Keesokan harinya.
Gemintang mengernyit kala menyadari sesuatu yang silau mengganggu tidurnya. Kesadarannya belum terkumpul penuh, tetapi ia tahu jika itu adalah sinar matahari yang menembus celah jendela kamarnya.
Wanita itu lantas menggerakkan tangannya merasa sisi ranjang yang lain, tetapi tak menemukan seseorang di sana.
“Matahari sudah menjulang tinggi dan kamar ini sudah kosong. Itu artinya, Janu sudah berangkat ke kantor,” gumamnya kemudian.
Menyadari sesuatu, Gemintang segera melompat dari kasur. Wanita itu gegas mencari keberadaan Maura di kamar sebelah. Bagaimana bisa dia bangun kesiangan seperti ini?
“Maura?” panggilnya, tetapi tidak ada jawaban, bocah itu sudah tidak ada.
Gemintang lalu kembali ke kamar dan memeriksa ponselnya. Ia baru menyadari jika ini sudah pukul delapan lebih. Ada pesan suara yang dikirimkan suaminya.
[“Ibu, aku sudah berangkat sekolah diantar Ayah. Jangan lupa jemput Maura ya.] Suara Maura terdengar ceria di sana. Lalu, ada sebuah pesan text yang dikirimkan oleh suaminya sendiri.
[Kalau sudah bangun, cek dapur.]
Bagai kerbau dicongok hidungnya, wanita berkulit kuning langsat itu beranjak ke dapur. Gemintang menemukan sepiring nasi goreng salmon yang masih hangat tersaji di meja makan. Juga sebuah notes pada kertas kecil: jangan lupa sarapan.
Di saat yang sama, sebuah panggilan masuk di ponsel yang sedang digenggamnya. Dari Janu, sang suami. Ia lalu segera menggeser tombol hijau untuk menjawabnya.
[“Hei, sudah bangun?”] tanyanya dari seberang sana.
“Maaf, aku kesiangan. Lagian, kenapa kamu tidak bangunkan aku?”
Lelaki itu memberikan respon kekehan. [“Kamu tidur nyenyak sekali, jadi tidak aku bangunkan, tapi kamu tenang saja, Maura sudah aku urus. Rumah juga sudah aku bersihkan.”]
“Iya. Terima kasih ya, Mas. Aku jemput dia nanti. Omong-omong, kamu yang masak nasi goreng ini?” tanya Gemintang sembari mengamati potongan daging salmon yang sangat presisi di piringnya.
[“Menurutmu? Apa aku ada waktu untuk memikirkan jenis bumbu yang harus aku pakai untuk membuat nasi goreng itu, hm?”] Janu tertawa lagi, sebelum melanjutkan kalimatnya. [“Aku beli di ahli gizi. Aku harap kamu suka rasanya, mereka bilang, nasi goreng salmon bisa mempercepat proses kehamilan. Jangan lupa dihabiskan, ya!”]
Mendengar itu senyum Gemintang memudar, ternyata ada maksud lain dibalik perlakuan manis Janu..
“Iya.” Gemintang menjawab pelan.
[“Ya sudah, kalau begitu, aku kembali kerja dulu. Sore ini aku sudah daftarkan kita periksa ke dokter. Setelah makan siang aku akan pulang dan menjemputmu ke sana. Jadi, kamu siap-siap ya.”]
“Baiklah. Aku akan bereskan pekerjaanku sebelum makan siang.”
Usai bertukar salam perpisahan, panggilan itu berakhir. Gemintang hendak menaruh ponselnya tetapi satu pesan masuk dalam ponselnya lagi. Dari Janu.
[Selamat makan, Istriku!]
Membaca itu, tanpa sadar Gemintang menarik sudut bibirnya. Ada perasaan hangat menguar dalam dadanya. Namun di saat yang bersamaan pula, ia teringat jika sikap romantis itu tak hanya dilakukan untuknya.
“Janu, aku tidak tahu, harus sedih atau senang dengan perlakuanmu ini. Namun, jika aku boleh memutar waktu, maka aku memilih untuk tidak mengenalmu. Aku bahkan tidak tahu, sampai kapan aku bisa menyimpan rahasia ini sendiri? Sampai kapan aku bisa berpura-pura bahagia di hadapanmu, sementara aku tahu kita sedang terjebak di antara dua pilihan: menyerah atau bertahan di atas kebohongan?” lirihnya dengan mata berkaca-kaca.
