahnya ternyata tak begitu jauh dari rumahku, hanya di ujung jalan yang sama. Sepanjang perjalanan, suasana sunyi, hanya suara langkah kami yang bergaung pelan di jalan sepi itu. Sesekali, aku melirik ke arahnya, wajahnya tampak lelah dan mata sembab akibat tangis yang belum sepenuhnya reda. “Kamu baik sekali, terima kasih sudah membantuku,” ucapnya serak, memaksakan senyum. Aku menepuk bahunya lagi. “Jangan dipikirkan, kamu sudah aman sekarang. Semuanya akan baik-baik saja.”Ketika kami tiba di depan rumahnya, dia berhenti sejenak, menatapku dengan mata yang penuh rasa terima kasih. "Aku nggak tahu bagaimana aku bisa membalas semua ini."“Kamu nggak perlu berpikir untuk membalas. Yang penting kamu baik-baik aja,” balasku, sedikit tersenyum. Begitu kami sampai di depan rumah, pintu langsung terbuka, dan seorang wanita muncul dari dalam dengan ekspresi panik. Matanya melebar saat melihat pu

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   bab 5. Ternyata ...

    Bab 5. Ternyata …Tiba-tiba, kilasan ingatan menerpa pikiranku. “Adrian!” aku hampir berteriak saat kesadaranku muncul. Dia adalah Adrian, teman kuliahku dulu. Kenangan itu terlintas dengan jelas—momen-momen saat kami duduk di kelas yang sama, tawa saat kami belajar kelompok, dan obrolan-obrolan ringan yang membuatnya terasa dekat.Aku membelalak, kaget, dan mengernyitkan dahi. “Kamu Adrian? Teman kuliahku?” tanyaku, terkejut dengan perubahan yang jelas terlihat pada dirinya. Penampilannya jauh berbeda—lebih dewasa, lebih maskulin, dengan aura percaya diri yang baru. Bahkan sekarang tidak menggunakan kacamata seperti dulu.Dia tersenyum tipis, seolah bisa merasakan kebingunganku. “Iya, itu aku. Rasanya seperti sudah lama sekali, kan?” jawabnya, nadanya santai meskipun matanya menunjukkan kebingungan yang sama.Aku merasa jantungku berdegup lebih cepat, antara kaget dan bahagia bisa bertemu kembali dengan seseorang dari masa lalu. “Kau sudah berubah banyak,” ucapku, mencoba menahan seny

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 6. Tawaran

    Aku mendengar suara klakson pelan mengagetkanku. Dengan cepat, aku berbalik, menatap mobil lain yang baru parkir di halaman masjid ini. Aku menahan napas. Seharusnya tidak ada orang yang mengenalku di sini, apalagi di tempat yang seharusnya menjadi pelarian sejenak dari hiruk-pikuk hidupku.Aku diam, hanya bisa mengamati saat pemilik mobil itu keluar. Dan ketika sosok itu muncul dari balik pintu, napasku terhenti sejenak. Adrian…“Katakan padaku, apa yang terjadi denganmu sekarang!” tanya Adrian, suaranya mengandung nada cemas saat ia langsung menarik lenganku dan membawaku ke mobilnya. Aku tak berdaya melawan.“Adrian, kenapa menyusulku?” tanyaku sedikit syok, tak dapat menyembunyikan kegugupan yang menyusup ke dalam suaraku.Dia menatapku dengan mata yang dalam. “Aku tidak bisa hanya membiarkanmu pergi begitu saja. Aku merasa ada yang tidak beres, dan aku tidak bisa hanya duduk diam tanpa mencari tahu.”Mendengar kata-katanya, hatiku bergetar. Dia tidak hanya mencemaskan keadaanku;

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   bab 7. Pulang kampung

    Mobil melaju dengan cepat, terkadang melambatsaat menemui jalanan yang ramai atau tikungan tajam. Sepanjang perjalanan, percakapan kami terhenti, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Aku masih terbayang pada kata-kata Adrian dan Liana, perasaan campur aduk antara harapan dan keraguan menguasai pikiranku. Tak lama kemudian, mobil memasuki halaman hotel yang cukup mewah, tempat yang tampaknya sudah disiapkan Adrian untukku agar bisa tinggal sementara.Adrian memarkir mobil dan menoleh ke arahku. “Coba istirahat dulu di sini, Rania. Kamu butuh tempat yang nyaman sebelum menentukan apa langkah selanjutnya.”Aku mengangguk, merasa ragu untuk menerima kebaikan ini, tapi terlalu lelah untuk menolak. “Terima kasih, Adrian,” gumamku dengan suara rendah.“Liana, kamu temani dan iku ttidur di sini ya,” cetus Adrian. “Ah, tidak! Tidak! Saya enggak papa di sini sendiri, Adrian, biarkan Liana istirahat di rumah, dia juga butuh menenangkan diri,” sanggahku langsung. “Kamu yakin engga

