"Loh, Nak Lusi? Kirain siapa," ucap Bu Sinta berbasa-basi. Wajahnya juga tampak ramah, berbeda sekali saat berhadapan dengan sang rentenir. Sementara suami dia pun tersenyum semringah mendapati anak tiri Bu Sinta itu sudah berdiri di depan pintu. Lusi tersenyum sebaik mungkin. Padahal hatinya merasa kesal, tetapi juga puas karena apa yang direncanakannya pun berjalan dengan baik, sesuai dugaan kedua orang itu pasti akan langsung keluar jika dia menyebutkan namanya. "Iya, Bu. Ini saya. Apakah saya mengganggu kalian?" tanya Lusi berbicara seperti biasanya, karena permainannya belum dimulai. Dia akan berbasa-basi dulu dengan kedua orang itu, ingin tahu saja sejauh mana mereka berpura-pura akrab kepada Lusi dan juga sejauh mana mereka bicarakan perihal Maura. Setelah semua itu terjadi, barulah Lusi akan mempermainkan triknya. Sementara Pak Bara sesuai dengan permintaan Lusi, sudah mulai merekam apa yang dibicarakan oleh ketiga orang itu. Dia memegangi ponsel seolah tidak sedang mel
"Apa maksud, Nak Lusi?" tanya suami Bu Sinta. Wajahnya tiba-tiba saja berubah. Sebelumnya dia sangat semringah dan begitu jumawa. Tetapi mendengar perkataan Lusi barusan, membuat pria itu langsung terdiam. Bahkan dia kebingungan sendiri. Bu Sinta yang ada di pinggirnya pun tampak diam. Dia menoleh kepada suaminya, ingin meminta bantuan bagaimana berbicara dengan Lusi. Karena semua yang diperkirakan itu sangat melenceng sekali. "Maksud saya jelas, tidak mau memberikan uang kepada kalian. Kalau memang Maura kabur ke satu tempat yang kalian tahu, saya akan antar dengan senang hati. Jadi, tidak perlu mengeluarkan uang, kan?""Tapi, Nak Lusi--""Pak, saya datang ke sini untuk menemui Adik saya. Bagaimanapun dia satu darah dengan saya, walaupun berbeda ibu. Lalu kalau memang Maura kabur, saya juga ingin tahu alasannya seperti apa. Saya tidak mau kalian mencari Maura dengan uang, lalu mengambilnya kembali ke tempat ini untuk dijadikan sebagai sapi perah."Dua orang itu kaget dengan perka
"Nak Lusi, tidak bisa seperti itu. Maura kan anak saya, jadi harusnya diasuh oleh kami berdua," ujar Bu Sinta langsung menolak. Dia benar-benar tidak bisa membiarkan Maura di bawah asuhan Lusi. Dengan begitu anaknya tidak bisa dijadikan lagi alat untuk membayar hutang-hutangnya. Bagaimana perjanjiannya dengan si wanita tua itu? Bisa-bisa dia benar-benar kehilangan rumah ini, lalu dia harus tinggal di mana? Begitu pikir Bu Sinta. Kalau memang Lusi mau memberinya rumah, itu tidak masalah. Tetapi kalau misalkan sekarang dia meminta rumah, Lusi akan menolak juga. Meminta uang untuk mencari Maura saja Lusi sudah menolak mentah-mentah, bagaimana mungkin dia meminta rumah kepada anak tiri di depannya ini? Tampaknya Bu Sinta juga paham kalau Lusi baru tahu jika dirinya ini adalah mantan Ibu tiri Lusi. Dari gelagat wanita itu, tampaknya tidak suka dengan Bu Sinta. Walaupun memang terlihat ramah-tamah, tetapi dari setiap sikap dan pembicaraan Lusi mencerminkan kalau wanita itu memang tidak m
