Cukup lama Bu Sinta terdiam, membuat Maura jadi kesal sendiri. Tampaknya wanita paruh baya ini tidak benar-benar membutuhkan bantuannya, sampai perhitungan seperti itu.Memang harga rumah itu mahal, tetapi Maura juga tidak mau rugi sendiri. Dia harus benar-benar memanfaatkan situasi agar dirinya tidak terjebak masalah atau tak mendapatkan apa pun dari kerja kerasnya. "Kalau misalkan Ibu masih ragu, ya udah sebaiknya kita pulang saja. Makanan ini cukup untuk membayar ide yang kuberikan. Tetapi kalau misalkan mau eksekusinya juga, permintaanku tetap sama. Yaitu sebuah rumah. Kalau misalkan Ibu masih ragu, ya sudah tinggal pulang saja. Aku juga tidak memaksa kok. Lagian risikonya sangat besar untukku," ungkap Maura.Bu Sinta hanya bisa menghela napas panjang. "Ibu akan pikirkan nanti. Kalau misalkan sudah ada keputusan akan Ibu telepon," ucap Bu Sinta akhirnya. Dia tidak mau gegabah mengambil keputusan, mengingat uang yang harus dikeluarkan juga tidak sedikit. Maura hanya mengedikkan
Adiba terkekeh pelan. Dia benar-benar malu mendengar perkataan Lusi. Walaupun sebenarnya memang itu harus dilakukan sedari dulu, tetapi karena dia memilih untuk memendam dan menjauh, malah menjadi luka batin yang tak terobati sampai saat ini. "Nanti sajalah, yang penting Alia dulu." "Tapi, Adiba. Kalau kamu seperti ini terus, kamu akan menyakiti diri sendiri. Apakah kamu tidak kasihan pada dirimu sendiri? Mungkin kalau kamu bisa ke psikiater, kamu bisa mencurahkan segalanya dan mendapatkan solusi yang terbaik menurut psikolog. Bagaimana?"Adiba pun masih terdiam. Dia menggelengkan kepala, menolak apa yang disarankan oleh Lusi. Wanita itu pun hanya bisa menghela napas panjang, tak bisa memaksa apa pun jika Adiba tidak mau. Yang diharapkan, semoga temannya itu bisa menyembuhkan luka seiring berjalannya waktu, jika memang tidak mau melibatkan ahlinya. Sementara itu, saat ini David sudah kelabakan mencari Lusi. Anak buahnya juga beberapa kali dihubungi, sampai akhirnya beberapa jam kem
"Kamu yakin, Mas? Tapi kan tukang rujak memang tidak ada di sekitar sini." "Makanya, dari itu aku tidak mau sampai kamu kelelahan di mobil. Lumayan juga kan capek kalau duduk saja. Kalau di sini kan kamu bisa jalan-jalan, duduk lagi. Nanti aku fotoin deh kalau misalkan udah dapat rujaknya. Gimana? Kalau kamu mau sekalian aku beli dua," ujar Raka benar-benar memperlihatkan kalau dia itu memang ingin rujak. Sebenarnya, Raka tidak suka dengan rujak. Bahkan waktu Lusi hamil pun, pria itu tidak mau memakannya saat Lusi ngidam. Namun, hanya ini cara satu-satunya agar bisa dibiarkan pergi oleh Mila. Kalau misalkan alasan lainnya pasti Mila tidak akan mengizinkan. Apalagi wanita itu terus mengikutinya kemanapun, seperti tidak boleh lepas dari Raka. Mila tampak berpikir sejenak. Melihat raut wajah Raka yang penuh harap. Sebenarnya dia agak ragu jika Raka benar-benar mengidam, tapi kalau misalkan benar bisa gawat juga untuk anaknya kalau tidak diturutkan.Sang wanita menghela napas panjang,