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   bab 8. Bertemu dengan Danu lagi

    Degup jantungku kian kencang, dan jemariku mencengkeram erat tali tas yang kugenggam. Ada rasa takut dan benci yang bercampur jadi satu. Seharusnya dia tidak ada di sini. Mengapa dia datang? Kenapa sekarang, saat aku baru ingin kembali menguatkan diriku?Kakiku seperti tertahan di tanah, enggan melangkah maju atau bahkan bergerak. Aku menelan ludah, mencoba mengendalikan napas yang kini terasa berat dan tak teratur. Pandanganku terasa kabur, tubuhku kaku, dan dadaku serasa sesak.“Apa yang dia lakukan di sini?” bisikku dalam hati, hampir tidak mampu mengeluarkan suara. Rasa sakit yang masih belum mengering ini masih terasa di hati.Aku menatap mobil itu dengan tatapan kosong, otakku bekerja keras mencoba memahami alasan kehadirannya. Bayangan tentang semua kenangan buruk bersama Danu kembali menghantuiku. Semua perasaan terluka, rasa kecewa, dan pengkhianatan yang kubawa selama ini, seolah berkumpul lagi dalam satu detik yang sangat mencekam ini.Aku menguatkan diri, berusaha menarik

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 9. Akhirnya pergi

    Ibu menatapku dalam diam, matanya sendu, namun tatapannya dingin. Harapanku mendadak runtuh ketika dia hanya menarik napas panjang, seolah sedang memutuskan sesuatu dalam pikirannya. Akhirnya, dengan suara pelan namun tajam, Ibu berkata, "Rania, kamu tahu kan keluarga kita ini sudah cukup susah. Kamu tinggal dengan suamimu, jangan pulang dengan keluhan yang hanya bikin susah keluarga sendiri."Aku terpaku. Rasanya seolah ada yang menusuk jauh ke dalam dada. Seketika semua kekuatan yang kupunya lenyap. Ibu, orang yang kupikir akan berdiri di sisiku, justru mengabaikan luka yang selama ini kusembunyikan."Ibu, apakah Ibu tidak melihat apa yang sudah aku lalui selama ini? Aku sudah bertahan… terlalu lama." Suaraku hampir tenggelam, bergetar menahan perasaan yang terus menggelegak di dalam hati."Ibu paham, Rania… Tapi bagaimanapun, pernikahan itu harus dijalani, bukan malah dihindari. Danu suami yang baik, mungkin kamu saja yang terlalu cepat merasa lelah," jawabnya tanpa keraguan, seol

Latest chapter

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 11. Tingkah ibu mertua

    Ibu mertuaku, yang sebelumnya kuharapkan tidak akan ada di sini, kini berdiri di tengah kamar dengan ekspresi gugup. Tangannya gemetar sedikit, dan sepertinya dia baru saja melemparkan sebuah baju yang tadi sempat dia ambil dari lemari milikku.“Ka—kamu ngapain balik lagi ke sini?” Teguran ibu mertuaku terdengar cemas, nada suaranya semakin tinggi, bahkan sedikit gemetar. Dia bangkit berdiri dengan cepat, wajahnya tampak bingung, seolah mencoba mencari-cari alasan untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi. Matanya bergerak liar, mencuri pandang ke segala arah, seolah takut ada yang akan mengetahuinya.Aku menatapnya dengan tenang, meskipun hatiku masih terasa sakit. “Kenapa? Ada yang salahkah, tadi putramu meminta aku untuk kembali, lho. Ibu tidak tahu ya?” jawabku dengan nada yang tak terlalu keras, namun tegas. Ibu mertuaku tampak terkejut mendengar jawabanku, bibirnya terbuka, namun tidak ada kata-kata yang keluar. Dia tampaknya berusaha menenangkan dirinya sendiri, namun aku tah

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 10. Mengambil barang yang tertinggal

    Tangan kupegang erat, mencoba menahan gemetar yang semakin menguasai tubuhku. Aku berjalan menuju pintu, mengabaikan tatapan mereka. Perasaanku sudah mati rasa. Aku melangkah keluar dari rumah itu dengan air mata yang terus mengalir. Setiap tetesnya adalah hasil dari segala pengorbanan yang tak pernah dihargai. Aku berjalan menuju hotel yang disewakan Adrian, berharap bisa menemukan sedikit kedamaian di sana, meski hatiku begitu hancur.Aku tahu, aku tidak boleh terpuruk lama-lama. Jika mereka sudah tidak menginginkanku, jika mereka takut aku hanya akan menjadi beban, aku akan pergi. Mungkin aku tidak akan pernah kembali, tapi jujur, ini sangat menyakitkan. Mengetahui bahwa keluarga lebih memilih untuk memihak orang lain, bukan aku, anak mereka sendiri.Aku berhenti sejenak di tengah jalan, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Rasanya seperti ada sesuatu yang terlepas dari dadaku, meski rasa sakit itu tak kunjung hilang. Setiap langkah yang kuambil terasa lebih bera

