"Memang, apa yang ingin kamu lakukan kepada Devan?" tanya Raka, ingin tahu terlebih dahulu. Karena sepertinya pria yang ada di hadapannya ini dendam sekali kepada Devan. Sebenarnya, ini akan menguntungkan baginya. Tetapi Raka juga harus hati-hati. Kalau misalkan dia salah langkah, mungkin ini akan menjadi bumerang untuknya. Arya terkekeh. "Nanti kamu juga tahu. Ya sudah, sebaiknya bekerja kembali. Aku tidak mau sampai banyak karyawan menggunjingkan kita dan menjadi masalah ke depannya." Setelah itu, Raka dengan terpaksa melanjutkan pekerjaannya yang sudah membuat tubuh pria itu terasa lelah. Ini benar-benar memuakkan untuk. Dia ingin sekali berkeluh kesah kepada Bu Sinta, tapi pasti pada akhirnya wanita paruh baya itu akan menyalahkannya atau mungkin malah memberikan ide gila yang akan membahayakan Raka. Jadi, memang mau tidak mau untuk sekarang Raka mengikuti alur yang dilakukan oleh Lusi dan Devan. Sementara itu, saat ini Devan sudah berada di kantor penerbitan Lusi. Beberapa o
"Iya, Mas. Aku juga tidak tahu bagaimana kabarnya Mila. Aku juga tidak berniat mencari tahu. Lagi pula aku yakin, dia pasti masih dipenjara.""Kamu yakin?" tanya Devan. Lusi menautkan kedua alis sembari menoleh, karena tidak mengerti dengan pertanyaan yang diajukan oleh pria itu. Devan mungkin berpikir kalau dirinya ini sedang berbohong atau mungkin salah kira. "Kenapa kamu bertanya seperti itu, Mas? Bukankah kamu tahu sendiri, kalau Mila itu dipenjara." "Maksudku bukan seperti itu. Aku hanya mengingatkan, agar kamu itu tidak terlalu fokus kepada Raka. Sebab, aku yakin Mila itu pasti mencari celah agar menghancurkanmu," ucap Devan membuat Lusi termenung. Dia berpikir kalau perkataan pria ini benar. Bisa saja saat ini Mila sedang merencanakan sesuatu. Lusi tidak tahu kalau Mila sudah keluar dari penjara, karena setelah Mila keluar, wanita hamil itu benar-benar hanya menghabiskan waktu di kampung. Kembali pun langsung menemui Bu Sinta. Dia ingin mendapatkan Raka terlebih dahulu, b
Suara ketukan di kaca mobil membuat Maura terkesiap. Ternyata itu Devan. Pria itu tersenyum, memberi isyarat agar Maura segera keluar. Sang gadis pun berusaha untuk memperlihatkan senyuman terbaik. Hal kecil seperti ini saja sudah membuat Maura sangat senang. Andai saja dia lebih dulu bertemu dengan Devan, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Pasti pria itu juga akan menolongnya, sama seperti Lusi menolong Maura saat ini. Gadis itu pun langsung keluar dan mengikuti langkah Devan untuk masuk. Di sana terlihat Lusi sedang duduk sembari melihat ke arah lain. Tatapannya itu seperti sedang menghakimi. Lebih tepatnya tampak sedang serius menatap ke arah lain. Maura yang penasaran pun mengikuti arah pandang Lusi. Betapa terkejutnya gadis itu melihat Raka yang saat ini sedang menjadi pelayan, menulis pesanan dan juga mengambil makanan yang ada di belakang. Gadis itu terperangah kaget, sampai tidak bisa mengerjapkan mata. Benarkah yang ada di sana itu Raka? Seorang pria yang katany
