"Em … jalan yuk, aku sambil cerita," ucapku yang dibalas anggukan oleh Dimas, perlahan ia mulai menjalankan mobil.
"Sebenarnya, aku baru aja bercerai sekitar 3 minggu yang lalu," ucapku mulai menceritakan tentang keluarga kecilku, Dimas yang mendengar penuturan singkatku itu langsung menepikan mobil membuatku langsung bingung.
"Kenapa? Bannya kempes 'kah?" tanyaku, tapi tidak di hiraukan oleh Dimas.
"Katakan kenapa suamimu menceraikanmu, apa kesalahan mu?" cecarnya membuatku langsung tersenyum, ia sama sekali tidak berubah dari zaman kuliah sampe sekarang, masih suka kepo berlebihan kepadaku.
"Aku minta cerai karena dia selingkuh terang-terangan di depanku," jawabku santai sambil mengusap-usap kepala Dani. Aku menoleh ke belakang mendapati Hana juga sudah tertidur sambil memeluk barbienya.
"Ada yang bisa ku bantu," tawaranya membuatku langsung menyergit, perasaan aku tidak meminta pertolongan apapun.
"Maksudnya?" tanyaku memperjelas tawarannya tersebut. Kulihat Dimas menari nafas dalam-dalam.
"Kalo aku nggak bisa jadi suamimu setidaknya izinkan aku membantumu untuk membalas dendam pada suamimu itu, aku masih ingat jelas kok kalo kamu pernah bilang suamimu itu anak dari orang yang sudah membantumu selama di panti asuhan dan kamu juga menikahinya sekalian balas budi, bukan?" terangnya membuat memoriku kembali berputar-putar lalu aku mengangguk pelan.
"Iya kamu benar," ucapku singkat.
"Gimana aku bisa membantumu?" tanyanya kembali, bibirku terasa kelu saat ingin mengatakan iya, aku butuh bantuannya untuk membalas dendam Mas Arga.
"Em … bisa aku berpikir dulu, nanti aku kabari, berikan nomormu," jawabku sambil menyodorkan ponselku, kulihat ia mengangguk lalu menulis nomor teleponnya di ponselku.
Kemudian ia kembali menjalankan mobil hingga sampai ke rumahku, setalah sampai aku langsung turun membawa Dani terlebih dahulu masuk ke rumah dan merebahkannya di ranjang. Saat aku hendak keluar dari makar, kulihat Dimas sudah menggendong Hana lalu merebahkan Hana di samping Dani.
Kemudian kami berdua kembali ke mobil untuk mengambil semua barang-barangku. Begitu semuanya selesai, aku langsung mendekati Dimas yang sedang menutup pintu mobil belakang.
"Mampir dulu," tawarku membuat Dimas langsung berbalik lalu melihatku.
"Nggak usah Nin, lain kali aja. Nggak enak juga, takut tetangga ngomongin kamu yang aneh-aneh," tolaknya membuatku langsung mengangguk.
Betapa besarnya hati Dimas, walaupun aku sudah menolaknya dulu, tapi ia tidak benci sama sekali padaku, bahkan sama anak-anakku. Dimas malah seolah-olah tidak tidak ada yang terjadi antara kami.
"Hey," ia menjentikkan jarinya tepat di depan wajahku, membuatku langsung tersadar.
"Jangan ngelamun terus, kamu harus pikirin masa depan anak-anakmu, kalo suamimu itu nggak usah pikirin 'lah, nambah beban itu, intinya kalo kamu mau balas dendam, libatin aku di dalamnya," terangnya membuatku langsung tersenyum.
"Kamu nggak usah ragu, kalo soal akting aku jagonya, mau peran apa? Pangeran, suami, pehlawan bahkan penjahat sekalipun aku bisa," lanjutnya sambil bergaya-gaya membuat tawaku langsung pecah melihat tingkah konyolnya.
"Malah ketawa, aktor beneran ini," ucapnya percaya diri membuatku langsung mengacungkan jempol.
"Ya udah, aku pamit ya, assalamualaikum," pamitnya lalu ia masuk ke mobilnya, aku masih senyum-senyum mengingat tingkahnya.
Saat aku hendak berbalik, aku langsung kaget dan kakiku langsung berhenti seketika melihat Mas Arga berdiri di dekat pintu, sejak kapan dia si situ? Ngapain dia kerumahku?
