Suara ketukan di kaca mobil membuat Maura terkesiap. Ternyata itu Devan. Pria itu tersenyum, memberi isyarat agar Maura segera keluar. Sang gadis pun berusaha untuk memperlihatkan senyuman terbaik. Hal kecil seperti ini saja sudah membuat Maura sangat senang. Andai saja dia lebih dulu bertemu dengan Devan, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Pasti pria itu juga akan menolongnya, sama seperti Lusi menolong Maura saat ini. Gadis itu pun langsung keluar dan mengikuti langkah Devan untuk masuk. Di sana terlihat Lusi sedang duduk sembari melihat ke arah lain. Tatapannya itu seperti sedang menghakimi. Lebih tepatnya tampak sedang serius menatap ke arah lain. Maura yang penasaran pun mengikuti arah pandang Lusi. Betapa terkejutnya gadis itu melihat Raka yang saat ini sedang menjadi pelayan, menulis pesanan dan juga mengambil makanan yang ada di belakang. Gadis itu terperangah kaget, sampai tidak bisa mengerjapkan mata. Benarkah yang ada di sana itu Raka? Seorang pria yang katany
"Bagaimana menurutmu? Apakah aku sudah pantas memberikan pelajaran kepada Raka?" tanya Devan kepada Lusi. Wanita itu menyipitkan mata sembari berpikir, lalu tak lama kemudian dia pun menganggukkan kepala."Iya, itu lebih baik, Mas. Daripada kamu memerintahnya macam-macam, ini akan lebih menyakitkan untuk Mas Raka jika melakukan hal seperti tadi." Lusi pun membuat Devan tersenyum. Sementara Maura yang ada di sana hanya bisa berdiam diri sembari melihat kedua orang itu. Dia kembali mengepalkan kedua tangan di bawah meja, benar-benar muak dengan semua yang ada di depannya. Bisakah dia berkomentar sedikit saja? Tapi rasanya itu tidak mungkin.Sang gadis hanya bisa memilih untuk berdiam diri melihat ke sekitar, lalu matanya tertuju kepada seorang pria yang sudah dari tadi melihat Devan dari kejauhan. Gadis itu menyipitkan mata. Dia sama sekali tidak kenal dengan siapa pria itu, tetapi tampaknya masih muda. Mungkin sekitar 20 tahunan. Hanya saja sorot matanya itu menandakan kalau dia san
Setelah makan usai, Lusi pun pulang bersama Maura menggunakan taksi. Lusi tidak bisa berlama-lama di restoran Devan karena takut Alia mencarinya. Sepanjang perjalanan, Lusi dan Maura saling diam. Sebenarnya gadis itu sedang memikirkan sesuatu, untuk memulai pembicaraan dia harus benar-benar tenang menghadapi ini semua. Tetapi juga harus memulai agar Lusi bisa termakan dengan omongan sang gadis. Sampai akhirnya Maura pun memberanikan diri untuk berucap. "Em, maaf sebelumnya, Mbak. Apakah Mbak memang punya hubungan khusus dengan Mas Devan?" tanya Maura membuat Lusi menoleh. Sebenarnya dia tidak masalah dengan pertanyaan itu. Hanya saja panggilan Maura yang mengatakan Mas, membuat Lusi tidak nyaman. Wanita itu tidak mau memikirkan perasaan Maura. Dia cukup sekali dimanfaatkan oleh Mila, sampai menjadi orang yang tak enakan dengan apa pun yang dipinta oleh mantan sahabatnya itu. Meskipun Maura itu adalah adiknya. Tetapi dia harus tetap tegas kepada sang gadis, tidak boleh menumbuhkan
