Keesokan harinya.Gemintang melangkah pelan menyusuri halaman sebuah gedung yang tidak terlalu besar. Setelah mengantar Maura ke sekolah, ia datang ke panti asuhan, tempat dimana ia tumbuh dewasa—sampai sebelum menikah. Gemintang tak akan menyia-nyiakan izin Janu sebelum lelaki itu berubah pikiran.Bibirnya tersenyum kala mendapati seorang wanita paruh baya berdiri menyambutnya dengan senang hati. Bu Ningrum, ibu asuhnya.“Gemintang, anak ibu!” Bu Ningrum berseru seraya menghampiri Gemintang dan memeluknya erat-erat. Sementara Gemintang hanya membalas peluknya.“Bagaimana kabarmu, Nak? Baik-baik saja dengan suamimu, kan?” tanya wanita itu usai mengurai tautan tubuh mereka.Gemintang tersenyum kecut menahan rasa panas yang mulai menjalari bola matanya.Tidak, Bu! Anakmu ini sedang tidak baik-baik saja! Ingin rasanya Gemintang berkata demikian dan menangis dipelukan sang ibu. Ingin mengadu betapa jahatnya Janu, pria yang ia kenalkan dulu.Akan tetapi, ia menahan diri. Mungkin nanti,
“Inikah anak itu?” Wanita itu bertanya saat pandangannya beralih dari Gemintang dan berusaha menggapai pipi Maura, tetapi anak itu merapatkan tubuhnya dengan kaki sang ibu.Maura telihat takut, tetapi Gemintang menggenggam tangan mungilnya.“Mata dan hidungnya seperti Janu,” kagumnya walau setelah itu ekspresinya kembali datar.“Ibu benar! Ini Maura, anak Janu,” timpal Rosaline. Gemintang melonggarkan napasnya. Ternyata, dugaannya benar, wanita itu adalah mertuanya.“Jika ada keperluan, mari kita bicara di dalam,” ujar Gemintang kemudian.Walau tak berniat menerima kedua tamu itu ke dalam rumahnya, tetapi ketika menyadari ada sesuatu yang akan mereka perdebatkan, akhirnya Gemintang membawa mereka masuk.Tak lupa, meminta Maura untuk masuk ke dalam kamar dan mematuhi perintah untuk tak keluar sebelum ia kembali. Maura tak perlu mendengar masalah orang dewasa.Saat Gemintang keluar dari kamar, Rosaline dan ibu mertuanya sudah menunggu di ruang tamu. “Aku Dewi, ibu Januartha,” kata wa
'Ya, aku akan mempertahankan anakku, apapun caranya!'Sayangnya, meski tekad itu menguat, Gemintang tak memungkiri bahwa dirinya pun lelah. Bagi segi fisik, maupun mental.Gemintang bahkan berharap Janu tak perlu pulang malam ini. Setidaknya, Rosaline dan Bu Dewi tak akan menyudutkannya.Sayangnya, harapan Gemintang tak terkabul. Tepat setelah senja tenggelam, deru mesin mobil lelaki itu terdengar berhenti di halaman rumah.Dalam diam, Gemintang berusaha bersikap biasa saja dan melayaninya seperti biasa.Bahkan, kini mereka telah berada di meja makan menikmati hidangan yang disajikan oleh Gemintang.“Maura tidak mau makan?” Janu bertanya setelah meletakkan alat makannya. Dia yang duduk di sebelah Maura berusaha meraih dagu gadis kecil itu.Gemintang yang juga penasaran lantas mengarahkan pandangan ke arah putrinya yang memang hanya duduk dan diam tanpa menyentuh omelet telur, makanan favoritnya.“Kenapa? Maura sedang marah?” tanya Janu kembali.Tak disangka, Maura menjawab dengan g
Tubuh kekar Janu membuat ruangan itu terasa semakin panas dan pengap. Namun, Janu terus mencengkeram tangan Gemintang.Tak peduli jika wanita itu tak henti-hentinya meronta dan berusaha melepaskan diri.Gemintang sendiri hanya bisa meringis. Inikah sifat Janu yang sesungguhnya?Entah mengapa, sikap kasar yang tak pernah ia dapatkan ini membuat Gemintang patah hati.“Lepas, Mas! Kita bisa bicara baik-baik!”Lelaki itu hanya mengendurkan cengkeramannya sedikit, tapi matanya masih menatap tajam ke arah Gemintang. “Tidak, sebelum kamu jawab pertanyaanku!”“Mas!”“Coklat yang diminta Maura tempo hari ... itu pemberian Rosaline?” Janu semakin merapatkan tubuhnya, mengintimidasi Gemintang agar cepat menjawab pertanyaannya.“Lepaskan—”“Jawab, Gemintang!”“Iya!” Gemintang yang tidak tahan lagi akhirnya membalas dengan bentakan yang tak kalah keras meski suranya bergetar. “Coklat itu memang dari Rosaline! Dia yang meminta bertemu denganku dan mengatakan aku bukan satu-satunya istri kamu! Puas?
