Keinginan Janu untuk memiliki anak terus mengganggu pikiran Gemintang.
Bahkan, sampai keduanya di rumah.
Bayangan Janu yang terlihat bersemangat untuk menambah anak lagi sungguh menyesakkan.
Apa yang sebenarnya direncanakan pria berstatus suaminya itu?
Kriet!
Suara pintu yang terbuka membuat Gemintang terkejut dan spontan menoleh ke arah sumber suara.
“Maaf, aku mengejutkanmu?” tanya Janu usai menutup pintu kamar mereka kembali. Pria itu baru saja menemani Maura, membacakan dongeng sebelum putrinya terlelap.
“Tidak kok,” jawab Gemintang, “Maura sudah tidur?”
“Sudah, baru saja.”
Janu lalu meletakkan ponsel ke atas nakas, bergerak menuju ranjang, dan mendaratkan tubuhnya di sisi Gemintang. Dengan satu gerakan ia membalikan tubuh mungil itu agar menghadap ke arahnya.
“Kenapa belum tidur, hm?” tanya lelaki itu seraya melingkarkan lengan kekarnya ke pinggang Gemintang.
Mereka saling menatap dalam. Entah sihir apa yang dimiliki Janu. Dua manik hitam itu selalu mampu menenggelamkan Gemintang dalam pesonanya.
“Sayang?” tegur Janu kembali ketika Gemintang hanya diam memandangnya.
“Mm …, aku belum ngantuk saja, mungkin karena kekenyangan.”
Tanpa aba-aba, Janu bergerak menyatukan bibir mereka, memagutnya dengan penuh gairah. Gemintang tahu suaminya sedang memulai permainan, biasanya ia akan mengimbangi, tetapi kali ini hanya menerima perlakuan sang suami tanpa memberikan balasan.
Bahkan dinginnya daging kenyal itu masih mampu memicu getaran dalam dadanya, walau ia tahu betapa jahat suaminya ini.
Menyadari tak ada persetujuan, Janu melepas ciumannya kemudian menatap Gemintang dengan penuh selidik. “Kenapa?”
Gemintang menggeleng pelan. “Aku … sedang tidak enak badan. ”
Jawaban itu membuat Janu menyipitkan mata. Tidak biasanya wanita itu diam dan menolak dirinya seperti ini. Apalagi, dengan alasan tidak enak badan.
“Aku tahu seperti apa istriku ketika sakit,” ujar Janu dengan nada serius. “Kamu banyak berbohong hari ini. Ada apa, Gemintang? Apa perlu menunggu aku marah, baru kamu mau berkata jujur?”
Napas gemintang tercekat hingga dia menelan ludahnya dengan berat. “Maaf, Mas, aku memang sedang banyak pikiran. Aku ….”
Gemintang menarik napas dalam. Dia ingin menceritakan semuanya kepada Janu, tentang keraguan dan rasa sakitnya.
Tapi, dia takut.
Takut kehilangan Janu, takut kehilangan Maura, takut masa depannya hancur.
"Aku sedang memikirkan Maura," sambung Gemintang, berbohong.
Mendengar itu, Janu menekuk kedua alisnya. “Ya? Dia tidak mau masuk kelas lagi?”
Wanita itu menggeleng lalu merapatkan kepalanya ke dada bidang Janu. “Dia sudah mulai mau masuk kelas beberapa hari ini, dia juga mengerjakan tugasnya tanpa tantrum.”
“Lalu, apa masalahnya?”
“Aku mimpi buruk semalam. Entah apa yang terjadi aku tidak tahu, tapi Maura dan kamu terpisah dariku. Terpisah jauh sekali dan aku tidak hidup bersama kalian.”
Janu mengusap kepala Gemintang. Pria itu bergerak mendekat dan bibirnya mendaratkan sebuah kecupan di kening sang istri. “Mimpi buruk, hanya bunga tidur.”
