Aku mengerutkan kening ini. Mencoba menelisik siapa yang benci Yuni. Lalu aku teringat seseorang yang mengusirnya dari rumahku."Ada. Dia mantan istri kedua saya yang bernama Cynthia. Apa mungkin ia yang melakukannya?""Bisa jadi. Siapapun bisa melakukannya. Akan kami selidiki. Terima kasih atas informasinya. Nanti anda berikan informasi detail tentang Cynthia, alamat dan lain-lain.""Baiklah, Pak.""Baik. Kami permisi dulu. Kalau korban sudah sadar, kami akan ke sini lagi untuk menanyai korban. Ada petugas kami yang berjaga." Mereka berdua berdiri dan bersiap untuk pulang."Iya, Pak. Terima kasih."Aku mengantar mereka sampai lobi rumah sakit. Dari sana aku kembali melihat keadaan Yuni. Ia masih belum sadar juga.Selanjutnya aku ke kamar perawatan Tika saja karena untuk memberitahukan Bapak kalau Yuni sudah ketemu. Biar bisa gantian, aku yang jagain Tika saja.Saat pintu dibuka, keduanya sudah bangun. Tika sedang sarapan sedangkan Bapak duduk di samping Tika untuk menyuapinya. "Itu
"Mas, kamu lagi apa sih?""Iya sebentar." Aku mencoba mendekatinya dan menghiburnya. Tak lama suara ketukan, dan masuklah Dokter beserta beberapa Perawat. Mereka akan memeriksa Tika. "Pasti yang ini dokter ya sama suster?" tanyanya."Iya. Apa yang ibu rasakan sekarang?" tanya Dokter Satria--itulah nama yang melekat di bajunya."Saya ingin jalan, Dok. Saya udah sembuh, mau pulang. Itu ada suami saya dateng," katanya dengan semringah walau wajahnya pucat."Ya udah, sebentar saya periksa dulu. Kalau nggak demam dan semua baik, Ibu bisa pulang," kata Dokter."Benarkah, Dok?""Iya, sebentar ya!"Dokter memeriksa keadaan Tika. Ia mengangguk berkali-kali. "Gimana Dok?" tanyaku pada Dokter yang sudah memeriksanya."Bapak, kita bisa ngobrol di ruangan saya ya!"Aku kembali pada Tika, meminta izin padanya untuk keluar sebentar."Aku keluar sebentar ya! Ada yang harus disampaikan Dokter," ucapku."Kenapa nggak di sini aja?""Mungkin ada sesuatu yang penting, jadi aku keluar dulu ya, Dek!"Ia
Tika dibantu perawat dan olehku untuk duduk di kursi rodanya. Kami meninggalkan kamar perawatan. Aku bersyukur bisa keluar dari sini. Semoga Tika berangsur sehat agar ia tak kembali lagi ke sini."Rumahku jauh nggak?" Ia bertanya saat kami sedang di mobil."Dekat. Sebentar lagi juga sampai," jawabku."Baiklah. Aku mau tidur dulu ya! Nanti Bapak sama Ibu ada di rumah kan?" tanyanya."Ada Ibu. Kalau Bapak sedang diluar," jawabku.Aku menjawab tanpa memandangnya karena fokus ke depan. Kulihat dari ekor mata, ia sudah tertidur. Mirip Kia yang tidur saat ia sudah capek.Kami tiba di rumah, sedangkan Tika masih tidur."Dek, udah sampe!"Ia bangun mengerjapkan matanya, lalu melihat kearahku. Ia masih bergeming, apa mungkin karena baru bangun tidur?"Ini dimana? Aku siapa? Kamu siapa? Kenapa aku di sini?" tanya Tika tiba-tiba."Udah, Dek. Kita masuk saja dulu. Nanti dijelaskan di dalam." Aku langsung meminta perawat untuk mengurusinya.Saat suster membukakan pintu untuknya, aku pun membantuny
Aku meminta Ibu untuk membawa Tika ke kamar yang sudah disiapkan untuknya. Sementara aku akan memberikan pengertian pada anakku--Faiz."Faiz, ke sini sebentar!" Aku memintanya duduk di sampingku."Iya, Yah." Ia datang dengan bibir cemberut. Ku berikan senyuman untuk Faiz karena ia sudah semringah menyambut bundanya. Tapi yang ia dapatkan malah kekecewaannya. Aku tak mau menambah beban kecewa di hatinya."Sayang, maafkan bundamu ya! Memang sebenarnya Bunda masih capek. Jadi tak terlalu menanggapi Faiz," sahutku."Iya, Yah. Nggak apa-apa. Aku ngerti.""Kamu memang dewasa sekali." Aku memujinya."Terima kasih, Yah. Aku tak ingin merepotkan Ayah dan Bunda. Kalau misalnya Bunda masih sakit, aku menerima semuanya, Yah. Kata Bu Guru, kita harus menerima ketentuan dan ketetapan Allah SWT. Aku belajar seperti itu, Yah.""Masya Allah kamu pintar sekali, Faiz. Ayah bangga sama kamu." Kali ini aku memeluk Faiz. Laki-laki kecil ini sudah memahami keadaan orang tuanya.Selanjutnya kudengar Kia terb
