Untuk sesaat Maura terdiam. Seolah sedang mengingat nama seseorang yang memberinya coklat itu tadi siang. “Maura tidak tahu namanya. Tapi tadi ibu ber—”
“Itu coklat dari wali murid, Mas. Mungkin Maura mengira kami berteman.” Gemintang menyahut sebelum Maura melanjutkan jawabannya. “Katanya baru pulang liburan ke luar negeri. Kebetulan Maura dapat dua, yang satu sudah dimakan tadi.”
Gemintang sudah mencari tahu merk coklat itu, sehingga bisa memberikan jawaban masuk akal kepada suaminya dan ia berharap alasan itu tak membuat Janu curiga. Untungnya, Maura tidak menginterupsi. Gadis kecil itu hanya meminta lagi agar Janu membelikan cokelat serupa.
Janu lantas mengambil cokelat yang dipegang Maura dan mengamatinya sebentar. “Nanti kalau Ayah sudah gajian, pasti belikan. Tapi, cokelat ini tidak dijual di negara kita.”
“Memangnya yang dijual di mana, Ayah?” Gadis itu tampak kecewa.
“Di Singapura. Apa kamu tahu? Maura sering belajar nama negara bersama ibu, kan?”
Maura mengangguk cepat. “Yang ada patung singanya!”
“Nah, pintar! Karena pergi ke negara itu harus pakai pesawat, jadi Maura harus sabar dulu ya, kita harus menabung dulu supaya bisa beli coklatnya. Kalau uangnya sudah banyak, kita sekalian jalan-jalan ke sana. Mengerti, Sayang?”
“Ayah janji?” ujar Maura seraya mengulur tangan, menyodorkan jari kelingking. Janu pun membalasnya, lalu meminta putrinya untuk pergi ke beristirahat.
Sementara Janu, masih dengan membawa coklat itu menyerongkan tubuhnya ke arah Gemintang. Seperti hendak bertanya banyak hal, tetapi urung karena sebuah dering panggilan terdengar dari saku celananya. Lelaki itu hanya berkata sebelum pergi mengangkat panggilan, “Lain kali jika diberi sesuatu periksa dulu. Coklat itu menggunakan susu skim dan tinggi gula. Ganti coklatnya dengan yang lain!”
Seperginya sang suami, Gemintang menyandarkan tubuhnya pada dinding seraya membuang napas panjang. Syukurlah, tidak ada hal buruk yang terjadi.
Hingga tiba sore hari, tidak ada kecurigaan dari Janu. Bahkan laki-laki itu benar-benar menepati janjinya untuk membawa Gemintang dan Maura jalan-jalan ke salah satu pusat perbelanjaan yang cukup besar di kota.
Dulu, itu menjadi rutinitas yang paling menyenangkan bagi Gemintang meski jarang mereka lakukan.
Namun, hari ini … rasanya sangat berbeda.
“Kenapa kamu tidak begitu ceria hari ini? Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” tanya Janu ketika mereka sedang menikmati makan malam di salah satu restoran mewah dalam pusat perbelanjaan itu.
Sementara Maura sedang asik bermain di playground dengan teman sebayanya`
Gemintang mendongak lalu menjawab, “Tidak. Aku baik-baik saja.”
“Jika baik-baik saja kau tidak akan diam sepanjang perjalanan sampai detik ini, Gemintang. Coba ceritakan, apa yang terjadi denganmu?”
Wanita berambut sebahu itu menarik napas dalam lalu melemparkan pandangan ke arah Maura. Andai lelaki itu tahu jika saat ini hati Gemintang porak-poranda.
Namun, jika ia menceritakan kejadian tadi siang, apa yang akan terjadi?
Ia penasaran, tetapi juga tak siap dengan kemungkinan yang akan dihadapi.
Bagaimana jika nanti Janu berubah? Ia tidak ingin menghancurkan kebersamaan ini.
“Gemintang?” tegur Janu saat Gemintang tak kunjung bicara. “Kamu tidak suka dengan tempatnya?”
