"Iya, Mas. Aku juga tidak tahu bagaimana kabarnya Mila. Aku juga tidak berniat mencari tahu. Lagi pula aku yakin, dia pasti masih dipenjara.""Kamu yakin?" tanya Devan. Lusi menautkan kedua alis sembari menoleh, karena tidak mengerti dengan pertanyaan yang diajukan oleh pria itu. Devan mungkin berpikir kalau dirinya ini sedang berbohong atau mungkin salah kira. "Kenapa kamu bertanya seperti itu, Mas? Bukankah kamu tahu sendiri, kalau Mila itu dipenjara." "Maksudku bukan seperti itu. Aku hanya mengingatkan, agar kamu itu tidak terlalu fokus kepada Raka. Sebab, aku yakin Mila itu pasti mencari celah agar menghancurkanmu," ucap Devan membuat Lusi termenung. Dia berpikir kalau perkataan pria ini benar. Bisa saja saat ini Mila sedang merencanakan sesuatu. Lusi tidak tahu kalau Mila sudah keluar dari penjara, karena setelah Mila keluar, wanita hamil itu benar-benar hanya menghabiskan waktu di kampung. Kembali pun langsung menemui Bu Sinta. Dia ingin mendapatkan Raka terlebih dahulu, b
Suara ketukan di kaca mobil membuat Maura terkesiap. Ternyata itu Devan. Pria itu tersenyum, memberi isyarat agar Maura segera keluar. Sang gadis pun berusaha untuk memperlihatkan senyuman terbaik. Hal kecil seperti ini saja sudah membuat Maura sangat senang. Andai saja dia lebih dulu bertemu dengan Devan, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Pasti pria itu juga akan menolongnya, sama seperti Lusi menolong Maura saat ini. Gadis itu pun langsung keluar dan mengikuti langkah Devan untuk masuk. Di sana terlihat Lusi sedang duduk sembari melihat ke arah lain. Tatapannya itu seperti sedang menghakimi. Lebih tepatnya tampak sedang serius menatap ke arah lain. Maura yang penasaran pun mengikuti arah pandang Lusi. Betapa terkejutnya gadis itu melihat Raka yang saat ini sedang menjadi pelayan, menulis pesanan dan juga mengambil makanan yang ada di belakang. Gadis itu terperangah kaget, sampai tidak bisa mengerjapkan mata. Benarkah yang ada di sana itu Raka? Seorang pria yang katany
"Bagaimana menurutmu? Apakah aku sudah pantas memberikan pelajaran kepada Raka?" tanya Devan kepada Lusi. Wanita itu menyipitkan mata sembari berpikir, lalu tak lama kemudian dia pun menganggukkan kepala."Iya, itu lebih baik, Mas. Daripada kamu memerintahnya macam-macam, ini akan lebih menyakitkan untuk Mas Raka jika melakukan hal seperti tadi." Lusi pun membuat Devan tersenyum. Sementara Maura yang ada di sana hanya bisa berdiam diri sembari melihat kedua orang itu. Dia kembali mengepalkan kedua tangan di bawah meja, benar-benar muak dengan semua yang ada di depannya. Bisakah dia berkomentar sedikit saja? Tapi rasanya itu tidak mungkin.Sang gadis hanya bisa memilih untuk berdiam diri melihat ke sekitar, lalu matanya tertuju kepada seorang pria yang sudah dari tadi melihat Devan dari kejauhan. Gadis itu menyipitkan mata. Dia sama sekali tidak kenal dengan siapa pria itu, tetapi tampaknya masih muda. Mungkin sekitar 20 tahunan. Hanya saja sorot matanya itu menandakan kalau dia san
Setelah makan usai, Lusi pun pulang bersama Maura menggunakan taksi. Lusi tidak bisa berlama-lama di restoran Devan karena takut Alia mencarinya. Sepanjang perjalanan, Lusi dan Maura saling diam. Sebenarnya gadis itu sedang memikirkan sesuatu, untuk memulai pembicaraan dia harus benar-benar tenang menghadapi ini semua. Tetapi juga harus memulai agar Lusi bisa termakan dengan omongan sang gadis. Sampai akhirnya Maura pun memberanikan diri untuk berucap. "Em, maaf sebelumnya, Mbak. Apakah Mbak memang punya hubungan khusus dengan Mas Devan?" tanya Maura membuat Lusi menoleh. Sebenarnya dia tidak masalah dengan pertanyaan itu. Hanya saja panggilan Maura yang mengatakan Mas, membuat Lusi tidak nyaman. Wanita itu tidak mau memikirkan perasaan Maura. Dia cukup sekali dimanfaatkan oleh Mila, sampai menjadi orang yang tak enakan dengan apa pun yang dipinta oleh mantan sahabatnya itu. Meskipun Maura itu adalah adiknya. Tetapi dia harus tetap tegas kepada sang gadis, tidak boleh menumbuhkan