Raka semakin menggila. Dia bertanya kepada orang-orang yang tiba-tiba saja berkumpul mengelilingi pria itu. Dia seperti seseorang yang kemalingan sesuatu, sampai rasanya begitu menyakitkan. Tak tahu kalau ternyata anak yang begitu dicintainya menghilang tanpa jejak. Di saat keadaan kacau seperti ini, mata Raka menangkap sosok Bu Murni. Ya, tentu saja hanya wanita paruh baya itu yang sangat dekat kepada mantan istrinya. Tanpa diduga Raka langsung menghampiri Bu Murni. Membuat semua orang langsung mengalihkan pandangan mereka kepada dua orang itu. "Bu, Ibu tahu tidak ke mana Lusi dan Alia? Kenapa rumah ini tiba-tiba saja jadi kontrakan dan dikunci? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Raka tampak frustrasi.Melihat itu, Bu Murni begitu kasihan. Tampak sekali kalau Raka putus asa dan sangat sedih. Tetapi, dia sudah janji kepada Lusi tidak akan memberitahukan ke mana wanita itu pergi. Karena kalau tidak, maka bahaya mungkin saja menyertai Lusi dan Alia. Apalagi Bu Murni tahu kejadian sa
Tanpa terasa Raka menitikan air mata. Dia merasa menjadi seorang pria yang tidak berguna. Selain sudah menyakiti hati wanita yang selama ini begitu tulus mencintainya, dia juga membuat anak semata wayangnya merasa sedih. Bahkan dengan sukarela ikut pergi dari tempat ini. Melihat itu, lagi-lagi Bu Murni merasa kasihan. Dia harus menguatkan hati demi kebaikan bersama. "Ya, sudah, Bu. Kalau begitu terima kasih. Kalau misalkan ada apa-apa, Ibu bisa hubungi saya. Nomor saya masih sama seperti yang dulu," ucap Raka yang hanya diangguki oleh Bu Murni.Setelahnya pria itu pun pergi meninggalkan rumah Lusi, yang tersisa hanyalah bisik-bisik tetangga. Mengatakan kalau semua ini adalah karma bagi Raka.Selama perjalanan, Raka menangis. Dia tak kuasa menahan rasa sakit dan juga sesal di dadanya. Pria itu sampai meminggirkan mobilnya untuk berhenti sejenak. Dia menangis sesenggukan, memohon maaf berkali-kali kepada Lusi dan Alia. Terutama anaknya itu, takut jika Alia membencinya hingga akhir ha
Tak lama kemudian Raka pun sampai di percetakan milik Lusi. Dia langsung turun dari mobil. Beberapa karyawan yang sedang sibuk melayani pesanan pun keheranan karena ada mobil bagus di depan toko ini. Mereka mengira itu adalah pelanggan, tetapi betapa terkejutnya saat keluarnya Raka. Beberapa karyawan berbisik, tak menyangka kalau Raka punya mobil. Karena tahu mereka Raka itu sudah jatuh miskin. Bahkan meninggalkan hutang yang banyak kepada Lusi. Tapi kenapa pria itu datang ke sini? Begitu pikir mereka.Raka pun berjalan begitu saja dan menemui mantan anak buahnya yang dipercaya. "Ke mana Lusi?" tanya Raka tiba-tiba saja membuat, pria yang ditanyainya kaget. “Bapak nyari Bu Lusi?” tanya pria itu, yang langsung diangguki oleh Raka. Sang pria benar-benar berharap kalau ada kabar baik dari Lusi. Mungkin saja wanita itu memang mengontrakkan dan ingin tinggal di tempat lain agar bisa menghindarinya. Tetapi jika salah tempat usahanya ini tidak bisa ke mana-mana. Jadi, tentu saja Lusi aka
Sudah 15 menit Mila mengelilingi sekitaran tempat itu. Bahkan ke perbatasan kota. Dia mendatangi setiap tukang rujak yang ada di sana, tapi sayangnya tidak menemukan hasil apa pun. Bahkan mereka semua mengatakan tak pernah menerima pelanggan atau pembeli dari Raka. Kebetulan wanita hamil itu memperlihatkan foto Raka, jadi tidak sulit untuk dikenali oleh orang-orang yang ditanyai. Mila pun masuk ke taksi. Dia menghela napas kasar, sembari memejamkan mata. Berusaha untuk menetralkan emosinya. Bagaimanapun saat ini dia sedang tidak di dalam mobil sendiri. Dia juga harus membayar tarif argo yang cukup banyak karena dari tadi berkeliling terus."Jadi, Nyonya. Kita mau ke mana?" tanya Sopir itu, membuat Mila terdiam. Wanita itu juga tidak tahu harus mencari Raka ke mana, sampai dia pun teringat dengan Lusi. "Tentu saja. Ke mana lagi kamu akan pergi? Selain menuju ke mantan istri sialanmu itu, Mas!" gumam Mila dengan penuh amarah. "Pak, kita pergi lagi," ucap wanita itu menunjukkan ala
