"Ya udah sekarang kita ke bagian administrasi, yuk," ajaknya, aku hanya melihat Dimas sekilas lalu mengekorinya dari belakang. "Berapa semua biaya atas nama Hana Anggraini yang berada di kamar nomor 87?" tanya Dimas pada petugas administrasi. "Sebentar ya, Pak," ucap perempuan berbaju biru dan berkerudung putih tersebut. "Sudah lunas Pak, totalnya 3 juta sudah semuanya," lanjut perempuan tersebut membuat Dimas langsung melihatku begitu juga denganku, aku langsung melihatnya sekilas lalu melihat perempuan itu lagi. "Siapa yang bayar, Mbak?" tanya Hanin membuka suara. "Disini tertulis, Arga Wijaya," jawabnya aku langsung mengangguk. "Baguslah dia udah membayarnya, toh Hana juga anaknya," lanjut Dimas lalu kami kembali ke ruangan Hana. Bagitu kami masuk, Mas Arga langsung berdiri lalu menghampiriku, kulihat Dimas meninggalkan kami lalu ia pergi ke dekat Hana. "Aku mau sholat dulu," ucap Mas Arga, aku yang sedari tadi tidak ingin melihat wajahnya hanya acuh tanpa menjawab apapun.
"Kamu nggak usah sok ngajari orang tua, bocah kemaren aja songong. Saya lebih tahu Hanin seperti apa dari pada kamu," Ibu mertua terus mencermahi Dimas, ditengah-tengah perdebatan mereka, samae aku mendengar suara yang sangat pelan dan kecil. "Bunda," lirih Hana hampir tak terdengar, aku langsung berlari mendekatinya begitu juga Ayah mertua langsung menoleh ke arah Hana. "Hana udah sadar, Nak. Bunda di sini, sayang," ucapku lembut sambil menggenggam tangannya dan mencium pipinya. Kulihat putriku sangat lemas, mungkin karena banyak keluar darah dari kepalanya. "Ada yang sakit, Nak?" tanyaku lembut di telinganya. "Kepala Kakak pusing, Bunda," adunya membuat air mataku kembali membendung. "Sabar ya sayang, nanti juga pusingnya hilang asal Kakak jangan banyak gerak dulu ya," nasehatku padanya. "Alhamdulillah, cucu Kakek udah bangun, nanti kalo Hana sembuh Kakek beliin boneka beruang yang gede ya, tapi Hana janji harus sembuh ya" ucap Ayah mertua sambil mengusap pipi Hana, kulihat Han
Malam ini rasanya sangat sulit untuk tidur, ditambah lagi Mita selalu menelponku, ku diamkan ponselku, tapi tetap saja ia menghubungiku, aku kembali berdiri hendak keluar untuk mengangkat telpon Mita. Tidak sengaja mataku melihat ke arah Hana, matanya terbuka, tapi ia tidak berani menghadap ke kanan atau ke kiri karena sakit, Hana hanya menatap langit-langit ruangan, tanpa membuang waktu aku langsung mendekatinya. "Kenapa belum tidur, Nak?" tanyaku sambil mengusap pipinya, kulihat matanya langsung melihatku. "Bunda mana, Ayah? Kakak haus," lirih Hana, mataku langsung beralih ke Hanin yang sudah tertidur. Lalu tanganku mengambil botol minum dan sedotan. "Ayah aja ya, Nak. Bunda udah tidur," jawabku lalu menyodorkan sedotan ke mulutnya, Hana langsung menyeruput minum. "Hana belum ngantuk, Nak?" tanyaku lagi karena melihat matanya masih terlihat cerah. "Belum Ayah, Kakak nggak ngatuk lagi, kepala Kakak pusing," lanjutnya lagi, tiba-tiba saja rasa kasihan ku muncul, aku tidak tega m