"Ngapain kamu ke sini?" tanyaku jutek, bukannya menjawab ia malah menarik paksaku masuk ke dalam rumah lalu menutup pintu.
"Kamu ngapain sih? Lepasin!" bentakku lalu kuhempas 'kan tangannya sekuat tenagaku, dadaku naik turun menahan emosi.
"Keluar kamu!" usirku dengan nada tinggi, tapi ia malah tersenyum miring seolah-olah mengejekku.
"Aku tahu sekarang alasan kamu meminta cerai, gara-gara cowok tadi 'kan? Sampe-sampe Dani juga harus di gendong oleh bajingan itu," ucapnya membuat darahku kembali mendidih melihatnya.
"Kamu yang bajingan Mas, sekarang keluar dari rumahku!" bentakku sambil menunjuk tegas ke arah pintu.
"Pinter juga kamu ya Hanin, meminta cerai dengan alasan aku selingkuh, padahal kamu juga selingkuh bukan, berapa kali kamu tidur dengannya?" tanyanya dengan nada remeh, air mataku langsung lolos begitu saja mendengar tuduhan ini.
"Kurang ajar kamu ya, asal kamu tahu harga diriku jauh lebih mahal di banding kau dan semua warisanmu! Aku bukan sembarang perempuan yang suka rela melebarkan selangkangan untuk orang yang bukan muhrimku, kamu paham nggak!" bentakku berapi-api di depan mukanya, ia langsung mematung melihatku yang menangis, tapi bukan berarti lemah.
"Kamu adalah suami yang tidak punya etika, kau menuduhku tanpa bukti. Bagus! Tarik tuduhamu tadi dan jawab berapa kali kau meniduri wanita murahan itu?!" lanjutku sambil jari telunjukku menunjuk wajahnya tegas.
"Apa perlu ku katakan berapa kali?" ia malah balik bertanya membuatku langsung tersenyum puas.
"Dari pertanyaanmu itu sudah jelas bahwa kau sering melakukannya dengan jalang itu, dan kenapa kau menuduhku seperti itu. Jawabannya simple karena kau sudah mengalaminya terlebih dahulu, bukan begitu Arga Wijaya?" aku membalikkan tuduhan itu ke pemiliknya.
"Denger ya Hanin, dulu kamu itu tidak pernah kasar dan ngomong kasar dan sekarang lihat 'lah, siapa lagi yang menghasut kalau bukan pria brengsek itu!" terangnya dengan nada tinggi. Sok sekali dia sekarang malah ceramah, tidak sadarkah ia penyebab semua ini adalah dirinya sendiri.
"Siapapun istrinya kalo mereka di posisiku pasti melakukan hal yang sama atau bahkan bisa lebih sadis lagi. Contoh mudahnya memasukkan racun ke dalam makananmu, bagitu kau mati warisan menjadi milik kami, simple 'kan? Itulah yang dilakukan seorang istri untuk mendapatkan warisan, tapi aku tidak, aku bahkan membiarkanmu bermesraan di depanku," ujarku memberi gambaran padanya, kulihat bibirnya terkunci tanpa mengatakan sepatah kata pun, ia pasti tidak menyangka perempuan lugu seperti Hanin bisa berpikiran sejauh itu.
"Keluar!" usirku, langsung ku buka kembali pintu dan ku dorong ia keluar, tapi sebelum keluar ia malah menahanku.
"Katakan siapa pria brengsek itu?!" tanyanya dengan emosi sok-sokan jadi pahlawan membuatku langsung melipat kedua tanganku, aku tau ia pasti tidak suka melihatku dengan laki-laki lain, dasar egois!
"Kenapa? Ada urusan samanya?" aku balik bertanya, kulihat sorot matanya sangat tajam seolah-olah ingin membunuh.
"Cukup jawab Hanin, aku akan memberinya pelajaran karena telah berani menyentuh anakku!" bentaknya, sekarang sok-sokan jadi pahlawan buat anak-anak, percuma! Tidak akan ada artinya lagi setelah semuanya seperti ini, apa dia buta atau seolah-olah tidak merasa terjadi apa-apa.
"Siapa yang brengsek sudah jelas jawabannya kau Arga Wijaya. Kau tidak suka anakmu di pegang orang, tapi kau sendiri tidak mau memberi kasih sayang seorang Ayah pada mereka, kalau hanya sekedar ucapan dan nasehat itu tidak cukup mereka butuh contoh dan didikan yang benar, percuma kamu sekolah setinggi langit cara mendidik anak aja tidak bisa lebih tepatnya pura-pura tidak bisa," jawabku santai tanpa mengubah posisiku.
