Waduh.... Kenapa Rosaline marah, ya?
Sementara di dalam kamar ....“Mas!” jerit Gemintang pada Janu.Tak lama, pria itu melepaskan cengkramannya. Masih dengan bola mata yang berkobar hebat, Janu menatap Gemintang.“Sebaiknya kamu cari tempat kerja baru!” katanya dengan nada tegas. Gemintang yang tidak setuju langsung mengernyit ke arah suaminya. Sungguh menyesakkan. Di hadapan orang-orang, mereka bersandiwara seolah rumah tangga mereka sangat baik. Padahal, yang terjadi sebenarnya, hancur berkeping-keping. Bahkan Gemintang sendiri tak tahu apakah hubungan ini masih bisa diselamatkan atau harus diikhlaskan.“Apa maksudmu? Aku baru kerja di sana satu hari, dan kamu sudah menyuruhku pindah tempat kerja?”“Aku akan carikan tempat lain untukmu. Atau usaha apa pun yang kau mau, asal tidak bekerja di sana!” Janu menambahkan, nada suaranya datar tetapi mengisyaratkan sebuah kekhawatiran.“Baru kerja sehari saja, kau sudah menceritakan banyak hal. Pengasuh Maura sampai pindah rumah. Besok kau mau cerita apa lagi?”“Jika hanya
Selama Rosaline menyusun "rencananya", hubungan Gemintang dan Janu memburuk selama tiga hari terakhir.Gemintang memilih untuk menghindar ... sebab erbuatan Janu benar-benar membuatnya terluka.Hati perempuan mana yang tak sakit jika diperlakukan dengan kasar semacam itu?“Kenapa ibu tidak sarapan bersama Ayah?” tanya Maura saat mereka sarapan bersama pagi ini. Gemintang tertegun. Beberapa hari ini, ia memang tidak makan bersama dengan mereka. Selalu menyendiri. Sementara hari ini, Janu sudah berangkat bekerja pukul enam pagi tadi.Rosaline dan Bu Dewi? Mereka pergi entah ke mana saat Gemintang hendak menuju ruang makan tadi. Biasanya kedua wanita itu akan memancing keributan. Meski bingung karena keduanya tidak mengkritik atau mencibir dirinya, Gemintang merasa bersyukur. "Ayah dan ibu sedang marahan ya?" Maura bertanya lagi. Ketika melihat Gemintang hanya diam dengan pandangan kosong. Sesaat tubuh Gemintang menegang mendengar pertanyaan itu, tetapi secepat mungkin ia men
"Mami, Ocha!" Suara lengkingan itu mengagetkan Rosaline yang baru saja kembali dari restoran. Ia lantas menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Maura tengah bermain di ruang tengah bersama pengasuhnya. Rosaline lantas tersenyum dan berjalan mendekat ke arahnya. "Hei! Kamu tidak sekolah hari ini, ya?" tanya Rosaline seraya berjongkok di hadapan Maura. Gadis kecil itu mengangguk. "Iya, Mami. Maura hanya sekolah empat hari." "Kalau begitu, bagaimana kalau hari ini kita jalan-jalan, hm? Mami akan belikan buku baru lagi, kita juga beli ice cream, kamu mau?" tawar Rosaline membuat Maura yang sedang berdiri di hadapannya terkejut, senang. "Mau! Maura mau, Mami!" Rosaline menarik kedua sudut bibirnya lalu mengusap pipi Maura. "Baiklah, Anak Manis! Kalau begitu, kamu ganti baju dulu sama suster, ya? Mami tunggu di sini." Dengan penuh semangat, Maura berlari menuju kamarnya bersama dengan sang pengasuh. "Sepertinya anak itu sudah semakin dekat denganmu," ujar Bu Dewi yang baru