Sesampainya di rumah, Alia langsung menyambut kedatangan Lusi dengan antusias. Gadis itu begitu riang dan menceritakan kalau dia seharian sudah bermain macam-macam dengan Adiba. Permainan yang belum pernah dia lakukan sebelumnya. Mendengar itu tentu saja Lusi merasa senang. Adiba yang ada di sana pun tersenyum sembari memperlihatkan kalau dirinya itu tampak keren. Lusi mengacungkan kedua jempol kepada temannya itu. Maura yang ada di belakang Lusi tampak cemberut. Hatinya kembali memanas, merasa cemburu kepada Adiba karena ternyata Alia begitu senang bersama Adiba. Berbeda jauh dengan Maura. Alia hanya menceritakan tentang sekolah dan juga main mainan anak-anak, seperti bermain boneka dan juga rumah-rumahan. Tetapi dengan Adiba, gadis kecil itu seperti memperlihatkan sosok aslinya. Ini benar-benar membuat Maura membara. Kenapa orang-orang yang ada di sini tidak pernah mendukung keinginannya? Dia hanya dituntut belajar dan menjadi yang terbaik. Sementara tidak pernah ada yang bertany
"Kenapa? Apa kamu takut di tempat seperti ini? Kamu takut hantu atau takut aku celakai?" tanya Arya dengan tajam. Tatapannya juga sedikit meremehkan. Mendengar itu Raka juga kesal, tapi dia tidak mau mencari musuh. Saat ini yang dibutuhkan adalah sekutu. "Ya. Bukan masalah seperti itu. Apakah tidak bisa kita berbicara di cafe atau di tempat-tempat yang terlihat normal? Mungkin di taman atau di tempat lain yang bukan malah terlihat angker seperti ini," ujar Raka, kembali melihat sekeliling. Dia benar-benar takut kalau Arya akan melakukan sesuatu yang buruk kepadanya. Mungkin kalau misalkan Arya bertingkah buruk, dia bisa melawan. Tetapi bagaimana kalau ada hantu yang akan mengganggunya? Ini benar-benar menakutkan. Jujur, Raka memang takut pada hantu atau hal-hal yang berbau mistis. Ini benar-benar akan menguji dirinya dan keberanian Raka sebagai seorang laki-laki. Untung saja selama pernikahan Lusi tidak pernah mempermasalahkan apa pun. Lusi juga bukan tipe orang yang suka film hor
Raka terdiam sebentar. Sebenarnya, dia tahu apa yang dimaksud oleh Arya. Hanya saja pria itu tidak tahu bagaimana caranya, karena sudah pernah dia juga bersekongkol dengan Maura untuk mencoba menghasut kedua orang itu. Sayangnya gagal. Sepertinya Raka juga tahu kalau Maura itu masih kecil untuk urusan seperti ini. Jadi, bisa dikatakan kalau Maura adalah amatir. Harus benar-benar hati-hati agar tidak ketahuan. Bagaimanapun gadis itu masih remaja, terbawa akan suasana atau egonya sendiri. Melihat Raka yang masih kebingungan seperti ini, tentu saja Arya juga ikut bingung. Kenapa pria itu malah diam saja? Seperti sedang memikirkan sesuatu."Kenapa kamu diam saja? Bukankah kamu sendiri yang bilang, kalau kita itu akan bersekongkol untuk menghancurkan Devan? Tetapi kenapa malah diam?" tanya Arya, ingin tahu.Raka menatap Arya sebentar, lalu menghela napas panjang. Dia mengguyar kepalanya dengan kasar."Begini, aku tahu apa maksudmu. Tapi, aku tidak tahu caranya. Jujur, untuk masalah kejah
"Kamu yakin Devan tidak akan mau dengan gadis kecil sepertinya?" tanya Arya masih meragukan, karena dia takut kalau perkiraan Raka itu salah. Arya jadi teringat kalau Raka tidak punya pengalaman mengerjakan satu misi seperti ini. "Ya, siapa juga yang mau dengan gadis ingusan seperti itu? Apalagi seharusnya Maura dijadikan Adik, bukan malah dijadikan kekasih. Aku yakin, selera Devan juga tinggi. Lihat saja mantan istriku! Lusi itu bukan wanita sembarangan. Jadi, sudah dipastikan itu tidak akan terjadi. Kalau pun misalkan suatu hari nanti Maura memaksa, kita tinggal buat gadis itu tidak berdaya. Buat dia menjadi bersalah dan ancam, bereskan kan?" ucap Raka. Dia tidak berpikir sama sekali apa yang akan terjadi jika sudah melakukan itu semua. Arya terdiam sejenak, memikirkan apa yang barusan dikatakan oleh pria di depannya ini."Ya, ya. Kamu benar juga. Kalau memang tidak ada pilihan lain, ya sudah. Sertakan gadis itu. Aku juga ingin melihatnya," ucap Arya, penasaran. Raka pun langsu