"Jangan kamu berani-berani main gila dengan bajingan itu Hanin," ancamannya membuatku langsung tersenyum, dia pikir dia siapa sekarang.
"Kenapa kalo aku main gila dengannya, bukannya kamu yang sudah mengajariku bagaimana cara main gila. Ada contohnya lagi di ponselku, bagaimana cara main gila yang bagus," jawabku tidak mau kalah dan mulai memutar video menjijikkan dirinya dan Mita.
Melihat video tersebut, kulihat ekpresinya menjadi semakin marah, tangannya hendak mengambil ponselku, mungkin ia mau menghancurkannya. Aku langsung membuang ponselku ke sofa lalu menatap tajam ke arahnya.
"Jangan kau berani-berani menyentuhku dan barang-barangku, kamu paham! Kamu udah nggak ada hak sama sekali atas diriku," tegasku, aku yakin dia pasti tidak percaya seorang Hanin yang penurut berubah jadi singa kelaparan.
"Aku ada hak, kamu istriku Hanin!" bentaknya membuat tawaku langsung pecah, aku merasa sudah seperti orang gila sekarang. Tertawa nggak jelas di hadapannya.
"Belum sebulan loh, masa udah lupa sih dengan perceraian yang indah itu," ucapki remeh, kulihat ia tida suka mendengarnya, tapi aku tidak peduli.
"Sekarang pergi, aku muak denganmu, pergi!" bentakku, tapi ia tetap kekeh tidak mau keluar dari pintu.
"Permisi," ucap seorang laki-laki bermasker di depan pintu. Aku dan Mas Arga langsung menoleh.
"Oh, ternyata banyak laki-laki yang mengunjungimu ya," lagi-lagi tuduhan Mas Arga membuatku semakin marah, ia tidak memikirkan orang di sekitarnya.
"Maaf Pak, saya bukan selingkuhan Hanin tapi anak Pak RT, saya di suruh Bapak saya untuk mengusir Bapak karena sudah mengganggu Bu Hanin," terang pria itu membuatku langsung bingung, bukannya anak Pak RT baru kelas 6 SD yang paling besar.
"Nggak usah sok ngatur, ini istri saya!" bentak Mas Arga dengan raut muka yang tidak suka, rasanya ingin ku hajar wajahnya sekarang juga karena sudah membuat keribuatan disini.
"Pergi kamu, Mas," usirku berusaha untuk tidak membentaknya karena memikirkan ada orang lain.
"Kamu bela dia?" lagi-lagi Mas Arga mencecarku dengan pertanyaan suudzonnya, aku langsung mengepalkan tanganku.
"Berapa selingkuanmu? Secara kamu 'kan cantik pasti banyak yang mau, lah," lagi-lagi ia meremehkanku, tanpa sadar tanganku langsung terangkat secepat kilat.
Plak!
Aku menampar mukanya sekuat tenagaku, dadaku kembali naik turun mendengar semua pertanyaan dan tuduhannya tersebut.
"Aku bilang pergi," lanjutku, Mas Arga memegangi wajahnya sambil menatapku dengan tatapan aneh.
"Maaf Pak, tapi Bu Hanin sudah cerai, sekarang tolong pergi sebelum saya panggil warga sekampung," ancam pria bermasker tersebut membuat Mas Arga mau tidak mau melangkah keluar dari rumahku.
"Tunggu," panggilku lalu aku mengambil tas ku di sofa lalu kuambil amplop yang tadi ia berikan di mall.
"Bawa uangmu, aku tidak butuh!" ucapku dengan nada tinggi, lalu ku lemparkan amplop tersebut ke hadapannya.
"Kamu benar-benar berubah demi bajingan-bajingan seperti ini," tuduhnya kembali sambil menunjuk pria bermasker tersebut.
"Ingat Nin, aku akan mengambil anak-anak darimu, aku nggak bakalan biarin mereka tinggal samamu, cam 'kan itu," ancamnya membuatku langsung kaget, sampai kapanpun aku tidak akan memberikan anak-anak padanya.
"Pergi! Jangan pernah datang ke sini lagi," teriakku membuatnya langsung melangkah pergi. Aku berusaha menetralkan emosiku terlebih dahulu sambil memegang dadaku.
