Prang!
Vas bunga tersebut jatuh ke lantai menggema di seluruh ruangan, hancur berkeping-keping, tidak ada ubahnya seperti hatiku yang sekarang.
Pov Arga
Aku keget mendengar ada yang jatuh di dekat pintu, langsung kuhentikan aksiku dan memakai celana dan bajuku secepat kilat. Lalu kaki jenjangku melangkah keluar kamar, memeriksa apa yang pecah.
Mataku langsung terbelalak melihat Hanin berdiri dengan melipat kedua tangannya memasang muka yang sangat marah, tapi terlihat jelas olehku matanya merah dan masih membendung sedikit air mata.
"Hanin," panggilku.
"What!" bentaknya membuatku langsung kaget, seumur-umur Hanin tidak pernah membentak, tapi kali ini suaranya sangat tinggi.
"Aku bisa jelasin," lanjutku mencoba menenangkannya, bukannya menjawab malah mempertajam tatapannya.
"Tidak ada yang perlu kau jelasin Arga Wijaya!" Hanin kembali membentakku, tapi kali ini ia mengucapkan nama lengkapku dengan lantang.
"Sayang," panggil Mita, tiba-tiba sudah bergelayut manja di tanganku, kulihat mata Hanin beralih ke Mita.
"Halo, sampah selangkangan," panggil Hanin pada Mita membuatku kaget, sejak kapan ia menjadi kasar seperti ini, bisanya Hanin selalu adem dan penyabar.
"Sayang, liat deh istri kamu jahat banget," rengeknya pada Mas Arga, aku kembali kaget saat Hanin meludah di depan kami berdua.
"Hanin, kamu!" bentakku karena merasa Hanin tidak sopan meludah di depanku.
"Apa? Apa yang kau mau sekarang suami murahan? Jangan kau ingat karena selalu diam dengan sikapmu berarti aku bodoh, kau salah besar! Kita lihat besok apa yang terjadi," ancam Hanin dengan nada tinggi, ia seperti orang kesurupan sekarang.
"Kamu mau ngapain?" tanyaku hati-hati melihat Hanin yang berapi-api.
"Cerai!" lanjutnya membuatku langsung kaget lalu dengan cepat menggeleng.
"Nggak, aku nggak akan ceraiin kamu," sanggahku, sekarang nada bicaraku mulai menurun.
"Kenapa? Warisan 'kah? Aku tidak peduli warisan, harga diriku jauh lebih mahal di banding semua warisanmu itu, ambil semuanya, tapi tidak dengan anak-anak, kau paham!" teriak Hanin membuatku langsung bungkam, aku tidak mengerti bagaimana cara menenangkan Hanin sekarang.
"Selama ini aku diam karena menghargai Ayahmu yang sudah sangat baik padaku, tapi ternyata anaknya tidak sebaik Ayahnya," kali ini nada bicara Hanin mulai menurun.
"Ceraiin aja sih sayang, toh warisan juga udah sama kamu," bujuk Mita membuatku langsung bingung.
"Dasar murahan, otaknya cuma ada duit dan nafsu, kalian nggak ada ubahnya seperti binatang, tidak ada malu sedikit pun. Bahkan perbuatan kalian tadi seperti sebuah prestasi yang luar biasa untuk kalian, amazing!" ejek Hanin sambil bertepuk tangan, ada apa dengannya?
"Penyesalan selalu datang di akhir Mas, kau cam 'kan itu!" bentaknya sambil menunjuk wajahku lalu ia pergi keluar rumah, dan membanting pintu sekuat tenaganya.
'Apa besok kami akan bercerai,' batinku tidak tenang.
"Sayang, aku antar kamu pulang ya," bujukku pada Mita, kulihat ia langsung mendengus kesal.
"Kok pulang sih, nanggung lagi nanti aja pulangnya," tolaknya, tapi aku takut besok tiba-tiba Ayah dan Ibu datang ke rumah ini.
"Please sayang, sekarang ya, besok pasti akan ada masalah besar," lanjutku membuat Mita mau tidak mau harus pulang sekarang juga.
***
Disisi lain, selama perjalanan aku merasa hatiku sedang di campuri setan, ingin rasanya aku terus mengamuk dan memaki-maki Mas Arga dan pelakor itu.
Mulutku kupaksa untuk terus ber istighfar supaya di jauhi setan, besok aku dan anak-anak akan pergi ke rumah Ayah mertua.
Sampai di rumah Sinta, aku langsung masuk, kulihat Dani masih belum tidur juga, amarahku langsung turun melihat anakku tersebut, kudekati ia dan langsung ku kasih dot yang di tanganku sambil ku usap-usap kepalanya lembut.
"Kamu kenapa, Nin?" tanya Sinta tiba-tiba, entah sejak kapan ia sudah di sampingku.
