Gemintang harap-harap cemas. Untungnya, Janu kembali menerbitkan senyum kepada ibu asuh Gemintang itu.“Sebenarnya, kami hanya pindah di perumahan karyawan, memang jaraknya sedikit jauh dari panti. Tetapi ibu jangan khawatir, tidak akan mengurangi semangat Gemintang untuk bekerja,” jawab pria itu lalu melingkarkan tangan kirinya ke pinggang Gemintang. “Benar, kan, Sayang?”“Mas Janu benar, Bu. Hanya selisih lima menit saja, tidak masalah.” Dengan terpaksa Gemintang mengulas senyum. Tak lama, Bu Ningrum pun mengangguk sebagai jawaban. “Ibu turut senang mendengarnya. Gemintang juga bercerita kalau kalian akhirnya menggunakan pengasuh untuk menjaga Maura. Lalu hari ini, Nak Janu mengatakan jika sudah tinggal di perumahan karyawan. Ekonomi kalian pasti sudah sangat baik. Semoga saja kalian selalu sejahtera,” ujarnya berharap yang terbaik.“Terima kasih, Bu. Saya juga berharap toko ibu semakin laris. Kapan-kapan, saya carikan investor atau event untuk bekerjasama dengan toko ibu.” Janu m
Sementara di dalam kamar ....“Mas!” jerit Gemintang pada Janu.Tak lama, pria itu melepaskan cengkramannya. Masih dengan bola mata yang berkobar hebat, Janu menatap Gemintang.“Sebaiknya kamu cari tempat kerja baru!” katanya dengan nada tegas. Gemintang yang tidak setuju langsung mengernyit ke arah suaminya. Sungguh menyesakkan. Di hadapan orang-orang, mereka bersandiwara seolah rumah tangga mereka sangat baik. Padahal, yang terjadi sebenarnya, hancur berkeping-keping. Bahkan Gemintang sendiri tak tahu apakah hubungan ini masih bisa diselamatkan atau harus diikhlaskan.“Apa maksudmu? Aku baru kerja di sana satu hari, dan kamu sudah menyuruhku pindah tempat kerja?”“Aku akan carikan tempat lain untukmu. Atau usaha apa pun yang kau mau, asal tidak bekerja di sana!” Janu menambahkan, nada suaranya datar tetapi mengisyaratkan sebuah kekhawatiran.“Baru kerja sehari saja, kau sudah menceritakan banyak hal. Pengasuh Maura sampai pindah rumah. Besok kau mau cerita apa lagi?”“Jika hanya
Selama Rosaline menyusun "rencananya", hubungan Gemintang dan Janu memburuk selama tiga hari terakhir.Gemintang memilih untuk menghindar ... sebab erbuatan Janu benar-benar membuatnya terluka.Hati perempuan mana yang tak sakit jika diperlakukan dengan kasar semacam itu?“Kenapa ibu tidak sarapan bersama Ayah?” tanya Maura saat mereka sarapan bersama pagi ini. Gemintang tertegun. Beberapa hari ini, ia memang tidak makan bersama dengan mereka. Selalu menyendiri. Sementara hari ini, Janu sudah berangkat bekerja pukul enam pagi tadi.Rosaline dan Bu Dewi? Mereka pergi entah ke mana saat Gemintang hendak menuju ruang makan tadi. Biasanya kedua wanita itu akan memancing keributan. Meski bingung karena keduanya tidak mengkritik atau mencibir dirinya, Gemintang merasa bersyukur. "Ayah dan ibu sedang marahan ya?" Maura bertanya lagi. Ketika melihat Gemintang hanya diam dengan pandangan kosong. Sesaat tubuh Gemintang menegang mendengar pertanyaan itu, tetapi secepat mungkin ia men
"Mami, Ocha!" Suara lengkingan itu mengagetkan Rosaline yang baru saja kembali dari restoran. Ia lantas menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Maura tengah bermain di ruang tengah bersama pengasuhnya. Rosaline lantas tersenyum dan berjalan mendekat ke arahnya. "Hei! Kamu tidak sekolah hari ini, ya?" tanya Rosaline seraya berjongkok di hadapan Maura. Gadis kecil itu mengangguk. "Iya, Mami. Maura hanya sekolah empat hari." "Kalau begitu, bagaimana kalau hari ini kita jalan-jalan, hm? Mami akan belikan buku baru lagi, kita juga beli ice cream, kamu mau?" tawar Rosaline membuat Maura yang sedang berdiri di hadapannya terkejut, senang. "Mau! Maura mau, Mami!" Rosaline menarik kedua sudut bibirnya lalu mengusap pipi Maura. "Baiklah, Anak Manis! Kalau begitu, kamu ganti baju dulu sama suster, ya? Mami tunggu di sini." Dengan penuh semangat, Maura berlari menuju kamarnya bersama dengan sang pengasuh. "Sepertinya anak itu sudah semakin dekat denganmu," ujar Bu Dewi yang baru