Setelah Mas Arga pergi aku langsung melihat pria bermasker yang masih setia berdiri di sampingku dari mana Pak RT aku sudah cerai, padahal aku belum mengatakan hal itu.
Saat pria itu membuka maskernya, mataku langsung terbelalak, mulutku melongo langsung ku tutup mulutku tidak percaya.
"D--dimas," ucapku tidak percaya membuat Dimas langsung tersenyum. "Jadi yang tadi suamimu? Lumayan 'lah ya mukanya, tapi tidak dengan mulutnya," ledek Dimas membuatku langsung menggaruk alisku yang tidak gatal. "Kok kamu ke sini lagi dan kenapa pakaianmu berbeda?" tanyaku mulai penasaran, kulihat ia membuka topinya dan mengibaskan rambutnya seperti anak perempuan. "Hanin … Hanin, 'kan aku udah bilang, aku ini aktor beneran, masih nggak percaya aja," terangnya membuatku langsung mengernyitkan dahiku tidak percaya. "Bunda …," terdengar suara tangisan Dani dari kamar, sepertinya sudah bangun. "Duduk dulu, aku jemput Dani dulu ke kamar," tawarku sambil menunjuk sofa, kulihat ia mengangguk lalu berjalan ke arah sofa. Beberapa detik kemudian, aku kembali ke ruang tengah sambil menggendong Dani. Lalu aku duduk berseberangan dengan Dimas. "Ayo Dimas, jelasin kenapa kamu bisa ke sini lagi?" aku mengulang pertanyaan, kulihat ia menarik nafas terlebih dahulu. "Jadi tuh, aku kesini karena
"Sehebat apa kamu sekarang benari bohong sama, Ayah?" tanya Ayah lagi, aku langsung panas dingin. Apa Ayah tahu aku dari rumah Hanin? Tok! Tok! Tok! "Masuk," suruh Ayah, tampak seorang perempuan yang berpakaian tidak terlalu seksi. "Maaf Pak, tamu dari perusahaan Dimas company sudah datang, Pak," ucap perempuan itu, sedangkan aku masih harus menahan sakit bekas tamparan Ayah. "Iya, 5 menit lagi saya ke ruangan rapat," jawab Ayah. Setelah perempuan itu pergi Ayah kembali menatap tajam ke arahku. "Jangan coba-coba usik Hanin lagi, karena bagaimanapun juga warisan tidak akan Ayah kasih ke kamu, walaupun Hanin sudah mengikhlaskannya," ancam Ayah membuatku langsung kaget. Se sayang itukah Ayah pada Hanin, padahal jelas-jelas akulah anak kandungnya. "Kok gitu Yah, 'kan Arga satu-satu pewaris, Ayah," sanggahku tidak terima dengan keputusan Ayah. "Ayah tidak akan pernah ikhlas sampai kapanpun, jika uang dari warisan ini kamu gunakan untuk keperluan selingkuhanmu. Dosa besar Ayah menafka
"Em … terserah kamu aja, tapi Hana dan Dani suka ayam kecap ya," lanjutku, kulihat Dimas mengangguk. "Oke, aku pesan dulu ya," ucapnya lalu berdiri untuk memesan makanan. Mita yang melihat Dimas pergi memesan makanan langsung mencari alasan pada Mas Arga. "Sayang, aku pesan minum lagi," ucapnya tiba-tiba membuatku langsung tersenyum miring. Dasar murahan! Kulihat Mas Arga mengangguk lalu pelakor itu mulai mendekati Dimas, aku yang merasa risih terus di lihat sama Mas Arga langsung mencari akal. "Sayang, Bunda mau ke toilet bentar ya, jangan kemana-mana, bentar lagi Om Dimas datang," ucapku pada Hana dan Dani dengan niat biar mereka bisa berkomunikasi dengan Ayahnya. Saat aku masuk ke toilet, tiba-tiba ada yang menutup dan mengunci pintu toilet membuatku langsung berbalik melihatnya. Mataku langsung terbelalak melihat Mas Arga mengikutiku ke toilet wanita. "Mas, kamu ngapain ke sini? Ini toilet wanita," tanyaku hati-hati disertai rasa takut karena Mas Arga terus mendekatiku. Aku