Gemintang lalu mengambil satu gelas kosong, mengisinya dengan air dingin, dan meneguknya pelan. Wanita itu ingin menyantap sarapan yang dibuatkan oleh Janu.
Namun, baru saja Gemintang meraih sendok dan mengaduk nasinya, suara bel berdering dari luar rumah menunda kegiatannya.
Siapa tamu yang datang sepagi ini?
Mengingat jarang ada tamu yang datang ke rumahnya. Jika dihitung, hanya satu atau dua kali orang asing berkunjung, itu pun karena orang suruhan Janu mengambil beberapa berkas yang tertinggal.
Gemintang pun meletakkan sendoknya kembali dan beranjak. Wanita itu segera melangkahkan kaki menuju pintu utama.
Dari dalam rumah, Gemintang mengernyit ketika mendengar suara ketukan pintu yang teramat keras.
“Tamu macam apa yang tidak sopan dan membuat keributan seperti ini? Tidak bisakah sabar sedikit?” gumamnya lirih.
Meski merasa kesal, Gemintang tetap membukakan pintu. Saat papan kayu berkelir putih itu terbuka. Kekesalannya bagai menguap begitu saja, napasnya tertahan kala mendapati seorang wanita berdiri di hadapannya sembari melipat tangan di depan dada.
“Terkejut aku berkunjung ke rumahmu?”
“Rosaline?”
“Rosaline?”Berbeda dengan Gemintang yang tergagap, wanita bergaun merah itu justru memberikan seringaian kecil. Kedua tangannya bersedekap di depan dada dan tatapannya begitu tegas. Entah apa yang akan dilakukan Rosaline kali ini. Raut wajahnya yang tenang membuat sikap wanita itu selalu tidak tertebak. “Bagaimana kau tahu rumahku?” tanya Gemintang lagi. Ia merasa belum pernah memberitahu alamat rumahnya kepada Rosaline. Mungkinkah wanita itu membuntutinya? Atau … dia sudah tahu sejak lama?“Apa yang tidak aku ketahui sebagai istri pertama Janu? Rumah ini bahkan aku yang membelinya bersama Janu.” Deg!Tanpa permisi, Rosaline seketika menerobos masuk ke dalam rumah. Dagunya terangkat tinggi saat mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati teras rumah Gemintang yang dipenuhi tanaman hias. Juga, beberapa bunga peony segar di hadapannya. Sementara Gemintang, seolah kehilangan daya walau untuk bicara. Bahkan rumah yang selama ini ditempatinya, sekarang terasa bukan miliknya. “M
Gemintang menghela napas panjang. Kembali dipaksanya diri untuk makan dan beraktivitas. Ibu Maura itu merapikan rumah sebisanya, lalu membersihkan diri sebelum menjemput sang putri di sekolah. Hanya saja, kala berdiri di antara para orang tua yang juga menunggu anak mereka, Gemintang tanpa sadar terus saja memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Apakah dia harus meninggalkan Janu? Tapi, bagaimana jika Maura direbut? "Hore!!! Kita Pulang!" Suara bocah yang dikenal Gemintang sebagai teman sekelas sang putri, terdengar--membuatnya tersadar dari lamunan. Atensi wanita itu berpindah pada anak-anak yang sudah mulai menghampiri ibu dan pengasuh mereka. Hanya saja, putrinya tak kunjung kelihatan! Padahal, sekolah sudah mulai sepi. Deg! "Rosaline?" Seketika Gemintang cemas. Dia mendadak teringat pertemuannya dengan istri pertama suaminya itu tadi pagi. Bagaimana jika wanita itu bertindak nekat setelah Gemintang menjadikan Maura sebagai alasan utama? Pani
Kepala Gemintang hampir pecah. Pesan dari nomor tak dikenal itu .... membuat Gemintang jadi khawatir.Ia yakin itu dari Rosaline.Bagaimana jika wanita itu nekad menculik Maura?Namun, Gemintang terpaksa menelan kekhawatirannya itu sendirian kala Janu pulang setelah makan siang dan memaksannya ke dokter kandungan--sesuai janjinya kemarin.Hanya saja, ucapan Maura yang tiba-tiba membuat Gemintang tanpa sadar ketakutan!“Ibu! Maura mau main di sana!” pinta gadis kecil itu sembari menunjuk taman kecil di depan klinik. “Tidak, Maura! Duduk di sini saja tidak boleh kemana-mana!" tegas Gemintang cepat.“Tapi Maura mau main!” Tak disangka, anak itu berteriak sehingga beberapa pasien di tempat lain menoleh ke arahnya.Janu yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya, bahkan langsung menyimpan benda itu dan mendongak ke arah putri dan istrinya.“Sudah, sudah. Maura main saja di sana tidak apa-apa, tapi jangan jauh-jauh, ya,” kata Janu, menengahi perdebatan istri dan anaknya. Maura yang mendapat