Gemintang lalu menggeleng cepat. “Bukan! Hanya … apa hari ini kita tidak berlebihan, Mas? Kamu belikan Maura banyak baju dan mainan, lalu kita makan di restoran mahal seperti ini? Harga satu steak tiga ratus ribu?” ujarnya kemudian mengamati berbagai macam paper bag pada kursi kosong di sebelahnya.
Mendengar itu, Janu segera meletakkan sendoknya dan tersenyum. “ Apa salahnya kalau aku menyenangkan istri dan anakku?”
“Tetapi lebih baik ditabung, kan? Sebentar lagi Maura masuk jenjang TK, biayanya juga bertambah, Mas. Untuk beli seragam saja hampir satu juta, belum dengan uang gedung dan bulanannya,” kata Gemintang lagi.
Alih-alih tertegun, Janu justru menarik kembali sudut bibirnya. Seolah tak masalah dengan jumlah uang yang baru saja ia habiskan. “Jika itu yang kamu pikirkan, jangan khawatir. Aku masih punya tabungan kok. Lagipula, bonus yang aku dapat hari ini cukup besar, aku sudah sisakan untuk keperluan Maura. Semua sudah aku perhitungkan, mengerti?”
Gemintang hanya bisa mengangguk menanggapi sang suami. “Kalau begitu, kita selesaikan makan dan pulang, Mas. Sudah semakin malam, besuk Maura harus sekolah.”
Mendengar itu Janu segera meraih tangan Gemintang yang hendak mengiris daging pada piringnya. Detik berikutnya melayangkan tatapan serius padanya. “Tunggu sebentar. Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu.”
Sorot mata lelaki itu berhasil membuat Gemintang menelan ludahnya kasar. Meski tak tahu apa yang akan ditanyakan, jantung Gemintang tiba-tiba saja berdegup kencang. Firasatnya mendadak buruk.
Janu tak pernah menatapnya dengan intens seperti ini. Biasanya tatapan itu muncul saat dia marah atau ingin membicarakan hal penting.
“A-ada apa, Mas?”
Tanpa sadar, Gemintang bertanya dengan suara bergetar.
Ia khawatir jika Janu tahu pertemuannya dengan Rosaline tadi pagi!
Tiba-tiba saja Janu terkekeh pelan... “Jangan khawatir, Sayang. Sebelum membahasnya, aku ingin memberikan sesuatu kepadamu.”Lelaki itu melepaskan genggamannya, lalu mengambil paper bag hitam dan mendorongnya ke arah Gemintang. Dengan hati-hati, Gemintang membuka isinya. Sebuah kotak beludru hitam dengan logo bunga emas terpatri di atasnya.Tanpa perlu penjelasan pun, Gemintang tahu isi kotak itu. ”Mas, ini untukku?” tanyanya ragu.Janu mengangguk. “Bukalah, lihat apakah kamu suka atau tidak dengan model yang aku pilih?”Gemintang lalu membuka penutup kotak itu. Ia takjub kala melihat set perhiasan dengan permata merah yang berkilauan itu tertata rapi di dalamnya. Sungguh, itu barang mahal yang pernah ia lihat seumur hidupnya. Ini bahkan bukan hari yang spesial baginya.“Bagaimana? Apakah kamu menyukainya?” tanya Janu, mengamati reaksi istrinya.“Su-suka, Mas. Tapi ini terlalu berlebihan, bukan? Kamu—”“Jangan pikirkan berapa harganya. Aku tahu, kamu pasti merisaukan itu,” potong le