"Kenapa kamu diam saja, Mas? Ayo katakan! Dari mana saja kamu sebenarnya, tapi tidak bisa dihubungi, hah?!" tanya Mila dengan nada tinggi. Dia emosi karena Raka tidak memberikan jawaban apa pun dan malah diam saja. Sebenarnya pria itu juga masih bingung harus memberikan jawaban seperti apa, karena saat ini hatinya benar-benar kalut harus mencari Alia dan Lusi ke mana. Sementara Mila menuntutnya untuk terus saja bersama sang wanita di mana pun berada.Padahal Mila harusnya membebaskan Raka untuk pergi ke mana saja, yang penting tidak bermain wanita. Tetapi tampaknya itu sulit bagi Mila, sebab Raka pernah berkhianat. Jadi, wanita itu takut kalau Raka juga melakukan hal yang sama kepadanya. "Tadi memang aku mau beli rujak, tapi tiba-tiba saja perutku rasanya mual. Aku sampai berhenti di sebuah masjid dan muntah-muntah," ujar Raka tiba-tiba saja berkata seperti itu. Dia juga tak tahu, hanya kalimat itu yang terlintas di benaknya. Membuat Mila terkesiap."Kamu barusan muntah, Mas?" tan
Bu Sinta tetap diam di teras dan duduk dengan wajah sendu. Dia melihat ke sekeliling, mengecek mungkin ada Maura. Tetapi entah itu ada Maura atau tidak, yang penting saat ini rencananya sudah berhasil. Berharap kalau kali ini Raka mau mendengarkan ibunya. Saat ini pria itu sedang mengambil minum ke dalam. Setelah datang dia meminta ibunya untuk hati-hati meneguk air yang bersedia. Setelah itu Raka duduk di depan ibunya. Dia menatap Bu Sinta sedemikian rupa, takut jika ibunya itu terluka. "Ibu, nggak apa-apa, kan? Apa ada yang terluka?" tanya Raka, yang langsung digelengi kepala oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu mengusap pipi anaknya dengan sangat pelan dan juga penuh perasaan. "Akhirnya kamu pulang juga, Nak. Entah sudah berapa lama. Ibu merasa kangen sama kamu, sulit sekali untuk bertemu dengan kamu. Tapi kamu datang ke sini untuk bertemu Ibu? Benar-benar ibu merasa senang," ungka Bu Sinta, kali ini ucapannya dicampur dengan kebohongan. Karena itu terlalu berlebihan jika diung
Raka tampaknya masih ragu untuk menghampiri Bu Sinta, karena dia tahu kalau ibunya itu sangat licik. Bisa saja Bu Sinta itu sedang pura-pura. Tetapi dia berpikir ulang, mana mungkin ibunya bisa berpura-pura sementara wanita paruh baya itu belum tahu kalau dirinya akan datang ke sini.Raka masih menganalisis Bu Sinta dari jauh. Wanita itu masih terus menangis dan berpura-pura sedih, mengatakan hal yang macam-macam. Membuat Raka semakin tak enak hati.Di sisi lain, Maura mulai merekam kejadian itu. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Raka. Kalau misalkan memang pria itu mudah sekali terhasut, maka dipastikan saat ini Raka akan menghampiri ibunya. Wanita itu kesal sekali karena dari tadi Raka hanya mematung dan meneliti apa yang dilakukan Bu Sinta di sana. Begitu juga dengan sang wanita paruh baya, dalam hati menggerutu. Kenapa Raka hanya diam di situ saja? Tidak menghampirinya. Tampaknya dia harus benar-benar membuat kejadian yang ekstrem, agar anaknya itu mau menghampirinya. "Aku