"Alex," ucapku kaget. Alex hanya tersenyum pada Hanin. "Boleh aku jenguk anakmu?" tanyanya membuatku langsung bingung darimana Alex tau aku punya anak dan rumah ini. "I--iya, masuk aja Hana di kamar kok, Duduk dulu," lanjutku mempersilahkannya masuk. Begitu ia masuk dan duduk di sofa, aku juga ikut duduk di seberangnya. "Em … Alex darimana kamu tahu alamatku?" tanyaku hati-hati, kulihat Alex menyergit lalu tersenyum. "Kamu 'kan nggak datang ngajar udah tiga hari, jadi aku tanya Sinta soalnya aku lihat kamu akrab banget sama Sinta," jawabnya santai membuatku langsung mangut-mangut. "Apa Sinta udah cerita semuanya?" tanyaku lagi. "Iya, dia ucah cerita semuanya, Sinta bilang kamu udah nikah dan punya dua anak, baru-baru ini kamu bari cerai katanya dan tiga hari yang lalu putrimu kecelakaan," terangnya, aku hanya mengangguk paham. "Iya benar, ya udah sebentar ya, aku jemput Hana ke kamar," lanjutku lalu berdiri, saat aku hendak berbalik. "Assalamualaikum," terdengar suara yang tida
Hampir satu jam perjalanan, akhirnya aku sampai di rumah sakit yang Mita kirim alamatnya, tapi aku tidak asing dengan rumah sakit ini, karena selama tiga hari aku nginap di sini untuk menemani Hana. Begitu aku turun kulihat Mita sudah menungguku di teras rumah sakit, dengan perasaan deg-degan aku menghampirinya. "Sampai juga kamu sayang, lama banget aku nunggu," ucap Mita lalu menarik tangan Arga. "Berapa usia kandunganmu?" tanyaku tanpa basa-basi, kulihat ia sedikit menyergit. "Kok nanyanya gitu sih sayang, ini 'kan bayi kamu juga," kesalnya membuatku langsung menarik nafas dalam-dalam. "Iya aku tahu ini bayiku, tapi aku berhak tahu dong, dia udah umur berapa," bujukku, aku sangat penasaran dengan bayi ini. "Aku nggak tahu," jawabnya santai membuatku semakin penasaran. "Jadi kamu tahu hamil darimana?" tanyaku lagi, kulihat ia mulai kesal dengan pertanyaanku. "Ih sayang kamu kenapa sih, nggak percaya ini bayi kamu," kesalnya, aku langsung menatap langit-langit rumah sakit seki
"Ayah!" teriak seseorang yang tidak asing bagiku suaranya. Mataku langsung celingak-celinguk mencari arah sumber suara. Dari kejauhan kulihat Hanin, anak-anak dan Dimas baru saja sampai di pintu depan. Hana melambaikan tangan padaku membuatku langsung tersenyum, tapi aku bingung melihat ekspresi Hanin yang jutek. PoV Hanin. Kami sampai di rumah sakit jam 9 an lewat karena jalanan tidak begitu macet, tapi alangkah kebetulannya ini semua, baru tadi pagi aku mendapat kiriman bahagia mereka, sekarang sudah ketemu lagi di sini. Aku meraba tasku untuk memastikan aku membawa kotak itu, dadaku sedikit bergemuruh ntah apa yang terjadi di dalam, aku tidak tahu. "Dimas," panggilku membuat Dimas langsung menoleh ke arahku. "Kenapa? Kamu cemburu?" tanyanya membuatku langsung menatap tajam ke arahnya lalu ia cengengesan. "Tolong bawa Hana ke dalam ya ketemu dokter, sebentar lagi aku nyusul. Aku nggak pengen mereka denger obrolan dewasa ini," pintaku, kulihat ia menyergit sekilas lalu mengang
"Kita pulang sekarang?" tanya Dimas pada Hanin, kulihat hanya mengangguk sekilas lalu kembali mengalihkan pandangannya. "Arga, kami pulang dulu atau kamu kamu ikut," tawar Dimas, kuakui Dimas adalah laki-laki yang baik, ia rela menghabiskan waktunya untuk Hanin dan anak-anak dibanding pergi berpacaran yang biasanya dilakukan laki-laki lainnya. "Nggak usah, aku pulang ke rumah aja soalnya bawa mobil sendiri," tolakku halus yang sebenarnya berlawanan dengan kata hatiku, hatiku mengatakan untuk ikut ke rumah Hanin, tapi aku nggak mau buat Hanin makin bete melihatku. PoV hanin Aku kaget saat Hana mengatakan Mas Arga menangis, kulirik sekilas nggak yakin rasanya jika ia menangis secara ini 'kan hari bahagianya. Aku sangat kesal mendengar ajakan Dimas pada Mas Arga, kenapa Dimas terlihat sangat peduli sama Mas Arga. Tapi, hatiku langsung lega saat Mas Arga menolaknya. Sekarang kami menuju parkiran, anehnya Mas Arga mengikuti kami sampai ke mobil Dimas, nggak biasanya dia begitu. Ia me