"Aku akan gugat cerai Mas Arga besok," jawabku, kulihat ia sedikit menyergit alisnya.
"Udah dapat bukti yang kuat?" tanyanya, Sinta memang selalu mendukungku, aku hanya mengangguk lalu memberikan ponselku padanya.
Awalnya kulihat Sinta biasa aja menontonnya, sekita 10 detik video berputar, ia langsung menutup mulutnya tidak percaya.
"I--ini mereka di rumahmu?" tanyanya tidak percaya, aku hanya mengangguk.
"Iya dan di kamar kami berdua, mereka melakukan itu," jawabku membuatnya geleng-geleng, mungkin dia tidak habis fikir dengan suamiku itu.
"Sin, besok kami ke rumah Ayah mertuaku dulu, aku ingin semua masalah ini langsung selesai tidak ada yang di sembunyikan," lanjutku membuatnya mangut-mangut.
"Iya-iya aku paham, jadi gini aja, besok setelah kamu resmi di talak sama dia, kamu pindah ke sini aja, rumahku ini terbuka kapan pun untukmu," tawarnya, bersyukurlah aku punya teman sebaik Sinta, aku langsung mengangguk.
"Makasih ya," ucapku, ia langsung menepuk-nepuk pundakku pelan.
"Santai, anggap rumah sendiri," lanjutnya.
***
Keesokan harinya; pagi-pagi sekali kami sudah berangkat ke rumah orang tua Mas Arga, Sinta tidak membolehkan kami pergi naik kendaraan umum, ia memaksa untuk membawa mobilnya, sedangkan ia ke sekolah naik motor.
Sambil menyetir ku ambil ponselku dan ku kirim voice note ke Mas Arga, awas aja kalo sampe dia nggak datang ke rumah orang tuanya juga.
***
Disisi lain Aku yang baru saja bangun dari tidurnya langsung mengecek ponsel, kulihat ada pesan suara dari Hanin, tanpa membuang waktu langsung ku putar pesan tersebut.
[Kutunggu kau di rumah orang tuamu, kalo sampe kau nggak datang, maka jangan harap warisan jatuh ke tanganmu]
Aku langsung bangkit dari ranjang, Hanin benar-benar ingin menggugat cerai sekarang juga, tanpa membuang waktu lagi, aku langsung membersihkan diriku lalu berangkat ke rumah orang tuaku.
Ada rasa cemas dan deg-degan di hatiku, Ayah adalah orang yang tegas dan ia juga sangat menyayangi Hanin.
Hampir 4 jam aku menempuh perjalanan, akhirnya aku sampai juga, kulihat mobil warna merah sudah terparkir di halaman rumah, mungkin itu mobil Sinta temannya Hanin.
Ku beranikan diri membuka pintu mobil lalu melangkahkan kakiku masuk ke dalam, di teras kulihat Hana dan Dani sedang bermain sambil memakan cemilan di tangan mereka.
Begitu aku sampai di pintu, kulihat Ayah sedang mengobrol dengan Hanin.
"Assalamualaikum," ucapku sopan membuat keduanya langsung menoleh ke arahku, jantungku terasa ingin berhenti saat melihat tatapan Ayah yang begitu tajam ke arahku.
"Walaikumsalam, kamu melakukan apa sih, Nak? Sampe si Hanin mau cerai sama kamu atau ini cuma alasannya aja biar semua warisan jatuh ke tangannya," Ibu langsung menghampiriku dengan banyak pertanyaan.
PoV Hanin
Sudah kuduga Ibu mertuaku selalu membela anaknya dan menyalahkanku, tidaka masalah, aku tidak takut.
Yang di dalam pikiran mereka hanya warisan, warisan dan warisan.
"Ibu biar 'kan Arga duduk di sini," perintah Ayah mertua dengan tegas, membuat Ibu si mulut cabe itu langsung bungkam.
Setelah Mas Arga duduk, Ayah mertuaku langsung menarik nafas dalam-dalam, lalu melihatku.
"Apa yang Arga lakuin Nak, sampe kamu minta cerai seperti ini?" tanya Ayah mertua padaku, ku beranikan mulutku untuk menjelaskannya semuanya.
"Pertama, Mas Arga selingkuh, awalnya aku masih diam karena memikirkan anak-anak dan juga Ayah, kedua aku sering menangkap basah mereka sedang bersama dan yang membuat aku bingung Mas Arga selalu membentakku jika ia sedang bersama pelakor it-" ucapanku terpotong oleh Ibu mertua.
"Alah itu paling cuma alasanmu aja, kau menginginkan warisannya bilang aja," ejek Ibu mertuaku, membuatku langsung menghembuskan nafas kasar.
"Ibu!" bentak Ayah membuatku langsung terkejut, begitu juga Ibu dan Mas Arga, Ayah mertua memang sangat jarang marah.
