Untuk sesaat Maura terdiam. Seolah sedang mengingat nama seseorang yang memberinya coklat itu tadi siang. “Maura tidak tahu namanya. Tapi tadi ibu ber—”
“Itu coklat dari wali murid, Mas. Mungkin Maura mengira kami berteman.” Gemintang menyahut sebelum Maura melanjutkan jawabannya. “Katanya baru pulang liburan ke luar negeri. Kebetulan Maura dapat dua, yang satu sudah dimakan tadi.”
Gemintang sudah mencari tahu merk coklat itu, sehingga bisa memberikan jawaban masuk akal kepada suaminya dan ia berharap alasan itu tak membuat Janu curiga. Untungnya, Maura tidak menginterupsi. Gadis kecil itu hanya meminta lagi agar Janu membelikan cokelat serupa.
Janu lantas mengambil cokelat yang dipegang Maura dan mengamatinya sebentar. “Nanti kalau Ayah sudah gajian, pasti belikan. Tapi, cokelat ini tidak dijual di negara kita.”
“Memangnya yang dijual di mana, Ayah?” Gadis itu tampak kecewa.
“Di Singapura. Apa kamu tahu? Maura sering belajar nama negara bersama ibu, kan?”
Maura mengangguk cepat. “Yang ada patung singanya!”
“Nah, pintar! Karena pergi ke negara itu harus pakai pesawat, jadi Maura harus sabar dulu ya, kita harus menabung dulu supaya bisa beli coklatnya. Kalau uangnya sudah banyak, kita sekalian jalan-jalan ke sana. Mengerti, Sayang?”
“Ayah janji?” ujar Maura seraya mengulur tangan, menyodorkan jari kelingking. Janu pun membalasnya, lalu meminta putrinya untuk pergi ke beristirahat.
Sementara Janu, masih dengan membawa coklat itu menyerongkan tubuhnya ke arah Gemintang. Seperti hendak bertanya banyak hal, tetapi urung karena sebuah dering panggilan terdengar dari saku celananya. Lelaki itu hanya berkata sebelum pergi mengangkat panggilan, “Lain kali jika diberi sesuatu periksa dulu. Coklat itu menggunakan susu skim dan tinggi gula. Ganti coklatnya dengan yang lain!”
Seperginya sang suami, Gemintang menyandarkan tubuhnya pada dinding seraya membuang napas panjang. Syukurlah, tidak ada hal buruk yang terjadi.
Hingga tiba sore hari, tidak ada kecurigaan dari Janu. Bahkan laki-laki itu benar-benar menepati janjinya untuk membawa Gemintang dan Maura jalan-jalan ke salah satu pusat perbelanjaan yang cukup besar di kota.
Dulu, itu menjadi rutinitas yang paling menyenangkan bagi Gemintang meski jarang mereka lakukan.
Namun, hari ini … rasanya sangat berbeda.
“Kenapa kamu tidak begitu ceria hari ini? Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” tanya Janu ketika mereka sedang menikmati makan malam di salah satu restoran mewah dalam pusat perbelanjaan itu.
Sementara Maura sedang asik bermain di playground dengan teman sebayanya`
Gemintang mendongak lalu menjawab, “Tidak. Aku baik-baik saja.”
“Jika baik-baik saja kau tidak akan diam sepanjang perjalanan sampai detik ini, Gemintang. Coba ceritakan, apa yang terjadi denganmu?”
Wanita berambut sebahu itu menarik napas dalam lalu melemparkan pandangan ke arah Maura. Andai lelaki itu tahu jika saat ini hati Gemintang porak-poranda.
Namun, jika ia menceritakan kejadian tadi siang, apa yang akan terjadi?
Ia penasaran, tetapi juga tak siap dengan kemungkinan yang akan dihadapi.
Bagaimana jika nanti Janu berubah? Ia tidak ingin menghancurkan kebersamaan ini.
“Gemintang?” tegur Janu saat Gemintang tak kunjung bicara. “Kamu tidak suka dengan tempatnya?”
Gemintang lalu menggeleng cepat. “Bukan! Hanya … apa hari ini kita tidak berlebihan, Mas? Kamu belikan Maura banyak baju dan mainan, lalu kita makan di restoran mahal seperti ini? Harga satu steak tiga ratus ribu?” ujarnya kemudian mengamati berbagai macam paper bag pada kursi kosong di sebelahnya.
Mendengar itu, Janu segera meletakkan sendoknya dan tersenyum. “ Apa salahnya kalau aku menyenangkan istri dan anakku?”
