"Memang apa perjanjiannya, Mbak?" tanya Maura akhirnya mengajukan pertanyaan. Dia tidak mungkin terus-terusan penasaran dengan semua yang akan dilakukan Lusi padanya. Gadis itu takut saja kalau misalkan Lusi memberikan perjanjian dan perintah yang membuat dirinya terkekang, mengingat kalau dia sudah berbuat kesalahan. Kemarin-kemarin wanita itu tidak mengatakan apa pun. Lusi menyodorkan sebuah map merah yang berisi selembar kertas. "Bacalah terlebih dahulu. Kalau kamu tidak mengerti, tanyakan," ucap Lusi. Maura pun langsung membaca poin-poin itu, yang ada 10. Awalnya Maura terdiam, karena isinya itu tentang aturan yang harus dilakukan di rumah ini, juga ada batasan serta kebebasan yang diberikan oleh Lusi. "Maksudnya ini aku dibebaskan untuk mengambil pilihan itu, apa ya, Mbak?" Maura membuat Lusi tersenyum, sepertinya adiknya ini memang begitu penasaran. Dia juga sengaja membuat poin itu, ingin tahu sejauh apa Maura punya rasa ingin tahu dan juga kritis terhadap suatu masalah.
"Kalau kamu sudah mengerti, cepat tanda tangan. Dengan begitu mulai besok kamu akan aku carikan SMA terbaik di sini," ucapnya karena sudah dari tadi Maura hanya diam saja. Tampaknya gadis itu sedang berpikir keras. Entah apalagi yang dipikirkan oleh Maura. Tetapi dia berharap sang gadis tidak berpikir macam-macam, apalagi sampai mengkhianati semua perjanjian ini. "Jika kamu mengingkari perjanjian ini, pilihannya ada dua. Kamu kembalikan uang yang aku berikan untuk menjamin hidupmu atau kamu akan mendekam di penjara seperti Mila." Maura kaget, karena sebelumnya tidak ada hal seperti ini. Namun tampaknya gadis itu tahu kenapa Lusi melakukan hal seperti itu, karena Mila pernah berbuat salah sehingga Lusi memberikan benteng pertahanan agar tidak dikhianati untuk kedua kalinya. "Baiklah, Mbak. Aku setuju, tapi sebelum mendatangani ini, bolehkah aku bertanya sesuatu lagi?" tanya Maura. Sebenarnya Lusi agak kesal karena gadis ini terus-terusan saja bertanya dan banyak sekali berpikir. P
"Aku akan mencoba untuk mencarinya ke tempat lain, kira-kira ke mana biasanya Maura pergi? Apakah dia ke teman-temannya?" tanya pria paruh baya itu dengan wajah yang serius.Bu Sinta tampak berpikir sejenak. Dia sedang mengira-ngira di mana keberadaan Maura saat ini. "Kenapa diam saja? Cepat katakan, di mana keberadaan putrimu? Masa kamu tidak tahu di mana saja putrimu berada?" tanya pria paruh baya itu, lama-lama kesel juga kepada istrinya yang malah diam. Bu Sinta bukannya tidak tahu, hanya saja dia juga tidak hafal di mana keberadaan Maura, karena selama ini dia hanya menuntut Maura untuk memenuhi kebutuhan dengan cara menjadikan sapi perah. "Kenapa diam saja? Cepat katakan! Rentenirnya di luar sana, itu sudah dari tadi dia menggedor-gedor pintu. Bisa-bisa rumah kita rusak. Kamu mau mengeluarkan biaya untuk merenovasi rumah ini?" tanya suaminya dengan kesal, karena dari tadi sang istri hanya diam saja. "Aku beneran nggak tahu di mana dia. Lagian Maura juga jarang bilang kalau d
Sang rentenir yang sudah hampir sepuh itu tersenyum miring. Dia tidak menyangka dengan apa yang baru saja didengarnya, tanpa aba-aba wanita hampir tua itu langsung bertepuk tangan sembari terkekeh pelan. Dia benar-benar tidak menyangka. "Sungguh luar biasa, ternyata Ibu yang kejam itu bukan hanya di sinetron dan cerita saja, ya? Dalam dunia nyata pun ada. Baru kali ini aku melihat ada seorang Ibu yang rela menjual anaknya demi mempertahankan rumah. Kamu tahu? Sudah lama aku menjadi rentenir dan banyak sekali orang-orang yang aku lihat untuk mencari alasan agar tidak bayar, tetapi baru kali ini aku melihat ada seorang Ibu yang rela menjual anaknya demi melunasi hutang-hutang dan hanya untuk sebuah rumah. Kamu itu benar-benar Ibu yang luar biasa. Semua di luar dugaan," papar wanita yang hampir sepuh itu panjang lebar. Bu Sinta yang mendengarnya pun sangat sakit hati. Harusnya wanita tua itu tidak usah berkomentar Bukankah yang penting uangnya kembali? Tetapi kenapa malah seperti ini?