Lusi menaikkan sebelah alisnya mendengar pertanyaan dari suaminya Bu Sinta. Tampaknya pria paruh baya ini belum tahu apa-apa tentang Mila. Ini akan semakin menarik untuk Lusi. Dia bisa membuat keduanya semakin jera dan pria paruh baya itu tidak akan bisa berkutik jika tahu anak kesayangannya itu telah berbuat jahat kepada Lusi. "Loh, Bapak tidak tahu anak Bapak itu dipenjara? Sudah hampir seminggu Mila dipenjara," ucap Lusi dengan enteng, membuat sang wanita paruh baya itu tampak ketakutan dan bingung. Bu Sinta berusaha untuk menjelaskan kepada suaminya, tetapi sayangnya pria itu langsung marah. "Apa yang kamu sembunyikan dariku? Kenapa kamu tidak bilang apa-apa? Jadi, kamu sudah tahu kalau Mila dipenjara? Katakan!" seru sang pria membuat Bu Sinta ketakutan. Melihat itu Lusi langsung menoleh kepada Pak Bara. Dia memberikan isyarat kalau dia sangat puas dengan kejadian ini. Rekaman itu pun masih tetap berputar, ini akan menjadi bukti lagi jika terjadi sesuatu kepada Bu Sinta dan Lu
Saat ini Lusi dan Pak Bara sedang dalam perjalanan pulang. Beberapa menit berlalu mereka semua tetap saling diam, wanita itu memilih melihat ke luar jendela. Kejadian tadi sebenarnya sangat mengkhawatirkan hati Lusi karena dia takut terjadi sesuatu yang buruk kepadanya. Tetapi karena ada Pak Bara dan rekaman itu, sekarang dia sudah tenang. Jika satu saat nanti Bu Sinta atau suaminya berbuat macam-macam, maka dia akan menjadikan rekaman tadi sebagai barang bukti. "Nak Lusi, apakah tetap akan mengambil hak asuh untuk Maura?" tanya Pak Bara memastikan, karena dia tidak mau sampai pertemuan ini tidak membawakan hasil apa pun. Lusi menoleh dan tersenyum. "Tentu saja, Pak. Ini harus berhasil. Saya sudah berusaha yang untuk meminta izin secara baik-baik kepada mereka, tapi mereka tidak punya itikad baik juga untuk merawat Maura dengan benar. Saya yakin, kalau misalkan Maura kembali ke sana, pasti dia akan dijadikan sapi perah lagi dan lebih parahnya lagi Maura akan dijual kepada rentenir
Sesampainya di rumah, Lusi melihat Maura sedang bermain dengan Alia. Wanita itu tidak mengatakan apa pun perihal kedatangannya ke rumah orang tua Maura, tidak mau sampai gadis itu berpikiran macam-macam atau malah menjadi beban untuk Maura. Jadi, Lusi memutuskan menyembunyikan kedatangan dia saat berkunjung ke rumah orang tua Maura. Biarlah Maura hidup dan beradaptasi di sini, sebelum dia memulai sekolah. Rencananya setelah Lusi mendapatkan hak asuh Maura, dia akan langsung mendaftarkan adiknya itu ke sekolah yang baik, tentu saja ternama dan terjamin kualitas pendidikannya. Lusi pun memilih untuk istirahat dulu, mengunci diri di kamar dan memikirkan apa saja yang harus dia lakukan selanjutnya. Sekarang pasti akan menghabiskan banyak waktu di tempat kerja, bersama Alia pun akan sedikit. Dia berpikiran untuk menyewa pengasuh bagi Alia. Tetapi dia takut jika salah memilih pengasuh. Sepertinya Lusi harus membicarakan semua ini dengan Pak Bara, karena saat ini tidak ada satu pun orang y
"Hah! Devan? Ibu yakin nama pria yang mencari saya itu Devan?" tanya Lusi sangat syok dan dia benar-benar tidak percaya mendengar kalau Bu Murni menyebutkan nama itu."Iya, Ibu yakin. Nama pria yang mencari Nak Lusi itu Devan." Wanita itu terdiam. Dia bingung harus bersikap apa mendengar kabar ini, tetapi satu yang pasti, Lusi penasaran kenapa Devan mencarinya. Padahal sudah tahu kalau dirinya berumah tangga, bahkan pria itu juga sempat bilang kalau dia berusaha untuk membuka lembaran baru setelah istri dan calon anaknya meninggal. Tetapi kenapa sekarang tiba-tiba saja mencarinya apalagi menurut bu Murni, dia pun datang saat video viral itu diposting oleh Lusi di media sosial. Mungkinkah ini pertanda kalau Devan itu begitu peduli kepada Lusi? Sang wanita langsung menggeleng-gelengkan kepala, dia berusaha untuk menghalau segala pemikiran, tidak mau mengambil kesimpulan sendiri. Saat ini dia tidak mau berurusan dengan orang-orang yang membuatnya pusing termasuk dengan pria bernama De