"Kenapa jadi seperti ini, sih, Maura? Kamu bilang, kamu bisa menangani semua ini dan membuat anakku dekat denganku kembali. Dengan begitu aku juga bisa kembali kepada Lusi. Ini kan yang kamu katakan? Kamu sendiri yang menawarkan kerja sama denganku, tapi malah seperti ini. Bagaimana?" tanya Raka. Dia jadi kesal sendiri karena ternyata ada saja halangan untuk mereka menjalankan aksi. Maura kebingungan, dia juga tidak tahu harus berbuat apa. Cuma, tentu saja Maura tidak mau disalahkan. Dia juga sudah berusaha sekuat tenaga untuk menghasut Alia. Hanya saja, gadis itu seperti punya pendirian dan sampai dipatahkan oleh Lusi sendiri. "Ya, kamu jangan nyalahin aku sepenuhnya, dong! Mana ada yang tahu kalau ada orang baru datang di rumah ini, dan lebih sialnya lagi orang itu lebih dekat dengan Mbak Lusi dibandingkan aku. Aku juga sudah berusaha sekuat tenaga untuk menghasut Alia agar kembali percaya kepadamu, tapi ternyata gadis itu masih bisa dikendalikan oleh ibunya. Aku bingung harus ber
"Karena Mila itu beda dengan Lusi. Mau seperti apa pun aku berusaha menyamakan Mila dan Lusi atau mengubahnya, itu mustahil, Bu. Mila ya Mila. Lusi ya Lusi, tidak bisa disamakan," ungkap Raka. Dia tidak suka kalau misalkan ada yang membanding-bandingkan dan menyuruh Mila sesuai dengan Lusi, karena mantan istrinya itu tidak ada duanya. Tak bisa ada yang menyamai sifat Lusi yang begitu baik hati."Kalau begitu untuk apa kamu melanjutkan hubungan dengan Mila? Kalau kamu alasannya anak, percaya pada Ibu, hati kamu tidak akan pernah bisa tenang dan anakmu juga akan punya trauma karena kalian menikah dengan terpaksa.""Bu.""Raka, dengarkan Ibu. Ibu tahu kamu tidak percaya kepada Ibu karena kejadian-kejadian kemarin, tapi kali ini Ibu benar-benar melakukan semua ini karena kebaikanmu. Ibu yakin, Mila itu bukan wanita yang baik. Coba kamu pikirkan ulang perkataan Ibu, jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari." Raka tidak mau menanggapi perkataan Bu Sinta dan memilih untuk mengeluarkan
Seketika Raka terdiam. Dia melihat ibunya dengan tatapan bingung, tapi Bu Sinta saat ini begitu serius memandangi Raka dan berusaha untuk meyakinkan anaknya agar meninggalkan Mila."Apa maksudnya, Ibu? Aku meninggalkan Mila dan calon anakku?" tanya Raka, wajahnya berubah menjadi serius. "Iya, kamu benar.""Tidak bisa, Bu. Di dalam kandungan Mila itu ada anakku. Bukankah tes DNA sudah membuktikan kalau dia itu adalah anakku? Aku tidak bisa meninggalkan anakku, tidak bisa." Sesuai dengan perkiraan Bu Sinta, kalau pria ini tidak akan pernah tega meninggalkan anaknya. Sisi lain dari Raka itu sangat menyayangi darah dagingnya sendiri, meskipun Mila adalah wanita yang benar-benar memuakkan. "Ya, Ibu tahu kamu sangat menyayangi anakmu, tapi juga pikirkan ke depannya. Kamu akan terus-terusan dikekang oleh Mila. Kamu tidak akan betah kalau terus-terusan begini. Percaya pada Ibu. Mila itu bukan wanita yang baik untuk dijadikan seorang istri," ucap Bu Sinta mengatakan ini dengan sepenuh hati,