Sebenarnya aku ingin masuk ke dalam toilet tersebut ingin memastikan Arga, tapi karena Hanin menarik tanganku mau tidak mau aku harus menurutnya. Satu hal yang menjadi pertanyaan besar bagiku mulai dari restoran hingga sampai di rumah. Kenapa Hanin menangis? Apa Arga menuduhnya lagi? Kenapa Arga memegangi kelaminnya di toilet wanita? Apa Hanin yang melakukannya karena kesal dengan Arga? Keesokan harinya, aku sangat semangat bekerja karena akan bertemu lagi dengan Arga, aku akan membuatnya menyesal telah mencearaikan Hanin demi wanita murahan itu. Aku baru saja sampai di depan kantor Arga, belum sempat aku masuk. Samar-samar kulihat Mita sedang sendirian di parkiran seperti sedang menunggu seseorang. Tanpa membuang waktu, aku langsung mengurungkan niatku masuk ke kantor, karena menurutku ini sedikit lebih menyenangkan. "Hay," sapaku dari belakangnya, detik kemudian ia langsung berbalik menghadapku lalu tiba-tiba mulutnya sedikit menganga mungkin ia tidak percaya aku menyapanya. "H
"Kamu ngapain di sini?" tanya Arga, kulihat dia berusaha sedatar mungkin agar tidak terjadi keributan. "Em … itu tadi aku kebetulan lewat, kamu sendiri ngapain?" tanyanya balik pada Arga. Pandai sekali kamu berbohong Mita! Udah kayak tukang sulap. "Aku mau bahas projec lah sama Dimas, terus kamu tadi ngapain megang perutnya juga?" tanya Arga lagi, kulirik ekspresi Mita sangat gugup, tapi ia tetap dengan senyumannya. "Eh … itu tadi ada nyamuk di bajunya makanya aku mau nepuk tadi mau bunuh nyamuknya, eh kamu keburu datang," jawab Mita, pandai sekali ia memilih alasan yang bagus di situasi mendesak. Mita langsung berdiri dari sampingku lalu menggeser kursinya ke dekat Arga, aku hanya diam tidak ingin memperkeruh suasana. Ku lihat Mita terus bergelayut manja di tangan Arga, tapi kakinya terus ia colek-colekkan ke kakiku di bawah meja. Benar-benar perempuan murahan. Selama kami membahas projec, Mita tidak henti-hentinya mengganggu kakiku hingga akhirnya tangan Aga tidak sengaja menjat
"Ya udah sekarang kita ke bagian administrasi, yuk," ajaknya, aku hanya melihat Dimas sekilas lalu mengekorinya dari belakang. "Berapa semua biaya atas nama Hana Anggraini yang berada di kamar nomor 87?" tanya Dimas pada petugas administrasi. "Sebentar ya, Pak," ucap perempuan berbaju biru dan berkerudung putih tersebut. "Sudah lunas Pak, totalnya 3 juta sudah semuanya," lanjut perempuan tersebut membuat Dimas langsung melihatku begitu juga denganku, aku langsung melihatnya sekilas lalu melihat perempuan itu lagi. "Siapa yang bayar, Mbak?" tanya Hanin membuka suara. "Disini tertulis, Arga Wijaya," jawabnya aku langsung mengangguk. "Baguslah dia udah membayarnya, toh Hana juga anaknya," lanjut Dimas lalu kami kembali ke ruangan Hana. Bagitu kami masuk, Mas Arga langsung berdiri lalu menghampiriku, kulihat Dimas meninggalkan kami lalu ia pergi ke dekat Hana. "Aku mau sholat dulu," ucap Mas Arga, aku yang sedari tadi tidak ingin melihat wajahnya hanya acuh tanpa menjawab apapun.