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 9. Akhirnya pergi

    Ibu menatapku dalam diam, matanya sendu, namun tatapannya dingin. Harapanku mendadak runtuh ketika dia hanya menarik napas panjang, seolah sedang memutuskan sesuatu dalam pikirannya. Akhirnya, dengan suara pelan namun tajam, Ibu berkata, "Rania, kamu tahu kan keluarga kita ini sudah cukup susah. Kamu tinggal dengan suamimu, jangan pulang dengan keluhan yang hanya bikin susah keluarga sendiri."Aku terpaku. Rasanya seolah ada yang menusuk jauh ke dalam dada. Seketika semua kekuatan yang kupunya lenyap. Ibu, orang yang kupikir akan berdiri di sisiku, justru mengabaikan luka yang selama ini kusembunyikan."Ibu, apakah Ibu tidak melihat apa yang sudah aku lalui selama ini? Aku sudah bertahan… terlalu lama." Suaraku hampir tenggelam, bergetar menahan perasaan yang terus menggelegak di dalam hati."Ibu paham, Rania… Tapi bagaimanapun, pernikahan itu harus dijalani, bukan malah dihindari. Danu suami yang baik, mungkin kamu saja yang terlalu cepat merasa lelah," jawabnya tanpa keraguan, seol

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   bab 8. Bertemu dengan Danu lagi

    Degup jantungku kian kencang, dan jemariku mencengkeram erat tali tas yang kugenggam. Ada rasa takut dan benci yang bercampur jadi satu. Seharusnya dia tidak ada di sini. Mengapa dia datang? Kenapa sekarang, saat aku baru ingin kembali menguatkan diriku?Kakiku seperti tertahan di tanah, enggan melangkah maju atau bahkan bergerak. Aku menelan ludah, mencoba mengendalikan napas yang kini terasa berat dan tak teratur. Pandanganku terasa kabur, tubuhku kaku, dan dadaku serasa sesak.“Apa yang dia lakukan di sini?” bisikku dalam hati, hampir tidak mampu mengeluarkan suara. Rasa sakit yang masih belum mengering ini masih terasa di hati.Aku menatap mobil itu dengan tatapan kosong, otakku bekerja keras mencoba memahami alasan kehadirannya. Bayangan tentang semua kenangan buruk bersama Danu kembali menghantuiku. Semua perasaan terluka, rasa kecewa, dan pengkhianatan yang kubawa selama ini, seolah berkumpul lagi dalam satu detik yang sangat mencekam ini.Aku menguatkan diri, berusaha menarik

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   bab 7. Pulang kampung

    Mobil melaju dengan cepat, terkadang melambatsaat menemui jalanan yang ramai atau tikungan tajam. Sepanjang perjalanan, percakapan kami terhenti, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Aku masih terbayang pada kata-kata Adrian dan Liana, perasaan campur aduk antara harapan dan keraguan menguasai pikiranku. Tak lama kemudian, mobil memasuki halaman hotel yang cukup mewah, tempat yang tampaknya sudah disiapkan Adrian untukku agar bisa tinggal sementara.Adrian memarkir mobil dan menoleh ke arahku. “Coba istirahat dulu di sini, Rania. Kamu butuh tempat yang nyaman sebelum menentukan apa langkah selanjutnya.”Aku mengangguk, merasa ragu untuk menerima kebaikan ini, tapi terlalu lelah untuk menolak. “Terima kasih, Adrian,” gumamku dengan suara rendah.“Liana, kamu temani dan iku ttidur di sini ya,” cetus Adrian. “Ah, tidak! Tidak! Saya enggak papa di sini sendiri, Adrian, biarkan Liana istirahat di rumah, dia juga butuh menenangkan diri,” sanggahku langsung. “Kamu yakin engga