"Mana bisa seperti itu? Kamu tahu kan aku tidak punya pengalaman kerja? Aku juga tidak tahu bagaimana mencari uang untuk melunasi hutang-hutang kita.""Ya sudah kalau begitu, jangan sok-sokan ingin membela anakmu itu. Kita tidak punya cara untuk membayar hutang-hutang ini." "Kan aku sudah bilang, kita tinggal jual saja rumah ini. Lalu kita ngontrak." "Oh begitu? Ya sudah, kalau begitu kamu yang membayar uang bulanannya, bagaimana?" tanya Bu Sinta menantang suaminya yang selalu keras kepala. Padahal pria itu tidak bisa berbuat apa-apa. Lagian bangunan ini adalah rumah yang dibeli dari uang Bu Sinta, jadi harusnya suaminya itu tahu diri dan tidak sembarangan berbicara. "Kan kamu juga bisa bekerja. Kamu saja yang bekerja." "Gila! Kamu itu suami. Harusnya mau menghidupi kami. Saat kamu kembali kepadaku dan menikah lagi denganku, kamu juga sudah berjanji akan menghidupi kami, kan? Tapi, apa sekarang? Kamu tiba-tiba seperti ini. Jadi, kamu menikah denganku hanya untuk mendapat harta da
"Maksud Ibu apa?" "Aku sudah bilang, jangan panggil aku Ibu. Aku ini bukan ibumu dan sampai kapan pun aku tidak akan pernah menganggapmu menantuku." "Tapi, Bu. Tidak bisa seperti itu, sekarang ini aku adalah istrinya Mas Raka dan aku sedang mengandung cucu Ibu." "Wanita gatal! Kamu tidak mendengar ucapanku barusan, ya? Aku tidak percaya kalau itu adalah cucuku. Kalau pun itu benar, aku tidak akan pernah menerimanya." "Kenapa? Bukankah setiap nenek itu pasti akan menyayangi cucunya?""Iya kalau itu adalah hasil pernikahan yang sah. Lagi pula kamu ini kan pelakor. Kamu tidak malu menganggap aku ini sebagai mertuamu? Aku sudah jijik melihatmu," ujar Bu Sinta dengan wajah yang tegas. Dia melihat kalau wanita di depannya ini memang begitu menjijikan. Walaupun dia mata duitan dan realistis tingkat tinggi, tetapi Bu Sinta juga paling benci jika berurusan dengan pelakor. Apalagi itu adalah wanita yang sudah menggoda anaknya. Bu Sinta yakin kalau tidak ada Mila pasti rumah tangga Lusi dan
"Kita sudah sampai," ucap Pak Bara saat mereka sudah sampai di sebuah gang yang mengarah ke rumah Bu Sinta. Wanita itu menatap jalanan, dari sini terlihat sekali kalau rumah kecil itu berada di antara rumah-rumah yang lainnya. Dia mengepalkan tangan. Ada rasa kesal saat tahu kalau Maura itu dijadikan sapi perah oleh mereka. Padahal Mila sendiri disayangi sedemikian rupa. Sementara dirinya berjuang untuk cita-cita Maura. Tetapi ini terasa keterlaluan sekali, tidak ada timbal balik dari orang tua Maura sendiri. Lusi benar-benar muak. Dia ingin sekali membuat pelajaran kepada kedua orang itu. "Baiklah, sekarang kita sebaiknya pergi ke sana, pastikan kalau mereka tidak berkutik sama sekali dan aku mendapatkan hak asuh." "Bagaimana kalau misalkan mereka tidak mau?" "Kita tinggal menakut-nakutinya dengan hukum. Biasanya orang seperti mereka itu takut dengan hukum, apalagi keduanya punya hutang banyak kepada rentenir, kan?" Semua itu informasi itu dari Maura dan juga hasil penyelidikan
Lusi tidak menjawab pertanyaan Pak Bara dan memilih untuk langsung melangkah ke pelataran rumah milik Ibu Sinta. Wanita itu terdiam sejenak. Dia memandangi pintu rumah yang tampak kecil.Sebelumnya Lusi menghela napas panjang dan mengeluarkannya secara perlahan. Apa pun yang terjadi dia harus mencoba untuk memancing Bu Sinta keluar, karena semua rencananya itu tidak bisa berjalan kalau Bu Sinta tidak ada di rumah. Wanita itu pun langsung mengetuk pintu. Bu Sinta dan suaminya yang ada di dalam terkesiap, mereka saling pandang. Tampak raut ketakutan yang amat kentara, tentu saja takut jika rentenir tadi datang lagi. "Pak, jangan-jangan itu si tua bangka tadi?"Ucapan sang istri membuat suaminya terdiam, pria paruh baya itu tampak berpikir. Ternyata dikejar-kejar orang itu tidak enak. Dia harus tetap terus bersembunyi, ditambah mencari alasan lain yang kira-kira masuk akal untuk diberikan kepada si penagih, karena sebelumnya Bu Sinta sudah menjanjikan kedua anak mereka."Tidak mungkin.