“Tetapi lebih baik ditabung, kan? Sebentar lagi Maura masuk jenjang TK, biayanya juga bertambah, Mas. Untuk beli seragam saja hampir satu juta, belum dengan uang gedung dan bulanannya,” kata Gemintang lagi.
Alih-alih tertegun, Janu justru menarik kembali sudut bibirnya. Seolah tak masalah dengan jumlah uang yang baru saja ia habiskan. “Jika itu yang kamu pikirkan, jangan khawatir. Aku masih punya tabungan kok. Lagipula, bonus yang aku dapat hari ini cukup besar, aku sudah sisakan untuk keperluan Maura. Semua sudah aku perhitungkan, mengerti?”
Gemintang hanya bisa mengangguk menanggapi sang suami. “Kalau begitu, kita selesaikan makan dan pulang, Mas. Sudah semakin malam, besuk Maura harus sekolah.”
Mendengar itu Janu segera meraih tangan Gemintang yang hendak mengiris daging pada piringnya. Detik berikutnya melayangkan tatapan serius padanya. “Tunggu sebentar. Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu.”
Sorot mata lelaki itu berhasil membuat Gemintang menelan ludahnya kasar. Meski tak tahu apa yang akan ditanyakan, jantung Gemintang tiba-tiba saja berdegup kencang. Firasatnya mendadak buruk.
Janu tak pernah menatapnya dengan intens seperti ini. Biasanya tatapan itu muncul saat dia marah atau ingin membicarakan hal penting.
“A-ada apa, Mas?”
Tanpa sadar, Gemintang bertanya dengan suara bergetar.
Ia khawatir jika Janu tahu pertemuannya dengan Rosaline tadi pagi!
Tiba-tiba saja Janu terkekeh pelan... “Jangan khawatir, Sayang. Sebelum membahasnya, aku ingin memberikan sesuatu kepadamu.”Lelaki itu melepaskan genggamannya, lalu mengambil paper bag hitam dan mendorongnya ke arah Gemintang. Dengan hati-hati, Gemintang membuka isinya. Sebuah kotak beludru hitam dengan logo bunga emas terpatri di atasnya.Tanpa perlu penjelasan pun, Gemintang tahu isi kotak itu. ”Mas, ini untukku?” tanyanya ragu.Janu mengangguk. “Bukalah, lihat apakah kamu suka atau tidak dengan model yang aku pilih?”Gemintang lalu membuka penutup kotak itu. Ia takjub kala melihat set perhiasan dengan permata merah yang berkilauan itu tertata rapi di dalamnya. Sungguh, itu barang mahal yang pernah ia lihat seumur hidupnya. Ini bahkan bukan hari yang spesial baginya.“Bagaimana? Apakah kamu menyukainya?” tanya Janu, mengamati reaksi istrinya.“Su-suka, Mas. Tapi ini terlalu berlebihan, bukan? Kamu—”“Jangan pikirkan berapa harganya. Aku tahu, kamu pasti merisaukan itu,” potong le
Keinginan Janu untuk memiliki anak terus mengganggu pikiran Gemintang. Bahkan, sampai keduanya di rumah. Bayangan Janu yang terlihat bersemangat untuk menambah anak lagi sungguh menyesakkan.Apa yang sebenarnya direncanakan pria berstatus suaminya itu?Kriet!Suara pintu yang terbuka membuat Gemintang terkejut dan spontan menoleh ke arah sumber suara. “Maaf, aku mengejutkanmu?” tanya Janu usai menutup pintu kamar mereka kembali. Pria itu baru saja menemani Maura, membacakan dongeng sebelum putrinya terlelap.“Tidak kok,” jawab Gemintang, “Maura sudah tidur?”“Sudah, baru saja.”Janu lalu meletakkan ponsel ke atas nakas, bergerak menuju ranjang, dan mendaratkan tubuhnya di sisi Gemintang. Dengan satu gerakan ia membalikan tubuh mungil itu agar menghadap ke arahnya. “Kenapa belum tidur, hm?” tanya lelaki itu seraya melingkarkan lengan kekarnya ke pinggang Gemintang. Mereka saling menatap dalam. Entah sihir apa yang dimiliki Janu. Dua manik hitam itu selalu mampu menenggelamkan Gemi
