Saat ini Lusi dan Pak Bara sedang dalam perjalanan pulang. Beberapa menit berlalu mereka semua tetap saling diam, wanita itu memilih melihat ke luar jendela. Kejadian tadi sebenarnya sangat mengkhawatirkan hati Lusi karena dia takut terjadi sesuatu yang buruk kepadanya. Tetapi karena ada Pak Bara dan rekaman itu, sekarang dia sudah tenang. Jika satu saat nanti Bu Sinta atau suaminya berbuat macam-macam, maka dia akan menjadikan rekaman tadi sebagai barang bukti. "Nak Lusi, apakah tetap akan mengambil hak asuh untuk Maura?" tanya Pak Bara memastikan, karena dia tidak mau sampai pertemuan ini tidak membawakan hasil apa pun. Lusi menoleh dan tersenyum. "Tentu saja, Pak. Ini harus berhasil. Saya sudah berusaha yang untuk meminta izin secara baik-baik kepada mereka, tapi mereka tidak punya itikad baik juga untuk merawat Maura dengan benar. Saya yakin, kalau misalkan Maura kembali ke sana, pasti dia akan dijadikan sapi perah lagi dan lebih parahnya lagi Maura akan dijual kepada rentenir
Sesampainya di rumah, Lusi melihat Maura sedang bermain dengan Alia. Wanita itu tidak mengatakan apa pun perihal kedatangannya ke rumah orang tua Maura, tidak mau sampai gadis itu berpikiran macam-macam atau malah menjadi beban untuk Maura. Jadi, Lusi memutuskan menyembunyikan kedatangan dia saat berkunjung ke rumah orang tua Maura. Biarlah Maura hidup dan beradaptasi di sini, sebelum dia memulai sekolah. Rencananya setelah Lusi mendapatkan hak asuh Maura, dia akan langsung mendaftarkan adiknya itu ke sekolah yang baik, tentu saja ternama dan terjamin kualitas pendidikannya. Lusi pun memilih untuk istirahat dulu, mengunci diri di kamar dan memikirkan apa saja yang harus dia lakukan selanjutnya. Sekarang pasti akan menghabiskan banyak waktu di tempat kerja, bersama Alia pun akan sedikit. Dia berpikiran untuk menyewa pengasuh bagi Alia. Tetapi dia takut jika salah memilih pengasuh. Sepertinya Lusi harus membicarakan semua ini dengan Pak Bara, karena saat ini tidak ada satu pun orang y
"Hah! Devan? Ibu yakin nama pria yang mencari saya itu Devan?" tanya Lusi sangat syok dan dia benar-benar tidak percaya mendengar kalau Bu Murni menyebutkan nama itu."Iya, Ibu yakin. Nama pria yang mencari Nak Lusi itu Devan." Wanita itu terdiam. Dia bingung harus bersikap apa mendengar kabar ini, tetapi satu yang pasti, Lusi penasaran kenapa Devan mencarinya. Padahal sudah tahu kalau dirinya berumah tangga, bahkan pria itu juga sempat bilang kalau dia berusaha untuk membuka lembaran baru setelah istri dan calon anaknya meninggal. Tetapi kenapa sekarang tiba-tiba saja mencarinya apalagi menurut bu Murni, dia pun datang saat video viral itu diposting oleh Lusi di media sosial. Mungkinkah ini pertanda kalau Devan itu begitu peduli kepada Lusi? Sang wanita langsung menggeleng-gelengkan kepala, dia berusaha untuk menghalau segala pemikiran, tidak mau mengambil kesimpulan sendiri. Saat ini dia tidak mau berurusan dengan orang-orang yang membuatnya pusing termasuk dengan pria bernama De
"Mas, aku mohon maaf. Ini adalah salah satu kesempatan langka aku bisa berbicara denganmu. Kamu tahu? Sulit bagiku untuk bisa menemuimu seperti ini," ujar Mila. Dia harus meyakinkan Raka agar mau bicara dengannya. Karena kalau tidak, semua perjuangannya akan sia-sia. "Aku tidak memintamu untuk menemuiku," timpal Raka membuat Mila terkesiap. Wajah wanita hamil itu langsung syok. Selama berhubungan dengan Raka di belakang Lusi, baru kali ini pria itu mengucapkan kata-kata yang membuat Mila tak berkutik. Bagaimana tidak? Selama ini Raka selalu memperhatikannya, mengucapkan kata-kata manis untuk Mila. Tetapi setelah semua kejadian yang menimpa dirinya dan Raka, pria itu berubah drastis. Bahkan berani berucap seperti itu kepada Mila. "Kenapa kamu bicara seperti itu, Mas? Biasanya kamu tidak begini."Raka menghela napas kasar. Dia mengguyar rambutnya, lalu melihat ke sekeliling, takut ada yang mengamati mereka. Untunglah beberapa napi langsung pergi ke lapangan, biasanya setelah makan
