Karyawan itu diam sejenak, tapi wajahnya tampak kaget mendengar tawaran dari Raka. Sang pria meneliti penampilan Raka dari atas sampai bawah, lalu dia pun pergi sembari tersenyum miring. "Jangan bilang kamu suruhannya Pak Devan untuk memata-mataiku dan sengaja mengajak kerjasama agar aku hancur, ya, kan?" tanya pria itu menuntut, membuat Raka terkesiap. Wajah dari pria ini tampak muda, bahkan mungkin lebih mudah dari Raka. Tetapi, entah apa yang terjadi sampai orang di hadapannya ini begitu benci kepada Devan, sampai mengatakan hal yang seperti tadi."Aku baru saja masuk, mana mungkin aku tiba-tiba saja menjadi orang suruhan Devan. Apakah kamu tidak lihat bagaimana reaksi Devan kepadaku tadi? Dia itu benar-benar memuakkan. Aku juga benci kepadanya. Kalau kamu tahu, aku dan dia itu musuh. Tapi dia memanfaatkan kelemahanku untuk menyiksaku di tempat ini," aku Raka, terlihat sekali kalau dia itu mengeluarkan uneg-uneg yang sedari tadi mengganjal di hati.Sang pria sekarang berubah eksp
Seharian ini Lusi sangat sibuk bekerja. Beberapa klien yang memang sebelumnya sudah bekerja sama, datang membahas perihal kepemimpinan yang sudah berganti dengan wanita itu. Lusi menjamin kalau dia tidak akan mengubah apa pun yang sudah ditetapkan jika memang itu baik. Tetapi adapun perubahan kalau memang peraturan yang ditetapkan oleh Raka sebelumnya tidak menguntungkan. Tentu saja Lusia akan mencabut dan mengganti dengan peraturan baru yang lebih baik untuk kedua belah pihak. Syukurlah di antara mereka juga setuju dengan Lusi, karena memang semua yang menjadi clientnya tidak suka dengan tabiat Raka yang sudah ketahuan. Berselingkuh, bahkan ada di antara mereka mengatakan untuk menguatkan Lusi agar wanita itu tetap berdiri tegak demi anaknya yang tercinta. Lusi benar-benar berterima kasih karena semua pihak mendukungnya. Awalnya wanita itu takut kalau ada orang-orang yang masih berpihak kepada Raka, tetapi untunglah semua clientnya itu berada di pihak Lusi. Ini benar-benar sebuah k
Raka menghela napas kasar. Dia benar-benar lelah, karena seharian harus bolak-balik menulis pesanan dan juga mengantar makanan kepada para pelanggan yang ada di restoran Devan. Beberapa kali pria itu mengeluh dan memperlihatkan wajah kesalnya. Semua itu tidak lepas dari tatapan Devan. Sang pria tidak langsung menegur Raka, tapi membiarkan pria itu sampai benar-benar merasa kelelahan. Ingin tahu saja, sejauh mana Raka bisa bertahan menjadi seorang pegawai. Karena sebelumnya mantan suami Lusi itu bekerja sebagai bos, jadi pasti ini termasuk syok kultur untuk sang pria. Sementara itu Arya yang memang sebelumnya kaget karena tawaran Raka, sedikit demi sedikit mulai meneliti interaksi antara Raka dengan pegawai lain dan juga pelanggan yang ada di sini. Pria itu juga tidak lepas memandang Devan, meneliti bagaimana bosnya melihat kinerja Raka. Sepertinya, apa yang dikatakan Raka itu benar. Tampaknya ada yang berbeda dari Raka dan Devan, sampai keduanya kentara sekali perubahan sikap dan s
"Memang, apa yang ingin kamu lakukan kepada Devan?" tanya Raka, ingin tahu terlebih dahulu. Karena sepertinya pria yang ada di hadapannya ini dendam sekali kepada Devan. Sebenarnya, ini akan menguntungkan baginya. Tetapi Raka juga harus hati-hati. Kalau misalkan dia salah langkah, mungkin ini akan menjadi bumerang untuknya. Arya terkekeh. "Nanti kamu juga tahu. Ya sudah, sebaiknya bekerja kembali. Aku tidak mau sampai banyak karyawan menggunjingkan kita dan menjadi masalah ke depannya." Setelah itu, Raka dengan terpaksa melanjutkan pekerjaannya yang sudah membuat tubuh pria itu terasa lelah. Ini benar-benar memuakkan untuk. Dia ingin sekali berkeluh kesah kepada Bu Sinta, tapi pasti pada akhirnya wanita paruh baya itu akan menyalahkannya atau mungkin malah memberikan ide gila yang akan membahayakan Raka. Jadi, memang mau tidak mau untuk sekarang Raka mengikuti alur yang dilakukan oleh Lusi dan Devan. Sementara itu, saat ini Devan sudah berada di kantor penerbitan Lusi. Beberapa o