Keinginan Janu untuk memiliki anak terus mengganggu pikiran Gemintang. Bahkan, sampai keduanya di rumah. Bayangan Janu yang terlihat bersemangat untuk menambah anak lagi sungguh menyesakkan.Apa yang sebenarnya direncanakan pria berstatus suaminya itu?Kriet!Suara pintu yang terbuka membuat Gemintang terkejut dan spontan menoleh ke arah sumber suara. “Maaf, aku mengejutkanmu?” tanya Janu usai menutup pintu kamar mereka kembali. Pria itu baru saja menemani Maura, membacakan dongeng sebelum putrinya terlelap.“Tidak kok,” jawab Gemintang, “Maura sudah tidur?”“Sudah, baru saja.”Janu lalu meletakkan ponsel ke atas nakas, bergerak menuju ranjang, dan mendaratkan tubuhnya di sisi Gemintang. Dengan satu gerakan ia membalikan tubuh mungil itu agar menghadap ke arahnya. “Kenapa belum tidur, hm?” tanya lelaki itu seraya melingkarkan lengan kekarnya ke pinggang Gemintang. Mereka saling menatap dalam. Entah sihir apa yang dimiliki Janu. Dua manik hitam itu selalu mampu menenggelamkan Gemi
Keesokan harinya.Gemintang mengernyit kala menyadari sesuatu yang silau mengganggu tidurnya. Kesadarannya belum terkumpul penuh, tetapi ia tahu jika itu adalah sinar matahari yang menembus celah jendela kamarnya. Wanita itu lantas menggerakkan tangannya merasa sisi ranjang yang lain, tetapi tak menemukan seseorang di sana. “Matahari sudah menjulang tinggi dan kamar ini sudah kosong. Itu artinya, Janu sudah berangkat ke kantor,” gumamnya kemudian.Menyadari sesuatu, Gemintang segera melompat dari kasur. Wanita itu gegas mencari keberadaan Maura di kamar sebelah. Bagaimana bisa dia bangun kesiangan seperti ini?“Maura?” panggilnya, tetapi tidak ada jawaban, bocah itu sudah tidak ada. Gemintang lalu kembali ke kamar dan memeriksa ponselnya. Ia baru menyadari jika ini sudah pukul delapan lebih. Ada pesan suara yang dikirimkan suaminya. [“Ibu, aku sudah berangkat sekolah diantar Ayah. Jangan lupa jemput Maura ya.] Suara Maura terdengar ceria di sana. Lalu, ada sebuah pesan text yang d
“Rosaline?”Berbeda dengan Gemintang yang tergagap, wanita bergaun merah itu justru memberikan seringaian kecil. Kedua tangannya bersedekap di depan dada dan tatapannya begitu tegas. Entah apa yang akan dilakukan Rosaline kali ini. Raut wajahnya yang tenang membuat sikap wanita itu selalu tidak tertebak. “Bagaimana kau tahu rumahku?” tanya Gemintang lagi. Ia merasa belum pernah memberitahu alamat rumahnya kepada Rosaline. Mungkinkah wanita itu membuntutinya? Atau … dia sudah tahu sejak lama?“Apa yang tidak aku ketahui sebagai istri pertama Janu? Rumah ini bahkan aku yang membelinya bersama Janu.” Deg!Tanpa permisi, Rosaline seketika menerobos masuk ke dalam rumah. Dagunya terangkat tinggi saat mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati teras rumah Gemintang yang dipenuhi tanaman hias. Juga, beberapa bunga peony segar di hadapannya. Sementara Gemintang, seolah kehilangan daya walau untuk bicara. Bahkan rumah yang selama ini ditempatinya, sekarang terasa bukan miliknya. “M
Gemintang menghela napas panjang. Kembali dipaksanya diri untuk makan dan beraktivitas. Ibu Maura itu merapikan rumah sebisanya, lalu membersihkan diri sebelum menjemput sang putri di sekolah. Hanya saja, kala berdiri di antara para orang tua yang juga menunggu anak mereka, Gemintang tanpa sadar terus saja memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Apakah dia harus meninggalkan Janu? Tapi, bagaimana jika Maura direbut? "Hore!!! Kita Pulang!" Suara bocah yang dikenal Gemintang sebagai teman sekelas sang putri, terdengar--membuatnya tersadar dari lamunan. Atensi wanita itu berpindah pada anak-anak yang sudah mulai menghampiri ibu dan pengasuh mereka. Hanya saja, putrinya tak kunjung kelihatan! Padahal, sekolah sudah mulai sepi. Deg! "Rosaline?" Seketika Gemintang cemas. Dia mendadak teringat pertemuannya dengan istri pertama suaminya itu tadi pagi. Bagaimana jika wanita itu bertindak nekat setelah Gemintang menjadikan Maura sebagai alasan utama? Pani