"Mas, aku mohon maaf. Ini adalah salah satu kesempatan langka aku bisa berbicara denganmu. Kamu tahu? Sulit bagiku untuk bisa menemuimu seperti ini," ujar Mila. Dia harus meyakinkan Raka agar mau bicara dengannya. Karena kalau tidak, semua perjuangannya akan sia-sia. "Aku tidak memintamu untuk menemuiku," timpal Raka membuat Mila terkesiap. Wajah wanita hamil itu langsung syok. Selama berhubungan dengan Raka di belakang Lusi, baru kali ini pria itu mengucapkan kata-kata yang membuat Mila tak berkutik. Bagaimana tidak? Selama ini Raka selalu memperhatikannya, mengucapkan kata-kata manis untuk Mila. Tetapi setelah semua kejadian yang menimpa dirinya dan Raka, pria itu berubah drastis. Bahkan berani berucap seperti itu kepada Mila. "Kenapa kamu bicara seperti itu, Mas? Biasanya kamu tidak begini."Raka menghela napas kasar. Dia mengguyar rambutnya, lalu melihat ke sekeliling, takut ada yang mengamati mereka. Untunglah beberapa napi langsung pergi ke lapangan, biasanya setelah makan
Wanita hamil itu hanya bisa pergi dengan perasaan kesal. Mungkin Mila bisa saja menerobos masuk, tetapi dia khawatir kalau Raka akan benar-benar murka kepadanya dan semua perkataan pria itu menjadi kenyataan. Membayangkannya saja membuat Mila ketakutan, apalagi kalau benar Raka akan meninggalkannya dan anak yang ada di dalam kandungan. Akhirnya Mila tidak punya pilihan lain, kecuali mengalah terlebih dahulu. Dia akan mencoba kembali untuk membujuk Raka setelah 3 hari, berharap kalau pria itu benar-benar akan kembali kepadanya. Setelah kepergian Mila, Raka dan Bu Sinta pun sedang duduk berhadapan di meja makan, tepat di depannya tampak sekali makanan yang sudah terhidang dan aromanya begitu menggugah selera Raka. Kebetulan pria itu hanya makan ala kadarnya. Saat melihat semua ini, tentu rasa lapar pria itu menyeruak. Tetapi sebelumnya Raka harus memberitahukan kedatangan dirinya kepada Bu Sinta. "Ibu masak untukku?" "Tentu saja. Kamu pikir Ibu akan masak untuk siapa? Istrimu? Ibu
"Mas, aku mohon. Pulanglah bersamaku, jangan seperti ini." Mila sekarang menghiba sembari menangis. "Tolong, jangan buat aku merasa menderita dan tertekan seperti ini. Aku janji, aku tidak akan mengekangmu lagi. Kamu boleh keluar, asalkan kamu bicara dulu kepadaku." "Tidak, ini sudah ketiga kalinya kamu mengatakan hal yang sama, tetapi kenyataannya seperti apa? Kamu tetap saja mengganggu dan menuduhku macam-macam.""Lalu, aku dengan siapa, Mas? Aku tidak mungkin sendiri.""Ada Maura."Seketika Mila malah terdiam. Dia sedang berusaha untuk akting sebaik mungkin agar Raka mau pulang dengannya. Tetapi malah nama Maura yang disebutkan. Dia benar-benar kesal karena adiknya itu malah masuk dalam permasalahan rumah tangganya. "Dia kan bukan siapa-siapa kita. Lagi pula di sini yang harus tanggung jawab atas keselamatan aku dan anak ini kan kamu, Mas." Mila sama sekali tidak bisa diajak berbicara baik-baik. Sekeras apa pun Raka menjelaskan, Mila juga sama kerasnya. Tidak mau mengalah. Rak