Keesokan harinya.Gemintang mengernyit kala menyadari sesuatu yang silau mengganggu tidurnya. Kesadarannya belum terkumpul penuh, tetapi ia tahu jika itu adalah sinar matahari yang menembus celah jendela kamarnya. Wanita itu lantas menggerakkan tangannya merasa sisi ranjang yang lain, tetapi tak menemukan seseorang di sana. “Matahari sudah menjulang tinggi dan kamar ini sudah kosong. Itu artinya, Janu sudah berangkat ke kantor,” gumamnya kemudian.Menyadari sesuatu, Gemintang segera melompat dari kasur. Wanita itu gegas mencari keberadaan Maura di kamar sebelah. Bagaimana bisa dia bangun kesiangan seperti ini?“Maura?” panggilnya, tetapi tidak ada jawaban, bocah itu sudah tidak ada. Gemintang lalu kembali ke kamar dan memeriksa ponselnya. Ia baru menyadari jika ini sudah pukul delapan lebih. Ada pesan suara yang dikirimkan suaminya. [“Ibu, aku sudah berangkat sekolah diantar Ayah. Jangan lupa jemput Maura ya.] Suara Maura terdengar ceria di sana. Lalu, ada sebuah pesan text yang d
“Rosaline?”Berbeda dengan Gemintang yang tergagap, wanita bergaun merah itu justru memberikan seringaian kecil. Kedua tangannya bersedekap di depan dada dan tatapannya begitu tegas. Entah apa yang akan dilakukan Rosaline kali ini. Raut wajahnya yang tenang membuat sikap wanita itu selalu tidak tertebak. “Bagaimana kau tahu rumahku?” tanya Gemintang lagi. Ia merasa belum pernah memberitahu alamat rumahnya kepada Rosaline. Mungkinkah wanita itu membuntutinya? Atau … dia sudah tahu sejak lama?“Apa yang tidak aku ketahui sebagai istri pertama Janu? Rumah ini bahkan aku yang membelinya bersama Janu.” Deg!Tanpa permisi, Rosaline seketika menerobos masuk ke dalam rumah. Dagunya terangkat tinggi saat mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati teras rumah Gemintang yang dipenuhi tanaman hias. Juga, beberapa bunga peony segar di hadapannya. Sementara Gemintang, seolah kehilangan daya walau untuk bicara. Bahkan rumah yang selama ini ditempatinya, sekarang terasa bukan miliknya. “M
Gemintang menghela napas panjang. Kembali dipaksanya diri untuk makan dan beraktivitas. Ibu Maura itu merapikan rumah sebisanya, lalu membersihkan diri sebelum menjemput sang putri di sekolah. Hanya saja, kala berdiri di antara para orang tua yang juga menunggu anak mereka, Gemintang tanpa sadar terus saja memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Apakah dia harus meninggalkan Janu? Tapi, bagaimana jika Maura direbut? "Hore!!! Kita Pulang!" Suara bocah yang dikenal Gemintang sebagai teman sekelas sang putri, terdengar--membuatnya tersadar dari lamunan. Atensi wanita itu berpindah pada anak-anak yang sudah mulai menghampiri ibu dan pengasuh mereka. Hanya saja, putrinya tak kunjung kelihatan! Padahal, sekolah sudah mulai sepi. Deg! "Rosaline?" Seketika Gemintang cemas. Dia mendadak teringat pertemuannya dengan istri pertama suaminya itu tadi pagi. Bagaimana jika wanita itu bertindak nekat setelah Gemintang menjadikan Maura sebagai alasan utama? Pani
Kepala Gemintang hampir pecah. Pesan dari nomor tak dikenal itu .... membuat Gemintang jadi khawatir.Ia yakin itu dari Rosaline.Bagaimana jika wanita itu nekad menculik Maura?Namun, Gemintang terpaksa menelan kekhawatirannya itu sendirian kala Janu pulang setelah makan siang dan memaksannya ke dokter kandungan--sesuai janjinya kemarin.Hanya saja, ucapan Maura yang tiba-tiba membuat Gemintang tanpa sadar ketakutan!“Ibu! Maura mau main di sana!” pinta gadis kecil itu sembari menunjuk taman kecil di depan klinik. “Tidak, Maura! Duduk di sini saja tidak boleh kemana-mana!" tegas Gemintang cepat.“Tapi Maura mau main!” Tak disangka, anak itu berteriak sehingga beberapa pasien di tempat lain menoleh ke arahnya.Janu yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya, bahkan langsung menyimpan benda itu dan mendongak ke arah putri dan istrinya.“Sudah, sudah. Maura main saja di sana tidak apa-apa, tapi jangan jauh-jauh, ya,” kata Janu, menengahi perdebatan istri dan anaknya. Maura yang mendapat