Kepala Gemintang hampir pecah. Pesan dari nomor tak dikenal itu .... membuat Gemintang jadi khawatir.Ia yakin itu dari Rosaline.Bagaimana jika wanita itu nekad menculik Maura?Namun, Gemintang terpaksa menelan kekhawatirannya itu sendirian kala Janu pulang setelah makan siang dan memaksannya ke dokter kandungan--sesuai janjinya kemarin.Hanya saja, ucapan Maura yang tiba-tiba membuat Gemintang tanpa sadar ketakutan!“Ibu! Maura mau main di sana!” pinta gadis kecil itu sembari menunjuk taman kecil di depan klinik. “Tidak, Maura! Duduk di sini saja tidak boleh kemana-mana!" tegas Gemintang cepat.“Tapi Maura mau main!” Tak disangka, anak itu berteriak sehingga beberapa pasien di tempat lain menoleh ke arahnya.Janu yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya, bahkan langsung menyimpan benda itu dan mendongak ke arah putri dan istrinya.“Sudah, sudah. Maura main saja di sana tidak apa-apa, tapi jangan jauh-jauh, ya,” kata Janu, menengahi perdebatan istri dan anaknya. Maura yang mendapat
"Siapa dia, Mas? Kamu mengenalnya?"Pertanyaan dan tindakan Gemintang tampaknya membuat bara api menyala dalam mata Rosaline. Gemintang bisa merasakannya.Meski demikian, Janu masih tampak tenang. Ia menoleh ke arah Gemintang dan menarik sudut bibirnya. "Ini ...." Janu berhenti sebentar. Gemintang bisa melihat suaminya itu melirik sekilas ke arah Rosaline yang kini bersedekap di depan dada, bersiap mengatakan sesuatu."Dia Rosaline. Rekan kerjaku di kantor," lanjut Janu sebelum wanita bergaun merah itu angkat bicara.Mendengar itu, kedua alis Gemintang terangkat.Begitu juga dengan Rosaline yang melebarkan matanya ke arah Janu tak percaya dengan apa yang dikatakan lelaki itu.Mereka sudah bertemu sekarang, tetapi mengapa Janu masih menutupinya? Lalu Rosaline, mengapa wanita itu tampak tak berkutik saat bersama suaminya?Bukankah kemarin dia yang paling bersemangat mengungkap semua ini?“Rekan kerja?” Gemintang mengulang jawaban dan Janu memberikan anggukan.“Dulunya kami bekerjasam
Gemintang tengah menyetrika pakaian kerja Janu, seperti biasa. Meski demikian, usai kejadian di rumah sakit, pikirannya semakin tak tenang.Janu seolah tak ingin menyelesaikan dengan berpura-pura tidak tak ada masalah di antara mereka. Jika begini terus, maka tidak akan ada akhirnya. Ia hanya akan terjebak dalam kebingungan dan kekhawatiran.Terlebih ketika melihat Maura yang biasanya ceria dan aktif, kini tampak diam, seolah memikirkan sesuatu.Entah apa yang ia alami, saat ditanya, anak itu hanya menggelengkan kepala dan memilih menyendiri di kamar.“Kamu masih belum selesai?” Suara serak nan berat itu membuat Gemintang mendongak. Janu telah berdiri di ambang pintu seraya membawa sebuah nampan kayu berisi segelas air dan satu botol kemasan kecil. Dia bisa kembali ke kamar itu artinya Maura sudah tidur. Gemintang menanggapi dengan tersenyum kecil, lalu mengembalikan fokus pada tumpukan baju. Apakah sebaiknya ia bicara sekarang?Namun, jika Gemintang memberanikan diri untuk bicara