"Tidak sekarang, Mila. Aku akan pulang setelah semua urusanku selesai." Mila menautkan kedua alis dengan perasaan bingung. "Apa maksud kamu, Mas? Urusan apa yang kamu lakukan di sini?" Raka menghela napas panjang sembari memijat pelipisnya yang berdenyut. Tidak mungkin dia mengatakan kalau besok dirinya akan menikah dengan Winda. Yang pasti pria itu harus mengelabui Mila. Jangan sampai wanita itu benar-benar menghancurkan semua rencananya. Karena kalau Mila tahu kalau dirinya ingin mencari Lusi dan juga Alia, maka saat itu juga dia mendapat tekanan lagi dari wanita ini. "Aku hanya ingin bertemu dengan ibuku, menghabiskan waktu dengan ibuku." "Lalu, kamu meninggalkan istrimu?" tanya Mila. Matanya berkaca-kaca. Dia tidak menyangka Raka akan melakukan hal seperti ini. Padahal yang harus ditemani adalah Mila. Dia sedang hamil. Kenapa Raka tidak mau melakukan itu? "Dia anakku. Hak dia dong untuk menemani ibunya!"Mila kesal karena Bu Sinta malah ikut campur. Harusnya wanita paruh bay
Bu Sinta maupun Mila kaget mendengar suara Raka yang menggelegar, tampak sekali wajahnya memerah seperti menahan emosi karena sudah dari tadi kedua wanita berbeda usia ini terus saja bertengkar. "Apa kalian tidak bisa diam?! Jangan terus-terusan mengoceh dengan berbagai macam alasan! Aku punya keputusan sendiri," ucap Raka, membuat Bu Sinta dan Mila kaget bersamaan. Mereka takut jika Raka mengambil keputusan yang salah dan merugikan kedua belah pihak. Mila berharap kalau Raka tidak meninggalkannya, berbeda dengan Bu Sinta yang ingin anaknya kembali kepada Bu Sinta dan menceraikan Mila. Pria itu menoleh kepada Mila dengan tatapan sinis. Dia sudah jengah dengan semua perlakuan istrinya ini. Mila berbeda jauh dengan wanita yang dulu pernah menjalin hubungan dengannya. Apa mungkin memang sifat asli Mila seperti ini? Begitu pikir Raka atau hanya karena perubahan hormon Ibu hamil akhirnya Mila lebih protektif dan temperamental? Semua itu masih bergerilya di pikiran Raka, belum bisa menga
"Jangan percaya sama Ibu, Mas! Kamu tahu sendiri, kan? Gara-gara Ibu, kamu hampir kehilangan anak ini. Dia yang memalsukan tes DNA anak ini!" seru Mila tiba-tiba saja mengalihkan pembicaraan, membuat Bu Sinta terdiam dan wanita paruh baya itu benar-benar kaget kala Mila membahas lagi masalah yang sudah berlalu. Padahal sekarang permasalahan utamanya adalah Mila yang tidak pernah bisa membebaskan Raka, selalu saja mengekang dan harus berada di samping wanita itu. "Kenapa kamu malah ngomongin itu sekarang? Bukan waktunya kamu berbicara hal yang sudah berlalu.""Oh, kenapa tidak, Bu? Tentu saja aku harus bicara dengan Mas Raka, kalau Ibu itu tidak mau melihat anak ini lahir, kan?" Keadaan semakin genting saat ini. Kalau Mila mengatakan hal seperti itu, tentu saja Bu Sinta tidak mau kalah. Baginya pertarungan ini harus dimenangkan olehnya, karena ini adalah satu-satunya cara dan kesempatan yang langka untuk mendapatkan anaknya kembali. "Jaga bicaramu! Itu sudah berlalu, aku melakukan
Bu Sinta dan Mila sama-sama terkejut melihat siapa yang tiba-tiba saja menyerukan nama Mila. Seketika wajah Bu Sinta berubah menjadi pura-pura sedih. Sementara Mika pucat sekali, seperti orang yang kehilangan banyak darah. "Raka, akhirnya kamu datang," ucap Bu Sinta dengan suara lemah sembari menghampiri anak yang saat ini berada di belakang Mila. Wanita hamil itu benar-benar kaget dengan kehadiran Raka. Dia tidak menyangka kalau Raka ada di belakangnya. Dia pikir Raka ada di dalam dan tidak mendengar pembicaraan mereka, tetapi siapa? Tahunya orang yang dicari itu tiba-tiba saja datang dan mendengarkan percakapan, lebih tepatnya kata-kata sang wanita yang keterlaluan jika didengar oleh orang lain. "Raka, lihat istrimu! Katanya akan membunuh Ibu jika berani macam-macam atau menghasutmu. Padahal kan Ibu tidak mengatakan apa-apa, Ibu juga tidak tahu kalau misalkan kamu pergi dari rumah. Apakah itu istri yang kamu pikir baik?" tanya Bu Sinta dengan pura-pura menangis. Mila hanya bisa