Sementara itu, Janu keluar dari rumah dengan hawa panas yang meradang di tubuhnya. Diinjaknya pedal gas mobil dengan kekuatan penuh agar cepat sampai di rumah utama. Dia perlu menuntut pertanyaan kepada Rosaline.Wanita itu benar-benar tidak mengindahkan perintahnya!Bukan belajar bersabar seperti yang Janu minta, Rosaline malah membawa ibunya untuk menekan Gemintang dan memperkeruh keadaan.Begitu tiba di rumah mewah itu, Janu langsung membuka pintu rumah dengan kasar. Langkah kakinya yang tegas mengarah langsung ke ruang makan."Janu?" Bu Dewi langsung meletakkan alat makannya.Sedangkan Rosaline yang terkejut juga mendongak ke arah lelaki itu. Perasaannya tak tenang menyadari kilatan mata Janu. Akan tetapi, dia berusaha bersikap biasa walau perasaannya tak tenang. "Akhirnya suamiku pulang. Apa wanita simpananmu itu tak bisa memberimu makan hingga kau harus datang malam ini?" sindir Rosaline. Rahang Janu mengeras, hingga menuding wanita itu dengan telunjuknya. “Tutup mulutmu!” sent
Rosaline dan Bu Dewi membelalak. Keduanya masih belum menyerah dengan keputusan Janu. Hanya saja, pria itu tetap pada keputusannya.Bahkan, Janu mengabaikan upaya Rosaline untuk berbicara dengannya malam itu dengan menolak tidur sekamar dengannya!“Janu!” Rosaline berteriak seraya memukul meja makan dengan kencang saat sarapan keesokan paginya.“Aku ini istrimu! Di mana harga diriku jika kau membawa perempuan itu?!” teriaknya sekali lagi. Sayangnya, Janu justru bangkit berdiri dan menghilang dari ruangan itu!“Meski tanganmu patah dan pita suaramu putus, Janu tak akan mengubah keputusannya, Rosaline,” ujar Bu Dewi yang kini menghela napas panjang. Wanita itu meraih gelas kosong dan mengisinya dengan air, lalu memberikan gelas itu kepada Rosaline.“Tapi aku tidak terima, Bu!”“Kau tergesa mengambil keputusan, maka terima saja konsekuensinya!”Dengan napas yang memburu Rosaline mendongak ke arah sang mertua. “Ibu menyalahkan aku? Bukankah ibu yang memintaku agar mendesak Janu untuk berc
Keesokan paginya, Gemintang dan Maura meninggalkan rumah kecil itu.Namun sepanjang perjalanan, Gemintang memilih diam. Dia tidak berani membuka suara, bahkan soal mobil mewah yang kini dikendarai oleh Janu saat ini.Hanya pertanyaan polos Maura tentang tujuan mereka memaksa Gemintang dan Janu untuk saling berbicara, meskipun sebatas jawaban singkat.“Wah! Rumahnya besar sekali!” Maura berteriak kegirangan ketika mobil itu mereka melewati gerbang tinggi.Rumah megah bergaya eropa itu cukup membuktikan betapa hebatnya seorang Januartha Dananjaya, sangat jauh dengan kehidupan Gemintang yang sederhana.“Ayah, besok Maura mau menabung yang banyak supaya bisa membeli rumah besar seperti ini!” ucap gadis itu penuh tekad ketika mereka telah menginjakkan kaki di ambang pintu utama rumah itu.Janu yang menggendong Maura hanya tersenyum sekilas ke arah putrinya. “Maura mau tinggal di sini?”Maura menaikkan dua alisnya bersamaan. Tekejut dengan pertanyaan ayahnya. “Memangnya boleh?”“Tentu. Ruma
