Mungkin sekitar 10 detik lamanya Mila terdiam. Dia tersadarkan saat Raka berdecak keras sembari melipat tangan di depan dada. "Tunggu, Mas! Apa yang kamu katakan barusan? Ini anakmu! Kenapa kamu berkata seperti itu? Ini juga bayimu."Mila berusaha meyakinkan pria di depannya, kalau anak yang ada dalam kandungannya ini adalah anak Raka. "Aku tidak yakin dengan itu." "Kenapa kamu seperti ini? Jangan bilang kamu terhasut oleh ibumu! Ibumu itu ingin menghancurkan hubungan kita, Mas," ujar Mila berusaha untuk meyakinkan Raka dan menyadarkan kalau semua yang dikatakan oleh Bu Sinta itu hanyalah hasutan. Mila tentu saja yakin kalau anak yang ada dalam kandungan Mila ini adalah anak Raka. Mendengar ibunya dikatain seperti itu, tentu saja Raka tidak terima."Jaga mulutmu itu, Mila! Jangan mengatai ibuku seperti itu!" seru Raka dengan wajah marah. Matanya juga bahkan sampai melotot, kaget bukan main. Dia langsung menggeleng-gelengkan kepala dan hampir saja menangis. Tetapi wanita itu tidak
"Kenapa kamu bisa yakin kalau itu adalah anakku?" Mila terperangah sembari terkekeh tajam. Dia menggeleng-gelengkan kepala, Raka sudah benar-benar keterlaluan. Baru juga dua minggu di penjara, tetapi ternyata pria ini sudah benar-benar berubah drastis, berbeda jauh dengan Raka yang dulu."Kenapa kamu bertanya seperti itu, sih, Mas? Tentu saja karena aku hanya berhubungan denganmu. Kamu pikir aku berhubungan dengan siapa dan wanita seperti apa?" tanya Mila merasa kesal. Raka melotot. Dia berdecak keras sembari menatap wanita itu dengan sinis. "Wanita seperti apa? Tentu saja wanita murahan yang rela menghancurkan kehidupan sahabatnya sendiri. Kamu pikir apa, Mila? Aku baru tersadarkan sekarang, kalau kamu itu sudah keterlaluan kepada Lusi. Bukan hanya memanfaatkannya saja, tetapi kamu sudah menghancurkan kehidupan rumah tangga kami dengan cara merebutku darinya, kan?" Mila tersentak mendengar kalimat itu. Dia benar-benar tidak bisa berkutik dan mengelak karena semua yang dikatakan ol
Di seberang sana, Bu Sinta terkesiap mendengar suara ponsel berdering berapa kali. Walaupun perabotan rumahnya sudah dijual, tetapi Bu Sinta masih punya HP. Meskipun model dulu, ini adalah satu-satunya ponsel dia untuk berhubungan dengan anaknya. Dia kaget karena ada nomor baru yang tertera di sana. Ini bukan nomor Hp, melainkan nomor telepon. Wanita itu mulai kebingungan, karena sudah beberapa kali ponselnya terus berdering. Untunglah saat ini suaminya sedang keluar, jadi dia bisa leluasa mengangkat telepon. Ada rasa takut jika orang yang menelponnya itu adalah rentenir. Tetapi kalau tidak diangkat juga dia penasaran, mengingat saat ini Maura dan Mila ada di luar sana. Bu Sinta jadi berpikir kemungkinan besar itu adalah Maura yang menelepon. Walaupun masih ragu, tetapi akhirnya Bu Sinta pun menerima telepon dari seberang sana. "Halo," ucap Bu Sinta dengan pelan-pelan. Ini diantisipasi kalau di seberang sana itu adalah rentenir. Jadi dia bisa langsung menutup panggilan.Namun kala
"Memang apa yang Ibu ingin katakan? Katakan saja. Waktuku tidak banyak," ujar Mila.Sekarang sipir yang melihatnya itu mulai kesal, tampak sekali raut wajahnya. Semu sebab dari tadi Mila belum selesai bertelepon. "Kami akan membebaskan kamu, tapi kamu harus melunasi hutang-hutang kami," pinta Bu Sinta membuat Mila terkesiap. Wanita hamil itu sampai tidak bisa bergerak dalam beberapa detik, lalu dia tersadarkan saat Ibu Sinta kembali memanggil nama Mila. Sang wanita tersenyum getir, ternyata di saat seperti ini pun ibunya masih meminta sesuatu yang mestinya tidak pernah dia lakukan. "Kenapa, Bu? Apakah Ayah berhutang lagi? Ibu dan Ayah terlilit hutang, lalu tidak tahu harus membayarnya pakai apa. Apakah Ibu juga akan menjualku lagi?" tanya Mila, membuat Bu Sinta terdiam. Wanita hamil itu jadi teringat beberapa tahun silam, saat dia baru mau duduk di bangku SMA. Karena itu juga alasan Mila akhirnya memilih untuk pergi ke Jakarta dan merantau, bersekolah dengan tabungan yang ada semb