"Siapa dia, Mas? Kamu mengenalnya?"Pertanyaan dan tindakan Gemintang tampaknya membuat bara api menyala dalam mata Rosaline. Gemintang bisa merasakannya.Meski demikian, Janu masih tampak tenang. Ia menoleh ke arah Gemintang dan menarik sudut bibirnya. "Ini ...." Janu berhenti sebentar. Gemintang bisa melihat suaminya itu melirik sekilas ke arah Rosaline yang kini bersedekap di depan dada, bersiap mengatakan sesuatu."Dia Rosaline. Rekan kerjaku di kantor," lanjut Janu sebelum wanita bergaun merah itu angkat bicara.Mendengar itu, kedua alis Gemintang terangkat.Begitu juga dengan Rosaline yang melebarkan matanya ke arah Janu tak percaya dengan apa yang dikatakan lelaki itu.Mereka sudah bertemu sekarang, tetapi mengapa Janu masih menutupinya? Lalu Rosaline, mengapa wanita itu tampak tak berkutik saat bersama suaminya?Bukankah kemarin dia yang paling bersemangat mengungkap semua ini?“Rekan kerja?” Gemintang mengulang jawaban dan Janu memberikan anggukan.“Dulunya kami bekerjasam
Gemintang tengah menyetrika pakaian kerja Janu, seperti biasa. Meski demikian, usai kejadian di rumah sakit, pikirannya semakin tak tenang.Janu seolah tak ingin menyelesaikan dengan berpura-pura tidak tak ada masalah di antara mereka. Jika begini terus, maka tidak akan ada akhirnya. Ia hanya akan terjebak dalam kebingungan dan kekhawatiran.Terlebih ketika melihat Maura yang biasanya ceria dan aktif, kini tampak diam, seolah memikirkan sesuatu.Entah apa yang ia alami, saat ditanya, anak itu hanya menggelengkan kepala dan memilih menyendiri di kamar.“Kamu masih belum selesai?” Suara serak nan berat itu membuat Gemintang mendongak. Janu telah berdiri di ambang pintu seraya membawa sebuah nampan kayu berisi segelas air dan satu botol kemasan kecil. Dia bisa kembali ke kamar itu artinya Maura sudah tidur. Gemintang menanggapi dengan tersenyum kecil, lalu mengembalikan fokus pada tumpukan baju. Apakah sebaiknya ia bicara sekarang?Namun, jika Gemintang memberanikan diri untuk bicara
"Kenapa tiba-tiba kamu ingin bekerja?"Gemintang menyandarkan kepala di dada bidang Janu. Sengaja mencari posisi nyaman sembari berpikir, mencari alasan logis terkait permintaannya itu. "Maura semakin besar. Kebutuhan dia pasti akan berlipat ganda nantinya. Aku ingin bekerja untuk meringankan bebanmu," ujar Gemintang pada akhirnya."Bukankah sudah pernah kita bahas sebelumnya? Aku sudah menjamin semuanya. Aku yang akan cari uang untuk menanggung kebutuhan kita. Kamu di rumah saja, mengasuh Maura, mendidiknya agar menjadi pintar." Gemintang tersenyum getir.See?Tujuan Janu menjadikannya istri hanya untuk melahirkan dan mengasuh anaknya. Lalu ketika anaknya sudah siap untuk dia ambil, Janu akan membuangnya.Apa itu cinta dia janjikan selama ini? Astaga, Gemintang! Bisa-bisanya kau percaya dan jatuh pada tipu muslihat bajingan ini?Semua yang dilakukan ini palsu dan kamu menyukainya?Sungguh menyedihkan sekali nasibmu ini!Tetapi tidak! Gemintang tak akan membiarkan lelaki itu menjat