Gemintang hanya mengangguk pelan sebagai respon. Dia semakin erat memeluk Janu. “Meski hanya bunga tidur, mimpi itu terasa nyata bagiku. Bahkan sekarang, setiap detiknya aku selalu takut kehilangan Maura. Pun dengan kamu, aku takut kalian pergi.”
Janu terdiam beberapa saat, membiarkan Gemintang memeluk tubuhnya. Hingga akhirnya, pria itu menarik dagu Gemintang agar mendongak ke arahnya. “Kamu tidak akan pernah kehilangan Maura, dia tidak akan meninggalkanmu. Lalu aku, mau pergi ke mana? Hanya kamu tempat hatiku berlabuh, tidak ada yang lain.”
Bukan tenang yang dirasakan Gemintang usai Janu membisikkan kalimat itu. Justru air mata yang ia tahan sejak tadi siang akhirnya jatuh juga. Lagi-lagi dia harus mendengar kebohongan dari suaminya.
Mengapa? Mengapa Janu dengan mudahnya mempermainkan perasaan?
Jika memang Gemintang menjadi tempat hatinya berlabuh, mengapa dia tak pernah mengambil sikap untuk bercerai dengan Rosaline?
Begitu juga dengan sebaliknya, jika dia masih memihak kepada istri pertamanya, mengapa dia masih mempertahankan pernikahan ini?
“Usia Maura akan terus bertambah. Dia akan beranjak dewasa dan tidak selamanya hidup bersama orang tuanya, dia akan memiliki kehidupan sendiri. Jadi, kedepannya, kamu tidak perlu takut, mungkin dia akan pergi dengan kehidupan yang baru, tetapi aku yakin, dia tidak akan pernah melupakanmu.”
Air mata Gemintang kembali mengalir, sesak turut bergelung di dadanya. Meski kalimat Janu bagai kata mutiara, tetapi tidak bagi wanita berusia 29 tahun itu. Rasanya, Janu benar-benar bertekad memisahkan Maura darinya.
“Sudah, jangan terlalu dipikirkan, apalagi sampai banyak berpikir seperti ini. Sekarang istirahat, kamu harus jaga kesehatan agar program hamil kita berhasil.”
Gemintang hanya bisa mengangguk.
Tapi, wanita itu masih belum mengerti mengapa Janu sangat ingin memiliki anak kedua?
Apalagi … keinginan lelaki itu terkesan buru-buru, seperti ada misi yang harus diselesaikan secepatnya.
Mungkinkah suaminya ini memiliki rencana lain?
Keesokan harinya.Gemintang mengernyit kala menyadari sesuatu yang silau mengganggu tidurnya. Kesadarannya belum terkumpul penuh, tetapi ia tahu jika itu adalah sinar matahari yang menembus celah jendela kamarnya. Wanita itu lantas menggerakkan tangannya merasa sisi ranjang yang lain, tetapi tak menemukan seseorang di sana. “Matahari sudah menjulang tinggi dan kamar ini sudah kosong. Itu artinya, Janu sudah berangkat ke kantor,” gumamnya kemudian.Menyadari sesuatu, Gemintang segera melompat dari kasur. Wanita itu gegas mencari keberadaan Maura di kamar sebelah. Bagaimana bisa dia bangun kesiangan seperti ini?“Maura?” panggilnya, tetapi tidak ada jawaban, bocah itu sudah tidak ada. Gemintang lalu kembali ke kamar dan memeriksa ponselnya. Ia baru menyadari jika ini sudah pukul delapan lebih. Ada pesan suara yang dikirimkan suaminya. [“Ibu, aku sudah berangkat sekolah diantar Ayah. Jangan lupa jemput Maura ya.] Suara Maura terdengar ceria di sana. Lalu, ada sebuah pesan text yang d