"Kamu nggak usah sok ngajari orang tua, bocah kemaren aja songong. Saya lebih tahu Hanin seperti apa dari pada kamu," Ibu mertua terus mencermahi Dimas, ditengah-tengah perdebatan mereka, samae aku mendengar suara yang sangat pelan dan kecil. "Bunda," lirih Hana hampir tak terdengar, aku langsung berlari mendekatinya begitu juga Ayah mertua langsung menoleh ke arah Hana. "Hana udah sadar, Nak. Bunda di sini, sayang," ucapku lembut sambil menggenggam tangannya dan mencium pipinya. Kulihat putriku sangat lemas, mungkin karena banyak keluar darah dari kepalanya. "Ada yang sakit, Nak?" tanyaku lembut di telinganya. "Kepala Kakak pusing, Bunda," adunya membuat air mataku kembali membendung. "Sabar ya sayang, nanti juga pusingnya hilang asal Kakak jangan banyak gerak dulu ya," nasehatku padanya. "Alhamdulillah, cucu Kakek udah bangun, nanti kalo Hana sembuh Kakek beliin boneka beruang yang gede ya, tapi Hana janji harus sembuh ya" ucap Ayah mertua sambil mengusap pipi Hana, kulihat Han
Malam ini rasanya sangat sulit untuk tidur, ditambah lagi Mita selalu menelponku, ku diamkan ponselku, tapi tetap saja ia menghubungiku, aku kembali berdiri hendak keluar untuk mengangkat telpon Mita. Tidak sengaja mataku melihat ke arah Hana, matanya terbuka, tapi ia tidak berani menghadap ke kanan atau ke kiri karena sakit, Hana hanya menatap langit-langit ruangan, tanpa membuang waktu aku langsung mendekatinya. "Kenapa belum tidur, Nak?" tanyaku sambil mengusap pipinya, kulihat matanya langsung melihatku. "Bunda mana, Ayah? Kakak haus," lirih Hana, mataku langsung beralih ke Hanin yang sudah tertidur. Lalu tanganku mengambil botol minum dan sedotan. "Ayah aja ya, Nak. Bunda udah tidur," jawabku lalu menyodorkan sedotan ke mulutnya, Hana langsung menyeruput minum. "Hana belum ngantuk, Nak?" tanyaku lagi karena melihat matanya masih terlihat cerah. "Belum Ayah, Kakak nggak ngatuk lagi, kepala Kakak pusing," lanjutnya lagi, tiba-tiba saja rasa kasihan ku muncul, aku tidak tega m
"I--ibu," ucap Hanin bingung, Ibu mendekati Hanin lalu memeluknya membuat Hanin kaget. "Maafin Ibu Nak, selama ini Ibu jahat sama kamu, selalu remehin kamu, fitnah kamu," ucap Ibu menyesali perbuatannya sedangkan Hanin yang mendengar itu langsung tersenyum. "Tidak Bu, Ibu nggak sepenuhnya salah, aku juga banyak salah sama Ibu," jawab Hanin. "Pokoknya besok kalian harus jadi pengantin lagi, Ibu nggak mau tahu gimanapun caranya Ibu akan usahain semuanya malam ini," lanjut Ibu, Hanin hanya tersenyum lalu mengangguk. Malam itu juga semua di persiapkan untuk tambahan, seperti pelaminan, baju pengantin dan yang lain-lainnya. Sedangkan Hanin masih tidak percaya apa yang terjadi malam ini, rasanya itu hal yang tidak mungkin. *** Keesokan harinya, Dimas dan Arga sudah siap, tapi Hanin dan Puspita masih di kamar. "Bunda cantik banget," puji Hana saat melihat Hanin baru saja selesai di rias. Hanin langsung menoleh lalu tersenyum kemudian ia mengangkat Hana ke pangkuannya. "Putri Bunda ini
"turut mengundang teman-teman, sahabat dan keluarga menyaksikan pengesahan kisah cinta kami yang begitu indah dalam resepsi pernikahan kamu Dimas angg dengan Puspita Hanin Damayanti-" Arga menghentikan bacaannya lalu ia menatap Hanin bingung "Puspita hanin? kamu ganti nama? setau aku nama kamu Hanindira Anggraini," tanya Arga bingung, sedangkan Hanin malah terkekeh lalu menutup mulutnya dengan tangann "itu bukan Hanin aku lah, Mas," jawab hanin membuat Arga mematung mulutnya juga ikut menganga tidak percaya "ja--jadi yang nikah sama Dimas-" ucapan Arga terpotong kala hanin mengangguk "Orang lain mas yang namanya juga Hanin," lanjut Hanin, seketika air mata Arga lolos begitu saja bibirnya juga mulai melengkung "Ka--kamu nggak nikah?" tanya Arga lagi, hanin hanya menggeleng sambil tersenyum membuat Arga langsung mengusap wajahnya sambil mengucap hamdalah flashback Setelah menemani Arga ruqyah, Dimas pamit pulang, ia bukan pulang ke rumahnya melainkan ke rumah Hanin. Disisi lai