Berbeda dengan Baskara, Gemintang justru merasa pesanan itu adalah anugerah. Namun, karena harus membantu sang ibu menyiapkan pesanan itu, Gemintang sedikit terlambat pulang hari ini. Langit bahkan sangat gelap saat ia tiba di rumah. Hanya berharap Maura tak marah padanya kali ini. Ia sudah berjanji kepada anak itu untuk menemaninya tidur. Sedangkan sekarang sudah pukul sembilan malam. "Maura?" panggil Gemintang ketika ia membuka kamar putrinya dan menemukan Maura bersama sang pengasuh sedang menonton televisi. "Ibu?" Maura menoleh ke arah pintu dan mendapati Gemintang di sana. Anak itu langsung menghambur peluk ke arahnya. "Yeay! Ibu pulang!" Sementara sang pengasuh langsung pamit undur diri, kembali ke kamarnya. "Hei, kamu belum tidur?" tanya Gemintang usai menutup pintu kamar. "Sudah malam, Sayang, matikan televisinya dan tidur, ya?" "Mau tidur dengan ibu dan ayah. Ayah belum pulang lagi ya, Bu?" tanya Maura polos membuat senyum Gemintang memudar perlahan. Dia bah
Menangis semalaman membuat Gemintang kehilangan banyak energi. Ia hampir terlambat bekerja karena bangun kesiangan. Namun, beruntungnya Gemintang tiba di toko roti ibu panti, tepat waktu, meski harus melewatkan waktu sarapannya.“Aku kira kamu tidak berangkat hari ini, tumben sekali kamu berangkat agak siang?” Suara berat itu mengejutkan Gemintang yang baru saja meletakkan tasnya di meja. Baskara datang membawa sebuah lembaran kertas berwarna biru.“Maaf, aku kesiangan karena semalam menemani Maura menonton film sampai larut,” jawabnya seraya menerbitkan senyum selebar mungkin.Pria berkemeja hitam itu hanya terkekeh saja. Ia yakin Gemintang sedang berdalih, meski bibirnya berkata tidak tetapi kantung mata dan wajahnya yang lesu itu sudah memberikan jawaban tersendiri bagi Baskara.Namun, hari ini bukan waktu yang tepat untuk mendesak Gemintang agar jujur padanya.“Tidak masalah. Aku juga tak akan memotong gajimu jika hanya terlambat sedikit. Ah, ya, sebagian pesanan brownies 200 bo
Sementara di tempat lain ....“Bagaimana bisa coil sebanyak ini harus tertunda pengirimannya?” Ketenangan Janu terusik kala mendengar laporan dari Manggala jika ada kendala pada proses pengiriman bahan baku, sehingga membuat proses pembuatan harus mundur beberapa hari lagi.“Mereka bilang ada masalah di ekspedisi. Tetapi mereka juga tetap tanggung jawab dengan menanggung biaya ongkos kirim keseluruhan. Impas, kan?” timpal Manggala seraya menarik kursi di hadapan Janu dan mendaratkan tubuhnya di sana. Janu membuang napas panjang. Pria itu lalu menandatangani berkas-berkas yang diberikan sepupunya itu. “Kalau begitu kau mulai cari supplier lain yang lebih dekat.”“Mencari supplier lain?” “Ya, alangkah baiknya kau cari supplier lain. Antisipasi hal yang sama terjadi, kita bisa datangkan coil dari mereka.”“Kita bahkan baru mengalaminya sekali. Biasanya mereka juga tepat waktu,” desah Manggala seraya menatap sebal ke arah Janu. “Misalnya ada kejadian yang sama lalu kau datangkan coil d
“Tunggu dulu!” Manggala mencoba menghentikan Janu yang terlihat kalang kabut dan mulai mengemasi barang-barangnya. “Kita tidak tahu siapa pemilik nomor itu, bisa saja ini salah paham atau dia sengaja memancing keributan antara kau dan Gemintang.” Sayangnya, api cemburu telah membakar hati Janu.Pria itu hanya berhenti sejenak, tetapi rahangnya mengeras. Ditatapnya tajam Manggala. “Bagaimana mungkin rekaman CCTV itu salah paham? Lalu bukti reservasi itu? Bagaimana pemilik nomor itu tahu nama dan identitas Gemintang?” tanya Janu, tak sabar. "Aku tahu hubungan kalian sedang rumit, tapi aku yakin Gemintang tidak akan setega itu,” ujar Manggala dengan penuh keyakinan.“Dengan kepribadiannya yang apa adanya, dia tidak mungkin berniat selingkuh di belakangmu.”"Benarkah?” tanya Janu tanpa menatap Manggala. “Apa yang bisa menjamin dia tidak melakukannya?”"Aku memang tidak bisa menjamin apa-apa.” Manggala menghela napas panjang. Ia kemudian berjalan ke arah Janu.“Tapi, aku tidak ingin kam
