Saat perjalanan menuju rumah Devan, wanita itu langsung memutar arah. Dia ingat tidak tahu kunci rumahnya di mana. Jadi, memilih untuk pergi ke restoran dan ke ruangan sang pria. Sebab terakhir sebelum Devan ditangkap katanya pria itu ada di restoran, jadi dia harus benar-benar mencari kunci rumah itu di ruangan sang pria. Untunglah tidak ada orang di restoran, jadi dia bisa dengan leluasa mencari kuncinya. Hampir setengah jam wanita itu mencari-carinya, hingga akhirnya menemukannya di bawah laci meja kerja Devan. Wanita itu mengembuskan napas lega. Tanpa menunggu lama sang wanita pun pergi dan menuju rumah Devan. Dia harus segera datang sebelum orang suruhan Devan mendahuluinya. Selama perjalanan, Maura benar-benar ketakutan dan juga khawatir jika semua yang sudah dia lakukan untuk Devan berakhir sia-sia.Tentang kebohongan dan apa pun yang berkaitan Devan selalu diusahakan oleh Maura, meskipun itu jalan yang tidak baik. Sekarang, setelah semua berjalan Maura tidak mau mundur hanya
Maura melihat ke sekitar dan sampai akhirnya dia menemukan saklar. Dengan cepat wanita itu menekan saklar hingga ruangan yang gelap tiba-tiba saja bercahaya. Baik satpam maupun Maura terkejut saat melihat bahwa ruangan ini benar-benar menakjubkan. Ada banyak barang mewah di sini, beberapa foto yang tidak dikenali oleh Maura. Dia menatap dan meneliti, itu adalah foto pengantin Devan dan seorang wanita.Tampaknya inilah almarhumah istri dari Devan yang terdahulu. Lalu dia mencari-cari lagi, ada foto Lusi di sana memakai seragam SMA. Maura terdiam. Lusi memang cantik dari dulu, apalagi senyumannya itu manis. Di sebelahnya ada Devan saat masih muda, tampaknya mereka memang sudah saling mengenal dari lalu.Terlihat lagi ada foto Lusi yang sekarang. Entah kenapa hati Maura merasa mencelos, memang Lusi sangat istimewa. Bahkan dia disandingkan dengan almarhumah istrinya terdahulu. Maura langsung menggelengkan kepala dan berusaha untuk tidak terpancing emosi. Dia harus mencari bukti CCTV.
Devan terdiam melihat kedatangan Maura. Wanita itu masih saja tersenyum sebaik mungkin di depannya. Ada tempat makan yang dibawa, membuat Devan menghela napas panjang. Sepertinya wanita ini benar-benar begitu mencintainya, sampai dia terus-terusan mengejar meskipun Devan sudah beberapa kali menolak, bahkan merendahkan sang wanita. "Kenapa kamu datang lagi?" tanya Devan, suaranya dingin dengan mata memicing. Maura tertegun mendengar itu semua, tentu saja harusnya Devan paham kenapa dia terus datang. Maura ingin mendapatkan pengakuan dari sang pria, tetapi tampaknya Devan tidak mau atau sekedar ingin tahu tentang kabar dirinya pun tidak. Tetapi wanita itu masih tetap sabar. Seharusnya Devan melihat ketulusan hatinya. Mungkin saja pria itu mau luluh jika melihat bagaimana perjuangan Maura saat ini. "Aku ingin mengunjungimu, Mas. Sekalian ingin memberikan makanan hasil olahanku. Mungkin suatu hari nanti kamu akan memakai resepku ini," ujar Maura.Dia sama sekali tidak mau mengatakan h
Devan begitulah lahap memakan masakan yang dibuat oleh Maura. Sekali lagi ini bukan karena makanan wanita itu sangat enak, tetapi dia benar-benar rindu dengan masakan rumahan. Hingga saat dia hampir saja menyelesaikan makanannya, pria itu terdiam. Tanpa aba-aba melihat ke arah Maura yang saat ini tengah menatapnya dengan tersenyum penuh keramahan. Entah kenapa saat ini pria itu merasa kalau Maura begitu cantik, berbeda dari biasanya. Bahkan rasanya sangat menarik. Ini benar-benar aneh. Dengan cepat pria itu menggelengkan kepala dan berusaha untuk menyelesaikan makanannya. Sang wanita melihat perubahan reaksi dari Devan. Entah kenapa hatinya mengatakan kalau itulah mungkin efek dari ajian yang diberikan oleh dukun itu. Hingga akhirnya makanan habis pun Devan masih terlihat cuek."Bagaimana makanannya, Mas?" "Lumayan," jawab Devan, ketus. Tetapi lagi-lagi mata pria itu ingin sekali melihat Maura. Bahkan saat ini dia benar-benar tidak berkedip melihat wajah Maura yang anehnya begitu