Keesokan harinya.Gemintang melangkah pelan menyusuri halaman sebuah gedung yang tidak terlalu besar. Setelah mengantar Maura ke sekolah, ia datang ke panti asuhan, tempat dimana ia tumbuh dewasa—sampai sebelum menikah. Gemintang tak akan menyia-nyiakan izin Janu sebelum lelaki itu berubah pikiran.Bibirnya tersenyum kala mendapati seorang wanita paruh baya berdiri menyambutnya dengan senang hati. Bu Ningrum, ibu asuhnya.“Gemintang, anak ibu!” Bu Ningrum berseru seraya menghampiri Gemintang dan memeluknya erat-erat. Sementara Gemintang hanya membalas peluknya.“Bagaimana kabarmu, Nak? Baik-baik saja dengan suamimu, kan?” tanya wanita itu usai mengurai tautan tubuh mereka.Gemintang tersenyum kecut menahan rasa panas yang mulai menjalari bola matanya.Tidak, Bu! Anakmu ini sedang tidak baik-baik saja! Ingin rasanya Gemintang berkata demikian dan menangis dipelukan sang ibu. Ingin mengadu betapa jahatnya Janu, pria yang ia kenalkan dulu.Akan tetapi, ia menahan diri. Mungkin nanti,
“Inikah anak itu?” Wanita itu bertanya saat pandangannya beralih dari Gemintang dan berusaha menggapai pipi Maura, tetapi anak itu merapatkan tubuhnya dengan kaki sang ibu.Maura telihat takut, tetapi Gemintang menggenggam tangan mungilnya.“Mata dan hidungnya seperti Janu,” kagumnya walau setelah itu ekspresinya kembali datar.“Ibu benar! Ini Maura, anak Janu,” timpal Rosaline. Gemintang melonggarkan napasnya. Ternyata, dugaannya benar, wanita itu adalah mertuanya.“Jika ada keperluan, mari kita bicara di dalam,” ujar Gemintang kemudian.Walau tak berniat menerima kedua tamu itu ke dalam rumahnya, tetapi ketika menyadari ada sesuatu yang akan mereka perdebatkan, akhirnya Gemintang membawa mereka masuk.Tak lupa, meminta Maura untuk masuk ke dalam kamar dan mematuhi perintah untuk tak keluar sebelum ia kembali. Maura tak perlu mendengar masalah orang dewasa.Saat Gemintang keluar dari kamar, Rosaline dan ibu mertuanya sudah menunggu di ruang tamu. “Aku Dewi, ibu Januartha,” kata wa
Beberapa bulan setelah itu, Baskara sedang menyimak berita yang sedang trending di media. Soal Janu dan Gemintang yang sedang naik bisnisnya. Juga hubungan mereka yang diperdebatkan banyak orang. Entah bagaimana ia harus merasa. Dia tak rela, tetapi itulah menjadi pilihan Gemintang. Aruna yang tahu perasaan lelaki itu menyandarkan tubuhnya di kursi sebelah Baskara yang sedang menatap layar ponselnya, memperhatikan berita tentang Janu dan Gemintang. Semburat senyum tipis terlihat di wajahnya, tetapi matanya menunjukkan kesedihan yang tak tersembunyikan.“Kenapa Bapak masih melihat berita mereka?” Aruna bertanya lembut, mengambil alih perhatian Baskara yang sepertinya larut dalam pikirannya sendiri.Baskara menghela napas, mengunci layar ponselnya dan meletakkannya di meja. “Entahlah, mungkin aku hanya ingin memastikan bahwa dia bahagia di sana.”Aruna tersenyum lembut, mencoba mengusir suasana muram di wajah Baskara. “Gemintang memang sudah memilih jalannya sendiri, Pak. Terkadang, m
“Kalian memang manusia tidak tahu diuntung! Awas saja! Awas saja kalian!”Usai mengatakan demikian, Bu Dewi gegas pergi dari ruangan itu, meninggalkan Janu dan Rosaline yang kini berdiri pada posisinya masing-masing. “Bibirmu berdarah.” Janu menunjuk setitik darah yang tampak di sudut bibir Rosaline.Janu lalu menghubungi sekretaris untuk meminta kotak obat lewat sambungan pararel.“Duduklah, sekretaris akan datang bawakan obat.”Rosaline kemudian duduk di sofa, sementara Janu mengambilkan satu botol air mineral dan membukakan tutupnya untuk Rosaline, bersamaan dengan itu pula, sekretaris Rosaline mengantar obat. Saat sekretarisnya memberikan kotak obat, Rosaline menunduk sambil mengambilnya dari tangan sang sekretaris. "Terima kasih, tapi saya bisa obati sendiri," ucapnya pelan yang kemudian dijawab dengan anggukan oleh sang sekretaris.Janu menyerahkan botol air mineral yang baru saja ia buka untuk Rosaline. “Ini, minumlah dulu,” ujarnya dengan nada lembut. Rosaline mengucapkan te