Suara ketukan pintu membuat Maura terkesiap. Kala itu sang gadis sedang bermain dengan Alia di ruang tamu. Kedua gadis berbeda usia saling pandang, mereka seolah bertanya dalam diam. Ketukan kedua membuat Maura semakin kaget."Kak, sepertinya ada tamu," ucap Alia yang diangguki oleh Maura.Sebenarnya dia tidak berani membuka pintu, takutnya itu adalah mantan mertuanya Lusi. Karena sebelumnya wanita itu sudah memperingatkan Maura agar tidak membukakan pintu untuk Bu Sinta apalagi Raka. Tetapi rasanya mustahil sebab Raka dipenjara. "Ya sudah, begini saja. Alia tunggu di sini. Biar Kakak yang buka, ya?" ucap Maura dengan wajah tegang. Dia benar-benar khawatir jika orang yang di depan itu adalah Bu Sinta. Dengan jantung yang berdetak kencang, gadis itu pun akhirnya membuka pintu. Maura terkesiap melihat sosok di depannya begitu tampan dan menawan, usianya juga pasti matang. Sesaat Maura terpukau dengan pesona Devan. Ya, yang ada di depan itu adalah Devan. Sang pria pun merasa aneh dan
"Devan?" gumam Lusi secara tidak sengaja mengucapkan nama itu, sampai dia yang mendengar namanya disebut langsung tersentak. Devan seolah tersadarkan dari lamunannya sendiri. Dia berusaha untuk tersenyum sebaik mungkin, walaupun hatinya merasa sakit melihat keadaan Lusi saat ini. Sementara itu Maura yang melihat interaksi antara keduanya pun masih tetap diam di tempat, seperti ada sesuatu yang menahannya untuk tetap di sana.Harusnya gadis itu pergi dan menyiapkan minuman atau camilan untuk tamu, tetapi perasaan sebelumnya yang sangat kagum kepada sosok Devan membuat Maura terdorong untuk tetap di sana, menonton apa yang akan terjadi selanjutnya antara Lusi dan Devan. "Ya, ini aku Devan. Kamu masih ingat, kan?" tanya Devan berusaha untuk menghibur Lusi dengan candaan seperti itu. Lusi terdiam sejenak. Lalu tak lama kemudian terkekeh sembari menggelengkan kepala. "Tentu saja aku ingat. Ya sudah, duduklah," ucap Lusi mempersilakan Devan untuk kembali duduk, karena sebelumnya dia itu
Devan berusaha untuk tersenyum sebaik mungkin. Sepertinya dia harus mencari cara lain agar Lusi tidak terus-terusan memberikan kata-kata pedas atau dia akan benar-benar mati kutu dan tidak bisa melakukan apa pun lagi di depan wanita itu. Devan menghela napas panjang, berusaha untuk menenangkan diri. Pikirannya harus tenang, karena kalau tidak, dia akan benar-benar merasa terpojokkan. "Iya, Lus. Maaf kalau kedatanganku itu membuatmu tidak nyaman. Aku memang tidak punya sangkut paut denganmu, aku juga tidak punya hak mencampuri urusanmu. Tetapi aku tidak bisa diam saja melihat orang yang sangat kukenal baik berubah seperti ini." Mendengar itu tubuh Lusi yang sebelumnya santai, langsung menegang. Dia tidak menyangka kalau Devan bisa membalikkan ucapannya seperti itu. Tetapi Lusi tidak mau lemah. Sudah cukup dia berbaik hati kepada lawan jenis dan pada akhirnya wanita itu tetap dikhianati juga disakiti. Jadi, Lusi akan tetap membuat benteng pertahanan yang sangat kuat agar tidak ada la
Lusi tersenyum miring. Dia lalu melipat tangan di depan dada dengan perasaan kesal. Lusi tahu, kalau Devan itu sebenarnya punya niat baik untuknya. Tetapi sayangnya Lusi tidak suka cara penyampaian Devan seperti itu, seolah-olah menceramahi dan memojokkan Lusi. Kalau memang mau menyadarkan Lusi, bukan begini caranya. Cari cara yang sekiranya tidak membuat Lusi tersinggung. Wanita itu benar-benar kesal."Terima kasih atas semua niat baikmu untuk menyadarkanku, Devan. Tapi sekali lagi aku bilang, kamu tidak tahu posisiku saat ini. Kamu tidak merasakan bagaimana dikhianati oleh dua orang yang kupercaya sekaligus. Ditambah lagi mertuaku sendiri juga menginginkan Alia dengan paksa. Kamu tidak tahu, kan, kalau ibunya Mas Raka itu pernah ingin menculik Alia?" tanya Lusi dengan sarkas, juga nada kesal. Devan langsung terkesiap, tentu saja pria itu tidak tahu masalah yang disebutkan Lusi, sampai akhirnya Lusi kembali tersenyum miring. "Kalau begitu diam dan jangan ikut campur urusanku. Kit