Saat Aku dan Dimas sedang mengobrol, samar-samar kami mendengar suara tangisan kecil. Aku dan Dimas langsung menoleh ke arah Mita, benar saja dia menangis membuat empat laki-laki yang sedang mengelilinginya langsung menghentikan aksi mereka. Aku dan Dimas saling berpandangan, detik kemudian Dimas berdiri menghampiri Mita. "Mita yuk kita pergi," ajaknya kulihat dengan segera Mita berdiri di samping Dimas kemudian ia menunduk. "Berhubung kalian semua di sini, silahkan rapat dengan Arga, saya pergi dulu," ucap Dimas menarik Mita keluar dari kefe. Ada rasa bersalah di hatiku telah membuat Mita seperti itu, tapi apa boleh buat jika tidak begitu Mita sangat ganas terhadap laki-laki, ia bahkan tidak peduli yang muda atau yang tua semua di embat. PoV Dimas Aku adalah tipe cowok yang tidak tega melihat wanita menangis, apalagi melihat kondisi Mita yang dikelilingi banyak laki-laki. Sampai di mobil, kulihat Mita masih terus menangis, aku mengurungkan niat untuk mengantarnya pulang sekaran
"I--ibu," ucap Hanin bingung, Ibu mendekati Hanin lalu memeluknya membuat Hanin kaget. "Maafin Ibu Nak, selama ini Ibu jahat sama kamu, selalu remehin kamu, fitnah kamu," ucap Ibu menyesali perbuatannya sedangkan Hanin yang mendengar itu langsung tersenyum. "Tidak Bu, Ibu nggak sepenuhnya salah, aku juga banyak salah sama Ibu," jawab Hanin. "Pokoknya besok kalian harus jadi pengantin lagi, Ibu nggak mau tahu gimanapun caranya Ibu akan usahain semuanya malam ini," lanjut Ibu, Hanin hanya tersenyum lalu mengangguk. Malam itu juga semua di persiapkan untuk tambahan, seperti pelaminan, baju pengantin dan yang lain-lainnya. Sedangkan Hanin masih tidak percaya apa yang terjadi malam ini, rasanya itu hal yang tidak mungkin. *** Keesokan harinya, Dimas dan Arga sudah siap, tapi Hanin dan Puspita masih di kamar. "Bunda cantik banget," puji Hana saat melihat Hanin baru saja selesai di rias. Hanin langsung menoleh lalu tersenyum kemudian ia mengangkat Hana ke pangkuannya. "Putri Bunda ini
"turut mengundang teman-teman, sahabat dan keluarga menyaksikan pengesahan kisah cinta kami yang begitu indah dalam resepsi pernikahan kamu Dimas angg dengan Puspita Hanin Damayanti-" Arga menghentikan bacaannya lalu ia menatap Hanin bingung "Puspita hanin? kamu ganti nama? setau aku nama kamu Hanindira Anggraini," tanya Arga bingung, sedangkan Hanin malah terkekeh lalu menutup mulutnya dengan tangann "itu bukan Hanin aku lah, Mas," jawab hanin membuat Arga mematung mulutnya juga ikut menganga tidak percaya "ja--jadi yang nikah sama Dimas-" ucapan Arga terpotong kala hanin mengangguk "Orang lain mas yang namanya juga Hanin," lanjut Hanin, seketika air mata Arga lolos begitu saja bibirnya juga mulai melengkung "Ka--kamu nggak nikah?" tanya Arga lagi, hanin hanya menggeleng sambil tersenyum membuat Arga langsung mengusap wajahnya sambil mengucap hamdalah flashback Setelah menemani Arga ruqyah, Dimas pamit pulang, ia bukan pulang ke rumahnya melainkan ke rumah Hanin. Disisi lai