“Rosaline?”Berbeda dengan Gemintang yang tergagap, wanita bergaun merah itu justru memberikan seringaian kecil. Kedua tangannya bersedekap di depan dada dan tatapannya begitu tegas. Entah apa yang akan dilakukan Rosaline kali ini. Raut wajahnya yang tenang membuat sikap wanita itu selalu tidak tertebak. “Bagaimana kau tahu rumahku?” tanya Gemintang lagi. Ia merasa belum pernah memberitahu alamat rumahnya kepada Rosaline. Mungkinkah wanita itu membuntutinya? Atau … dia sudah tahu sejak lama?“Apa yang tidak aku ketahui sebagai istri pertama Janu? Rumah ini bahkan aku yang membelinya bersama Janu.” Deg!Tanpa permisi, Rosaline seketika menerobos masuk ke dalam rumah. Dagunya terangkat tinggi saat mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati teras rumah Gemintang yang dipenuhi tanaman hias. Juga, beberapa bunga peony segar di hadapannya. Sementara Gemintang, seolah kehilangan daya walau untuk bicara. Bahkan rumah yang selama ini ditempatinya, sekarang terasa bukan miliknya. “M
Gemintang menghela napas panjang. Kembali dipaksanya diri untuk makan dan beraktivitas. Ibu Maura itu merapikan rumah sebisanya, lalu membersihkan diri sebelum menjemput sang putri di sekolah. Hanya saja, kala berdiri di antara para orang tua yang juga menunggu anak mereka, Gemintang tanpa sadar terus saja memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Apakah dia harus meninggalkan Janu? Tapi, bagaimana jika Maura direbut? "Hore!!! Kita Pulang!" Suara bocah yang dikenal Gemintang sebagai teman sekelas sang putri, terdengar--membuatnya tersadar dari lamunan. Atensi wanita itu berpindah pada anak-anak yang sudah mulai menghampiri ibu dan pengasuh mereka. Hanya saja, putrinya tak kunjung kelihatan! Padahal, sekolah sudah mulai sepi. Deg! "Rosaline?" Seketika Gemintang cemas. Dia mendadak teringat pertemuannya dengan istri pertama suaminya itu tadi pagi. Bagaimana jika wanita itu bertindak nekat setelah Gemintang menjadikan Maura sebagai alasan utama? Pani
Kepala Gemintang hampir pecah. Pesan dari nomor tak dikenal itu .... membuat Gemintang jadi khawatir.Ia yakin itu dari Rosaline.Bagaimana jika wanita itu nekad menculik Maura?Namun, Gemintang terpaksa menelan kekhawatirannya itu sendirian kala Janu pulang setelah makan siang dan memaksannya ke dokter kandungan--sesuai janjinya kemarin.Hanya saja, ucapan Maura yang tiba-tiba membuat Gemintang tanpa sadar ketakutan!“Ibu! Maura mau main di sana!” pinta gadis kecil itu sembari menunjuk taman kecil di depan klinik. “Tidak, Maura! Duduk di sini saja tidak boleh kemana-mana!" tegas Gemintang cepat.“Tapi Maura mau main!” Tak disangka, anak itu berteriak sehingga beberapa pasien di tempat lain menoleh ke arahnya.Janu yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya, bahkan langsung menyimpan benda itu dan mendongak ke arah putri dan istrinya.“Sudah, sudah. Maura main saja di sana tidak apa-apa, tapi jangan jauh-jauh, ya,” kata Janu, menengahi perdebatan istri dan anaknya. Maura yang mendapat
