Dengan perasaan campur aduk akhirnya Maura pun kembali. Dia sudah mendatangi dukun ternama di kota ini dan sekali lagi tabungannya benar-benar habis. Bahkan untuk makan besok pun dia berpikir ulang. Wanita itu kembali ke restoran, mungkin ada beberapa bahan makanan yang bisa digunakan. Setidaknya ini bisa membuatnya bertahan hidup sampai dia benar-benar mendapatkan uang lagi, entah bagaimana caranya. Hanya ini satu-satunya cara dia bisa mengisi perut tanpa harus meminta-minta, apalagi sampai bertemu dengan Lusi atau Mila. Ini benar-benar akan menyiksa dan mempermalukan sang wanita. Untunglah di restoran ini masih banyak bahan-bahan yang tersedia di kulkas selama restoran masih tutup, itu artinya bahan-bahan ini akan mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Meskipun mungkin dia tidak bisa makan di luar atau hanya sekedar untuk menaiki angkutan umum.Gadis itu terkesiap. Tunggu! Bagaimana caranya dia menemui Devan kalau tidak ada uang sama sekali? Tidak mungkin juga Maura naik angkutan umu
Saat perjalanan menuju rumah Devan, wanita itu langsung memutar arah. Dia ingat tidak tahu kunci rumahnya di mana. Jadi, memilih untuk pergi ke restoran dan ke ruangan sang pria. Sebab terakhir sebelum Devan ditangkap katanya pria itu ada di restoran, jadi dia harus benar-benar mencari kunci rumah itu di ruangan sang pria. Untunglah tidak ada orang di restoran, jadi dia bisa dengan leluasa mencari kuncinya. Hampir setengah jam wanita itu mencari-carinya, hingga akhirnya menemukannya di bawah laci meja kerja Devan. Wanita itu mengembuskan napas lega. Tanpa menunggu lama sang wanita pun pergi dan menuju rumah Devan. Dia harus segera datang sebelum orang suruhan Devan mendahuluinya. Selama perjalanan, Maura benar-benar ketakutan dan juga khawatir jika semua yang sudah dia lakukan untuk Devan berakhir sia-sia.Tentang kebohongan dan apa pun yang berkaitan Devan selalu diusahakan oleh Maura, meskipun itu jalan yang tidak baik. Sekarang, setelah semua berjalan Maura tidak mau mundur hanya
Maura melihat ke sekitar dan sampai akhirnya dia menemukan saklar. Dengan cepat wanita itu menekan saklar hingga ruangan yang gelap tiba-tiba saja bercahaya. Baik satpam maupun Maura terkejut saat melihat bahwa ruangan ini benar-benar menakjubkan. Ada banyak barang mewah di sini, beberapa foto yang tidak dikenali oleh Maura. Dia menatap dan meneliti, itu adalah foto pengantin Devan dan seorang wanita.Tampaknya inilah almarhumah istri dari Devan yang terdahulu. Lalu dia mencari-cari lagi, ada foto Lusi di sana memakai seragam SMA. Maura terdiam. Lusi memang cantik dari dulu, apalagi senyumannya itu manis. Di sebelahnya ada Devan saat masih muda, tampaknya mereka memang sudah saling mengenal dari lalu.Terlihat lagi ada foto Lusi yang sekarang. Entah kenapa hati Maura merasa mencelos, memang Lusi sangat istimewa. Bahkan dia disandingkan dengan almarhumah istrinya terdahulu. Maura langsung menggelengkan kepala dan berusaha untuk tidak terpancing emosi. Dia harus mencari bukti CCTV.