"Suami mana yang pergi dari rumah istrinya tanpa bilang apa-apa? Kecuali kalau dia kabur karena tidak kuat dengan sikap istrinya. Menurutmu perkataanku benar, kan?" ucap Bu Sinta, tiba-tiba saja membuat Mila terdiam.Wanita paruh baya itu sampai melipat tangan di depan dada. Mila terdiam saja. Dia merasa tersinggung dengan semua perkataan mertuanya. Entah kenapa setiap apa pun yang keluar dari mulut Bu Sinta itu selalu pedas dan menyakitkan.Sang wanita paruh baya sama sekali tidak pernah memikirkan perasaan orang lain, tetapi herannya kenapa Lusi dulu kuat sekali berhadapan dengan Bu Sinta? Mila tidak mau nasibnya sama seperti Lusi, disetir begitu saja oleh mertua. Dia harus berdiri di kaki sendiri tanpa diperintah oleh siapa pun, termasuk mertua.Mila menghela napas panjang, berusaha untuk tenang menghadapi Bu Sinta tanpa dengan emosi. Dia harus membuat Bu Sinta paham, kalau semua yang dilakukan ini demi kebaikan dirinya dan juga Raka, termasuk anak yang ada di dalam kandungan."B
Dengan perasaan tak karuan akhirnya Mila pun pergi ke rumah Bu Sinta. Dia berharap bisa menemukan suaminya. Saat ini tidak ada pilihan lain, kecuali mengalah. Karena ada anak yang harus diperjuangkan di sini. Kalau saja tidak ada anak, mungkin Mila sudah melakukan hal yang macam-macam kepada Raka dan juga Bu Sinta, untuk memberikan ancaman yang lebih sakit lagi kepada pria itu, agar mau tetap ada di sisinya. Namun, sekeras apa pun Mila berusaha untuk menahan suaminya, Raka pasti akan berontak dan sekarang buktinya dia terlalu mengekang dan juga menggenggam Raka begitu erat, sampai lupa kalau pria itu juga butuh kebebasan dan sedikit udara untuk dirinya sendiri. Namun, karena pengalaman sebelumnya yang sudah pernah selingkuh, Mila berpikir ratusan kali untuk percaya kepada pria itu. Tetapi tampaknya Raka merasa kalau dirinya dikekang dan malah memilih untuk pergi dari rumah. Wanita itu memijat pelipisnya sembari menyetir, ini benar-benar membuatnya stres. Belum lagi Maura yang memi
"Halo, Ibu?" tanya Raka saat dia sudah menelepon ibunya dan untunglah Bu Sinta langsung menerima panggilan dari anaknya itu. Tentu saja sang wanita paruh baya benar-benar kaget dan melihat kembali ada nama Raka di layar ponsel. Karena sebelumnya anak itu sampai memblokir nomornya agar tidak bisa dihubungi.Tampaknya apa yang dikatakan oleh Maura itu benar. Dia harus pura-pura menderita dan membuat Raka merasa iba, agar anaknya kembali ke tangan sang wanita paruh baya. "Ada apa, Raka? Ibu kaget, kamu tiba-tiba saja menelepon." "Tidak apa-apa. Aku hanya ingin bicara dengan Ibu. Ada hal penting, yang harus aku katakan kepada Ibu." "Benarkah? Kalau begitu datang saja ke sini. Sebaiknya kita berbicara baik-baik di rumah. Ibu akan masakan makanan kesukaan kamu. Bagaimana?" Tiba-tiba saja di seberang sana Raka tersenyum kecut. Entah kenapa dia merasa kenangan itu kembali ke masa-masa sebelum dia menikah. Sebelumnya Bu Sinta selalu perhatian, apalagi kalau sudah gajian. Tetapi tetap saja