"Bagaimana menurutmu? Apakah aku sudah pantas memberikan pelajaran kepada Raka?" tanya Devan kepada Lusi. Wanita itu menyipitkan mata sembari berpikir, lalu tak lama kemudian dia pun menganggukkan kepala."Iya, itu lebih baik, Mas. Daripada kamu memerintahnya macam-macam, ini akan lebih menyakitkan untuk Mas Raka jika melakukan hal seperti tadi." Lusi pun membuat Devan tersenyum. Sementara Maura yang ada di sana hanya bisa berdiam diri sembari melihat kedua orang itu. Dia kembali mengepalkan kedua tangan di bawah meja, benar-benar muak dengan semua yang ada di depannya. Bisakah dia berkomentar sedikit saja? Tapi rasanya itu tidak mungkin.Sang gadis hanya bisa memilih untuk berdiam diri melihat ke sekitar, lalu matanya tertuju kepada seorang pria yang sudah dari tadi melihat Devan dari kejauhan. Gadis itu menyipitkan mata. Dia sama sekali tidak kenal dengan siapa pria itu, tetapi tampaknya masih muda. Mungkin sekitar 20 tahunan. Hanya saja sorot matanya itu menandakan kalau dia san
Setelah makan usai, Lusi pun pulang bersama Maura menggunakan taksi. Lusi tidak bisa berlama-lama di restoran Devan karena takut Alia mencarinya. Sepanjang perjalanan, Lusi dan Maura saling diam. Sebenarnya gadis itu sedang memikirkan sesuatu, untuk memulai pembicaraan dia harus benar-benar tenang menghadapi ini semua. Tetapi juga harus memulai agar Lusi bisa termakan dengan omongan sang gadis. Sampai akhirnya Maura pun memberanikan diri untuk berucap. "Em, maaf sebelumnya, Mbak. Apakah Mbak memang punya hubungan khusus dengan Mas Devan?" tanya Maura membuat Lusi menoleh. Sebenarnya dia tidak masalah dengan pertanyaan itu. Hanya saja panggilan Maura yang mengatakan Mas, membuat Lusi tidak nyaman. Wanita itu tidak mau memikirkan perasaan Maura. Dia cukup sekali dimanfaatkan oleh Mila, sampai menjadi orang yang tak enakan dengan apa pun yang dipinta oleh mantan sahabatnya itu. Meskipun Maura itu adalah adiknya. Tetapi dia harus tetap tegas kepada sang gadis, tidak boleh menumbuhkan
Sesampainya di rumah, Alia langsung menyambut kedatangan Lusi dengan antusias. Gadis itu begitu riang dan menceritakan kalau dia seharian sudah bermain macam-macam dengan Adiba. Permainan yang belum pernah dia lakukan sebelumnya. Mendengar itu tentu saja Lusi merasa senang. Adiba yang ada di sana pun tersenyum sembari memperlihatkan kalau dirinya itu tampak keren. Lusi mengacungkan kedua jempol kepada temannya itu. Maura yang ada di belakang Lusi tampak cemberut. Hatinya kembali memanas, merasa cemburu kepada Adiba karena ternyata Alia begitu senang bersama Adiba. Berbeda jauh dengan Maura. Alia hanya menceritakan tentang sekolah dan juga main mainan anak-anak, seperti bermain boneka dan juga rumah-rumahan. Tetapi dengan Adiba, gadis kecil itu seperti memperlihatkan sosok aslinya. Ini benar-benar membuat Maura membara. Kenapa orang-orang yang ada di sini tidak pernah mendukung keinginannya? Dia hanya dituntut belajar dan menjadi yang terbaik. Sementara tidak pernah ada yang bertany
"Kenapa? Apa kamu takut di tempat seperti ini? Kamu takut hantu atau takut aku celakai?" tanya Arya dengan tajam. Tatapannya juga sedikit meremehkan. Mendengar itu Raka juga kesal, tapi dia tidak mau mencari musuh. Saat ini yang dibutuhkan adalah sekutu. "Ya. Bukan masalah seperti itu. Apakah tidak bisa kita berbicara di cafe atau di tempat-tempat yang terlihat normal? Mungkin di taman atau di tempat lain yang bukan malah terlihat angker seperti ini," ujar Raka, kembali melihat sekeliling. Dia benar-benar takut kalau Arya akan melakukan sesuatu yang buruk kepadanya. Mungkin kalau misalkan Arya bertingkah buruk, dia bisa melawan. Tetapi bagaimana kalau ada hantu yang akan mengganggunya? Ini benar-benar menakutkan. Jujur, Raka memang takut pada hantu atau hal-hal yang berbau mistis. Ini benar-benar akan menguji dirinya dan keberanian Raka sebagai seorang laki-laki. Untung saja selama pernikahan Lusi tidak pernah mempermasalahkan apa pun. Lusi juga bukan tipe orang yang suka film hor