Gemintang yang baru saja keluar dari taksi, menghela napas. Ada lemburan pesanan yang membuatnya harus pulang sedikit malam. Untungnya, dapat diselesaikan dengan baik. Setelah membayar biaya taksi, Gemintang lantas berjalan memasuki rumah megah itu.Dia ingin membersihkan diri, menemui Maura, lalu beristirahat.Hanya saja, tubuh Gemintang menegang saat membuka pintu kamar.Wanita itu terkejut melihat keberadaan Janu!Pria dalam balutan piyama itu duduk di kursi meja kerjanya, sedang membaca sebuah buku.Mungkinkah dia sudah lama di sana?Tapi, bukankah Janu seharusnya sedang dinas?"A-apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Gemintang, mengendalikan diri. Wanita itu lalu melanjutkan langkahnya menuju meja rias."Menunggumu,” jawab Janu singkat, tanpa menoleh dari bukunya.Gemintang terdiam sejenak, jantungnya berdebar kencang. Menunggu?Jika Janu pulang, bukankah ini jadwalnya dengan Rosaline? "Untuk apa?” tanya Gemintang dengan penuh waspada. “Bukankah malam ini ..."Brak!Belum semp
Beberapa bulan setelah itu, Baskara sedang menyimak berita yang sedang trending di media. Soal Janu dan Gemintang yang sedang naik bisnisnya. Juga hubungan mereka yang diperdebatkan banyak orang. Entah bagaimana ia harus merasa. Dia tak rela, tetapi itulah menjadi pilihan Gemintang. Aruna yang tahu perasaan lelaki itu menyandarkan tubuhnya di kursi sebelah Baskara yang sedang menatap layar ponselnya, memperhatikan berita tentang Janu dan Gemintang. Semburat senyum tipis terlihat di wajahnya, tetapi matanya menunjukkan kesedihan yang tak tersembunyikan.“Kenapa Bapak masih melihat berita mereka?” Aruna bertanya lembut, mengambil alih perhatian Baskara yang sepertinya larut dalam pikirannya sendiri.Baskara menghela napas, mengunci layar ponselnya dan meletakkannya di meja. “Entahlah, mungkin aku hanya ingin memastikan bahwa dia bahagia di sana.”Aruna tersenyum lembut, mencoba mengusir suasana muram di wajah Baskara. “Gemintang memang sudah memilih jalannya sendiri, Pak. Terkadang, m
“Kalian memang manusia tidak tahu diuntung! Awas saja! Awas saja kalian!”Usai mengatakan demikian, Bu Dewi gegas pergi dari ruangan itu, meninggalkan Janu dan Rosaline yang kini berdiri pada posisinya masing-masing. “Bibirmu berdarah.” Janu menunjuk setitik darah yang tampak di sudut bibir Rosaline.Janu lalu menghubungi sekretaris untuk meminta kotak obat lewat sambungan pararel.“Duduklah, sekretaris akan datang bawakan obat.”Rosaline kemudian duduk di sofa, sementara Janu mengambilkan satu botol air mineral dan membukakan tutupnya untuk Rosaline, bersamaan dengan itu pula, sekretaris Rosaline mengantar obat. Saat sekretarisnya memberikan kotak obat, Rosaline menunduk sambil mengambilnya dari tangan sang sekretaris. "Terima kasih, tapi saya bisa obati sendiri," ucapnya pelan yang kemudian dijawab dengan anggukan oleh sang sekretaris.Janu menyerahkan botol air mineral yang baru saja ia buka untuk Rosaline. “Ini, minumlah dulu,” ujarnya dengan nada lembut. Rosaline mengucapkan te