Arga membaca undangan tersebut, ia melihat nama Dimas dan Hanin terpampang di depan. Hatinya terasa seperti di iris sekarang melihat nama Hanin dan Dimas, Arga menelan salivanya dengan susah payah lalu detik kemudian ia tersenyum."Selamat ya, insyaallah aku akan datang menghadiri undangannya," ucapnya dengan berat hati pada Hanin, sedangkan Hanin hanya mengangguk sekilas."Aku juga punya sesuatu untuk kalian, tunggu sebentar," ujar Arga lalu ia tergesa-gesa mengambil sesuatu ke kamar.Beberapa menit kemudian ia keluar dari kamar, dengan beberapa kertas di tangannya."Ini," ucap Arga sambil menyodorkan semua kertas itu pada Hanin."Apa ini?" tanya Hanin bingung."Bacalah," jawab Arga, tanpa membuang waktu Hanin langsung membaca satu persatu lembaran tersebut, matanya langsung membola."M--mas, i--ini apa? Kenapa semua warisan atas namaku dan anak-anak?" tanya Hanin bingung, Arga hanya tersenyum."Cuma kalian yang berhak mendapatkannya bahkan akupun nggak layak untuk mewarisi itu, aku
PoV authorTiga hari setelah Arga berobat, ia merasa sudah sangat sehat sekarang di tambah lagi Dimas selalu menemaninya.Sekarang mereka dalam perjalanan menuju kantor Ayahnya untuk memberi tahu semuanya. Begitu sampai Arga langsung masuk, tapi Arga kaget melihatku Ibunya ada di dalam juga."Arga, kamu dari mana aja sih? Kasian Mita sudah hampir seminggu kamu tinggal," omel Ibu membuat Arga langsung menggaruk alisnya sekilas."Ibu kasihan sama anak orang, tapi Ibu nggak kasihan sama Arga yang setengah mati melawan penyakit," gumam Arga yang terdengar jelas oleh Ibunya."Penyakit? Penyakit apa?" tanya Ibunya lagi, tapi Arga malah berjalan mendekati Ayahnya."Yah, Arga mau ngomong sesuatu sama Ayah, penting," ucap Arga tanpa basa-basi membuat Ayah langsung mengangguk."Ngomonglah atau mau di luar," tawar Ayah."Di luar aja, Yah," ajak Arga lalu mereka berdua keluar.Sedangkan Dimas tetap di dalam menemani Ibu Arga supaya tidak menguping."Ada apa dengan Arga? Kasih tau saya," tanya Ibu
"Mita menginginkan Arga, Om. Dia tetat kekeh supaya Arga menikahinya," jawab Dimas membuat Ayah Arga mangut-mangut."Benar, apa yang kamu bilang. Tapi, walau gimanapun Om nggak setuju punya menantu kayak dia," lanjut Ayah Arga.PoV hanin.Hari ini adalah hari pertamaku ngajar setelah sakit selama tiga hari, pagi-pagi sekali aku berangkat karena masih harus mengantar Hana ke sekolah dan mengantar Dani ke rumah Sinta, aku takut jika Dani di rumah sama Mbok Sumi, Ibu mertuaku bakal datang mengambilnya."Hana nanti kalo ada yang jemput Hana ke sekolah jangan mau ya Nak, tunggu Bunda sampai datang. Kalo kamu di paksa, lari aja ke kantor ngadu sama guru di situ ya," nasehatku pada Hana di dalam mobil."Iya Bunda. Tapi kalo Ayah yang jemput?" tanyanya membuatku langsung bingung."Izin dulu sama wali kelasmu, bilang di jemput Ayah biar Bunda nggak kecarian," lanjutku, Hana langsung mengangguk.Setelah mengantarkan mereka berdua, aku langsung bergegas menuju sekolah. Hampir setengah jam aku me
*PoV Author*Tiga hari kemudian, Mita sudah di perbolehkan pulang dari rumah sakit. Dimas dan Arga mengantarkan Mita ke rumah orang tua Arga.Selama perjalanan hanya ada keheningan, Arga dan Dimas di depan sedangkan Mita dan bayinya di kursi belakang."Mas, kamu bakal nginap di rumah Ibu, 'kan," tebak Mita, Arga melihat Mita sekilas dari spion."Nggak, aku punya rumah," jawab Arga datar membuat Mita langsung mendengus kesal."Kamu ngapain sih Mas, sendirian tau di rumahmu itu atau nggak aku sama baby Aydan ikut kesana," tawar Mita, Dimas yang mendengar itu hanya bisa menggaruk alisnya sekilas."Mita kamu masih masih waras apa gimana sih? Apa kata orang kita satu rumah yang belum menikah, aku udah bilang kita tunggu hasil tes DNA, titik. Nggak ada perdebatan," tegas Arga tanpa melihat Mita membuat Mita langsung menatap tajam ke arah Arga.Sampai di rumah orangtuanya, Arga langsung menurunkan semua barang Mita. Ibunya dengan semangat menyambut Mita dan bayi itu. "Menantu sama cucu Ibu