Raka terdiam sebentar. Sebenarnya, dia tahu apa yang dimaksud oleh Arya. Hanya saja pria itu tidak tahu bagaimana caranya, karena sudah pernah dia juga bersekongkol dengan Maura untuk mencoba menghasut kedua orang itu. Sayangnya gagal. Sepertinya Raka juga tahu kalau Maura itu masih kecil untuk urusan seperti ini. Jadi, bisa dikatakan kalau Maura adalah amatir. Harus benar-benar hati-hati agar tidak ketahuan. Bagaimanapun gadis itu masih remaja, terbawa akan suasana atau egonya sendiri. Melihat Raka yang masih kebingungan seperti ini, tentu saja Arya juga ikut bingung. Kenapa pria itu malah diam saja? Seperti sedang memikirkan sesuatu."Kenapa kamu diam saja? Bukankah kamu sendiri yang bilang, kalau kita itu akan bersekongkol untuk menghancurkan Devan? Tetapi kenapa malah diam?" tanya Arya, ingin tahu.Raka menatap Arya sebentar, lalu menghela napas panjang. Dia mengguyar kepalanya dengan kasar."Begini, aku tahu apa maksudmu. Tapi, aku tidak tahu caranya. Jujur, untuk masalah kejah
"Itulah masalahnya, Bu. Mila tidak sebodoh yang kita kira. Dia bisa saja mengantisipasi untuk mendapatkan hak asuh anak dengan cara menahanku. Dia pasti sudah melakukan berbagai cara agar aku bisa berada di sisinya, termasuk anak itu." "Lalu, bagaimana? Kalau memang kamu tidak mau terikat dengan Mila, lepaskan anak itu. Kalau misalkan kamu ingin anak itu, cari cara menyingkirkan Mila. Mudah, kan?" "Tidak semudah itu, Bu. Aku tahu Ibu benci Mila, tapi tolong jangan benci anakku. Dia tidak tahu apa-apa. Bukankah bayi yang ada di dalam kandungan setiap Ibu hamil itu tidak berdosa? Kalau pun memang harus disalahkan, Mila sendiri dan aku. Jadi, kumohon kali ini saja Ibu mau menuruti permintaanku." Bu Sinta menghela napas kasar. Dalam hatinya tidak mau mengurusi cucunya itu. Lagi pula menurutnya cucu yang baik itu hanya Alia. Walaupun dia tidak tahu bagaimana nanti anak Mila, tapi wanita paruh baya sudah menafsirkan kalau sifat Mila pasti akan turun kepada anaknya sendiri. "Ya, terserah
"Bagus, bagus! Ibu setuju dengan keputusanmu. Kan sudah Ibu bilang, Winda itu adalah istri yang baik untuk kamu. Dibandingkan dengan Mila, Ibu lebih setuju dengan Winda. Dia itu baik hati, tidak perhitungan dan juga mengerti keadaan kamu dan Ibu. Jadi, menurut Ibu kamu itu memang harus memilih Winda. Bagus-bagus," papar Bu Sinta dengan semangat. Dia bahkan terus-terusan tersenyum sembari membereskan piring bekas makan Raka. Pria itu belum berani untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi, kalau diam saja pun tidak akan mengubah situasi yang ada. Keadaan semakin kacau karena pasti Bu Sinta akan menyerang Mila atau malah melakukan sesuatu yang sangat membahayakan untuk rencana ke depannya."Iya, Bu. Tapi aku akan menjadikannya istri kedua."Bu Sinta hampir saja melepaskan piring yang ada di tangan saat Raka mengatakan hal tersebut. Wanita paruh baya itu langsung menyimpan piring kotor dan kembali ke hadapan anaknya dengan wajah kaget. "Apa kamu bilang tadi? Istri kedua? Maks