"Memang kamu tahu di mana tempat itu?" tanya Arya tiba-tiba saja membuat Maura menaikkan sebuah alisnya. Tampaknya pria ini benar-benar sudah buntu dan tak tahu harus melakukan apalagi. "Ya, aku sih tahu. Tapi memang butuh uang yang banyak untuk ke sana, Mas." "Kamu pikir aku miskin?!" seru Arya membuat Maura terkesiap. "Ya, bukan kayak gitu. Aku kan cuma bilang aja, kenapa harus marah, sih?"Pria ini sedikit-sedikit terpancing emosi, sedikit-sedikit marah dan itu malah membuat Maura jadi kesal sendiri. "Ya sudah, ayo antar aku ke sana!" "Seriusan?""Loh, bukannya kamu yang memberikan ide untukku agar menggunakan jalur ini, kan? Kamu yang tahu, bagaimana bisa aku datang ke sana atau alamatnya di mana, kan?" Maura tersenyum kaku. Sebenarnya dia malu kalau harus mengantar ke sana, takut dukun itu berbicara yang aneh-aneh. Padahal kedatangannya tidak diketahui oleh siapa pun. "Aku nggak mau ikut, ya, Mas. Aku kasih alamatnya aja." "Kenapa?" "Ya, nggak mau aja. Aku kan cuma nyar
"Sepertinya tidak, kenapa?" tanya Lusi.Adiba sambil menautkan kedua alisnya. Dia diam sebentar, tampaknya ini benar-benar keputusan yang sulit.Jika ditanya apakah harus memberitahu Raka atau tidak, itu sulit. Sebab ada dua sisi kemungkinan. Pertama, Raka bisa menerima dan membiarkan dia pergi. Kedua, Raka akan berusaha untuk mengambil Alia dan menahannya tetap di sini dan kemungkinan terbesar itu adalah nomor 2."Dia pasti akan menahanku dan mengambil Alia kalau mengatakan itu semua, apalagi mantan Ibu mertuaku itu sepertinya tidak mau kalau aku pergi dari Mas Raka. Jadi, biarkan saja dia tidak tahu. Nanti aku akan titipkan pesan kepada Bu Murni agar menceritakan semuanya, itu menurutku sudah cukup."Adiba terdiam. Sebenarnya dia tidak setuju dengan pemikiran Lusi. Tetapi kalau memang wanita itu inginnya begitu, ya tidak bisa dipaksakan lagi. Sebab semua yang merasakan juga Lusi. Mungkin ada ketakutan yang membuat wanita itu mengambil keputusan seperti ini. "Ya sudah, kalau begitu.
"Pelet yang benar-benar manjur, Mbah. Yang bisa membuat wanita itu benar-benar bertekuk lutut kepada saya, sampai tidak bisa hidup tanpa saya." Sang dukun tersenyum sembari menganggukkan kepala. "Gampang, kamu tinggal pilih. Mau jaran goyang apa mau semar mesem?"Arya tampak kebingungan. Dia sepertinya pernah mendengar istilah-istilah itu, tapi tidak tahu apa kegunaannya. "Saya tidak tahu, yang mana saja, yang bisa membuat wanita itu benar-benar tunduk kepada saya," ujar Arya. Dia tidak mau tahu, intinya Adiba harus ada di pelukannya tanpa penolakan lagi. "Baiklah, aku akan memberikan ajian semar mesem. Lakukan semua ritual yang aku perintahkan, dengan begitu gadis impianmu akan benar-benar menjadi milikmu. Ingat! Semuanya harus dilalui dengan benar, paham?"Arya menganggukkan kepala. Dengan serius sang dukun pun memaparkan apa saja yang harus dilakukan Arya untuk menjalankan pelet semar mesem. Dengan begitu dia akan benar-benar mendapatkan Adiba, tetapi pria itu tidak tahu saja
Sebelum mencetak banner untuk selebaran mencari Raka dan juga Mila, Bu Sinta masih penasaran terhadap mantan menantunya. Dia tahu kalau Lusi itu punya percetakan, jadi dengan sengaja sang wanita paruh bayar menyarankan Winda untuk mencetak di tempatnya Lusi, berharap kalau dia tahu bagaimana keadaan Lusi saat ini. Bu Sinta sama sekali tidak merasa bersalah. Tetapi lebih ke penasaran apa yang sudah terjadi sejak dibatalkannya acara rujuk antara Raka dan juga Lusi.Kalau misalkan wanita itu baik-baik saja, setidaknya Bu Sinta punya peluang besar untuk mengambil Alia. Kalau memang Lusi tidak berjodoh lagi dengan Raka, setidaknya Alia masih bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan uang yang banyak dari Lusi. Jika Alia mau tinggal bersama Raka, artinya Lusi mau tidak mau juga akan memberikan sebagian uangnya kepada anaknya itu. Ini sebuah pemikiran yang licik. Tetapi kalau memang Lusi tidak bisa diraih, Bu Sinta tidak mau rugi. Yang penting ada cucunya, bisa dimanfaatkan. Dengan begitu dia ju