"Biarkan Hanin menjelaskannya terlebih dahulu, baru kita beralih ke Arga, jangan mengompor-ngompori suasana," ucap Ayah mertua penuh penekanan. Mampus kau! Dasar Ibu mertua di mulut jahannam.
Kusodorkan ponsel ke depan Ayah mertua, kulihat ia tampak bingung. Aku langsung manarik nafas dalam-dalam.
"Itu bukti hubungan haram mereka yang aku rekam tadi malam, Ayah," terangku, Ayah langsung mengangguk dan mulai memutar video.
"Hanin!" panggil Mas Arga nadanya sedikit tinggi membuat Ayah mertua langsung menunda pemutaran video lalu berlalih melihat anaknya.
"Iya Mas, tadi malam aku menyaksikan itu samua, tapi untuk otakku nggak buntu saat melihat itu, karena aku yakin jika tidak ada bukti maka aku akan terus di salah 'kan, di bilang ingin mengincar warisan. Kamu tidak pikun 'kan Mas, tadi malam jelas ku katakan, aku tidak butuh warisanmu!" suaraku mulai meninggi di sertai sindiran untuk Ibu mertua.
Kulihat Ayah mertua diam menyaksikan kemarahanku.
Ayah kembali fokus ke ponselku, aku yang mendengar suara desahan itu aja sudah jijik, gimana dengan Ayah yang menyaksikan perbuatan haram anaknya sendiri.
Belum lama video berputar, Ayah langsung memegangi dadanya dan bibirnya terus beristighfar, kenapa Mas Arga tidak sebaik Ayahnya.
Aku langsung pindah ke samping Ayah, takut penyakit jantungnya kambuh, ku pegangi tangan Ayah yang sedang memegang dadanya.
"Tidak apa Nak, Ayah tidak apa-apa," ucapnya sambil melihatku, kemudian tatapan Ayah beralih ke Mas Arga.
"Sekarang Ayah tanya kamu mau cerai sama, Hanin?" tanyanya pada Mas Arga, kulihat Mas Arga menggeleng, drama apa yang sedang kau mainkan, Mas.
"Lalu kenapa kau lakukan hubungan haram ini!" bentak Ayah, aku langsung kaget yang awalnya Ayah biasa saja sekarang malah seperti singa mengamuk.
Mar Arga terdiam seribu bahasa melihat amukan Ayahnya sendiri, aku hanya diam menyaksikan Ibu dan anak itu di seberang kami.
"Warisan akan Ayah serahkan semuanya ke Hanin dan cucuku," lanjut Ayah membuat keduanya langsung kaget.
"Nggak bisa gitu dong, Yah. Mungkin karena dia yang nggak guna jadi istri makanya Arga mencari yang lain," tolak Ibu mertuaku mentah-mentah.
"Diam Ibu, jangan ikut campur, Ayah lebih tahu siapa yang berhak dan yang nggak!" bentaknya lagi, kulihat Mas Arga langsung menunduk, halah palingan cuma akting.
"Ayah, Hanin tidak butuh itu semua, aku cuma minta anak-anak nggak lebih Ayah, Hana dan Dani lebih dari segalanya buatku, Ayah," bujukku, kulihat Ayah mengangguk.
"Ayah setujui perceraian ini," ujar Ayah seperti membuka pintu surga untukku, tapi tidak Mas Arga, ia tidak berani mengucapkan satu kata pun dari bibirnya, pengecut!
"Tapi sebelumnya, Ayah harus jujur kepada kita semua di sini, siapa Hanin sebenarnya dan apa hubungan Ayah dengan Ayah Hanin," lanjut Ayah membuatku langsung penasaran, kerana selama ini aku tidak pernah tahu bagaimana keluargaku, karena mulai dari kecil aku sudah di panti asuhan.
"Pak Imran atau Ayah Hanin adalah sahabat setia Ayah sampai ia meninggal. Dulu saat Ayah di PHK dari kantor karena tuduhan korupsi, Ayah Hanin 'lah yang mencari kebenaran tentang korupsi tersebut dan pada akhirnya Ayah divonis tidak bersalah, tidak berapa lama setelah kejadian itu Ayah dan Ibu Hanin meninggal karena tabrakan, semua orang mengatakan itu tabrakan tunggal, tapi Ayah sampai sekarang belum yakin itu tabrakan tunggal, pasti di sengaja oleh orang yang tidak suka pada Pak Imran.
Kedua orang tuanya dilarikan ke rumah sakit, Ibunya sudah meninggal dunia, tapi Ayah Hanin masih masih sadar sebentar. Disitu 'lah beliau menitip 'kan Hanin pada Ayah, awalnya Ayah ingin membawa Hanin ke sini, tapi karena Ibu mertuamu tidak pernah suka dengan orang baru, makanya Ayah lebih memilih menitipkanmu di panti asuhan, demi keamananmu dan demi keselamatanmu.