Raka menundukkan kepala dengan menutupi wajahnya. Terdengar suara sesenggukan begitu menyakitkan. Tiba-tiba saja Bu Sinta merasa kalau dirinya saat ini benar-benar melihat anaknya yang masih kecil. Raka yang begitu polos dan memohon agar apa yang diinginkannya dikabulkan.Sudah cukup lama dia tidak melihat sisi rapuh anaknya sendiri."Aku bingung, Bu. Aku harus bagaimana? Semua orang menghimpitku, menyalahkanku seolah-olah aku ini adalah orang yang paling berdosa di sini. Aku tidak ingin hal yang lebih, Bu. Aku ingin kembali kepada Lusi dan hidup seperti dulu bersama anakku. Tapi, itu juga tidak bisa. Sekarang yang aku inginkan adalah bertemu dengan Alia. Dia anakku, dia adalah hidupku. Jika aku sekarang hancur karena perbuatanku dulu, setidaknya ada anakku yang bisa menguatkanku untuk tetap bertahan dan melanjutkan hidup," ungkap Raka, kembali sesenggukan. "Kenapa, Bu? Kenapa Ibu tidak bisa mengerti dengan keadaanku saat ini? Aku menghukum Ibu karena memang Ibu sudah sangat keterlal
Bu Sinta kembali pura-pura menangis, karena dia akan benar-benar membuat anaknya merasa bersalah sebab sudah meninggalkannya. "Jadi, karena itu kamu berani mengusir Ibu? Kamu meninggalkan Ibu karena wanita itu?" tanya Bu Sinta dengan mata berkaca-kaca.Raka langsung menggelengkan kepala, menghela napas berkali-kali dan berusaha untuk tenang. Di hadapannya ini adalah ibunya sendiri. Dia harus membuat Bu Sinta mengerti, kalau dirinya punya tujuan tertentu dan tidak sembarangan melakukan hal-hal itu. "Bu, Kalau boleh jujur. Dari dulu saat aku bersama Lusi sudah berkali-kali aku ingatkan, Ibu tolong jaga sikap. Jangan terlalu banyak meminta uang kepada Lusi dan apa pun yang membuat Lusi mungkin merasa terbebani, tapi apa? Jawaban Ibu selalu saja memaksakan kehendak. Itu pun aku tetap diam, karena memang Lusi tidak mempermasalahkan itu. Tapi kemarin, aku hampir saja benar-benar kehilangan Lusi karena ide Ibu, kan? Apa Ibu tidak merasa bersalah kepadaku?" Sekarang giliran Raka mengungkap
Bu Sinta tetap diam di teras dan duduk dengan wajah sendu. Dia melihat ke sekeliling, mengecek mungkin ada Maura. Tetapi entah itu ada Maura atau tidak, yang penting saat ini rencananya sudah berhasil. Berharap kalau kali ini Raka mau mendengarkan ibunya. Saat ini pria itu sedang mengambil minum ke dalam. Setelah datang dia meminta ibunya untuk hati-hati meneguk air yang bersedia. Setelah itu Raka duduk di depan ibunya. Dia menatap Bu Sinta sedemikian rupa, takut jika ibunya itu terluka. "Ibu, nggak apa-apa, kan? Apa ada yang terluka?" tanya Raka, yang langsung digelengi kepala oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu mengusap pipi anaknya dengan sangat pelan dan juga penuh perasaan. "Akhirnya kamu pulang juga, Nak. Entah sudah berapa lama. Ibu merasa kangen sama kamu, sulit sekali untuk bertemu dengan kamu. Tapi kamu datang ke sini untuk bertemu Ibu? Benar-benar ibu merasa senang," ungka Bu Sinta, kali ini ucapannya dicampur dengan kebohongan. Karena itu terlalu berlebihan jika diung
Raka tampaknya masih ragu untuk menghampiri Bu Sinta, karena dia tahu kalau ibunya itu sangat licik. Bisa saja Bu Sinta itu sedang pura-pura. Tetapi dia berpikir ulang, mana mungkin ibunya bisa berpura-pura sementara wanita paruh baya itu belum tahu kalau dirinya akan datang ke sini.Raka masih menganalisis Bu Sinta dari jauh. Wanita itu masih terus menangis dan berpura-pura sedih, mengatakan hal yang macam-macam. Membuat Raka semakin tak enak hati.Di sisi lain, Maura mulai merekam kejadian itu. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Raka. Kalau misalkan memang pria itu mudah sekali terhasut, maka dipastikan saat ini Raka akan menghampiri ibunya. Wanita itu kesal sekali karena dari tadi Raka hanya mematung dan meneliti apa yang dilakukan Bu Sinta di sana. Begitu juga dengan sang wanita paruh baya, dalam hati menggerutu. Kenapa Raka hanya diam di situ saja? Tidak menghampirinya. Tampaknya dia harus benar-benar membuat kejadian yang ekstrem, agar anaknya itu mau menghampirinya. "Aku