Wanita hamil itu hanya bisa pergi dengan perasaan kesal. Mungkin Mila bisa saja menerobos masuk, tetapi dia khawatir kalau Raka akan benar-benar murka kepadanya dan semua perkataan pria itu menjadi kenyataan. Membayangkannya saja membuat Mila ketakutan, apalagi kalau benar Raka akan meninggalkannya dan anak yang ada di dalam kandungan. Akhirnya Mila tidak punya pilihan lain, kecuali mengalah terlebih dahulu. Dia akan mencoba kembali untuk membujuk Raka setelah 3 hari, berharap kalau pria itu benar-benar akan kembali kepadanya. Setelah kepergian Mila, Raka dan Bu Sinta pun sedang duduk berhadapan di meja makan, tepat di depannya tampak sekali makanan yang sudah terhidang dan aromanya begitu menggugah selera Raka. Kebetulan pria itu hanya makan ala kadarnya. Saat melihat semua ini, tentu rasa lapar pria itu menyeruak. Tetapi sebelumnya Raka harus memberitahukan kedatangan dirinya kepada Bu Sinta. "Ibu masak untukku?" "Tentu saja. Kamu pikir Ibu akan masak untuk siapa? Istrimu? Ibu
"Mas, aku mohon. Pulanglah bersamaku, jangan seperti ini." Mila sekarang menghiba sembari menangis. "Tolong, jangan buat aku merasa menderita dan tertekan seperti ini. Aku janji, aku tidak akan mengekangmu lagi. Kamu boleh keluar, asalkan kamu bicara dulu kepadaku." "Tidak, ini sudah ketiga kalinya kamu mengatakan hal yang sama, tetapi kenyataannya seperti apa? Kamu tetap saja mengganggu dan menuduhku macam-macam.""Lalu, aku dengan siapa, Mas? Aku tidak mungkin sendiri.""Ada Maura."Seketika Mila malah terdiam. Dia sedang berusaha untuk akting sebaik mungkin agar Raka mau pulang dengannya. Tetapi malah nama Maura yang disebutkan. Dia benar-benar kesal karena adiknya itu malah masuk dalam permasalahan rumah tangganya. "Dia kan bukan siapa-siapa kita. Lagi pula di sini yang harus tanggung jawab atas keselamatan aku dan anak ini kan kamu, Mas." Mila sama sekali tidak bisa diajak berbicara baik-baik. Sekeras apa pun Raka menjelaskan, Mila juga sama kerasnya. Tidak mau mengalah. Rak
"Tidak sekarang, Mila. Aku akan pulang setelah semua urusanku selesai." Mila menautkan kedua alis dengan perasaan bingung. "Apa maksud kamu, Mas? Urusan apa yang kamu lakukan di sini?" Raka menghela napas panjang sembari memijat pelipisnya yang berdenyut. Tidak mungkin dia mengatakan kalau besok dirinya akan menikah dengan Winda. Yang pasti pria itu harus mengelabui Mila. Jangan sampai wanita itu benar-benar menghancurkan semua rencananya. Karena kalau Mila tahu kalau dirinya ingin mencari Lusi dan juga Alia, maka saat itu juga dia mendapat tekanan lagi dari wanita ini. "Aku hanya ingin bertemu dengan ibuku, menghabiskan waktu dengan ibuku." "Lalu, kamu meninggalkan istrimu?" tanya Mila. Matanya berkaca-kaca. Dia tidak menyangka Raka akan melakukan hal seperti ini. Padahal yang harus ditemani adalah Mila. Dia sedang hamil. Kenapa Raka tidak mau melakukan itu? "Dia anakku. Hak dia dong untuk menemani ibunya!"Mila kesal karena Bu Sinta malah ikut campur. Harusnya wanita paruh bay
Bu Sinta maupun Mila kaget mendengar suara Raka yang menggelegar, tampak sekali wajahnya memerah seperti menahan emosi karena sudah dari tadi kedua wanita berbeda usia ini terus saja bertengkar. "Apa kalian tidak bisa diam?! Jangan terus-terusan mengoceh dengan berbagai macam alasan! Aku punya keputusan sendiri," ucap Raka, membuat Bu Sinta dan Mila kaget bersamaan. Mereka takut jika Raka mengambil keputusan yang salah dan merugikan kedua belah pihak. Mila berharap kalau Raka tidak meninggalkannya, berbeda dengan Bu Sinta yang ingin anaknya kembali kepada Bu Sinta dan menceraikan Mila. Pria itu menoleh kepada Mila dengan tatapan sinis. Dia sudah jengah dengan semua perlakuan istrinya ini. Mila berbeda jauh dengan wanita yang dulu pernah menjalin hubungan dengannya. Apa mungkin memang sifat asli Mila seperti ini? Begitu pikir Raka atau hanya karena perubahan hormon Ibu hamil akhirnya Mila lebih protektif dan temperamental? Semua itu masih bergerilya di pikiran Raka, belum bisa menga