"Siapa dia, Mas? Kamu mengenalnya?"Pertanyaan dan tindakan Gemintang tampaknya membuat bara api menyala dalam mata Rosaline. Gemintang bisa merasakannya.Meski demikian, Janu masih tampak tenang. Ia menoleh ke arah Gemintang dan menarik sudut bibirnya. "Ini ...." Janu berhenti sebentar. Gemintang bisa melihat suaminya itu melirik sekilas ke arah Rosaline yang kini bersedekap di depan dada, bersiap mengatakan sesuatu."Dia Rosaline. Rekan kerjaku di kantor," lanjut Janu sebelum wanita bergaun merah itu angkat bicara.Mendengar itu, kedua alis Gemintang terangkat.Begitu juga dengan Rosaline yang melebarkan matanya ke arah Janu tak percaya dengan apa yang dikatakan lelaki itu.Mereka sudah bertemu sekarang, tetapi mengapa Janu masih menutupinya? Lalu Rosaline, mengapa wanita itu tampak tak berkutik saat bersama suaminya?Bukankah kemarin dia yang paling bersemangat mengungkap semua ini?“Rekan kerja?” Gemintang mengulang jawaban dan Janu memberikan anggukan.“Dulunya kami bekerjasam
Gemintang tengah menyetrika pakaian kerja Janu, seperti biasa. Meski demikian, usai kejadian di rumah sakit, pikirannya semakin tak tenang.Janu seolah tak ingin menyelesaikan dengan berpura-pura tidak tak ada masalah di antara mereka. Jika begini terus, maka tidak akan ada akhirnya. Ia hanya akan terjebak dalam kebingungan dan kekhawatiran.Terlebih ketika melihat Maura yang biasanya ceria dan aktif, kini tampak diam, seolah memikirkan sesuatu.Entah apa yang ia alami, saat ditanya, anak itu hanya menggelengkan kepala dan memilih menyendiri di kamar.“Kamu masih belum selesai?” Suara serak nan berat itu membuat Gemintang mendongak. Janu telah berdiri di ambang pintu seraya membawa sebuah nampan kayu berisi segelas air dan satu botol kemasan kecil. Dia bisa kembali ke kamar itu artinya Maura sudah tidur. Gemintang menanggapi dengan tersenyum kecil, lalu mengembalikan fokus pada tumpukan baju. Apakah sebaiknya ia bicara sekarang?Namun, jika Gemintang memberanikan diri untuk bicara
Beberapa bulan setelah itu, Baskara sedang menyimak berita yang sedang trending di media. Soal Janu dan Gemintang yang sedang naik bisnisnya. Juga hubungan mereka yang diperdebatkan banyak orang. Entah bagaimana ia harus merasa. Dia tak rela, tetapi itulah menjadi pilihan Gemintang. Aruna yang tahu perasaan lelaki itu menyandarkan tubuhnya di kursi sebelah Baskara yang sedang menatap layar ponselnya, memperhatikan berita tentang Janu dan Gemintang. Semburat senyum tipis terlihat di wajahnya, tetapi matanya menunjukkan kesedihan yang tak tersembunyikan.“Kenapa Bapak masih melihat berita mereka?” Aruna bertanya lembut, mengambil alih perhatian Baskara yang sepertinya larut dalam pikirannya sendiri.Baskara menghela napas, mengunci layar ponselnya dan meletakkannya di meja. “Entahlah, mungkin aku hanya ingin memastikan bahwa dia bahagia di sana.”Aruna tersenyum lembut, mencoba mengusir suasana muram di wajah Baskara. “Gemintang memang sudah memilih jalannya sendiri, Pak. Terkadang, m
“Kalian memang manusia tidak tahu diuntung! Awas saja! Awas saja kalian!”Usai mengatakan demikian, Bu Dewi gegas pergi dari ruangan itu, meninggalkan Janu dan Rosaline yang kini berdiri pada posisinya masing-masing. “Bibirmu berdarah.” Janu menunjuk setitik darah yang tampak di sudut bibir Rosaline.Janu lalu menghubungi sekretaris untuk meminta kotak obat lewat sambungan pararel.“Duduklah, sekretaris akan datang bawakan obat.”Rosaline kemudian duduk di sofa, sementara Janu mengambilkan satu botol air mineral dan membukakan tutupnya untuk Rosaline, bersamaan dengan itu pula, sekretaris Rosaline mengantar obat. Saat sekretarisnya memberikan kotak obat, Rosaline menunduk sambil mengambilnya dari tangan sang sekretaris. "Terima kasih, tapi saya bisa obati sendiri," ucapnya pelan yang kemudian dijawab dengan anggukan oleh sang sekretaris.Janu menyerahkan botol air mineral yang baru saja ia buka untuk Rosaline. “Ini, minumlah dulu,” ujarnya dengan nada lembut. Rosaline mengucapkan te