Sesampainya di rumah, Alia langsung menyambut kedatangan Lusi dengan antusias. Gadis itu begitu riang dan menceritakan kalau dia seharian sudah bermain macam-macam dengan Adiba. Permainan yang belum pernah dia lakukan sebelumnya. Mendengar itu tentu saja Lusi merasa senang. Adiba yang ada di sana pun tersenyum sembari memperlihatkan kalau dirinya itu tampak keren. Lusi mengacungkan kedua jempol kepada temannya itu. Maura yang ada di belakang Lusi tampak cemberut. Hatinya kembali memanas, merasa cemburu kepada Adiba karena ternyata Alia begitu senang bersama Adiba. Berbeda jauh dengan Maura. Alia hanya menceritakan tentang sekolah dan juga main mainan anak-anak, seperti bermain boneka dan juga rumah-rumahan. Tetapi dengan Adiba, gadis kecil itu seperti memperlihatkan sosok aslinya. Ini benar-benar membuat Maura membara. Kenapa orang-orang yang ada di sini tidak pernah mendukung keinginannya? Dia hanya dituntut belajar dan menjadi yang terbaik. Sementara tidak pernah ada yang bertany
"Kenapa? Apa kamu takut di tempat seperti ini? Kamu takut hantu atau takut aku celakai?" tanya Arya dengan tajam. Tatapannya juga sedikit meremehkan. Mendengar itu Raka juga kesal, tapi dia tidak mau mencari musuh. Saat ini yang dibutuhkan adalah sekutu. "Ya. Bukan masalah seperti itu. Apakah tidak bisa kita berbicara di cafe atau di tempat-tempat yang terlihat normal? Mungkin di taman atau di tempat lain yang bukan malah terlihat angker seperti ini," ujar Raka, kembali melihat sekeliling. Dia benar-benar takut kalau Arya akan melakukan sesuatu yang buruk kepadanya. Mungkin kalau misalkan Arya bertingkah buruk, dia bisa melawan. Tetapi bagaimana kalau ada hantu yang akan mengganggunya? Ini benar-benar menakutkan. Jujur, Raka memang takut pada hantu atau hal-hal yang berbau mistis. Ini benar-benar akan menguji dirinya dan keberanian Raka sebagai seorang laki-laki. Untung saja selama pernikahan Lusi tidak pernah mempermasalahkan apa pun. Lusi juga bukan tipe orang yang suka film hor
Raka terdiam sebentar. Sebenarnya, dia tahu apa yang dimaksud oleh Arya. Hanya saja pria itu tidak tahu bagaimana caranya, karena sudah pernah dia juga bersekongkol dengan Maura untuk mencoba menghasut kedua orang itu. Sayangnya gagal. Sepertinya Raka juga tahu kalau Maura itu masih kecil untuk urusan seperti ini. Jadi, bisa dikatakan kalau Maura adalah amatir. Harus benar-benar hati-hati agar tidak ketahuan. Bagaimanapun gadis itu masih remaja, terbawa akan suasana atau egonya sendiri. Melihat Raka yang masih kebingungan seperti ini, tentu saja Arya juga ikut bingung. Kenapa pria itu malah diam saja? Seperti sedang memikirkan sesuatu."Kenapa kamu diam saja? Bukankah kamu sendiri yang bilang, kalau kita itu akan bersekongkol untuk menghancurkan Devan? Tetapi kenapa malah diam?" tanya Arya, ingin tahu.Raka menatap Arya sebentar, lalu menghela napas panjang. Dia mengguyar kepalanya dengan kasar."Begini, aku tahu apa maksudmu. Tapi, aku tidak tahu caranya. Jujur, untuk masalah kejah
"Kamu yakin Devan tidak akan mau dengan gadis kecil sepertinya?" tanya Arya masih meragukan, karena dia takut kalau perkiraan Raka itu salah. Arya jadi teringat kalau Raka tidak punya pengalaman mengerjakan satu misi seperti ini. "Ya, siapa juga yang mau dengan gadis ingusan seperti itu? Apalagi seharusnya Maura dijadikan Adik, bukan malah dijadikan kekasih. Aku yakin, selera Devan juga tinggi. Lihat saja mantan istriku! Lusi itu bukan wanita sembarangan. Jadi, sudah dipastikan itu tidak akan terjadi. Kalau pun misalkan suatu hari nanti Maura memaksa, kita tinggal buat gadis itu tidak berdaya. Buat dia menjadi bersalah dan ancam, bereskan kan?" ucap Raka. Dia tidak berpikir sama sekali apa yang akan terjadi jika sudah melakukan itu semua. Arya terdiam sejenak, memikirkan apa yang barusan dikatakan oleh pria di depannya ini."Ya, ya. Kamu benar juga. Kalau memang tidak ada pilihan lain, ya sudah. Sertakan gadis itu. Aku juga ingin melihatnya," ucap Arya, penasaran. Raka pun langsu