“Kalau begitu, aku ingin mengajukan satu syarat!” ujar Rosaline penuh penekanan, “Kita pernah sepakat kalau aku mendapatkan lebih banyak waktumu, tetapi kau sering kali melanggar itu. Jadi, dengan kesepakatan tertulis ini aku ingin kau membayarnya!”Janu membuang napas berat. Ia tahu Rosaline tak akan menyerah begitu saja dan melakukan cara apa pun agar mendapatkan keinginannya.Meski demikian, ia tetap mempersilakan Rosaline mengutarakan pendapatnya. “Katakan.”“Kau harus menambahkan dengan tulisan tanganmu sendiri jika kau akan tidur bersamaku selama lima hari dalam satu minggu! Sementara Gemintang hanya mendapatkan sisanya!”“Kau—”“Keberatan?” Rosaline segera memotong ucapan Janu. Wanita itu dengan angkuhnya bersedekap di depan dada. “Selama ini, Gemintang mendapatkan lebih banyak waktu bersamamu. Sekarang, dia berada di rumah ini, dia harus tahu bagaimana rasanya menjadi aku, bukankah itu baru namanya adil?”Janu menggeleng. “Adil bukan berarti sama, Rosaline! Aku menghabiskan ba
Beberapa bulan setelah itu, Baskara sedang menyimak berita yang sedang trending di media. Soal Janu dan Gemintang yang sedang naik bisnisnya. Juga hubungan mereka yang diperdebatkan banyak orang. Entah bagaimana ia harus merasa. Dia tak rela, tetapi itulah menjadi pilihan Gemintang. Aruna yang tahu perasaan lelaki itu menyandarkan tubuhnya di kursi sebelah Baskara yang sedang menatap layar ponselnya, memperhatikan berita tentang Janu dan Gemintang. Semburat senyum tipis terlihat di wajahnya, tetapi matanya menunjukkan kesedihan yang tak tersembunyikan.“Kenapa Bapak masih melihat berita mereka?” Aruna bertanya lembut, mengambil alih perhatian Baskara yang sepertinya larut dalam pikirannya sendiri.Baskara menghela napas, mengunci layar ponselnya dan meletakkannya di meja. “Entahlah, mungkin aku hanya ingin memastikan bahwa dia bahagia di sana.”Aruna tersenyum lembut, mencoba mengusir suasana muram di wajah Baskara. “Gemintang memang sudah memilih jalannya sendiri, Pak. Terkadang, m
“Kalian memang manusia tidak tahu diuntung! Awas saja! Awas saja kalian!”Usai mengatakan demikian, Bu Dewi gegas pergi dari ruangan itu, meninggalkan Janu dan Rosaline yang kini berdiri pada posisinya masing-masing. “Bibirmu berdarah.” Janu menunjuk setitik darah yang tampak di sudut bibir Rosaline.Janu lalu menghubungi sekretaris untuk meminta kotak obat lewat sambungan pararel.“Duduklah, sekretaris akan datang bawakan obat.”Rosaline kemudian duduk di sofa, sementara Janu mengambilkan satu botol air mineral dan membukakan tutupnya untuk Rosaline, bersamaan dengan itu pula, sekretaris Rosaline mengantar obat. Saat sekretarisnya memberikan kotak obat, Rosaline menunduk sambil mengambilnya dari tangan sang sekretaris. "Terima kasih, tapi saya bisa obati sendiri," ucapnya pelan yang kemudian dijawab dengan anggukan oleh sang sekretaris.Janu menyerahkan botol air mineral yang baru saja ia buka untuk Rosaline. “Ini, minumlah dulu,” ujarnya dengan nada lembut. Rosaline mengucapkan te
“Kau yakin aku ingin membahas hal itu?” Rosaline memelankan suaranya. Dia sedikit terkejut dengan permintaan Janu. “Lakukan saja, pancing hingga dia mengatakan semuanya.”Rosaline mengangguk.Janu lantas beringsut mundur, mencari tempat strategis, tak lupa membawa pena perekam yang diberikan oleh Rosaline dan memastikan dirinya tak meninggalkan jejak apapun. “Rosaline!”Seruan Bu Dewi semakin jelas dan keras, hampir memekakan telinganya. Rosaline lalu membawa dirinya duduk di kursi direktur, membuka laptopnya dan bersikap seolah ia sedang bekerja. Hingga akhirnya ….Brakk! Pitu ruangannya dibuka dengan kasar, Rosaline menghentikan gerakan jarinya di atas papan ketik. Dia mendongak menatap Bu Dewi yang memberikan ekpsresi marahnya. “Bisa-bisanya meminta sekretarismu untuk berbohong dan mengatakan kau sedang menemui tamu, padahal kau sedang tidak bertemu dengan siapa-siapa?” Wanita paruh baya itu berjalan mendekat ke arah Rosaline dengan wajah penuh amarah, kedua tangan juga mengep