"Siapa dia, Mas? Kamu mengenalnya?"Pertanyaan dan tindakan Gemintang tampaknya membuat bara api menyala dalam mata Rosaline. Gemintang bisa merasakannya.Meski demikian, Janu masih tampak tenang. Ia menoleh ke arah Gemintang dan menarik sudut bibirnya. "Ini ...." Janu berhenti sebentar. Gemintang bisa melihat suaminya itu melirik sekilas ke arah Rosaline yang kini bersedekap di depan dada, bersiap mengatakan sesuatu."Dia Rosaline. Rekan kerjaku di kantor," lanjut Janu sebelum wanita bergaun merah itu angkat bicara.Mendengar itu, kedua alis Gemintang terangkat.Begitu juga dengan Rosaline yang melebarkan matanya ke arah Janu tak percaya dengan apa yang dikatakan lelaki itu.Mereka sudah bertemu sekarang, tetapi mengapa Janu masih menutupinya? Lalu Rosaline, mengapa wanita itu tampak tak berkutik saat bersama suaminya?Bukankah kemarin dia yang paling bersemangat mengungkap semua ini?“Rekan kerja?” Gemintang mengulang jawaban dan Janu memberikan anggukan.“Dulunya kami bekerjasam
Gemintang tengah menyetrika pakaian kerja Janu, seperti biasa. Meski demikian, usai kejadian di rumah sakit, pikirannya semakin tak tenang.Janu seolah tak ingin menyelesaikan dengan berpura-pura tidak tak ada masalah di antara mereka. Jika begini terus, maka tidak akan ada akhirnya. Ia hanya akan terjebak dalam kebingungan dan kekhawatiran.Terlebih ketika melihat Maura yang biasanya ceria dan aktif, kini tampak diam, seolah memikirkan sesuatu.Entah apa yang ia alami, saat ditanya, anak itu hanya menggelengkan kepala dan memilih menyendiri di kamar.“Kamu masih belum selesai?” Suara serak nan berat itu membuat Gemintang mendongak. Janu telah berdiri di ambang pintu seraya membawa sebuah nampan kayu berisi segelas air dan satu botol kemasan kecil. Dia bisa kembali ke kamar itu artinya Maura sudah tidur. Gemintang menanggapi dengan tersenyum kecil, lalu mengembalikan fokus pada tumpukan baju. Apakah sebaiknya ia bicara sekarang?Namun, jika Gemintang memberanikan diri untuk bicara
"Kenapa tiba-tiba kamu ingin bekerja?"Gemintang menyandarkan kepala di dada bidang Janu. Sengaja mencari posisi nyaman sembari berpikir, mencari alasan logis terkait permintaannya itu. "Maura semakin besar. Kebutuhan dia pasti akan berlipat ganda nantinya. Aku ingin bekerja untuk meringankan bebanmu," ujar Gemintang pada akhirnya."Bukankah sudah pernah kita bahas sebelumnya? Aku sudah menjamin semuanya. Aku yang akan cari uang untuk menanggung kebutuhan kita. Kamu di rumah saja, mengasuh Maura, mendidiknya agar menjadi pintar." Gemintang tersenyum getir.See?Tujuan Janu menjadikannya istri hanya untuk melahirkan dan mengasuh anaknya. Lalu ketika anaknya sudah siap untuk dia ambil, Janu akan membuangnya.Apa itu cinta dia janjikan selama ini? Astaga, Gemintang! Bisa-bisanya kau percaya dan jatuh pada tipu muslihat bajingan ini?Semua yang dilakukan ini palsu dan kamu menyukainya?Sungguh menyedihkan sekali nasibmu ini!Tetapi tidak! Gemintang tak akan membiarkan lelaki itu menjat
Keesokan harinya.Gemintang melangkah pelan menyusuri halaman sebuah gedung yang tidak terlalu besar. Setelah mengantar Maura ke sekolah, ia datang ke panti asuhan, tempat dimana ia tumbuh dewasa—sampai sebelum menikah. Gemintang tak akan menyia-nyiakan izin Janu sebelum lelaki itu berubah pikiran.Bibirnya tersenyum kala mendapati seorang wanita paruh baya berdiri menyambutnya dengan senang hati. Bu Ningrum, ibu asuhnya.“Gemintang, anak ibu!” Bu Ningrum berseru seraya menghampiri Gemintang dan memeluknya erat-erat. Sementara Gemintang hanya membalas peluknya.