Ayah selalu memberi uang pada pengasuhmu di panti Asuhan dari awal masuk hingga kamu memutuskan untuk keluar dari panti asuhan. Semua harta kedua orangtuamu sudah Ayah kelola, bahkan rumah orang tuamu masih ada sampai sekarang, Ayah menggaji orang untuk selalu membersihkannya," Ayah menggantung ucapannya matanya memerah, mungkin ia teringat dengan Ayah dan Ibuku.
"Makanya Ayah selalu mengatakan jika Arga macam-macam, maka semua warisan jatuh ke tanganmu, karena pada dasarnya semua harta Ayah ini diawali dengan harta Ayahmu yang Ayah kelola," lanjut Ayah membuatku mangut-mangut, aku mengerti sekarang kenapa Ayah selalu membelaku dan membantuku sampai saat ini. Entah kenapa aku tidak tega melihat Ayah yang sedang menghapus air matanya.
Aku turun ke bawah dan duduk di dekat kaki Ayah, rasanya sekarang aku tidak tahu bagaimana cara membalas kebaikan Ayah padaku.
"Ayah, aku tidak menuntut semua warisan itu, aku bisa tinggal di rumah Sinta dan aku bisa ngajar untuk memenuhi kebutuhan hidup kami. Aku tidak tahu harus bagaimana untuk membalas semua jasa Ayah padaku, mulai aku di panti asuhan hingga sekarang," lirihku membuat air mata Ayah ikut jatuh, ia mengusap kepalaku yang dibalut hijab.
Apa yang terjadi padaku, aku sangat kasihan melihat Ayah sekarang ini, tapi tidak dengan Mas Arga, aku tidak peduli dengannya sediki pun.
"Baiklah, Nak. Jika kamu tidak mau menerima warisan itu, Ayah minta tolong dengan sangat ambil kembali rumah orang tuamu, di sana juga masih ada mobil dan beberapa motor," ucap Ayah memohon kepadaku, aku tidak tega pada Ayah langsung saja ku anggukan kepala pertanda menyetujui permintaannya lalu ia menarik tanganku untuk duduk di sampingnya.
"Dan kamu Arga," nada bicara Ayah kembali naik saat melihat Mas Arga.
"Apa kesalahan Hanin dalam berumah tangga, sehingga kamu tega berbuat seperti ini," tanya Ayah, kulihat Mas Arga hanya menggeleng. "Jadi kenapa kamu selingkuh? Dibilang Hanin mandul, tidak, kalian bahkan punya dua anak. Dibilang Hanin tidak bisa memiliki keturunan laki-laki, tidak, kalian punya Dani. Dibilang Hanin nggak bisa mencari uang, tidak, dia sarjana, ngajar juga, bahkan dulu kamu yang membujuk-bujuknya untuk berhenti bekerja. Apa Hanin tidak memberi nafkah batin sehingga kamu putuskan untuk selingkuh?" Ayah mengungkap semuanya. Aku memang salut sama Ayah, ia tidak pernah menyalahkan satu sisi. Aku semakin bingung, lagi-lagi Mas Arga menggeleng, kenapa dia? Dan Ibu mertuaku tetap pada posisi antagonisnya, ia bahkan membuang pandangannya dari kami. "Kenapa kamu hanya menggeleng Arga? Jawab!" bentak Ayah membuatku langsung kaget, untunglah anak-anak berada di teras, kalo tidak mereka bisa ketakutan. "Hanin nggak salah apa-apa, Ayah," kata-kata itu keluar dari mulut Mas Arga,
"Wah ... Pangeran sudah datang rupanya, silahkan bergelayut tuan putri selangkangan," ledekku saat melihat yang datang adalah Mas Arga, aku juga nggak ngerti kenapa mulutku benar-benar tajam sekarang ini. Hanin! Bentak Mas Arga, tapi suaranya tidak setinggi tadi pas di dampingi ibunya. Tidak ku hiraukan bentakannya, kakiku dengan tegas melangkah ke kamar menyusun pakaianku dan anak-anak. Tidak selang berapa lama Mas Arga menyusulku ke kamar saat aku mulai mengangkat satu per satu koper yang sudah ku isi penuh. "Hanin," panggilnya lembut, ku tulikan telingaku, kuseret dua koper sekaligus saat hendak melewatinya, Mas Arga kembali memegang pergelangan tanganku membuatku kembali emosi. "Apa, sih?!" bentakku lalu ku hempaskan tangannya dengan kasar. "Kamu kok jadi kasar, sih?" bukannya menjawab ia malah balik memberi pertanyaan yang sangat bodoh. "Kamu tanya aku kenapa kasar, tanya sendiri pada dirimu Arga, jawabannya ada pada dirimu," jawabku berusaha tenang sambil menunjuknya. "O