Pagi-pagi sekali, Janu segera pergi ke kantor Ferinco.Empat tahun tidak pernah mengunjunginya, gedung pencakar langit itu masih sama, tidak banyak hal yang berubah, hanya mengalami renovasi di beberapa titik denah. Janu mengikuti arah langkah Manggala yang berjalan lebih dulu di depannya, mengantarnya menuju tempat tujuan. Setelah beberapa saat menyusuri lorong, dan menaiki lift, mereka bedua akhirnya tiba di depan ruang milik Rosaline.Sementara Manggala menghela napas panjang sebelum menepuk pundak Janu. Pria yang berusia lebih muda darinya itu merentangkan tangan. “Akhirnya, kau kembali. Welcome back to work!”“Thanks, Brother! Kau harus menemaniku memulai semuanya dari awal,” ucap Janu membalas pelukan Manggala. “Itu pasti! Oh iya, Kau langsung masuk saja, biasanya Rosaline akan datang sebentar lagi.” Manggala melepas peluknya, lalu melirik arloji perak pada tangan kirinya. Pria berjas itu lalu mengambil sebuah kartu dari dalam saku jasnya.“ID card milikmu, mulai hari ini kau
Selepas bertemu dengan Manggala di kafe, menjelang makan siang Janu kembali ke rumah. Kedatangan pria itu disambut oleh si kembar yang berlari ke arahnya seraya memanggil, “Ayah!”“Yeeeay! Ayah pulang!”Janu pun menggendong mereka berdua. “Kamu sudah selesai, Mas?” tanya Gemintang ketika melihat Janu menggendong putra dan putrinya. Dia melihat sekilas ke arah Janu, sebelum mengembalikan pandangan pada untaian daun bawang di hadapannya.“Sudah,” jawab Janu ketika menurunkan Keenan dan Kinara di ruang tengah. Kedua bocah itu segera menghampiri mainan mereka lagi. Sementara Janu mendekat ke arah Gemintang yang sedang sibuk di dapur. “Apa yang kalian bahas? Sepertinya kamu ceria sekali setelah bertemu dengan mantan istri?” mendengar itu Janu terkekeh. Selanjutnya melingkarkan lengannya di tubuh Gemintang. Dagunya bersandar di pundak kanan wanita itu. “Kamu cemburu, hm?”“Tidak. Hanya penasaran, apa yang dibahas suamiku ketika bertemu mantan sehingga ketika pulang wajahnya bisa sumring
Janu memandangi surat itu dalam diam. Hatinya berkecamuk antara kaget dan heran. Satu sisi, ia merasa diberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Namun di sisi lain, ada keraguan yang masih muncul dalam hatinya. Apakah ini semua bisa dipercaya? Atau hanya akal-akalan Rosaline saja?"Aku mengerti keraguanmu. Awalnya, aku tidak ingin percaya dengan Rosaline, tetapi, jika dipikirkan ulang, untuk apa dia rela untuk melepas ini semua, kalau bukan karena dia memang ingin berubah?"Janu masih membisu, mencoba mempertimbangkan kata-kata sang sepupu. Hingga akhirnya, pria itu membuka suara. “Jika aku menerima kembali ini semua, lantas bagaimana dengan Rosaline?”“Dia sudah punya tujuannya sendiri. Kau tidak perlu cemaskan itu, yang penting sekarang dia sudah berada di pihakku, dia juga sudah bersedia bersaksi atas semua kesalahan Bu Dewi.”“Dia bersedia?” ulang Janu, tak percaya. “Iya, yang aku tahu hubungannya dengan Bu Dewi memburuk. Anak buahku melapor jika Rosaline tinggal di aparteme