“Kau yakin aku ingin membahas hal itu?” Rosaline memelankan suaranya. Dia sedikit terkejut dengan permintaan Janu. “Lakukan saja, pancing hingga dia mengatakan semuanya.”Rosaline mengangguk.Janu lantas beringsut mundur, mencari tempat strategis, tak lupa membawa pena perekam yang diberikan oleh Rosaline dan memastikan dirinya tak meninggalkan jejak apapun. “Rosaline!”Seruan Bu Dewi semakin jelas dan keras, hampir memekakan telinganya. Rosaline lalu membawa dirinya duduk di kursi direktur, membuka laptopnya dan bersikap seolah ia sedang bekerja. Hingga akhirnya ….Brakk! Pitu ruangannya dibuka dengan kasar, Rosaline menghentikan gerakan jarinya di atas papan ketik. Dia mendongak menatap Bu Dewi yang memberikan ekpsresi marahnya. “Bisa-bisanya meminta sekretarismu untuk berbohong dan mengatakan kau sedang menemui tamu, padahal kau sedang tidak bertemu dengan siapa-siapa?” Wanita paruh baya itu berjalan mendekat ke arah Rosaline dengan wajah penuh amarah, kedua tangan juga mengep
Pagi-pagi sekali, Janu segera pergi ke kantor Ferinco.Empat tahun tidak pernah mengunjunginya, gedung pencakar langit itu masih sama, tidak banyak hal yang berubah, hanya mengalami renovasi di beberapa titik denah. Janu mengikuti arah langkah Manggala yang berjalan lebih dulu di depannya, mengantarnya menuju tempat tujuan. Setelah beberapa saat menyusuri lorong, dan menaiki lift, mereka bedua akhirnya tiba di depan ruang milik Rosaline.Sementara Manggala menghela napas panjang sebelum menepuk pundak Janu. Pria yang berusia lebih muda darinya itu merentangkan tangan. “Akhirnya, kau kembali. Welcome back to work!”“Thanks, Brother! Kau harus menemaniku memulai semuanya dari awal,” ucap Janu membalas pelukan Manggala. “Itu pasti! Oh iya, Kau langsung masuk saja, biasanya Rosaline akan datang sebentar lagi.” Manggala melepas peluknya, lalu melirik arloji perak pada tangan kirinya. Pria berjas itu lalu mengambil sebuah kartu dari dalam saku jasnya.“ID card milikmu, mulai hari ini kau
Selepas bertemu dengan Manggala di kafe, menjelang makan siang Janu kembali ke rumah. Kedatangan pria itu disambut oleh si kembar yang berlari ke arahnya seraya memanggil, “Ayah!”“Yeeeay! Ayah pulang!”Janu pun menggendong mereka berdua. “Kamu sudah selesai, Mas?” tanya Gemintang ketika melihat Janu menggendong putra dan putrinya. Dia melihat sekilas ke arah Janu, sebelum mengembalikan pandangan pada untaian daun bawang di hadapannya.“Sudah,” jawab Janu ketika menurunkan Keenan dan Kinara di ruang tengah. Kedua bocah itu segera menghampiri mainan mereka lagi. Sementara Janu mendekat ke arah Gemintang yang sedang sibuk di dapur. “Apa yang kalian bahas? Sepertinya kamu ceria sekali setelah bertemu dengan mantan istri?” mendengar itu Janu terkekeh. Selanjutnya melingkarkan lengannya di tubuh Gemintang. Dagunya bersandar di pundak kanan wanita itu. “Kamu cemburu, hm?”“Tidak. Hanya penasaran, apa yang dibahas suamiku ketika bertemu mantan sehingga ketika pulang wajahnya bisa sumring
Janu memandangi surat itu dalam diam. Hatinya berkecamuk antara kaget dan heran. Satu sisi, ia merasa diberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Namun di sisi lain, ada keraguan yang masih muncul dalam hatinya. Apakah ini semua bisa dipercaya? Atau hanya akal-akalan Rosaline saja?"Aku mengerti keraguanmu. Awalnya, aku tidak ingin percaya dengan Rosaline, tetapi, jika dipikirkan ulang, untuk apa dia rela untuk melepas ini semua, kalau bukan karena dia memang ingin berubah?"Janu masih membisu, mencoba mempertimbangkan kata-kata sang sepupu. Hingga akhirnya, pria itu membuka suara. “Jika aku menerima kembali ini semua, lantas bagaimana dengan Rosaline?”“Dia sudah punya tujuannya sendiri. Kau tidak perlu cemaskan itu, yang penting sekarang dia sudah berada di pihakku, dia juga sudah bersedia bersaksi atas semua kesalahan Bu Dewi.”“Dia bersedia?” ulang Janu, tak percaya. “Iya, yang aku tahu hubungannya dengan Bu Dewi memburuk. Anak buahku melapor jika Rosaline tinggal di aparteme