“Kau yakin aku ingin membahas hal itu?” Rosaline memelankan suaranya. Dia sedikit terkejut dengan permintaan Janu. “Lakukan saja, pancing hingga dia mengatakan semuanya.”Rosaline mengangguk.Janu lantas beringsut mundur, mencari tempat strategis, tak lupa membawa pena perekam yang diberikan oleh Rosaline dan memastikan dirinya tak meninggalkan jejak apapun. “Rosaline!”Seruan Bu Dewi semakin jelas dan keras, hampir memekakan telinganya. Rosaline lalu membawa dirinya duduk di kursi direktur, membuka laptopnya dan bersikap seolah ia sedang bekerja. Hingga akhirnya ….Brakk! Pitu ruangannya dibuka dengan kasar, Rosaline menghentikan gerakan jarinya di atas papan ketik. Dia mendongak menatap Bu Dewi yang memberikan ekpsresi marahnya. “Bisa-bisanya meminta sekretarismu untuk berbohong dan mengatakan kau sedang menemui tamu, padahal kau sedang tidak bertemu dengan siapa-siapa?” Wanita paruh baya itu berjalan mendekat ke arah Rosaline dengan wajah penuh amarah, kedua tangan juga mengep
Pagi-pagi sekali, Janu segera pergi ke kantor Ferinco.Empat tahun tidak pernah mengunjunginya, gedung pencakar langit itu masih sama, tidak banyak hal yang berubah, hanya mengalami renovasi di beberapa titik denah. Janu mengikuti arah langkah Manggala yang berjalan lebih dulu di depannya, mengantarnya menuju tempat tujuan. Setelah beberapa saat menyusuri lorong, dan menaiki lift, mereka bedua akhirnya tiba di depan ruang milik Rosaline.Sementara Manggala menghela napas panjang sebelum menepuk pundak Janu. Pria yang berusia lebih muda darinya itu merentangkan tangan. “Akhirnya, kau kembali. Welcome back to work!”“Thanks, Brother! Kau harus menemaniku memulai semuanya dari awal,” ucap Janu membalas pelukan Manggala. “Itu pasti! Oh iya, Kau langsung masuk saja, biasanya Rosaline akan datang sebentar lagi.” Manggala melepas peluknya, lalu melirik arloji perak pada tangan kirinya. Pria berjas itu lalu mengambil sebuah kartu dari dalam saku jasnya.“ID card milikmu, mulai hari ini kau
Selepas bertemu dengan Manggala di kafe, menjelang makan siang Janu kembali ke rumah. Kedatangan pria itu disambut oleh si kembar yang berlari ke arahnya seraya memanggil, “Ayah!”“Yeeeay! Ayah pulang!”Janu pun menggendong mereka berdua. “Kamu sudah selesai, Mas?” tanya Gemintang ketika melihat Janu menggendong putra dan putrinya. Dia melihat sekilas ke arah Janu, sebelum mengembalikan pandangan pada untaian daun bawang di hadapannya.“Sudah,” jawab Janu ketika menurunkan Keenan dan Kinara di ruang tengah. Kedua bocah itu segera menghampiri mainan mereka lagi. Sementara Janu mendekat ke arah Gemintang yang sedang sibuk di dapur. “Apa yang kalian bahas? Sepertinya kamu ceria sekali setelah bertemu dengan mantan istri?” mendengar itu Janu terkekeh. Selanjutnya melingkarkan lengannya di tubuh Gemintang. Dagunya bersandar di pundak kanan wanita itu. “Kamu cemburu, hm?”“Tidak. Hanya penasaran, apa yang dibahas suamiku ketika bertemu mantan sehingga ketika pulang wajahnya bisa sumring
