Share

BAB 4 — KHAWATIR

Untuk sesaat Maura terdiam. Seolah sedang mengingat nama seseorang yang memberinya coklat itu tadi siang. “Maura tidak tahu namanya. Tapi tadi ibu ber—”

“Itu coklat dari wali murid, Mas. Mungkin Maura mengira kami berteman.” Gemintang menyahut sebelum Maura melanjutkan jawabannya. “Katanya baru pulang liburan ke luar negeri. Kebetulan Maura dapat dua, yang satu sudah dimakan tadi.”

Gemintang sudah mencari tahu merk coklat itu, sehingga bisa memberikan jawaban masuk akal kepada suaminya dan ia berharap alasan itu tak membuat Janu curiga. Untungnya, Maura tidak menginterupsi. Gadis kecil itu hanya meminta lagi agar Janu membelikan cokelat serupa.

Janu lantas mengambil cokelat yang dipegang Maura dan mengamatinya sebentar. “Nanti kalau Ayah sudah gajian, pasti belikan. Tapi, cokelat ini tidak dijual di negara kita.”

“Memangnya  yang dijual di mana, Ayah?” Gadis itu tampak kecewa.

“Di Singapura. Apa kamu tahu? Maura sering belajar nama negara bersama ibu, kan?”

Maura mengangguk cepat. “Yang ada patung singanya!”

“Nah, pintar! Karena pergi ke negara itu harus pakai pesawat, jadi Maura harus sabar dulu ya, kita harus menabung dulu supaya bisa beli coklatnya. Kalau uangnya sudah banyak, kita sekalian jalan-jalan ke sana. Mengerti, Sayang?”

“Ayah janji?” ujar Maura seraya mengulur tangan, menyodorkan jari kelingking. Janu  pun membalasnya, lalu meminta putrinya untuk pergi ke beristirahat.

Sementara Janu, masih dengan membawa coklat itu menyerongkan tubuhnya ke arah Gemintang. Seperti hendak bertanya banyak hal, tetapi urung karena sebuah dering panggilan terdengar dari saku celananya. Lelaki itu hanya berkata sebelum pergi mengangkat panggilan, “Lain kali jika diberi sesuatu periksa dulu. Coklat itu menggunakan susu skim dan tinggi gula. Ganti coklatnya dengan yang lain!” 

Seperginya sang suami, Gemintang menyandarkan tubuhnya pada dinding seraya membuang napas panjang.  Syukurlah, tidak ada hal buruk yang terjadi.

Hingga tiba sore hari, tidak ada kecurigaan dari Janu. Bahkan laki-laki itu benar-benar menepati janjinya untuk membawa Gemintang dan Maura jalan-jalan ke salah satu pusat perbelanjaan yang cukup besar di kota.

Dulu, itu menjadi rutinitas yang paling menyenangkan bagi Gemintang meski jarang mereka lakukan. 

Namun, hari ini … rasanya sangat berbeda.

“Kenapa kamu tidak begitu ceria hari ini? Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” tanya Janu ketika mereka sedang menikmati makan malam di salah satu restoran mewah dalam pusat perbelanjaan itu. 

Sementara Maura sedang asik bermain di playground dengan teman sebayanya`

Gemintang mendongak lalu menjawab, “Tidak. Aku baik-baik saja.”

“Jika baik-baik saja kau tidak akan diam sepanjang perjalanan sampai detik ini, Gemintang. Coba ceritakan, apa yang terjadi denganmu?”

Wanita berambut sebahu itu menarik napas dalam lalu melemparkan pandangan ke arah Maura. Andai lelaki itu tahu jika saat ini hati Gemintang porak-poranda.

Namun, jika ia menceritakan kejadian tadi siang, apa yang akan terjadi? 

Ia penasaran, tetapi juga tak siap dengan kemungkinan yang akan dihadapi. 

Bagaimana jika nanti Janu berubah? Ia tidak ingin menghancurkan kebersamaan ini. 

“Gemintang?” tegur Janu saat Gemintang tak kunjung bicara. “Kamu tidak suka dengan tempatnya?”

Gemintang lalu menggeleng cepat. “Bukan! Hanya … apa hari ini kita tidak berlebihan, Mas? Kamu belikan Maura banyak baju dan mainan, lalu kita makan di restoran mahal seperti ini? Harga satu steak tiga ratus ribu?” ujarnya kemudian mengamati berbagai macam paper bag pada kursi kosong di sebelahnya. 

Mendengar itu, Janu segera meletakkan sendoknya dan tersenyum. “ Apa salahnya kalau aku menyenangkan istri dan anakku?”

“Tetapi lebih baik ditabung, kan? Sebentar lagi Maura masuk jenjang TK, biayanya juga bertambah, Mas. Untuk beli seragam saja hampir satu juta, belum dengan uang gedung dan bulanannya,” kata Gemintang lagi.

Alih-alih tertegun, Janu justru menarik kembali sudut bibirnya. Seolah tak masalah dengan jumlah uang yang baru saja ia habiskan. “Jika itu yang kamu pikirkan, jangan khawatir. Aku masih punya tabungan kok. Lagipula, bonus yang aku dapat hari ini cukup besar, aku sudah sisakan untuk keperluan Maura. Semua sudah aku perhitungkan, mengerti?”

Gemintang hanya bisa mengangguk menanggapi sang suami. “Kalau begitu, kita selesaikan makan dan pulang, Mas. Sudah semakin malam, besuk Maura harus sekolah.” 

Mendengar itu Janu segera meraih tangan Gemintang yang hendak mengiris daging pada piringnya. Detik berikutnya melayangkan tatapan serius padanya. “Tunggu sebentar. Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu.”

Sorot mata lelaki itu berhasil membuat Gemintang menelan ludahnya kasar. Meski tak tahu apa yang akan ditanyakan, jantung Gemintang tiba-tiba saja berdegup kencang. Firasatnya mendadak buruk.

Janu tak pernah menatapnya dengan intens seperti ini. Biasanya tatapan itu muncul saat dia marah atau ingin membicarakan hal penting.

“A-ada apa, Mas?”

Tanpa sadar, Gemintang bertanya dengan suara bergetar.

Ia khawatir jika Janu tahu pertemuannya dengan Rosaline tadi pagi!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status