“Kau yakin aku ingin membahas hal itu?” Rosaline memelankan suaranya. Dia sedikit terkejut dengan permintaan Janu. “Lakukan saja, pancing hingga dia mengatakan semuanya.”Rosaline mengangguk.Janu lantas beringsut mundur, mencari tempat strategis, tak lupa membawa pena perekam yang diberikan oleh Rosaline dan memastikan dirinya tak meninggalkan jejak apapun. “Rosaline!”Seruan Bu Dewi semakin jelas dan keras, hampir memekakan telinganya. Rosaline lalu membawa dirinya duduk di kursi direktur, membuka laptopnya dan bersikap seolah ia sedang bekerja. Hingga akhirnya ….Brakk! Pitu ruangannya dibuka dengan kasar, Rosaline menghentikan gerakan jarinya di atas papan ketik. Dia mendongak menatap Bu Dewi yang memberikan ekpsresi marahnya. “Bisa-bisanya meminta sekretarismu untuk berbohong dan mengatakan kau sedang menemui tamu, padahal kau sedang tidak bertemu dengan siapa-siapa?” Wanita paruh baya itu berjalan mendekat ke arah Rosaline dengan wajah penuh amarah, kedua tangan juga mengep
Pagi-pagi sekali, Janu segera pergi ke kantor Ferinco.Empat tahun tidak pernah mengunjunginya, gedung pencakar langit itu masih sama, tidak banyak hal yang berubah, hanya mengalami renovasi di beberapa titik denah. Janu mengikuti arah langkah Manggala yang berjalan lebih dulu di depannya, mengantarnya menuju tempat tujuan. Setelah beberapa saat menyusuri lorong, dan menaiki lift, mereka bedua akhirnya tiba di depan ruang milik Rosaline.Sementara Manggala menghela napas panjang sebelum menepuk pundak Janu. Pria yang berusia lebih muda darinya itu merentangkan tangan. “Akhirnya, kau kembali. Welcome back to work!”“Thanks, Brother! Kau harus menemaniku memulai semuanya dari awal,” ucap Janu membalas pelukan Manggala. “Itu pasti! Oh iya, Kau langsung masuk saja, biasanya Rosaline akan datang sebentar lagi.” Manggala melepas peluknya, lalu melirik arloji perak pada tangan kirinya. Pria berjas itu lalu mengambil sebuah kartu dari dalam saku jasnya.“ID card milikmu, mulai hari ini kau
Selepas bertemu dengan Manggala di kafe, menjelang makan siang Janu kembali ke rumah. Kedatangan pria itu disambut oleh si kembar yang berlari ke arahnya seraya memanggil, “Ayah!”“Yeeeay! Ayah pulang!”Janu pun menggendong mereka berdua. “Kamu sudah selesai, Mas?” tanya Gemintang ketika melihat Janu menggendong putra dan putrinya. Dia melihat sekilas ke arah Janu, sebelum mengembalikan pandangan pada untaian daun bawang di hadapannya.“Sudah,” jawab Janu ketika menurunkan Keenan dan Kinara di ruang tengah. Kedua bocah itu segera menghampiri mainan mereka lagi. Sementara Janu mendekat ke arah Gemintang yang sedang sibuk di dapur. “Apa yang kalian bahas? Sepertinya kamu ceria sekali setelah bertemu dengan mantan istri?” mendengar itu Janu terkekeh. Selanjutnya melingkarkan lengannya di tubuh Gemintang. Dagunya bersandar di pundak kanan wanita itu. “Kamu cemburu, hm?”“Tidak. Hanya penasaran, apa yang dibahas suamiku ketika bertemu mantan sehingga ketika pulang wajahnya bisa sumring