"Sinta, nyampe kapan?" tanyaku saat ia sudah berdiri di samping kulkas, Sinta langsung tertawa lalu menaruh kantong plastik di tangannya ke atas kulkas. "5 menit yang lalu," jawabnya tanpa melihatku. "Anty, itu apa?" tanya Hana sambil menunjuk kantong plastik yang dibawa Sinta tadi. "Ini apel, kamu mau?" lanjut Sinta yang dibalas anggukan oleh Hana, setelah memberikannya pada Hana. Sinta kembali mendekatiku yang sedang mengiris bawang sambil menahan perih. "Nggak terasa ya Nin, udah tiga minggu aja setelah kamu cerai sama Arga," ucap Sinta membuatku langsung berhenti mengiris bawang lalu melihatnya. "Iya Sin, tapi aku belum sempat juga ngurus surat perceraian kami. Aku nggak boleh boros dulu sekarang ini demi anak-anak," curhatku membuat Sinta langsung mangut-mangut. "Iya udah sih, itu mah bisa belakang toh kamu juga belum mau nikah 'kan?" godanya membuatku langsung terkekeh. "Nikah dari Hongkong, cukup melihat anak-anakku bahagia, itu udah lebih dari cukup buatku, Sin," lanjutk
"Em … jalan yuk, aku sambil cerita," ucapku yang dibalas anggukan oleh Dimas, perlahan ia mulai menjalankan mobil. "Sebenarnya, aku baru aja bercerai sekitar 3 minggu yang lalu," ucapku mulai menceritakan tentang keluarga kecilku, Dimas yang mendengar penuturan singkatku itu langsung menepikan mobil membuatku langsung bingung. "Kenapa? Bannya kempes 'kah?" tanyaku, tapi tidak di hiraukan oleh Dimas. "Katakan kenapa suamimu menceraikanmu, apa kesalahan mu?" cecarnya membuatku langsung tersenyum, ia sama sekali tidak berubah dari zaman kuliah sampe sekarang, masih suka kepo berlebihan kepadaku. "Aku minta cerai karena dia selingkuh terang-terangan di depanku," jawabku santai sambil mengusap-usap kepala Dani. Aku menoleh ke belakang mendapati Hana juga sudah tertidur sambil memeluk barbienya. "Ada yang bisa ku bantu," tawaranya membuatku langsung menyergit, perasaan aku tidak meminta pertolongan apapun. "Maksudnya?" tanyaku memperjelas tawarannya tersebut. Kulihat Dimas menari nafas
"D--dimas," ucapku tidak percaya membuat Dimas langsung tersenyum. "Jadi yang tadi suamimu? Lumayan 'lah ya mukanya, tapi tidak dengan mulutnya," ledek Dimas membuatku langsung menggaruk alisku yang tidak gatal. "Kok kamu ke sini lagi dan kenapa pakaianmu berbeda?" tanyaku mulai penasaran, kulihat ia membuka topinya dan mengibaskan rambutnya seperti anak perempuan. "Hanin … Hanin, 'kan aku udah bilang, aku ini aktor beneran, masih nggak percaya aja," terangnya membuatku langsung mengernyitkan dahiku tidak percaya. "Bunda …," terdengar suara tangisan Dani dari kamar, sepertinya sudah bangun. "Duduk dulu, aku jemput Dani dulu ke kamar," tawarku sambil menunjuk sofa, kulihat ia mengangguk lalu berjalan ke arah sofa. Beberapa detik kemudian, aku kembali ke ruang tengah sambil menggendong Dani. Lalu aku duduk berseberangan dengan Dimas. "Ayo Dimas, jelasin kenapa kamu bisa ke sini lagi?" aku mengulang pertanyaan, kulihat ia menarik nafas terlebih dahulu. "Jadi tuh, aku kesini karena
"Sehebat apa kamu sekarang benari bohong sama, Ayah?" tanya Ayah lagi, aku langsung panas dingin. Apa Ayah tahu aku dari rumah Hanin? Tok! Tok! Tok! "Masuk," suruh Ayah, tampak seorang perempuan yang berpakaian tidak terlalu seksi. "Maaf Pak, tamu dari perusahaan Dimas company sudah datang, Pak," ucap perempuan itu, sedangkan aku masih harus menahan sakit bekas tamparan Ayah. "Iya, 5 menit lagi saya ke ruangan rapat," jawab Ayah. Setelah perempuan itu pergi Ayah kembali menatap tajam ke arahku. "Jangan coba-coba usik Hanin lagi, karena bagaimanapun juga warisan tidak akan Ayah kasih ke kamu, walaupun Hanin sudah mengikhlaskannya," ancam Ayah membuatku langsung kaget. Se sayang itukah Ayah pada Hanin, padahal jelas-jelas akulah anak kandungnya. "Kok gitu Yah, 'kan Arga satu-satu pewaris, Ayah," sanggahku tidak terima dengan keputusan Ayah. "Ayah tidak akan pernah ikhlas sampai kapanpun, jika uang dari warisan ini kamu gunakan untuk keperluan selingkuhanmu. Dosa besar Ayah menafka