Devan terdiam melihat kedatangan Maura. Wanita itu masih saja tersenyum sebaik mungkin di depannya. Ada tempat makan yang dibawa, membuat Devan menghela napas panjang. Sepertinya wanita ini benar-benar begitu mencintainya, sampai dia terus-terusan mengejar meskipun Devan sudah beberapa kali menolak, bahkan merendahkan sang wanita. "Kenapa kamu datang lagi?" tanya Devan, suaranya dingin dengan mata memicing. Maura tertegun mendengar itu semua, tentu saja harusnya Devan paham kenapa dia terus datang. Maura ingin mendapatkan pengakuan dari sang pria, tetapi tampaknya Devan tidak mau atau sekedar ingin tahu tentang kabar dirinya pun tidak. Tetapi wanita itu masih tetap sabar. Seharusnya Devan melihat ketulusan hatinya. Mungkin saja pria itu mau luluh jika melihat bagaimana perjuangan Maura saat ini. "Aku ingin mengunjungimu, Mas. Sekalian ingin memberikan makanan hasil olahanku. Mungkin suatu hari nanti kamu akan memakai resepku ini," ujar Maura.Dia sama sekali tidak mau mengatakan h
Devan begitulah lahap memakan masakan yang dibuat oleh Maura. Sekali lagi ini bukan karena makanan wanita itu sangat enak, tetapi dia benar-benar rindu dengan masakan rumahan. Hingga saat dia hampir saja menyelesaikan makanannya, pria itu terdiam. Tanpa aba-aba melihat ke arah Maura yang saat ini tengah menatapnya dengan tersenyum penuh keramahan. Entah kenapa saat ini pria itu merasa kalau Maura begitu cantik, berbeda dari biasanya. Bahkan rasanya sangat menarik. Ini benar-benar aneh. Dengan cepat pria itu menggelengkan kepala dan berusaha untuk menyelesaikan makanannya. Sang wanita melihat perubahan reaksi dari Devan. Entah kenapa hatinya mengatakan kalau itulah mungkin efek dari ajian yang diberikan oleh dukun itu. Hingga akhirnya makanan habis pun Devan masih terlihat cuek."Bagaimana makanannya, Mas?" "Lumayan," jawab Devan, ketus. Tetapi lagi-lagi mata pria itu ingin sekali melihat Maura. Bahkan saat ini dia benar-benar tidak berkedip melihat wajah Maura yang anehnya begitu
"Memang kamu tahu di mana tempat itu?" tanya Arya tiba-tiba saja membuat Maura menaikkan sebuah alisnya. Tampaknya pria ini benar-benar sudah buntu dan tak tahu harus melakukan apalagi. "Ya, aku sih tahu. Tapi memang butuh uang yang banyak untuk ke sana, Mas." "Kamu pikir aku miskin?!" seru Arya membuat Maura terkesiap. "Ya, bukan kayak gitu. Aku kan cuma bilang aja, kenapa harus marah, sih?"Pria ini sedikit-sedikit terpancing emosi, sedikit-sedikit marah dan itu malah membuat Maura jadi kesal sendiri. "Ya sudah, ayo antar aku ke sana!" "Seriusan?""Loh, bukannya kamu yang memberikan ide untukku agar menggunakan jalur ini, kan? Kamu yang tahu, bagaimana bisa aku datang ke sana atau alamatnya di mana, kan?" Maura tersenyum kaku. Sebenarnya dia malu kalau harus mengantar ke sana, takut dukun itu berbicara yang aneh-aneh. Padahal kedatangannya tidak diketahui oleh siapa pun. "Aku nggak mau ikut, ya, Mas. Aku kasih alamatnya aja." "Kenapa?" "Ya, nggak mau aja. Aku kan cuma nyar
"Sepertinya tidak, kenapa?" tanya Lusi.Adiba sambil menautkan kedua alisnya. Dia diam sebentar, tampaknya ini benar-benar keputusan yang sulit.Jika ditanya apakah harus memberitahu Raka atau tidak, itu sulit. Sebab ada dua sisi kemungkinan. Pertama, Raka bisa menerima dan membiarkan dia pergi. Kedua, Raka akan berusaha untuk mengambil Alia dan menahannya tetap di sini dan kemungkinan terbesar itu adalah nomor 2."Dia pasti akan menahanku dan mengambil Alia kalau mengatakan itu semua, apalagi mantan Ibu mertuaku itu sepertinya tidak mau kalau aku pergi dari Mas Raka. Jadi, biarkan saja dia tidak tahu. Nanti aku akan titipkan pesan kepada Bu Murni agar menceritakan semuanya, itu menurutku sudah cukup."Adiba terdiam. Sebenarnya dia tidak setuju dengan pemikiran Lusi. Tetapi kalau memang wanita itu inginnya begitu, ya tidak bisa dipaksakan lagi. Sebab semua yang merasakan juga Lusi. Mungkin ada ketakutan yang membuat wanita itu mengambil keputusan seperti ini. "Ya sudah, kalau begitu.