Di mobil, Maura langsung menelepon Bu Sinta. Untunglah wanita paruh baya itu memang sudah dari tadi menunggu. "Halo, Bu," ucap Maura saat menelepon. "Gimana? Kenapa kamu dari tadi susah banget dihubungi atau kamu nggak hubungi Ibu?" tanya Bu Sinta kesal sendiri."Sabar dulu, Bu. Jangan marah-marah dulu. Sekarang Ibu sebaiknya ikutin perkataanku. Ibu ke depan gerbang dan terlihat pura-pura menangis." "Apa maksudnya?" "Pokoknya, Ibu buat hal yang sedih aja. Soalnya Mas Raka menuju ke sana.""Terus, apa yang terjadi barusan?" "Nanti aku akan ceritakan, tapi sekarang Ibu jangan banyak tanya. Pokoknya Ibu pura-pura makan sama nasi aja atau digaramin atau apa kek, yang penting Ibu itu terlihat sedih dan menderita. Tapi Ibu harus ada di depan. Dengan begitu Mas Raka pasti tidak akan tega dan langsung menghampiri Ibu." "Begitu, ya?" "Iya, pokoknya Ibu ikuti semua perkataanku," ucap wanita itu yang langsung disetujui oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu sebenarnya tidak mengerti dengan
Raka masih diam, tidak tahu harus mengatakan apa, karena semuanya serba mendadak. Padahal sebelumnya pria itu berpikir kalau Winda akan dengan senang hati memberinya bantuan tanpa harus meminta apa pun darinya. Tetapi, semua itu ternyata salah. Winda tetap saja meminta hal yang rasanya mustahil dilakukan oleh Raka. Masalahnya Raka memang tidak punya perasaan kepada wanita ini, ditambah lagi kalau misalkan Mila tahu apa yang sudah dilakukan Raka maka rencana semula akan benar-benar hancur. Hanya saja, pria itu juga ingin bertemu dengan Alia. Bagaimana kalau misalkan Alia ternyata dibawa ke luar negeri oleh Lusi? Entah berapa lama dia akan memendam rasa rindu kepada anaknya itu. Semua ini seperti sebuah simalakama untuknya. Melihat diamnya Raka, Winda tersenyum sinis. Dia menghela napas panjang, tahu kalau semua ini sulit untuk Raka dan mungkin pada akhirnya pria ini akan menolak tawaran itu. Jadi, tidak ada alasan Winda untuk menerima semua permintaan Raka. "Baiklah, Mas. Kalau mema
Maura menutup mulut, tak menyangka. Dia ingin menjerit dan memprotes apa yang dikatakan oleh Winda. Jika memang Winda tidak mengejar Raka, maka dia tidak akan mendapatkan rumah kecuali kalau misalkan dia memberikan ancaman. Tetapi tetap saja wanita itu tidak bisa memanfaatkan Winda kalau wanita itu tidak mengejar Raka lagi. Ini akan berat untuknya, tapi Maura juga tidak bisa melakukan apa-apa selain diam dan mendengarkan pembicaraan mereka sampai selesai. Tidak lupa wanita itu menyetel rekaman keduanya. Dia melakukan ini demi sebuah keamanan dan juga materi. Karena bagaimanapun hidup di sini butuh uang, jadi Maura tidak mau menjual rasa kasihannya demi orang lain. "Kenapa, Mas? Kamu diam saja. Kamu tidak beranikan menentukan jaminan apa-apa?" Winda menghela napas panjang. "Mas, aku memang prihatin dengan apa yang terjadi kepadamu. Tapi seperti yang kamu bilang, semua ini berawal dari kamu sendiri, kan? Kalau memang kamu mau aku membantu bertemu dengan Alia, maka kamu harus menikah
Raka terperangah. Dia berusaha untuk meyakinkan diri kalau yang didengarnya itu hanyalah salah."Kamu bercanda, kan, Win?"Winda tampak serius. Kali ini bahkan tidak ada senyum sama sekali."Tidak, Mas. Aku serius." "Kenapa? Bukankah kamu selama ini mau mendekatiku. Kamu juga selalu membantu ibuku?" tanya Raka. Dia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi sekarang. Padahal pria itu sudah sampai sembunyi-sembunyi untuk pergi dari Mila. Pagi-pagi sekali bertemu dengan Winda, berharap kalau wanita ini bisa membantunya.Sementara itu Maura hanya terdiam dan berusaha untuk mendengarkan apa yang terjadi, karena bagaimanapun ini informasi penting. Dia akan meminta harga yang mahal kepada kakaknya atas semua ini. "Iya, Mas. Aku memang selalu membantumu. Aku juga membantu Ibu jika itu adalah kebaikan, tetapi untuk masalah Lusi, tidak." "Kenapa? Apakah kamu takut aku kembali kepada Lusi atau memang kamu berharap aku memberikan hadiah?" Lagi, kalimat tadi itu langsung m