"Em … terserah kamu aja, tapi Hana dan Dani suka ayam kecap ya," lanjutku, kulihat Dimas mengangguk. "Oke, aku pesan dulu ya," ucapnya lalu berdiri untuk memesan makanan. Mita yang melihat Dimas pergi memesan makanan langsung mencari alasan pada Mas Arga. "Sayang, aku pesan minum lagi," ucapnya tiba-tiba membuatku langsung tersenyum miring. Dasar murahan! Kulihat Mas Arga mengangguk lalu pelakor itu mulai mendekati Dimas, aku yang merasa risih terus di lihat sama Mas Arga langsung mencari akal. "Sayang, Bunda mau ke toilet bentar ya, jangan kemana-mana, bentar lagi Om Dimas datang," ucapku pada Hana dan Dani dengan niat biar mereka bisa berkomunikasi dengan Ayahnya. Saat aku masuk ke toilet, tiba-tiba ada yang menutup dan mengunci pintu toilet membuatku langsung berbalik melihatnya. Mataku langsung terbelalak melihat Mas Arga mengikutiku ke toilet wanita. "Mas, kamu ngapain ke sini? Ini toilet wanita," tanyaku hati-hati disertai rasa takut karena Mas Arga terus mendekatiku. Aku
Sebenarnya aku ingin masuk ke dalam toilet tersebut ingin memastikan Arga, tapi karena Hanin menarik tanganku mau tidak mau aku harus menurutnya. Satu hal yang menjadi pertanyaan besar bagiku mulai dari restoran hingga sampai di rumah. Kenapa Hanin menangis? Apa Arga menuduhnya lagi? Kenapa Arga memegangi kelaminnya di toilet wanita? Apa Hanin yang melakukannya karena kesal dengan Arga? Keesokan harinya, aku sangat semangat bekerja karena akan bertemu lagi dengan Arga, aku akan membuatnya menyesal telah mencearaikan Hanin demi wanita murahan itu. Aku baru saja sampai di depan kantor Arga, belum sempat aku masuk. Samar-samar kulihat Mita sedang sendirian di parkiran seperti sedang menunggu seseorang. Tanpa membuang waktu, aku langsung mengurungkan niatku masuk ke kantor, karena menurutku ini sedikit lebih menyenangkan. "Hay," sapaku dari belakangnya, detik kemudian ia langsung berbalik menghadapku lalu tiba-tiba mulutnya sedikit menganga mungkin ia tidak percaya aku menyapanya. "H
"I--ibu," ucap Hanin bingung, Ibu mendekati Hanin lalu memeluknya membuat Hanin kaget. "Maafin Ibu Nak, selama ini Ibu jahat sama kamu, selalu remehin kamu, fitnah kamu," ucap Ibu menyesali perbuatannya sedangkan Hanin yang mendengar itu langsung tersenyum. "Tidak Bu, Ibu nggak sepenuhnya salah, aku juga banyak salah sama Ibu," jawab Hanin. "Pokoknya besok kalian harus jadi pengantin lagi, Ibu nggak mau tahu gimanapun caranya Ibu akan usahain semuanya malam ini," lanjut Ibu, Hanin hanya tersenyum lalu mengangguk. Malam itu juga semua di persiapkan untuk tambahan, seperti pelaminan, baju pengantin dan yang lain-lainnya. Sedangkan Hanin masih tidak percaya apa yang terjadi malam ini, rasanya itu hal yang tidak mungkin. *** Keesokan harinya, Dimas dan Arga sudah siap, tapi Hanin dan Puspita masih di kamar. "Bunda cantik banget," puji Hana saat melihat Hanin baru saja selesai di rias. Hanin langsung menoleh lalu tersenyum kemudian ia mengangkat Hana ke pangkuannya. "Putri Bunda ini