"Iya, Mas. Aku juga tidak tahu bagaimana kabarnya Mila. Aku juga tidak berniat mencari tahu. Lagi pula aku yakin, dia pasti masih dipenjara.""Kamu yakin?" tanya Devan. Lusi menautkan kedua alis sembari menoleh, karena tidak mengerti dengan pertanyaan yang diajukan oleh pria itu. Devan mungkin berpikir kalau dirinya ini sedang berbohong atau mungkin salah kira. "Kenapa kamu bertanya seperti itu, Mas? Bukankah kamu tahu sendiri, kalau Mila itu dipenjara." "Maksudku bukan seperti itu. Aku hanya mengingatkan, agar kamu itu tidak terlalu fokus kepada Raka. Sebab, aku yakin Mila itu pasti mencari celah agar menghancurkanmu," ucap Devan membuat Lusi termenung. Dia berpikir kalau perkataan pria ini benar. Bisa saja saat ini Mila sedang merencanakan sesuatu. Lusi tidak tahu kalau Mila sudah keluar dari penjara, karena setelah Mila keluar, wanita hamil itu benar-benar hanya menghabiskan waktu di kampung. Kembali pun langsung menemui Bu Sinta. Dia ingin mendapatkan Raka terlebih dahulu, b
Suara ketukan di kaca mobil membuat Maura terkesiap. Ternyata itu Devan. Pria itu tersenyum, memberi isyarat agar Maura segera keluar. Sang gadis pun berusaha untuk memperlihatkan senyuman terbaik. Hal kecil seperti ini saja sudah membuat Maura sangat senang. Andai saja dia lebih dulu bertemu dengan Devan, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Pasti pria itu juga akan menolongnya, sama seperti Lusi menolong Maura saat ini. Gadis itu pun langsung keluar dan mengikuti langkah Devan untuk masuk. Di sana terlihat Lusi sedang duduk sembari melihat ke arah lain. Tatapannya itu seperti sedang menghakimi. Lebih tepatnya tampak sedang serius menatap ke arah lain. Maura yang penasaran pun mengikuti arah pandang Lusi. Betapa terkejutnya gadis itu melihat Raka yang saat ini sedang menjadi pelayan, menulis pesanan dan juga mengambil makanan yang ada di belakang. Gadis itu terperangah kaget, sampai tidak bisa mengerjapkan mata. Benarkah yang ada di sana itu Raka? Seorang pria yang katany
"Bagaimana menurutmu? Apakah aku sudah pantas memberikan pelajaran kepada Raka?" tanya Devan kepada Lusi. Wanita itu menyipitkan mata sembari berpikir, lalu tak lama kemudian dia pun menganggukkan kepala."Iya, itu lebih baik, Mas. Daripada kamu memerintahnya macam-macam, ini akan lebih menyakitkan untuk Mas Raka jika melakukan hal seperti tadi." Lusi pun membuat Devan tersenyum. Sementara Maura yang ada di sana hanya bisa berdiam diri sembari melihat kedua orang itu. Dia kembali mengepalkan kedua tangan di bawah meja, benar-benar muak dengan semua yang ada di depannya. Bisakah dia berkomentar sedikit saja? Tapi rasanya itu tidak mungkin.Sang gadis hanya bisa memilih untuk berdiam diri melihat ke sekitar, lalu matanya tertuju kepada seorang pria yang sudah dari tadi melihat Devan dari kejauhan. Gadis itu menyipitkan mata. Dia sama sekali tidak kenal dengan siapa pria itu, tetapi tampaknya masih muda. Mungkin sekitar 20 tahunan. Hanya saja sorot matanya itu menandakan kalau dia san
Setelah makan usai, Lusi pun pulang bersama Maura menggunakan taksi. Lusi tidak bisa berlama-lama di restoran Devan karena takut Alia mencarinya. Sepanjang perjalanan, Lusi dan Maura saling diam. Sebenarnya gadis itu sedang memikirkan sesuatu, untuk memulai pembicaraan dia harus benar-benar tenang menghadapi ini semua. Tetapi juga harus memulai agar Lusi bisa termakan dengan omongan sang gadis. Sampai akhirnya Maura pun memberanikan diri untuk berucap. "Em, maaf sebelumnya, Mbak. Apakah Mbak memang punya hubungan khusus dengan Mas Devan?" tanya Maura membuat Lusi menoleh. Sebenarnya dia tidak masalah dengan pertanyaan itu. Hanya saja panggilan Maura yang mengatakan Mas, membuat Lusi tidak nyaman. Wanita itu tidak mau memikirkan perasaan Maura. Dia cukup sekali dimanfaatkan oleh Mila, sampai menjadi orang yang tak enakan dengan apa pun yang dipinta oleh mantan sahabatnya itu. Meskipun Maura itu adalah adiknya. Tetapi dia harus tetap tegas kepada sang gadis, tidak boleh menumbuhkan