Arga membaca undangan tersebut, ia melihat nama Dimas dan Hanin terpampang di depan. Hatinya terasa seperti di iris sekarang melihat nama Hanin dan Dimas, Arga menelan salivanya dengan susah payah lalu detik kemudian ia tersenyum."Selamat ya, insyaallah aku akan datang menghadiri undangannya," ucapnya dengan berat hati pada Hanin, sedangkan Hanin hanya mengangguk sekilas."Aku juga punya sesuatu untuk kalian, tunggu sebentar," ujar Arga lalu ia tergesa-gesa mengambil sesuatu ke kamar.Beberapa menit kemudian ia keluar dari kamar, dengan beberapa kertas di tangannya."Ini," ucap Arga sambil menyodorkan semua kertas itu pada Hanin."Apa ini?" tanya Hanin bingung."Bacalah," jawab Arga, tanpa membuang waktu Hanin langsung membaca satu persatu lembaran tersebut, matanya langsung membola."M--mas, i--ini apa? Kenapa semua warisan atas namaku dan anak-anak?" tanya Hanin bingung, Arga hanya tersenyum."Cuma kalian yang berhak mendapatkannya bahkan akupun nggak layak untuk mewarisi itu, aku
PoV authorTiga hari setelah Arga berobat, ia merasa sudah sangat sehat sekarang di tambah lagi Dimas selalu menemaninya.Sekarang mereka dalam perjalanan menuju kantor Ayahnya untuk memberi tahu semuanya. Begitu sampai Arga langsung masuk, tapi Arga kaget melihatku Ibunya ada di dalam juga."Arga, kamu dari mana aja sih? Kasian Mita sudah hampir seminggu kamu tinggal," omel Ibu membuat Arga langsung menggaruk alisnya sekilas."Ibu kasihan sama anak orang, tapi Ibu nggak kasihan sama Arga yang setengah mati melawan penyakit," gumam Arga yang terdengar jelas oleh Ibunya."Penyakit? Penyakit apa?" tanya Ibunya lagi, tapi Arga malah berjalan mendekati Ayahnya."Yah, Arga mau ngomong sesuatu sama Ayah, penting," ucap Arga tanpa basa-basi membuat Ayah langsung mengangguk."Ngomonglah atau mau di luar," tawar Ayah."Di luar aja, Yah," ajak Arga lalu mereka berdua keluar.Sedangkan Dimas tetap di dalam menemani Ibu Arga supaya tidak menguping."Ada apa dengan Arga? Kasih tau saya," tanya Ibu
"Mita menginginkan Arga, Om. Dia tetat kekeh supaya Arga menikahinya," jawab Dimas membuat Ayah Arga mangut-mangut."Benar, apa yang kamu bilang. Tapi, walau gimanapun Om nggak setuju punya menantu kayak dia," lanjut Ayah Arga.PoV hanin.Hari ini adalah hari pertamaku ngajar setelah sakit selama tiga hari, pagi-pagi sekali aku berangkat karena masih harus mengantar Hana ke sekolah dan mengantar Dani ke rumah Sinta, aku takut jika Dani di rumah sama Mbok Sumi, Ibu mertuaku bakal datang mengambilnya."Hana nanti kalo ada yang jemput Hana ke sekolah jangan mau ya Nak, tunggu Bunda sampai datang. Kalo kamu di paksa, lari aja ke kantor ngadu sama guru di situ ya," nasehatku pada Hana di dalam mobil."Iya Bunda. Tapi kalo Ayah yang jemput?" tanyanya membuatku langsung bingung."Izin dulu sama wali kelasmu, bilang di jemput Ayah biar Bunda nggak kecarian," lanjutku, Hana langsung mengangguk.Setelah mengantarkan mereka berdua, aku langsung bergegas menuju sekolah. Hampir setengah jam aku me