"turut mengundang teman-teman, sahabat dan keluarga menyaksikan pengesahan kisah cinta kami yang begitu indah dalam resepsi pernikahan kamu Dimas angg dengan Puspita Hanin Damayanti-" Arga menghentikan bacaannya lalu ia menatap Hanin bingung "Puspita hanin? kamu ganti nama? setau aku nama kamu Hanindira Anggraini," tanya Arga bingung, sedangkan Hanin malah terkekeh lalu menutup mulutnya dengan tangann "itu bukan Hanin aku lah, Mas," jawab hanin membuat Arga mematung mulutnya juga ikut menganga tidak percaya "ja--jadi yang nikah sama Dimas-" ucapan Arga terpotong kala hanin mengangguk "Orang lain mas yang namanya juga Hanin," lanjut Hanin, seketika air mata Arga lolos begitu saja bibirnya juga mulai melengkung "Ka--kamu nggak nikah?" tanya Arga lagi, hanin hanya menggeleng sambil tersenyum membuat Arga langsung mengusap wajahnya sambil mengucap hamdalah flashback Setelah menemani Arga ruqyah, Dimas pamit pulang, ia bukan pulang ke rumahnya melainkan ke rumah Hanin. Disisi lai
Arga membaca undangan tersebut, ia melihat nama Dimas dan Hanin terpampang di depan. Hatinya terasa seperti di iris sekarang melihat nama Hanin dan Dimas, Arga menelan salivanya dengan susah payah lalu detik kemudian ia tersenyum."Selamat ya, insyaallah aku akan datang menghadiri undangannya," ucapnya dengan berat hati pada Hanin, sedangkan Hanin hanya mengangguk sekilas."Aku juga punya sesuatu untuk kalian, tunggu sebentar," ujar Arga lalu ia tergesa-gesa mengambil sesuatu ke kamar.Beberapa menit kemudian ia keluar dari kamar, dengan beberapa kertas di tangannya."Ini," ucap Arga sambil menyodorkan semua kertas itu pada Hanin."Apa ini?" tanya Hanin bingung."Bacalah," jawab Arga, tanpa membuang waktu Hanin langsung membaca satu persatu lembaran tersebut, matanya langsung membola."M--mas, i--ini apa? Kenapa semua warisan atas namaku dan anak-anak?" tanya Hanin bingung, Arga hanya tersenyum."Cuma kalian yang berhak mendapatkannya bahkan akupun nggak layak untuk mewarisi itu, aku
PoV authorTiga hari setelah Arga berobat, ia merasa sudah sangat sehat sekarang di tambah lagi Dimas selalu menemaninya.Sekarang mereka dalam perjalanan menuju kantor Ayahnya untuk memberi tahu semuanya. Begitu sampai Arga langsung masuk, tapi Arga kaget melihatku Ibunya ada di dalam juga."Arga, kamu dari mana aja sih? Kasian Mita sudah hampir seminggu kamu tinggal," omel Ibu membuat Arga langsung menggaruk alisnya sekilas."Ibu kasihan sama anak orang, tapi Ibu nggak kasihan sama Arga yang setengah mati melawan penyakit," gumam Arga yang terdengar jelas oleh Ibunya."Penyakit? Penyakit apa?" tanya Ibunya lagi, tapi Arga malah berjalan mendekati Ayahnya."Yah, Arga mau ngomong sesuatu sama Ayah, penting," ucap Arga tanpa basa-basi membuat Ayah langsung mengangguk."Ngomonglah atau mau di luar," tawar Ayah."Di luar aja, Yah," ajak Arga lalu mereka berdua keluar.Sedangkan Dimas tetap di dalam menemani Ibu Arga supaya tidak menguping."Ada apa dengan Arga? Kasih tau saya," tanya Ibu
"Mita menginginkan Arga, Om. Dia tetat kekeh supaya Arga menikahinya," jawab Dimas membuat Ayah Arga mangut-mangut."Benar, apa yang kamu bilang. Tapi, walau gimanapun Om nggak setuju punya menantu kayak dia," lanjut Ayah Arga.PoV hanin.Hari ini adalah hari pertamaku ngajar setelah sakit selama tiga hari, pagi-pagi sekali aku berangkat karena masih harus mengantar Hana ke sekolah dan mengantar Dani ke rumah Sinta, aku takut jika Dani di rumah sama Mbok Sumi, Ibu mertuaku bakal datang mengambilnya."Hana nanti kalo ada yang jemput Hana ke sekolah jangan mau ya Nak, tunggu Bunda sampai datang. Kalo kamu di paksa, lari aja ke kantor ngadu sama guru di situ ya," nasehatku pada Hana di dalam mobil."Iya Bunda. Tapi kalo Ayah yang jemput?" tanyanya membuatku langsung bingung."Izin dulu sama wali kelasmu, bilang di jemput Ayah biar Bunda nggak kecarian," lanjutku, Hana langsung mengangguk.Setelah mengantarkan mereka berdua, aku langsung bergegas menuju sekolah. Hampir setengah jam aku me