"Pelet yang benar-benar manjur, Mbah. Yang bisa membuat wanita itu benar-benar bertekuk lutut kepada saya, sampai tidak bisa hidup tanpa saya." Sang dukun tersenyum sembari menganggukkan kepala. "Gampang, kamu tinggal pilih. Mau jaran goyang apa mau semar mesem?"Arya tampak kebingungan. Dia sepertinya pernah mendengar istilah-istilah itu, tapi tidak tahu apa kegunaannya. "Saya tidak tahu, yang mana saja, yang bisa membuat wanita itu benar-benar tunduk kepada saya," ujar Arya. Dia tidak mau tahu, intinya Adiba harus ada di pelukannya tanpa penolakan lagi. "Baiklah, aku akan memberikan ajian semar mesem. Lakukan semua ritual yang aku perintahkan, dengan begitu gadis impianmu akan benar-benar menjadi milikmu. Ingat! Semuanya harus dilalui dengan benar, paham?"Arya menganggukkan kepala. Dengan serius sang dukun pun memaparkan apa saja yang harus dilakukan Arya untuk menjalankan pelet semar mesem. Dengan begitu dia akan benar-benar mendapatkan Adiba, tetapi pria itu tidak tahu saja
"Tidak akan. Aku jamin dia tidak akan tahu masalah ini, kecuali kamu yang ngomong. Tapi sepertinya kalau kamu ngomong pun jika tidak ada bukti percuma," ucap Mila. Dia tidak sadar kalau dari tadi Maura sedang mengambil buktinya. Wanita itu juga tidak berniat untuk mengatakan kalau dirinya punya bukti. Dia akan menyimpan ini baik-baik dan menjadi kejutan untuk Mila, memberikan semua ini kepada Raka tanpa sepengetahuan wanita hamil itu. Ingin tahu, betapa terkejutnya Mila setelah Raka mengambil tindakan. Karena Maura yakin, Raka tidak akan diam saja jika diperlakukan tidak baik oleh istrinya. Apalagi martabatnya sebagai seorang suami diinjak-injak begitu saja."Dengar, ya. Sekali lagi aku tegaskan, kamu jangan macam-macam sama aku dan jangan terlalu senang seolah Mas Raka itu akan benar-benar mendukungmu, kecuali kalau kamu itu adalah pelakor," ujar Mila dengan santai.Maura hanya diam saja. Dia memilih untuk mematikan rekaman dan hendak pergi dari sana, tetapi baru juga beberapa lang
"Apa tadi Mbak bilang? Mas Raka itu hidup dari uang Kakak, begitu?" tanya Maura memperjelas.Dia ingin merekam semua perkataan Mila. Dengan begitu secara kontan Raka pasti akan sakit hati dan meninggalkan Mila. Menurutnya tak masalah kalau Raka tiba-tiba saja meninggalkan Mila dengan alasan yang jelas. Lagi pula masalah perceraian bisa diurus setelah anak yang ada dalam kandungan Mila lahir. "Iya, kamu nggak sadar juga? Suamiku itu bisa hidup karena aku. Dia juga bisa mendapatkan apa-apa juga sebab uangku. Jadi, kamu jangan merasa senang karena dibela oleh Mas Raka. Karena dia juga akan tergantung padaku. Lalu, apa kamu pikir Mas Raka akan memberikan uang kepadamu? Tidak, kecuali dariku. Uang Mas Raka juga itu uangku. Apa kamu tidak menyadarinya?" ucap Mila. Dia sama sekali tidak curiga kepada Maura, apalagi wanita itu mengatakan hal tersebut sembari makan bubur. Perutnya sangat lapar. Anak yang ada dalam kandungan juga sudah menendang-nendang. Dia benar-benar merasa kalau hari ini