Mungkin sekitar 10 detik lamanya Mila terdiam. Dia tersadarkan saat Raka berdecak keras sembari melipat tangan di depan dada. "Tunggu, Mas! Apa yang kamu katakan barusan? Ini anakmu! Kenapa kamu berkata seperti itu? Ini juga bayimu."Mila berusaha meyakinkan pria di depannya, kalau anak yang ada dalam kandungannya ini adalah anak Raka. "Aku tidak yakin dengan itu." "Kenapa kamu seperti ini? Jangan bilang kamu terhasut oleh ibumu! Ibumu itu ingin menghancurkan hubungan kita, Mas," ujar Mila berusaha untuk meyakinkan Raka dan menyadarkan kalau semua yang dikatakan oleh Bu Sinta itu hanyalah hasutan. Mila tentu saja yakin kalau anak yang ada dalam kandungan Mila ini adalah anak Raka. Mendengar ibunya dikatain seperti itu, tentu saja Raka tidak terima."Jaga mulutmu itu, Mila! Jangan mengatai ibuku seperti itu!" seru Raka dengan wajah marah. Matanya juga bahkan sampai melotot, kaget bukan main. Dia langsung menggeleng-gelengkan kepala dan hampir saja menangis. Tetapi wanita itu tidak
"Kenapa kamu bisa yakin kalau itu adalah anakku?" Mila terperangah sembari terkekeh tajam. Dia menggeleng-gelengkan kepala, Raka sudah benar-benar keterlaluan. Baru juga dua minggu di penjara, tetapi ternyata pria ini sudah benar-benar berubah drastis, berbeda jauh dengan Raka yang dulu."Kenapa kamu bertanya seperti itu, sih, Mas? Tentu saja karena aku hanya berhubungan denganmu. Kamu pikir aku berhubungan dengan siapa dan wanita seperti apa?" tanya Mila merasa kesal. Raka melotot. Dia berdecak keras sembari menatap wanita itu dengan sinis. "Wanita seperti apa? Tentu saja wanita murahan yang rela menghancurkan kehidupan sahabatnya sendiri. Kamu pikir apa, Mila? Aku baru tersadarkan sekarang, kalau kamu itu sudah keterlaluan kepada Lusi. Bukan hanya memanfaatkannya saja, tetapi kamu sudah menghancurkan kehidupan rumah tangga kami dengan cara merebutku darinya, kan?" Mila tersentak mendengar kalimat itu. Dia benar-benar tidak bisa berkutik dan mengelak karena semua yang dikatakan ol
Di seberang sana, Bu Sinta terkesiap mendengar suara ponsel berdering berapa kali. Walaupun perabotan rumahnya sudah dijual, tetapi Bu Sinta masih punya HP. Meskipun model dulu, ini adalah satu-satunya ponsel dia untuk berhubungan dengan anaknya. Dia kaget karena ada nomor baru yang tertera di sana. Ini bukan nomor Hp, melainkan nomor telepon. Wanita itu mulai kebingungan, karena sudah beberapa kali ponselnya terus berdering. Untunglah saat ini suaminya sedang keluar, jadi dia bisa leluasa mengangkat telepon. Ada rasa takut jika orang yang menelponnya itu adalah rentenir. Tetapi kalau tidak diangkat juga dia penasaran, mengingat saat ini Maura dan Mila ada di luar sana. Bu Sinta jadi berpikir kemungkinan besar itu adalah Maura yang menelepon. Walaupun masih ragu, tetapi akhirnya Bu Sinta pun menerima telepon dari seberang sana. "Halo," ucap Bu Sinta dengan pelan-pelan. Ini diantisipasi kalau di seberang sana itu adalah rentenir. Jadi dia bisa langsung menutup panggilan.Namun kala
"Memang apa yang Ibu ingin katakan? Katakan saja. Waktuku tidak banyak," ujar Mila.Sekarang sipir yang melihatnya itu mulai kesal, tampak sekali raut wajahnya. Semu sebab dari tadi Mila belum selesai bertelepon. "Kami akan membebaskan kamu, tapi kamu harus melunasi hutang-hutang kami," pinta Bu Sinta membuat Mila terkesiap. Wanita hamil itu sampai tidak bisa bergerak dalam beberapa detik, lalu dia tersadarkan saat Ibu Sinta kembali memanggil nama Mila. Sang wanita tersenyum getir, ternyata di saat seperti ini pun ibunya masih meminta sesuatu yang mestinya tidak pernah dia lakukan. "Kenapa, Bu? Apakah Ayah berhutang lagi? Ibu dan Ayah terlilit hutang, lalu tidak tahu harus membayarnya pakai apa. Apakah Ibu juga akan menjualku lagi?" tanya Mila, membuat Bu Sinta terdiam. Wanita hamil itu jadi teringat beberapa tahun silam, saat dia baru mau duduk di bangku SMA. Karena itu juga alasan Mila akhirnya memilih untuk pergi ke Jakarta dan merantau, bersekolah dengan tabungan yang ada semb