*PoV Author*Tiga hari kemudian, Mita sudah di perbolehkan pulang dari rumah sakit. Dimas dan Arga mengantarkan Mita ke rumah orang tua Arga.Selama perjalanan hanya ada keheningan, Arga dan Dimas di depan sedangkan Mita dan bayinya di kursi belakang."Mas, kamu bakal nginap di rumah Ibu, 'kan," tebak Mita, Arga melihat Mita sekilas dari spion."Nggak, aku punya rumah," jawab Arga datar membuat Mita langsung mendengus kesal."Kamu ngapain sih Mas, sendirian tau di rumahmu itu atau nggak aku sama baby Aydan ikut kesana," tawar Mita, Dimas yang mendengar itu hanya bisa menggaruk alisnya sekilas."Mita kamu masih masih waras apa gimana sih? Apa kata orang kita satu rumah yang belum menikah, aku udah bilang kita tunggu hasil tes DNA, titik. Nggak ada perdebatan," tegas Arga tanpa melihat Mita membuat Mita langsung menatap tajam ke arah Arga.Sampai di rumah orangtuanya, Arga langsung menurunkan semua barang Mita. Ibunya dengan semangat menyambut Mita dan bayi itu. "Menantu sama cucu Ibu
Selama tes berlangsung, Dimas terus menemaniku gantian untuk menggendong bayi Mita.Setelah selesai, kami pun keluar, ada rasa lega dihatiku akhirnya tes DNA yang selalu ku inginkan akhirnya terlaksana, sekarang tinggal menunggu hasilnya.Sampai di ruangan Mita, aku langsung memberikan bayi itu pada Mita."Kamu mau kemana, Mas?" tanya Mita saat melihatku melangkah menuju pintu."Pulang," jawabku singkat."Arga, masa Mita baru melahirkan kamu tinggal, gimana sih," omel Ibu membuatku langsung memutar mata malas. Ntah pelet macam apa yang di kasih Mita ke Ibu, sehingga Ibu menjadi sangat penurut sama Mita."Em ... Ayah, Arga mau ngobrol bentar sama Ayah di luar," ajakku pada Ayah, Ayah langsung melangkah mendekatiku lalu kami keluar dari ruangan."Kenapa?" tanya Ayah begitu kami sudah di luar."Aku mau jaga Mita, asal Ibu jangan disini karena kalo nggak pasti akan terus memaksaku untuk menikahi Mita, sedangkan hasil tes DNA keluar dua minggu lagi," jawabku panjang lebar memberikan penger
"Kenapa kamu berikan semua warisan sama perempuan murahan itu, kenapa?!" teriak Ibu seperti orang frustasi."Minta maaf lah Bu, bersihkan nama, Hanin," ujar Arga sambil menahan pukulan Ibunya."Nggak, sampai kapanpun Ibu tidak akan pernah minta maaf!" Ibu terus berteriak.Arga melepaskan cengkeramannya Ibunya pada bajunya lalu ia berbalik hendak pergi, aku juga mengikutinya, belum sempat kami melangkah."Akh!" ringis Mita membuatku dan Arga kembali berbalik."Kamu kenapa, Nak?" tanya Ibu panik melihat Mita memegangi perutnya."Bu, perutku sakit ba--banget," ucap Mita menahan sakit, seketika aku dan Arga saling melempar pandangan."Yuk Ga, bantu dia ke rumah sakit biar kamu tahu kepastian bayi itu," ajakku yang dibalas anggukan oleh Arga, ia langsung mendekati Mita lalu menggendongnya, sedangkan aku langsung menuju mobil.Selama perjalanan Mita terus menangis meringis kesakitan, aku sesekali melihatnya dari spion.Sampai di rumah sakit, Mita langsung di larikan ke ruang bersalin. Hampi
"Kamu sakit Ga?" tanyaku karena melihat wajah Arga pucat dan kelihatan tidak bertenaga."Nggak kok," jawabnya singkat, tapi aku tidak yakin melihat ekspresinya."Aku nggak percaya Ga, berobat yuk," ajakku, Arga malah menggeleng."Nggak kok aku nggak apa-apa cuma kangen anak-anak aja," ujarnya membuatku menyergitkan kening."Ya udah ketemu lah, pergi ke rumah, Hanin," saranku."Iya, nunggu Mita lahiran aja dulu aku benar-benar malu sama Hanin setelah undangan pernikahan kemaren," lanjutnya, aku hanya mangut-mangut.***Keesokan harinya aku menunggu Sinta di sekolah karena aku tidak tahu dimana alamatnya. Sekarang aku sedang duduk di kursi panjang dekat pagar."Si Hanin udah kayak kuping batu ya, nggak ada malunya walaupun udah di hina semua guru-guru," ucap seseorang yang sedang duduk di sampingku."Iya ih, andai aja itu CEO tahu kalo Hanin itu cuma janda yang kesepian, pasti dia juga bakal jijik lihat, Hanin," sambung temannya, aku yang mendengar kata CEO langsung penasaran, siapa yan