"Jangan percaya sama Ibu, Mas! Kamu tahu sendiri, kan? Gara-gara Ibu, kamu hampir kehilangan anak ini. Dia yang memalsukan tes DNA anak ini!" seru Mila tiba-tiba saja mengalihkan pembicaraan, membuat Bu Sinta terdiam dan wanita paruh baya itu benar-benar kaget kala Mila membahas lagi masalah yang sudah berlalu. Padahal sekarang permasalahan utamanya adalah Mila yang tidak pernah bisa membebaskan Raka, selalu saja mengekang dan harus berada di samping wanita itu. "Kenapa kamu malah ngomongin itu sekarang? Bukan waktunya kamu berbicara hal yang sudah berlalu.""Oh, kenapa tidak, Bu? Tentu saja aku harus bicara dengan Mas Raka, kalau Ibu itu tidak mau melihat anak ini lahir, kan?" Keadaan semakin genting saat ini. Kalau Mila mengatakan hal seperti itu, tentu saja Bu Sinta tidak mau kalah. Baginya pertarungan ini harus dimenangkan olehnya, karena ini adalah satu-satunya cara dan kesempatan yang langka untuk mendapatkan anaknya kembali. "Jaga bicaramu! Itu sudah berlalu, aku melakukan
Bu Sinta dan Mila sama-sama terkejut melihat siapa yang tiba-tiba saja menyerukan nama Mila. Seketika wajah Bu Sinta berubah menjadi pura-pura sedih. Sementara Mika pucat sekali, seperti orang yang kehilangan banyak darah. "Raka, akhirnya kamu datang," ucap Bu Sinta dengan suara lemah sembari menghampiri anak yang saat ini berada di belakang Mila. Wanita hamil itu benar-benar kaget dengan kehadiran Raka. Dia tidak menyangka kalau Raka ada di belakangnya. Dia pikir Raka ada di dalam dan tidak mendengar pembicaraan mereka, tetapi siapa? Tahunya orang yang dicari itu tiba-tiba saja datang dan mendengarkan percakapan, lebih tepatnya kata-kata sang wanita yang keterlaluan jika didengar oleh orang lain. "Raka, lihat istrimu! Katanya akan membunuh Ibu jika berani macam-macam atau menghasutmu. Padahal kan Ibu tidak mengatakan apa-apa, Ibu juga tidak tahu kalau misalkan kamu pergi dari rumah. Apakah itu istri yang kamu pikir baik?" tanya Bu Sinta dengan pura-pura menangis. Mila hanya bisa
"Suami mana yang pergi dari rumah istrinya tanpa bilang apa-apa? Kecuali kalau dia kabur karena tidak kuat dengan sikap istrinya. Menurutmu perkataanku benar, kan?" ucap Bu Sinta, tiba-tiba saja membuat Mila terdiam.Wanita paruh baya itu sampai melipat tangan di depan dada. Mila terdiam saja. Dia merasa tersinggung dengan semua perkataan mertuanya. Entah kenapa setiap apa pun yang keluar dari mulut Bu Sinta itu selalu pedas dan menyakitkan.Sang wanita paruh baya sama sekali tidak pernah memikirkan perasaan orang lain, tetapi herannya kenapa Lusi dulu kuat sekali berhadapan dengan Bu Sinta? Mila tidak mau nasibnya sama seperti Lusi, disetir begitu saja oleh mertua. Dia harus berdiri di kaki sendiri tanpa diperintah oleh siapa pun, termasuk mertua.Mila menghela napas panjang, berusaha untuk tenang menghadapi Bu Sinta tanpa dengan emosi. Dia harus membuat Bu Sinta paham, kalau semua yang dilakukan ini demi kebaikan dirinya dan juga Raka, termasuk anak yang ada di dalam kandungan."B