Janu memandangi surat itu dalam diam. Hatinya berkecamuk antara kaget dan heran. Satu sisi, ia merasa diberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Namun di sisi lain, ada keraguan yang masih muncul dalam hatinya. Apakah ini semua bisa dipercaya? Atau hanya akal-akalan Rosaline saja?"Aku mengerti keraguanmu. Awalnya, aku tidak ingin percaya dengan Rosaline, tetapi, jika dipikirkan ulang, untuk apa dia rela untuk melepas ini semua, kalau bukan karena dia memang ingin berubah?"Janu masih membisu, mencoba mempertimbangkan kata-kata sang sepupu. Hingga akhirnya, pria itu membuka suara. “Jika aku menerima kembali ini semua, lantas bagaimana dengan Rosaline?”“Dia sudah punya tujuannya sendiri. Kau tidak perlu cemaskan itu, yang penting sekarang dia sudah berada di pihakku, dia juga sudah bersedia bersaksi atas semua kesalahan Bu Dewi.”“Dia bersedia?” ulang Janu, tak percaya. “Iya, yang aku tahu hubungannya dengan Bu Dewi memburuk. Anak buahku melapor jika Rosaline tinggal di aparteme
“Aku tidak tahu, tetapi Manggala bilang Rosaline ingin bertemu denganku.”Janu memperhatikan wajah istrinya yang berubah. Begitu nama Rosaline disebut, senyum di wajah Gemintang pudar perlahan. Janu paham, hati wanita itu begitu sensitif, terlebih jika mendengar nama mantan atau orang yang pernah menjadi masa lalu pasangannya.Dia bahkan tahu, Rosaline adalah sumber masalah mereka selama ini. Seharusnya nama itu tak pernah ia sebutkan.“Rosaline?” ulang Gemintang, “Kamu… masih berhubungan dengan dia?”Janu cepat-cepat menggeleng. “Tidak. Jangan salah paham dulu. Aku sudah lama putus kontak dengannya. Kalau kamu tidak percaya, kamu boleh tanya ke Manggala. Aku juga tidak tahu apa yang akan Rosaline bicarakan; tiba-tiba saja dia meminta bertemu.”Gemintang tetap diam, membuat Janu khawatir dia akan marah.“Begini saja, kita pergi bersama, supaya kamu tahu apa yang akan Rosaline bicarakan,” tawar Janu, berharap bisa menenangkan hati istrinya.Namun, jawaban Gemintang tak sesuai harapannya
“Mengembalikan apa yang seharusnya menjadi milik Janu.”Manggala menatap map berwarna biru yang baru saja disodorkan Rosaline. Sepasang matanya menyipit kala melihat barisan tinta yang tertulis di atas kertas itu. Apakah semudah itu Rosaline menyerahkan kembali semua aset yang telah dia dapatkan ini?“Kalau kau berpikir aku punya rencana buruk, kau salah. Aku serius, Manggala. Aku ingin mengakhiri semua ini. Aku bersedia menjadi saksi. Bahkan jika aku dinyatakan bersalah, aku siap menerima konsekuensinya.” Rosaline mengatakan kalimat itu dengan suara yang agak parau. Sebenarnya Manggala iba dengan wanita itu, tetapi mengingat semua perbuatannya di masa lalu, ia tetap harus waspada, bukan? Bisa saja ini hanya permainan liciknya?“Apa yang membuatmu berubah pikiran seperti ini, Rosaline? Apa yang akan terjadi ketika kau mengembalikan semua ini pada Janu?” Manggala bertanya setelah menyeruput kopinya. Helaan napas panjang meluncur dari bibir Rosaline. “Sudah kukatakan sebelumnya karena
“Maksudmu… Janu?” Manggala mengulang, keningnya berkerut, mencoba mencerna maksud ucapan Rosaline. Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba membicarakan pria itu.Mengingat sudah bertahun-tahun lamanya wanita itu tak mengungkit nama Janu. Hingga sekarang ketika Janu sudah bersama lagi dengan Gemintang, mengapa tiba-tiba dia membahas soal pria itu?Apa dia sudah tahu tentang mereka?[“Ya, aku tidak bisa menjelaskan di sini. Aku ingin bertemu denganmu sekarang. Akan aku jelaskan semuanya.”] Rosaline menjawab dari seberang sana. Suaranya terdengar parau. Entah apa yang terjadj dengan wanita itu tetapi Manggala hanya bisa menebak-nebak. Manggala menghela napas panjang, bergulat dengan keengganan, tetapi rasa penasaran yang begitu besar memaksanya setuju. “Oke, sebaiknya kita bertemu di luar kantor saja. Takutnya ada banyak orang yang mendengar,” usulnya yang kemudian disetujui oleh Rosaline. Setelah sepakat, mereka meluncur ke sebuah kafe di pusat kota. Meski ramai, mereka menemukan s