Mereka nanti bisa memaklumi keadaan bundanya. "Kalo nggak percaya, tanya Ayah aja," sahut Faiz sembari mencuci piringnya yang telah ia pakai."Mana Ayah?" Kia melihat ke arahku. Ia tersenyum dan berlari memeluk aku. Lama sekali ia berada dalam pelukan. Kudengar ia menangis sesenggukan."Ayah ... memangnya Bunda udah nggak kenal kita lagi ya? Bunda kenapa sih, Yah?" Kali ini ia membenamkan kepalanya di bahuku."Bunda lagi sakit, Kia Sayang. Kita doakan Bunda cepat sembuh ya! Nanti kalau Bunda nggak kenal Kia ataupun Faiz, jangan sedih. Sebenarnya Bunda juga tak mau seperti itu. Tapi ... Allah sedang menguji Bunda dan kita yang menyayangi Bunda," jawabku."Allah kok ngujinya gitu sih, Yah. Orang lain aja bundanya sehat-sehat. Mereka sering anterin sekolah teman-temanku. Kenapa kalau bundaku seperti ini. Kemarin Bunda menghilang, udah ketemu, Bunda malah sakit," ucap Kia kecewa. Ya, Kia memang kecewa."Sabar ya, Kia. Kita banyakin doa aja untuk kesembuhan Bunda. Kalau kita yakin, Insya
Sudah jelas juga kalau Cynthia yang melakukan semua pada Yuni. Jelas ia harus mendapatkan hukumannya.Gegas aku ke rumah sakit. Akan kuberikan rekamanku sebagai bukti pada kepolisian dan mudah-mudahan Yuni sudah sadar.Aku yang mengantuk, akhirnya terbangun kembali. Kali ini aku menuju rumah sakit karena ingin mencari tau apakah sudah diketahui kalau Cynthia pelakunya atau otak dari perbuatan tersebut.Sampai di rumah sakit, Yuni sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Bapak masih menunggui dengan setia dan ternyata Yuni sudah sadar."Mas Wahyu," ucap Yuni pelan.Aku masuk dan mencium tangan Bapak, selanjutnya mendekat di samping ranjang Yuni."Gimana keadaanmu?" tanyaku khawatir. Perban sudah terpasang di beberapa tempat seperti wajah dan lengan."Baik, Mas. Tadi polisi udah menanyaiku" jawabnya "Lalu gimana?""Aku udah ceritakan semua. Ada dua orang yang membawaku ke suatu tempat. Di sana aku dibilang sebagai perusak rumah tangga orang. Mereka memukuliku berkali-kali.""Ada yang kau
"Kita mau jenguk Bunda sekalian ajak ke ragunan. Bunda mau?"Anak-anak mengobrol dengan bundanya, aku sekalian bertanya dengan suster yang merawatnya. Ia ada di dekat Tika."Gimana, Sus? Boleh kan kami ajak bundanya anak-anak jalan-jalan?" tanyaku."Gimana, ya? Tapi besok kan jadwal terapi," katanya."Nanti lusa, hari Sabtu kok," jawabku."Baiklah. Besok saya tanyakan pada dokter dulu ya!" sahut Suster.Anak-anak masih mengobrol dengan bundanya. Mereka memperkenalkan diri lagi satu per satu. Kali ini Tika menganggap kedua anak kami sebagai temannya, teman mainnya."Kamu ajak aku ke Ragunan, berarti nanti bawa bekel yang banyak ya! Eh, memangnya di Ragunan ada apa sih?" Tika mengernyitkan dahinya."Ada banyak hewan, Bunda. Hewan baik dan hewan buas juga ada di sana. Bunda kenapa Bunda anggep aku temen Bunda? Aku anak Bunda. Boleh nggak aku peluk Bunda?" Kali ini Kia berkata-kata dengan air mata yang berderai. Sang Bunda tak mengerti. Ia berkali-kali mengerutkan keningnya ketika Kia me
"Andhini sakit. Saat Cynthia kesal, ia selalu lampiaskan pada bayi itu. Anakmu jarang diberi ASI, makanya Bapak dan Ibu memberikan air tajin atau kami berikan susu formula. Suatu ketika susu formula yang biasa ia minum, tak ada. Trus, Andhini meminum formula yang jenis lainnya, tapi ia malah mencret-mencret," cerita Bapak."Ya Allah, Pak. Kenapa aku nggak diberitahu?""Kami tak boleh menghubungi Nak Wahyu. Maaf ya, Nak Wahyu! Bapak juga bingung sekarang. Tia malah ditangkap, bagaimana Andhini nanti?" tanya Bapak."Sekarang Andhini siapa yang jaga? Bapak ada di mana?" tanyaku karena ingin sekali bertemu dengan putriku ini. Kasihan ia masih setahun, harus mengalami hal pahit dalam hidup."Andhini di rumah sakit Berlian. Bapak sedang jaga dia. Tapi, Ibu di rumah Cynthia juga katanya sakit. Tadi sempat pingsan saat Cynthia dibawa polisi," sahut Bapak."Ya sudah, Bapak tunggu di sana. Aku saja yang jagain malam ini. Nanti Bapak bisa pulang ya!" sahutku."Iya, Nak Wahyu. Baiklah, ditunggu y