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 6. Tawaran

    Aku mendengar suara klakson pelan mengagetkanku. Dengan cepat, aku berbalik, menatap mobil lain yang baru parkir di halaman masjid ini. Aku menahan napas. Seharusnya tidak ada orang yang mengenalku di sini, apalagi di tempat yang seharusnya menjadi pelarian sejenak dari hiruk-pikuk hidupku.Aku diam, hanya bisa mengamati saat pemilik mobil itu keluar. Dan ketika sosok itu muncul dari balik pintu, napasku terhenti sejenak. Adrian…“Katakan padaku, apa yang terjadi denganmu sekarang!” tanya Adrian, suaranya mengandung nada cemas saat ia langsung menarik lenganku dan membawaku ke mobilnya. Aku tak berdaya melawan.“Adrian, kenapa menyusulku?” tanyaku sedikit syok, tak dapat menyembunyikan kegugupan yang menyusup ke dalam suaraku.Dia menatapku dengan mata yang dalam. “Aku tidak bisa hanya membiarkanmu pergi begitu saja. Aku merasa ada yang tidak beres, dan aku tidak bisa hanya duduk diam tanpa mencari tahu.”Mendengar kata-katanya, hatiku bergetar. Dia tidak hanya mencemaskan keadaanku;

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   bab 5. Ternyata ...

    Bab 5. Ternyata …Tiba-tiba, kilasan ingatan menerpa pikiranku. “Adrian!” aku hampir berteriak saat kesadaranku muncul. Dia adalah Adrian, teman kuliahku dulu. Kenangan itu terlintas dengan jelas—momen-momen saat kami duduk di kelas yang sama, tawa saat kami belajar kelompok, dan obrolan-obrolan ringan yang membuatnya terasa dekat.Aku membelalak, kaget, dan mengernyitkan dahi. “Kamu Adrian? Teman kuliahku?” tanyaku, terkejut dengan perubahan yang jelas terlihat pada dirinya. Penampilannya jauh berbeda—lebih dewasa, lebih maskulin, dengan aura percaya diri yang baru. Bahkan sekarang tidak menggunakan kacamata seperti dulu.Dia tersenyum tipis, seolah bisa merasakan kebingunganku. “Iya, itu aku. Rasanya seperti sudah lama sekali, kan?” jawabnya, nadanya santai meskipun matanya menunjukkan kebingungan yang sama.Aku merasa jantungku berdegup lebih cepat, antara kaget dan bahagia bisa bertemu kembali dengan seseorang dari masa lalu. “Kau sudah berubah banyak,” ucapku, mencoba menahan seny

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   bab 4. Siapa lelaki itu?

    Bab 4. Siapa lelaki itu?Aku membimbing langkahnya pelan, memastikan dia tak tergesa-gesa. Rumahnya ternyata tak begitu jauh dari rumahku, hanya di ujung jalan yang sama. Sepanjang perjalanan, suasana sunyi, hanya suara langkah kami yang bergaung pelan di jalan sepi itu. Sesekali, aku melirik ke arahnya, wajahnya tampak lelah dan mata sembab akibat tangis yang belum sepenuhnya reda. “Kamu baik sekali, terima kasih sudah membantuku,” ucapnya serak, memaksakan senyum. Aku menepuk bahunya lagi. “Jangan dipikirkan, kamu sudah aman sekarang. Semuanya akan baik-baik saja.”Ketika kami tiba di depan rumahnya, dia berhenti sejenak, menatapku dengan mata yang penuh rasa terima kasih. "Aku nggak tahu bagaimana aku bisa membalas semua ini."“Kamu nggak perlu berpikir untuk membalas. Yang penting kamu baik-baik aja,” balasku, sedikit tersenyum. Begitu kami sampai di depan rumah, pintu langsung terbuka, dan seorang wanita muncul dari dalam dengan ekspresi panik. Matanya melebar saat melihat pu

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 3. Wanita itu.

    “Dia pasti kekasih barunya,” tebakku dalam hati, merasakan jantungku berdebar. Rasa sakit di dadaku semakin dalam saat aku menyadari bahwa aku sedang melihat wanita yang menggantikan posisiku di hidup Danu. Gadis itu berjalan mendekat, tampak penuh percaya diri, seolah-olah dia telah menjadi bagian dari keluarga ini sejak lama. Ia menatapku dengan senyum yang penuh arti, seolah mengetahui betapa hancurnya hatiku saat ini.“Halo, kamu pasti Rania,” katanya, suaranya ceria dan menggoda. “Danu sering bercerita tentangmu.”Aku hanya bisa menatapnya, mulutku terasa kering. “Dia memang suka bercerita,” jawabku, mencoba untuk tidak menunjukkan betapa hancurnya aku. “Kamu harus tahu, aku sangat menghargai semua yang telah kamu lakukan untuk Danu.” Dia melanjutkan, nada suaranya manis tapi penuh kepalsuan. “Tapi, aku rasa sudah saatnya kamu memberi jalan untuk kami berdua.”“Sudah berapa lama kaliaan berhubungan di belakangku?” tanyaku pelan, setenang mungkin. Dia tersenyum lebar, menatapk

DMCA.com Protection Status