Berbeda dengan Baskara, Gemintang justru merasa pesanan itu adalah anugerah. Namun, karena harus membantu sang ibu menyiapkan pesanan itu, Gemintang sedikit terlambat pulang hari ini. Langit bahkan sangat gelap saat ia tiba di rumah. Hanya berharap Maura tak marah padanya kali ini. Ia sudah berjanji kepada anak itu untuk menemaninya tidur. Sedangkan sekarang sudah pukul sembilan malam. "Maura?" panggil Gemintang ketika ia membuka kamar putrinya dan menemukan Maura bersama sang pengasuh sedang menonton televisi. "Ibu?" Maura menoleh ke arah pintu dan mendapati Gemintang di sana. Anak itu langsung menghambur peluk ke arahnya. "Yeay! Ibu pulang!" Sementara sang pengasuh langsung pamit undur diri, kembali ke kamarnya. "Hei, kamu belum tidur?" tanya Gemintang usai menutup pintu kamar. "Sudah malam, Sayang, matikan televisinya dan tidur, ya?" "Mau tidur dengan ibu dan ayah. Ayah belum pulang lagi ya, Bu?" tanya Maura polos membuat senyum Gemintang memudar perlahan. Dia bah
Menangis semalaman membuat Gemintang kehilangan banyak energi. Ia hampir terlambat bekerja karena bangun kesiangan. Namun, beruntungnya Gemintang tiba di toko roti ibu panti, tepat waktu, meski harus melewatkan waktu sarapannya.“Aku kira kamu tidak berangkat hari ini, tumben sekali kamu berangkat agak siang?” Suara berat itu mengejutkan Gemintang yang baru saja meletakkan tasnya di meja. Baskara datang membawa sebuah lembaran kertas berwarna biru.“Maaf, aku kesiangan karena semalam menemani Maura menonton film sampai larut,” jawabnya seraya menerbitkan senyum selebar mungkin.Pria berkemeja hitam itu hanya terkekeh saja. Ia yakin Gemintang sedang berdalih, meski bibirnya berkata tidak tetapi kantung mata dan wajahnya yang lesu itu sudah memberikan jawaban tersendiri bagi Baskara.Namun, hari ini bukan waktu yang tepat untuk mendesak Gemintang agar jujur padanya.“Tidak masalah. Aku juga tak akan memotong gajimu jika hanya terlambat sedikit. Ah, ya, sebagian pesanan brownies 200 bo
Sementara di tempat lain ....“Bagaimana bisa coil sebanyak ini harus tertunda pengirimannya?” Ketenangan Janu terusik kala mendengar laporan dari Manggala jika ada kendala pada proses pengiriman bahan baku, sehingga membuat proses pembuatan harus mundur beberapa hari lagi.“Mereka bilang ada masalah di ekspedisi. Tetapi mereka juga tetap tanggung jawab dengan menanggung biaya ongkos kirim keseluruhan. Impas, kan?” timpal Manggala seraya menarik kursi di hadapan Janu dan mendaratkan tubuhnya di sana. Janu membuang napas panjang. Pria itu lalu menandatangani berkas-berkas yang diberikan sepupunya itu. “Kalau begitu kau mulai cari supplier lain yang lebih dekat.”“Mencari supplier lain?” “Ya, alangkah baiknya kau cari supplier lain. Antisipasi hal yang sama terjadi, kita bisa datangkan coil dari mereka.”“Kita bahkan baru mengalaminya sekali. Biasanya mereka juga tepat waktu,” desah Manggala seraya menatap sebal ke arah Janu. “Misalnya ada kejadian yang sama lalu kau datangkan coil d
“Tunggu dulu!” Manggala mencoba menghentikan Janu yang terlihat kalang kabut dan mulai mengemasi barang-barangnya. “Kita tidak tahu siapa pemilik nomor itu, bisa saja ini salah paham atau dia sengaja memancing keributan antara kau dan Gemintang.” Sayangnya, api cemburu telah membakar hati Janu.Pria itu hanya berhenti sejenak, tetapi rahangnya mengeras. Ditatapnya tajam Manggala. “Bagaimana mungkin rekaman CCTV itu salah paham? Lalu bukti reservasi itu? Bagaimana pemilik nomor itu tahu nama dan identitas Gemintang?” tanya Janu, tak sabar. "Aku tahu hubungan kalian sedang rumit, tapi aku yakin Gemintang tidak akan setega itu,” ujar Manggala dengan penuh keyakinan.“Dengan kepribadiannya yang apa adanya, dia tidak mungkin berniat selingkuh di belakangmu.”"Benarkah?” tanya Janu tanpa menatap Manggala. “Apa yang bisa menjamin dia tidak melakukannya?”"Aku memang tidak bisa menjamin apa-apa.” Manggala menghela napas panjang. Ia kemudian berjalan ke arah Janu.“Tapi, aku tidak ingin kam