Selama tes berlangsung, Dimas terus menemaniku gantian untuk menggendong bayi Mita.Setelah selesai, kami pun keluar, ada rasa lega dihatiku akhirnya tes DNA yang selalu ku inginkan akhirnya terlaksana, sekarang tinggal menunggu hasilnya.Sampai di ruangan Mita, aku langsung memberikan bayi itu pada Mita."Kamu mau kemana, Mas?" tanya Mita saat melihatku melangkah menuju pintu."Pulang," jawabku singkat."Arga, masa Mita baru melahirkan kamu tinggal, gimana sih," omel Ibu membuatku langsung memutar mata malas. Ntah pelet macam apa yang di kasih Mita ke Ibu, sehingga Ibu menjadi sangat penurut sama Mita."Em ... Ayah, Arga mau ngobrol bentar sama Ayah di luar," ajakku pada Ayah, Ayah langsung melangkah mendekatiku lalu kami keluar dari ruangan."Kenapa?" tanya Ayah begitu kami sudah di luar."Aku mau jaga Mita, asal Ibu jangan disini karena kalo nggak pasti akan terus memaksaku untuk menikahi Mita, sedangkan hasil tes DNA keluar dua minggu lagi," jawabku panjang lebar memberikan penger
"Kenapa kamu berikan semua warisan sama perempuan murahan itu, kenapa?!" teriak Ibu seperti orang frustasi."Minta maaf lah Bu, bersihkan nama, Hanin," ujar Arga sambil menahan pukulan Ibunya."Nggak, sampai kapanpun Ibu tidak akan pernah minta maaf!" Ibu terus berteriak.Arga melepaskan cengkeramannya Ibunya pada bajunya lalu ia berbalik hendak pergi, aku juga mengikutinya, belum sempat kami melangkah."Akh!" ringis Mita membuatku dan Arga kembali berbalik."Kamu kenapa, Nak?" tanya Ibu panik melihat Mita memegangi perutnya."Bu, perutku sakit ba--banget," ucap Mita menahan sakit, seketika aku dan Arga saling melempar pandangan."Yuk Ga, bantu dia ke rumah sakit biar kamu tahu kepastian bayi itu," ajakku yang dibalas anggukan oleh Arga, ia langsung mendekati Mita lalu menggendongnya, sedangkan aku langsung menuju mobil.Selama perjalanan Mita terus menangis meringis kesakitan, aku sesekali melihatnya dari spion.Sampai di rumah sakit, Mita langsung di larikan ke ruang bersalin. Hampi
"Kamu sakit Ga?" tanyaku karena melihat wajah Arga pucat dan kelihatan tidak bertenaga."Nggak kok," jawabnya singkat, tapi aku tidak yakin melihat ekspresinya."Aku nggak percaya Ga, berobat yuk," ajakku, Arga malah menggeleng."Nggak kok aku nggak apa-apa cuma kangen anak-anak aja," ujarnya membuatku menyergitkan kening."Ya udah ketemu lah, pergi ke rumah, Hanin," saranku."Iya, nunggu Mita lahiran aja dulu aku benar-benar malu sama Hanin setelah undangan pernikahan kemaren," lanjutnya, aku hanya mangut-mangut.***Keesokan harinya aku menunggu Sinta di sekolah karena aku tidak tahu dimana alamatnya. Sekarang aku sedang duduk di kursi panjang dekat pagar."Si Hanin udah kayak kuping batu ya, nggak ada malunya walaupun udah di hina semua guru-guru," ucap seseorang yang sedang duduk di sampingku."Iya ih, andai aja itu CEO tahu kalo Hanin itu cuma janda yang kesepian, pasti dia juga bakal jijik lihat, Hanin," sambung temannya, aku yang mendengar kata CEO langsung penasaran, siapa yan