“Aku tidak tahu, tetapi Manggala bilang Rosaline ingin bertemu denganku.”Janu memperhatikan wajah istrinya yang berubah. Begitu nama Rosaline disebut, senyum di wajah Gemintang pudar perlahan. Janu paham, hati wanita itu begitu sensitif, terlebih jika mendengar nama mantan atau orang yang pernah menjadi masa lalu pasangannya.Dia bahkan tahu, Rosaline adalah sumber masalah mereka selama ini. Seharusnya nama itu tak pernah ia sebutkan.“Rosaline?” ulang Gemintang, “Kamu… masih berhubungan dengan dia?”Janu cepat-cepat menggeleng. “Tidak. Jangan salah paham dulu. Aku sudah lama putus kontak dengannya. Kalau kamu tidak percaya, kamu boleh tanya ke Manggala. Aku juga tidak tahu apa yang akan Rosaline bicarakan; tiba-tiba saja dia meminta bertemu.”Gemintang tetap diam, membuat Janu khawatir dia akan marah.“Begini saja, kita pergi bersama, supaya kamu tahu apa yang akan Rosaline bicarakan,” tawar Janu, berharap bisa menenangkan hati istrinya.Namun, jawaban Gemintang tak sesuai harapannya
“Mengembalikan apa yang seharusnya menjadi milik Janu.”Manggala menatap map berwarna biru yang baru saja disodorkan Rosaline. Sepasang matanya menyipit kala melihat barisan tinta yang tertulis di atas kertas itu. Apakah semudah itu Rosaline menyerahkan kembali semua aset yang telah dia dapatkan ini?“Kalau kau berpikir aku punya rencana buruk, kau salah. Aku serius, Manggala. Aku ingin mengakhiri semua ini. Aku bersedia menjadi saksi. Bahkan jika aku dinyatakan bersalah, aku siap menerima konsekuensinya.” Rosaline mengatakan kalimat itu dengan suara yang agak parau. Sebenarnya Manggala iba dengan wanita itu, tetapi mengingat semua perbuatannya di masa lalu, ia tetap harus waspada, bukan? Bisa saja ini hanya permainan liciknya?“Apa yang membuatmu berubah pikiran seperti ini, Rosaline? Apa yang akan terjadi ketika kau mengembalikan semua ini pada Janu?” Manggala bertanya setelah menyeruput kopinya. Helaan napas panjang meluncur dari bibir Rosaline. “Sudah kukatakan sebelumnya karena
“Maksudmu… Janu?” Manggala mengulang, keningnya berkerut, mencoba mencerna maksud ucapan Rosaline. Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba membicarakan pria itu.Mengingat sudah bertahun-tahun lamanya wanita itu tak mengungkit nama Janu. Hingga sekarang ketika Janu sudah bersama lagi dengan Gemintang, mengapa tiba-tiba dia membahas soal pria itu?Apa dia sudah tahu tentang mereka?[“Ya, aku tidak bisa menjelaskan di sini. Aku ingin bertemu denganmu sekarang. Akan aku jelaskan semuanya.”] Rosaline menjawab dari seberang sana. Suaranya terdengar parau. Entah apa yang terjadj dengan wanita itu tetapi Manggala hanya bisa menebak-nebak. Manggala menghela napas panjang, bergulat dengan keengganan, tetapi rasa penasaran yang begitu besar memaksanya setuju. “Oke, sebaiknya kita bertemu di luar kantor saja. Takutnya ada banyak orang yang mendengar,” usulnya yang kemudian disetujui oleh Rosaline. Setelah sepakat, mereka meluncur ke sebuah kafe di pusat kota. Meski ramai, mereka menemukan s