“Bagaimana kabarmu, Nak? Baik-baik saja dengan suamimu, kan?” tanya wanita itu usai mengurai tautan tubuh mereka.Gemintang tersenyum kecut menahan rasa panas yang mulai menjalari bola matanya.Tidak, Bu! Anakmu ini sedang tidak baik-baik saja! Ingin rasanya Gemintang berkata demikian dan menangis dipelukan sang ibu. Ingin mengadu betapa jahatnya Janu, pria yang ia kenalkan dulu.Akan tetapi, ia menahan diri. Mungkin nanti,
Beberapa bulan setelah itu, Baskara sedang menyimak berita yang sedang trending di media. Soal Janu dan Gemintang yang sedang naik bisnisnya. Juga hubungan mereka yang diperdebatkan banyak orang. Entah bagaimana ia harus merasa. Dia tak rela, tetapi itulah menjadi pilihan Gemintang. Aruna yang tahu perasaan lelaki itu menyandarkan tubuhnya di kursi sebelah Baskara yang sedang menatap layar ponselnya, memperhatikan berita tentang Janu dan Gemintang. Semburat senyum tipis terlihat di wajahnya, tetapi matanya menunjukkan kesedihan yang tak tersembunyikan.“Kenapa Bapak masih melihat berita mereka?” Aruna bertanya lembut, mengambil alih perhatian Baskara yang sepertinya larut dalam pikirannya sendiri.Baskara menghela napas, mengunci layar ponselnya dan meletakkannya di meja. “Entahlah, mungkin aku hanya ingin memastikan bahwa dia bahagia di sana.”Aruna tersenyum lembut, mencoba mengusir suasana muram di wajah Baskara. “Gemintang memang sudah memilih jalannya sendiri, Pak. Terkadang, m
“Kalian memang manusia tidak tahu diuntung! Awas saja! Awas saja kalian!”Usai mengatakan demikian, Bu Dewi gegas pergi dari ruangan itu, meninggalkan Janu dan Rosaline yang kini berdiri pada posisinya masing-masing. “Bibirmu berdarah.” Janu menunjuk setitik darah yang tampak di sudut bibir Rosaline.Janu lalu menghubungi sekretaris untuk meminta kotak obat lewat sambungan pararel.“Duduklah, sekretaris akan datang bawakan obat.”Rosaline kemudian duduk di sofa, sementara Janu mengambilkan satu botol air mineral dan membukakan tutupnya untuk Rosaline, bersamaan dengan itu pula, sekretaris Rosaline mengantar obat. Saat sekretarisnya memberikan kotak obat, Rosaline menunduk sambil mengambilnya dari tangan sang sekretaris. "Terima kasih, tapi saya bisa obati sendiri," ucapnya pelan yang kemudian dijawab dengan anggukan oleh sang sekretaris.Janu menyerahkan botol air mineral yang baru saja ia buka untuk Rosaline. “Ini, minumlah dulu,” ujarnya dengan nada lembut. Rosaline mengucapkan te
“Kau yakin aku ingin membahas hal itu?” Rosaline memelankan suaranya. Dia sedikit terkejut dengan permintaan Janu. “Lakukan saja, pancing hingga dia mengatakan semuanya.”Rosaline mengangguk.Janu lantas beringsut mundur, mencari tempat strategis, tak lupa membawa pena perekam yang diberikan oleh Rosaline dan memastikan dirinya tak meninggalkan jejak apapun. “Rosaline!”Seruan Bu Dewi semakin jelas dan keras, hampir memekakan telinganya. Rosaline lalu membawa dirinya duduk di kursi direktur, membuka laptopnya dan bersikap seolah ia sedang bekerja. Hingga akhirnya ….Brakk! Pitu ruangannya dibuka dengan kasar, Rosaline menghentikan gerakan jarinya di atas papan ketik. Dia mendongak menatap Bu Dewi yang memberikan ekpsresi marahnya. “Bisa-bisanya meminta sekretarismu untuk berbohong dan mengatakan kau sedang menemui tamu, padahal kau sedang tidak bertemu dengan siapa-siapa?” Wanita paruh baya itu berjalan mendekat ke arah Rosaline dengan wajah penuh amarah, kedua tangan juga mengep