Janu memandangi surat itu dalam diam. Hatinya berkecamuk antara kaget dan heran. Satu sisi, ia merasa diberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Namun di sisi lain, ada keraguan yang masih muncul dalam hatinya. Apakah ini semua bisa dipercaya? Atau hanya akal-akalan Rosaline saja?"Aku mengerti keraguanmu. Awalnya, aku tidak ingin percaya dengan Rosaline, tetapi, jika dipikirkan ulang, untuk apa dia rela untuk melepas ini semua, kalau bukan karena dia memang ingin berubah?"Janu masih membisu, mencoba mempertimbangkan kata-kata sang sepupu. Hingga akhirnya, pria itu membuka suara. “Jika aku menerima kembali ini semua, lantas bagaimana dengan Rosaline?”“Dia sudah punya tujuannya sendiri. Kau tidak perlu cemaskan itu, yang penting sekarang dia sudah berada di pihakku, dia juga sudah bersedia bersaksi atas semua kesalahan Bu Dewi.”“Dia bersedia?” ulang Janu, tak percaya. “Iya, yang aku tahu hubungannya dengan Bu Dewi memburuk. Anak buahku melapor jika Rosaline tinggal di aparteme
“Aku tidak tahu, tetapi Manggala bilang Rosaline ingin bertemu denganku.”Janu memperhatikan wajah istrinya yang berubah. Begitu nama Rosaline disebut, senyum di wajah Gemintang pudar perlahan. Janu paham, hati wanita itu begitu sensitif, terlebih jika mendengar nama mantan atau orang yang pernah menjadi masa lalu pasangannya.Dia bahkan tahu, Rosaline adalah sumber masalah mereka selama ini. Seharusnya nama itu tak pernah ia sebutkan.“Rosaline?” ulang Gemintang, “Kamu… masih berhubungan dengan dia?”Janu cepat-cepat menggeleng. “Tidak. Jangan salah paham dulu. Aku sudah lama putus kontak dengannya. Kalau kamu tidak percaya, kamu boleh tanya ke Manggala. Aku juga tidak tahu apa yang akan Rosaline bicarakan; tiba-tiba saja dia meminta bertemu.”Gemintang tetap diam, membuat Janu khawatir dia akan marah.“Begini saja, kita pergi bersama, supaya kamu tahu apa yang akan Rosaline bicarakan,” tawar Janu, berharap bisa menenangkan hati istrinya.Namun, jawaban Gemintang tak sesuai harapannya
“Mengembalikan apa yang seharusnya menjadi milik Janu.”Manggala menatap map berwarna biru yang baru saja disodorkan Rosaline. Sepasang matanya menyipit kala melihat barisan tinta yang tertulis di atas kertas itu. Apakah semudah itu Rosaline menyerahkan kembali semua aset yang telah dia dapatkan ini?“Kalau kau berpikir aku punya rencana buruk, kau salah. Aku serius, Manggala. Aku ingin mengakhiri semua ini. Aku bersedia menjadi saksi. Bahkan jika aku dinyatakan bersalah, aku siap menerima konsekuensinya.” Rosaline mengatakan kalimat itu dengan suara yang agak parau. Sebenarnya Manggala iba dengan wanita itu, tetapi mengingat semua perbuatannya di masa lalu, ia tetap harus waspada, bukan? Bisa saja ini hanya permainan liciknya?“Apa yang membuatmu berubah pikiran seperti ini, Rosaline? Apa yang akan terjadi ketika kau mengembalikan semua ini pada Janu?” Manggala bertanya setelah menyeruput kopinya. Helaan napas panjang meluncur dari bibir Rosaline. “Sudah kukatakan sebelumnya karena
“Maksudmu… Janu?” Manggala mengulang, keningnya berkerut, mencoba mencerna maksud ucapan Rosaline. Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba membicarakan pria itu.Mengingat sudah bertahun-tahun lamanya wanita itu tak mengungkit nama Janu. Hingga sekarang ketika Janu sudah bersama lagi dengan Gemintang, mengapa tiba-tiba dia membahas soal pria itu?Apa dia sudah tahu tentang mereka?[“Ya, aku tidak bisa menjelaskan di sini. Aku ingin bertemu denganmu sekarang. Akan aku jelaskan semuanya.”] Rosaline menjawab dari seberang sana. Suaranya terdengar parau. Entah apa yang terjadj dengan wanita itu tetapi Manggala hanya bisa menebak-nebak. Manggala menghela napas panjang, bergulat dengan keengganan, tetapi rasa penasaran yang begitu besar memaksanya setuju. “Oke, sebaiknya kita bertemu di luar kantor saja. Takutnya ada banyak orang yang mendengar,” usulnya yang kemudian disetujui oleh Rosaline. Setelah sepakat, mereka meluncur ke sebuah kafe di pusat kota. Meski ramai, mereka menemukan s