Di mobil, Maura langsung menelepon Bu Sinta. Untunglah wanita paruh baya itu memang sudah dari tadi menunggu. "Halo, Bu," ucap Maura saat menelepon. "Gimana? Kenapa kamu dari tadi susah banget dihubungi atau kamu nggak hubungi Ibu?" tanya Bu Sinta kesal sendiri."Sabar dulu, Bu. Jangan marah-marah dulu. Sekarang Ibu sebaiknya ikutin perkataanku. Ibu ke depan gerbang dan terlihat pura-pura menangis." "Apa maksudnya?" "Pokoknya, Ibu buat hal yang sedih aja. Soalnya Mas Raka menuju ke sana.""Terus, apa yang terjadi barusan?" "Nanti aku akan ceritakan, tapi sekarang Ibu jangan banyak tanya. Pokoknya Ibu pura-pura makan sama nasi aja atau digaramin atau apa kek, yang penting Ibu itu terlihat sedih dan menderita. Tapi Ibu harus ada di depan. Dengan begitu Mas Raka pasti tidak akan tega dan langsung menghampiri Ibu." "Begitu, ya?" "Iya, pokoknya Ibu ikuti semua perkataanku," ucap wanita itu yang langsung disetujui oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu sebenarnya tidak mengerti dengan
Raka masih diam, tidak tahu harus mengatakan apa, karena semuanya serba mendadak. Padahal sebelumnya pria itu berpikir kalau Winda akan dengan senang hati memberinya bantuan tanpa harus meminta apa pun darinya. Tetapi, semua itu ternyata salah. Winda tetap saja meminta hal yang rasanya mustahil dilakukan oleh Raka. Masalahnya Raka memang tidak punya perasaan kepada wanita ini, ditambah lagi kalau misalkan Mila tahu apa yang sudah dilakukan Raka maka rencana semula akan benar-benar hancur. Hanya saja, pria itu juga ingin bertemu dengan Alia. Bagaimana kalau misalkan Alia ternyata dibawa ke luar negeri oleh Lusi? Entah berapa lama dia akan memendam rasa rindu kepada anaknya itu. Semua ini seperti sebuah simalakama untuknya. Melihat diamnya Raka, Winda tersenyum sinis. Dia menghela napas panjang, tahu kalau semua ini sulit untuk Raka dan mungkin pada akhirnya pria ini akan menolak tawaran itu. Jadi, tidak ada alasan Winda untuk menerima semua permintaan Raka. "Baiklah, Mas. Kalau mema
Maura menutup mulut, tak menyangka. Dia ingin menjerit dan memprotes apa yang dikatakan oleh Winda. Jika memang Winda tidak mengejar Raka, maka dia tidak akan mendapatkan rumah kecuali kalau misalkan dia memberikan ancaman. Tetapi tetap saja wanita itu tidak bisa memanfaatkan Winda kalau wanita itu tidak mengejar Raka lagi. Ini akan berat untuknya, tapi Maura juga tidak bisa melakukan apa-apa selain diam dan mendengarkan pembicaraan mereka sampai selesai. Tidak lupa wanita itu menyetel rekaman keduanya. Dia melakukan ini demi sebuah keamanan dan juga materi. Karena bagaimanapun hidup di sini butuh uang, jadi Maura tidak mau menjual rasa kasihannya demi orang lain. "Kenapa, Mas? Kamu diam saja. Kamu tidak beranikan menentukan jaminan apa-apa?" Winda menghela napas panjang. "Mas, aku memang prihatin dengan apa yang terjadi kepadamu. Tapi seperti yang kamu bilang, semua ini berawal dari kamu sendiri, kan? Kalau memang kamu mau aku membantu bertemu dengan Alia, maka kamu harus menikah