Awalnya Maura takut saat kakaknya tiba-tiba bertanya seperti itu, tetapi karena kelicikan yang sudah terlatih membuat dia berpikir lebih baik mempermainkan perasaan kakaknya itu, akan sangat menghancurkan Siapa tahu dengan tidak sengaja bisa berakibat fatal kepada anak yang ada dalam kandungan. Jadi, dia tidak perlu susah-susah menggugurkan kandungan Mila. Tinggal buat saja mental ibunya down, pasti anaknya ada dalam kandungan pun ikut terkena dampaknya. "Oh, Kakak mau tahu kenapa aku sampai yakin sekali kalau Mas Raka itu pasti membelaku? Sebab Mas Raka lebih percaya sama aku ketimbang sama istrinya. Kakak nggak sadar, ya? Kalau selama ini Mas Raka itu sudah lelah sekali berhubungan dengan Kak Mila, tetapi karena anak yang ada dalam kandungan itulah Mas Raka akhirnya bertahan. Dia sebenarnya berharap Kak Mila bisa berubah lebih baik, tidak terus mengekang dan cemburu buta. Tapi, sayangnya itu tidak terjadi juga. Aku yakin, memang itu ada sifat asli Kak Mila, kan? Pencemburu dan mend
Maura istirahat sejenak di sebuah masjid, tapi dia sama sekali tidak salat. Hanya berteduh. Sebelumnya wanita itu pergi ke kantin rumah sakit untuk makan. Sebab dia tidak mungkin menunggu terus Mila, sementara kakaknya itu menyebalkan. Ada saja kata-kata yang membuat dirinya semakin kesal.Wanita itu makan sambil melamun, banyak pikiran yang terus bergerilya di benak. Apa yang harus dia lakukan saat ini? Sementara Raka sama sekali tidak bisa dihubungi. Kalau misalkan dirinya pulang dengan Mila, apakah semua akan baik-baik saja dan rencananya untuk mengerjai kakaknya itu akan berhasil? Pertanyaan itu juga semakin menjadi-jadi di benaknya. Dia tak tahu harus melakukan apa. "Ah, capeknya! Aku harus benar-benar menerima semua ini. Lagi pula nggak ada salahnya, kan? Aku sudah menolongnya juga. Aku akan memulai aksiku nanti kalau sudah sampai rumah," gumam wanita itu langsung menghabiskan makanan.Dia memilih untuk kembali ke kamar kakaknya dan melihat kalau Mila sedang terduduk sembari he
"Sekarang masih diam lagi, kan? Berarti itu Kakak mengaku kalau selama ini aku belajar cara kejam dari Kakak. Aku tidak mungkin belajar dari orang lain. Pasti dari orang terdekat dulu. Coba saja dari awal saat aku datang ke sini untuk menjenguk Kakak di penjara, mungkin kejadiannya akan beda kalau Kakak bersikap baik saat itu. Ini pun aku pasti akan melupakan semua dendam dan kesakitan yang sudah Kakak beri. Sayangnya sampai detik terakhir, Kakak bersikap seperti ini. Jadi, untuk apa aku lembut dan tetap diam saja? Tidak, aku tidak mau bodoh dan menderita kedua kalinya. Sekarang terserah. Kalau misalkan aku harus keluar rumah, tanggung akibatnya. Kalau tidak mau, lakukan sesuai dengan keinginanku," ujar Maura. Setelah itu dia pergi dari hadapannya, membuat wanita hamil itu mengerang dengan hati yang dipenuhi amarah. "Maura, kurang ajar kamu! Awas! Aku akan buat perhitungan padamu!" seru Mila dengan suara parau. Maura memilih untuk keluar dan menenangkan diri terlebih dahulu. Tidak
Mila sampai tidak bisa berkata-kata mendengar semua perkataan adiknya. Jadi, selama ini Maura itu menyimpan dendam begitu banyak. Dia kira wanita itu tidak akan melakukan hal seperti ini, sebab tahu kalau dirinya adalah keluarga satu-satunya di sini. Melihat diamnya Mila, Maura tersenyum sinis sembari melipat tangan di depan dada."Kakak tahu? Ini adalah curahan hatiku selama ini. Inginnya aku memakai-maki Kakak sebisaku, tetapi sayang ini rumah sakit. Aku tidak bisa begitu saja mengeluarkan unek-unek. Tetapi satu hal yang pasti, Kakak jangan mengharapkan apa-apa dariku. Kecuali kalau bisa membayarku dengan uang yang mahal," ucap Maura menantang. Mila hanya diam saja memandangi adiknya yang dulu polos dan penurut, setelah masuk ke dunia luar dan tinggal di kota sifatnya berubah drastis seperti ini. Entah siapa yang sudah meracuni Maura, tetapi Mila yakin wanita ini tidak tiba-tiba seperti ini. Padahal belum lama di Jakarta, tapi sudah berubah drastis. Diyakini ada yang meracuni piki