Pagi-pagi sekali, Janu segera pergi ke kantor Ferinco.Empat tahun tidak pernah mengunjunginya, gedung pencakar langit itu masih sama, tidak banyak hal yang berubah, hanya mengalami renovasi di beberapa titik denah. Janu mengikuti arah langkah Manggala yang berjalan lebih dulu di depannya, mengantarnya menuju tempat tujuan. Setelah beberapa saat menyusuri lorong, dan menaiki lift, mereka bedua akhirnya tiba di depan ruang milik Rosaline.Sementara Manggala menghela napas panjang sebelum menepuk pundak Janu. Pria yang berusia lebih muda darinya itu merentangkan tangan. “Akhirnya, kau kembali. Welcome back to work!”“Thanks, Brother! Kau harus menemaniku memulai semuanya dari awal,” ucap Janu membalas pelukan Manggala. “Itu pasti! Oh iya, Kau langsung masuk saja, biasanya Rosaline akan datang sebentar lagi.” Manggala melepas peluknya, lalu melirik arloji perak pada tangan kirinya. Pria berjas itu lalu mengambil sebuah kartu dari dalam saku jasnya.“ID card milikmu, mulai hari ini kau
Selepas bertemu dengan Manggala di kafe, menjelang makan siang Janu kembali ke rumah. Kedatangan pria itu disambut oleh si kembar yang berlari ke arahnya seraya memanggil, “Ayah!”“Yeeeay! Ayah pulang!”Janu pun menggendong mereka berdua. “Kamu sudah selesai, Mas?” tanya Gemintang ketika melihat Janu menggendong putra dan putrinya. Dia melihat sekilas ke arah Janu, sebelum mengembalikan pandangan pada untaian daun bawang di hadapannya.“Sudah,” jawab Janu ketika menurunkan Keenan dan Kinara di ruang tengah. Kedua bocah itu segera menghampiri mainan mereka lagi. Sementara Janu mendekat ke arah Gemintang yang sedang sibuk di dapur. “Apa yang kalian bahas? Sepertinya kamu ceria sekali setelah bertemu dengan mantan istri?” mendengar itu Janu terkekeh. Selanjutnya melingkarkan lengannya di tubuh Gemintang. Dagunya bersandar di pundak kanan wanita itu. “Kamu cemburu, hm?”“Tidak. Hanya penasaran, apa yang dibahas suamiku ketika bertemu mantan sehingga ketika pulang wajahnya bisa sumring
Janu memandangi surat itu dalam diam. Hatinya berkecamuk antara kaget dan heran. Satu sisi, ia merasa diberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Namun di sisi lain, ada keraguan yang masih muncul dalam hatinya. Apakah ini semua bisa dipercaya? Atau hanya akal-akalan Rosaline saja?"Aku mengerti keraguanmu. Awalnya, aku tidak ingin percaya dengan Rosaline, tetapi, jika dipikirkan ulang, untuk apa dia rela untuk melepas ini semua, kalau bukan karena dia memang ingin berubah?"Janu masih membisu, mencoba mempertimbangkan kata-kata sang sepupu. Hingga akhirnya, pria itu membuka suara. “Jika aku menerima kembali ini semua, lantas bagaimana dengan Rosaline?”“Dia sudah punya tujuannya sendiri. Kau tidak perlu cemaskan itu, yang penting sekarang dia sudah berada di pihakku, dia juga sudah bersedia bersaksi atas semua kesalahan Bu Dewi.”“Dia bersedia?” ulang Janu, tak percaya. “Iya, yang aku tahu hubungannya dengan Bu Dewi memburuk. Anak buahku melapor jika Rosaline tinggal di aparteme