“Aku tidak tahu, tetapi Manggala bilang Rosaline ingin bertemu denganku.”Janu memperhatikan wajah istrinya yang berubah. Begitu nama Rosaline disebut, senyum di wajah Gemintang pudar perlahan. Janu paham, hati wanita itu begitu sensitif, terlebih jika mendengar nama mantan atau orang yang pernah menjadi masa lalu pasangannya.Dia bahkan tahu, Rosaline adalah sumber masalah mereka selama ini. Seharusnya nama itu tak pernah ia sebutkan.“Rosaline?” ulang Gemintang, “Kamu… masih berhubungan dengan dia?”Janu cepat-cepat menggeleng. “Tidak. Jangan salah paham dulu. Aku sudah lama putus kontak dengannya. Kalau kamu tidak percaya, kamu boleh tanya ke Manggala. Aku juga tidak tahu apa yang akan Rosaline bicarakan; tiba-tiba saja dia meminta bertemu.”Gemintang tetap diam, membuat Janu khawatir dia akan marah.“Begini saja, kita pergi bersama, supaya kamu tahu apa yang akan Rosaline bicarakan,” tawar Janu, berharap bisa menenangkan hati istrinya.Namun, jawaban Gemintang tak sesuai harapannya
“Mengembalikan apa yang seharusnya menjadi milik Janu.”Manggala menatap map berwarna biru yang baru saja disodorkan Rosaline. Sepasang matanya menyipit kala melihat barisan tinta yang tertulis di atas kertas itu. Apakah semudah itu Rosaline menyerahkan kembali semua aset yang telah dia dapatkan ini?“Kalau kau berpikir aku punya rencana buruk, kau salah. Aku serius, Manggala. Aku ingin mengakhiri semua ini. Aku bersedia menjadi saksi. Bahkan jika aku dinyatakan bersalah, aku siap menerima konsekuensinya.” Rosaline mengatakan kalimat itu dengan suara yang agak parau. Sebenarnya Manggala iba dengan wanita itu, tetapi mengingat semua perbuatannya di masa lalu, ia tetap harus waspada, bukan? Bisa saja ini hanya permainan liciknya?“Apa yang membuatmu berubah pikiran seperti ini, Rosaline? Apa yang akan terjadi ketika kau mengembalikan semua ini pada Janu?” Manggala bertanya setelah menyeruput kopinya. Helaan napas panjang meluncur dari bibir Rosaline. “Sudah kukatakan sebelumnya karena
“Maksudmu… Janu?” Manggala mengulang, keningnya berkerut, mencoba mencerna maksud ucapan Rosaline. Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba membicarakan pria itu.Mengingat sudah bertahun-tahun lamanya wanita itu tak mengungkit nama Janu. Hingga sekarang ketika Janu sudah bersama lagi dengan Gemintang, mengapa tiba-tiba dia membahas soal pria itu?Apa dia sudah tahu tentang mereka?[“Ya, aku tidak bisa menjelaskan di sini. Aku ingin bertemu denganmu sekarang. Akan aku jelaskan semuanya.”] Rosaline menjawab dari seberang sana. Suaranya terdengar parau. Entah apa yang terjadj dengan wanita itu tetapi Manggala hanya bisa menebak-nebak. Manggala menghela napas panjang, bergulat dengan keengganan, tetapi rasa penasaran yang begitu besar memaksanya setuju. “Oke, sebaiknya kita bertemu di luar kantor saja. Takutnya ada banyak orang yang mendengar,” usulnya yang kemudian disetujui oleh Rosaline. Setelah sepakat, mereka meluncur ke sebuah kafe di pusat kota. Meski ramai, mereka menemukan s