"Bantuan? Bantuan apa, Mas?" tanya Winda.Dia mengajukan pertanyaan itu karena Winda juga tidak tahu harus melakukan apa. Sebab dirinya merasa ragu, apakah bisa membantu pria ini atau tidak. Raka terlihat senyum merekah. Entah kenapa itu malah membuat Winda khawatir kalau Raka akan meminta hal yang aneh kepadanya. "Benar kamu bisa membantuku, kan?" tanya Raka memastikan dulu. Sekarang Winda tersenyum kaku. Dia juga bingung apakah harus mengiyakan atau menggelengkan kepala, karena wanita ragu apa yang diinginkan oleh pria ini."Tolong bantu aku mencari Lusi dan Alia." "Apa?!" Seketika wajah yang sebelumnya terlihat khawatir dan bingung berubah menjadi kaget ada rasa kecewa yang menusuk dalam dada. Maura yang mendengarnya pun menutup mulut, hampir saja bersuara. Ternyata Raka masih memikirkan perihal Lusi, sampai meminta semua ini kepada Winda yang bukan siapa-siapa. Winda hanya bisa terdiam saja. Dia tidak tahu harus memberikan reaksi apa, karena ini sudah memastikan kalau Raka
"Kamu serius, Mas? Kamu tidak salah lihat atau mungkin tetanggamu itu pura-pura tidak tahu?" tanya Winda tiba-tiba saja membuat Raka terdiam. Raka baru terpikir, bisa saja Bu Murni itu memang sebenarnya tahu ke mana Lusi berada, tetapi tampaknya disembunyikan. Namun demikian, Raka tidak mungkin memaksa wanita paruh baya itu untuk berbicara jujur. Yang ada dia bisa dipidanakan, karena sudah melakukan pemaksaan kepada orang tua. "Aku juga tidak tahu, mungkin sesuatu itu terjadi. Tapi yang pasti, saat ini aku tidak punya informasi apa pun. Nomorku diblokir orang, pasti aku tidak bisa melacak keberadaan anakku," ungkap Raka, semakin frustrasi. Membuat Maura akhirnya paham apa yang sebenarnya terjadi kepada Raka, sampai pria itu akhir-akhir ini memilih untuk diam saja."Ya, Mas. Aku paham posisi kamu. Kamu pasti merasa hampa dan takut kehilangan Alia, kan?" "Tentu saja, Winda. Aku benar-benar tidak bisa kehilangan anakku. Dari kecil aku mengasuhnya. Aku memberikan kasih sayang berlimpa
Raka dan Winda memesan tempat di pojokan. Dia tidak mau sampai ada orang yang melihat keberadaan mereka, terlebih mungkin mata-mata yang akan mengambil foto Raka dan juga Winda. Raka sudah memperkirakan ini, tapi dia tidak sadar kalau dirinya sudah dari tadi diikuti oleh Maura. Maura tidak mau kalah. Dia akhirnya membayar argo taksi dan memilih untuk mengikuti keduanya. Dia kembali memakai hoodie dan kacamata, lalu duduk tak jauh dari tempat itu. Tentu saja posisinya membelakangi keduanya, takut diketahui identitasnya oleh Raka ataupun Winda. Raka memesan makanan yang cukup mewah di sana, membuat Winda keheranan. Karena dia tahu kalau Raka itu pasti mendapatkan uang dari Mila. Tetapi wanita itu tidak mau melukai harga diri sang pria dan memilih untuk diam saja. Dia akan tunggu apa saja yang diinginkan oleh Raka. Bahkan di mobil saja pria itu sudah meminta sesuatu kepada Winda. Mungkin saja pembicaraan ini pun penting. Meskipun dia tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh sang pria,