*PoV Author*Tiga hari kemudian, Mita sudah di perbolehkan pulang dari rumah sakit. Dimas dan Arga mengantarkan Mita ke rumah orang tua Arga.Selama perjalanan hanya ada keheningan, Arga dan Dimas di depan sedangkan Mita dan bayinya di kursi belakang."Mas, kamu bakal nginap di rumah Ibu, 'kan," tebak Mita, Arga melihat Mita sekilas dari spion."Nggak, aku punya rumah," jawab Arga datar membuat Mita langsung mendengus kesal."Kamu ngapain sih Mas, sendirian tau di rumahmu itu atau nggak aku sama baby Aydan ikut kesana," tawar Mita, Dimas yang mendengar itu hanya bisa menggaruk alisnya sekilas."Mita kamu masih masih waras apa gimana sih? Apa kata orang kita satu rumah yang belum menikah, aku udah bilang kita tunggu hasil tes DNA, titik. Nggak ada perdebatan," tegas Arga tanpa melihat Mita membuat Mita langsung menatap tajam ke arah Arga.Sampai di rumah orangtuanya, Arga langsung menurunkan semua barang Mita. Ibunya dengan semangat menyambut Mita dan bayi itu. "Menantu sama cucu Ibu
Selama tes berlangsung, Dimas terus menemaniku gantian untuk menggendong bayi Mita.Setelah selesai, kami pun keluar, ada rasa lega dihatiku akhirnya tes DNA yang selalu ku inginkan akhirnya terlaksana, sekarang tinggal menunggu hasilnya.Sampai di ruangan Mita, aku langsung memberikan bayi itu pada Mita."Kamu mau kemana, Mas?" tanya Mita saat melihatku melangkah menuju pintu."Pulang," jawabku singkat."Arga, masa Mita baru melahirkan kamu tinggal, gimana sih," omel Ibu membuatku langsung memutar mata malas. Ntah pelet macam apa yang di kasih Mita ke Ibu, sehingga Ibu menjadi sangat penurut sama Mita."Em ... Ayah, Arga mau ngobrol bentar sama Ayah di luar," ajakku pada Ayah, Ayah langsung melangkah mendekatiku lalu kami keluar dari ruangan."Kenapa?" tanya Ayah begitu kami sudah di luar."Aku mau jaga Mita, asal Ibu jangan disini karena kalo nggak pasti akan terus memaksaku untuk menikahi Mita, sedangkan hasil tes DNA keluar dua minggu lagi," jawabku panjang lebar memberikan penger
"Kenapa kamu berikan semua warisan sama perempuan murahan itu, kenapa?!" teriak Ibu seperti orang frustasi."Minta maaf lah Bu, bersihkan nama, Hanin," ujar Arga sambil menahan pukulan Ibunya."Nggak, sampai kapanpun Ibu tidak akan pernah minta maaf!" Ibu terus berteriak.Arga melepaskan cengkeramannya Ibunya pada bajunya lalu ia berbalik hendak pergi, aku juga mengikutinya, belum sempat kami melangkah."Akh!" ringis Mita membuatku dan Arga kembali berbalik."Kamu kenapa, Nak?" tanya Ibu panik melihat Mita memegangi perutnya."Bu, perutku sakit ba--banget," ucap Mita menahan sakit, seketika aku dan Arga saling melempar pandangan."Yuk Ga, bantu dia ke rumah sakit biar kamu tahu kepastian bayi itu," ajakku yang dibalas anggukan oleh Arga, ia langsung mendekati Mita lalu menggendongnya, sedangkan aku langsung menuju mobil.Selama perjalanan Mita terus menangis meringis kesakitan, aku sesekali melihatnya dari spion.Sampai di rumah sakit, Mita langsung di larikan ke ruang bersalin. Hampi
"Kamu sakit Ga?" tanyaku karena melihat wajah Arga pucat dan kelihatan tidak bertenaga."Nggak kok," jawabnya singkat, tapi aku tidak yakin melihat ekspresinya."Aku nggak percaya Ga, berobat yuk," ajakku, Arga malah menggeleng."Nggak kok aku nggak apa-apa cuma kangen anak-anak aja," ujarnya membuatku menyergitkan kening."Ya udah ketemu lah, pergi ke rumah, Hanin," saranku."Iya, nunggu Mita lahiran aja dulu aku benar-benar malu sama Hanin setelah undangan pernikahan kemaren," lanjutnya, aku hanya mangut-mangut.***Keesokan harinya aku menunggu Sinta di sekolah karena aku tidak tahu dimana alamatnya. Sekarang aku sedang duduk di kursi panjang dekat pagar."Si Hanin udah kayak kuping batu ya, nggak ada malunya walaupun udah di hina semua guru-guru," ucap seseorang yang sedang duduk di sampingku."Iya ih, andai aja itu CEO tahu kalo Hanin itu cuma janda yang kesepian, pasti dia juga bakal jijik lihat, Hanin," sambung temannya, aku yang mendengar kata CEO langsung penasaran, siapa yan