"Dari dulu aku ingin tahu, bagaimana rasanya menyiksa Kakak seperti ini? Memang Tuhan itu Maha Adil. DIA akan memberikan balasan yang setimpal untuk orang-orang yang jahat seperti Kakak. sSekarang Kakak sendiri yang merasakan bagaimana sendiri tanpa bantuan siapapun. Harusnya dari dulu Kakak itu tahu kalau Kakak tidak bisa apa-apa sendiri tanpa bantuan orang lain, tapi sayangnya Kakak meremehkanku. Coba Kakak akan dibantu siapa kalau keadaan seperti ini?" papar Maura sepertinya masih belum puas mengeluarkan unek-uneknya kepada wanita hamil itu. Di saat seperti ini Mila bisa saja mengamuk. Tetapi dia tidak berdaya dengan keadaannya. Jadi, wanita itu pun memilih untuk tenang. Menghela nafas berkali-kali dan berusaha untuk menetralkan emosi yang tiba-tiba saja naik karena perkataan adiknya.Mila tahu, Maura pasti akan memancing emosi dan berusaha untuk membuatnya menderita. Tetapi Mila tidak mau disetel oleh anak ini. Dia harus memenangkan semua peperangan antara dirinya dan Maura. Ter
Entah sudah berapa lama Mila tak sadarkan diri, sampai akhirnya wanita itu pun membuka mata. Hal pertama yang membuatnya tersadar adalah aroma ruangan dan bau obat yang menyengat. Apalagi Mila dalam keadaan hamil. Indra penciumannya pasti terasa sensitif. Wanita itu pun sontak penutup hidungnya dengan tangan yang lemas. Dia melihat ke sekeliling dan mendapati kalau ada adiknya sedang tidur di sofa. Sudah dipastikan dia ada di rumah sakit. Sebelumnya, saat sudah melewati masa kritis, Mila pun dibawa ke ruang rawat untuk melakukan observasi apakah wanita itu masih harus dirawat atau diperbolehkan untuk pulang.Suara erangan saat kepalanya terasa berdenyut nyeri membuat Maura terkesiap. Dia melihat kalau kakaknya sudah tersadar. Wanita-wanita itu pun langsung terduduk. Dia hendak berdiri dan menghampiri Mila, tetapi langsung ke tempat semula. Baginya bukan hal yang harus dilakukan jika memerhatikan kakaknya. Dia sudah terlanjur sakit hati dengan wanita ini. Jadi, untuk apa Maura berbai
Setelah menunggu beberapa saat, keluarlah dokter dan suster yang sedang menangani Mila. Dengan cepat Maura menghampiri dan bertanya bagaimana keadaan kakaknya itu. "Kalau boleh tahu, Mbak ini siapanya pasien?" tanya dokter. Saat ini Maura tidak mau mengakui kalau Mila adalah kakaknya, lebih baik seperti ini dibandingkan nanti dirinya yang akan repot harus mengurus semuanya demi wanita hamil itu. "Kebetulan saya tetangganya, Dok. Tadi lihat dia kecelakaan di jalan. Jadi saya yang bawa ke sini," ujar Maura, memilih untuk menjawab secara demokratis. Kalau dia mengatakan hanya orang asing, pasti disuruh pergi dan menelepon keluarganya. Artinya dia harus menelepon kedua orang tua mereka, mengingat itu Maura langsung menggelengkan kepala. Mana sudi dia bertemu dengan kedua orang tuanya lagi, terutama ayah tiri yang membuatnya menderita sampai saat ini." Oh, kalau begitu bisakah Mbak menelepon keluarganya?" Akhirnya pertanyaan itu meluncur juga dari dokter, tetapi setidaknya Maura sud