“Aku tidak tahu, tetapi Manggala bilang Rosaline ingin bertemu denganku.”Janu memperhatikan wajah istrinya yang berubah. Begitu nama Rosaline disebut, senyum di wajah Gemintang pudar perlahan. Janu paham, hati wanita itu begitu sensitif, terlebih jika mendengar nama mantan atau orang yang pernah menjadi masa lalu pasangannya.Dia bahkan tahu, Rosaline adalah sumber masalah mereka selama ini. Seharusnya nama itu tak pernah ia sebutkan.“Rosaline?” ulang Gemintang, “Kamu… masih berhubungan dengan dia?”Janu cepat-cepat menggeleng. “Tidak. Jangan salah paham dulu. Aku sudah lama putus kontak dengannya. Kalau kamu tidak percaya, kamu boleh tanya ke Manggala. Aku juga tidak tahu apa yang akan Rosaline bicarakan; tiba-tiba saja dia meminta bertemu.”Gemintang tetap diam, membuat Janu khawatir dia akan marah.“Begini saja, kita pergi bersama, supaya kamu tahu apa yang akan Rosaline bicarakan,” tawar Janu, berharap bisa menenangkan hati istrinya.Namun, jawaban Gemintang tak sesuai harapannya
“Mengembalikan apa yang seharusnya menjadi milik Janu.”Manggala menatap map berwarna biru yang baru saja disodorkan Rosaline. Sepasang matanya menyipit kala melihat barisan tinta yang tertulis di atas kertas itu. Apakah semudah itu Rosaline menyerahkan kembali semua aset yang telah dia dapatkan ini?“Kalau kau berpikir aku punya rencana buruk, kau salah. Aku serius, Manggala. Aku ingin mengakhiri semua ini. Aku bersedia menjadi saksi. Bahkan jika aku dinyatakan bersalah, aku siap menerima konsekuensinya.” Rosaline mengatakan kalimat itu dengan suara yang agak parau. Sebenarnya Manggala iba dengan wanita itu, tetapi mengingat semua perbuatannya di masa lalu, ia tetap harus waspada, bukan? Bisa saja ini hanya permainan liciknya?“Apa yang membuatmu berubah pikiran seperti ini, Rosaline? Apa yang akan terjadi ketika kau mengembalikan semua ini pada Janu?” Manggala bertanya setelah menyeruput kopinya. Helaan napas panjang meluncur dari bibir Rosaline. “Sudah kukatakan sebelumnya karena
“Maksudmu… Janu?” Manggala mengulang, keningnya berkerut, mencoba mencerna maksud ucapan Rosaline. Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba membicarakan pria itu.Mengingat sudah bertahun-tahun lamanya wanita itu tak mengungkit nama Janu. Hingga sekarang ketika Janu sudah bersama lagi dengan Gemintang, mengapa tiba-tiba dia membahas soal pria itu?Apa dia sudah tahu tentang mereka?[“Ya, aku tidak bisa menjelaskan di sini. Aku ingin bertemu denganmu sekarang. Akan aku jelaskan semuanya.”] Rosaline menjawab dari seberang sana. Suaranya terdengar parau. Entah apa yang terjadj dengan wanita itu tetapi Manggala hanya bisa menebak-nebak. Manggala menghela napas panjang, bergulat dengan keengganan, tetapi rasa penasaran yang begitu besar memaksanya setuju. “Oke, sebaiknya kita bertemu di luar kantor saja. Takutnya ada banyak orang yang mendengar,” usulnya yang kemudian disetujui oleh Rosaline. Setelah sepakat, mereka meluncur ke sebuah kafe di pusat kota. Meski ramai, mereka menemukan s