"Bu, pakailah hati nurani Ibu. Saya mohon! Saya ingin memberikan kenangan bagi anak-anak agar mereka bisa berbakti pada bundanya. Selain itu, orang tua dan adiknya ingin bersama dengannya selama sisa hidupnya."Kutinggalkan Bu Hanum agar ia berpikir lebih bijak. Jangan sampai keinginan orang sakit malah ia kabulkan. Padahal orang tersebut butuh dukungan keluarga.Kucoba mengurus perpindahan rumah sakit agar bisa membawa Tika segera. Saat aku akan mengurusnya, Bu Hanum datang."Pak, saya ikut apa kata Bapak tadi. Baiklah, bawa saja Tika ke Jakarta. Mudah-mudahan ada perkembangan lebih baik nantinya. Saya sudah menemuinya barusan, dan saya tak kuat saat berbicara dengannya. Ia sudah melupakan saya." Tiba-tiba saja air matanya meluruh. Aku tau ia sahabat dekatnya, makanya tadinya ia bertahan dengan pendapatnya."Alhamdulillah, terima kasih, Bu. Saya tau Ibu pasti bisa berpikir dengan hati nurani Ibu. Saya permisi dulu mau mengurus kepindahan.""Baiklah. Semoga bisa malam ini juga," katan
Apa kalian tau perasaanku saat ini? Nyesek banget. Di saat Tika kehilangan ingatannya, justru ia menganggap aku suaminya karena aku bilang kalau ia bundanya anak-anak dan aku ayahnya anak-anak. Ia melupakan status kami yang sudah berpisah. Aku memilih pura-pura tak mendengarkan kata-katanya. Aku tak bisa melakukannya karena aku tak mau melakukan dosa dengan menyentuhnya. Sebenarnya Yuni juga melihatku pergi. Ia tak bicara apa-apa karena paham dengan status kami.Beberapa saat aku menahan mataku yang panas. Sampai akhirnya tiba di parkiran, aku memasuki mobil, akhirnya bulir bening mengalir dari mataku. Kali ini aku benar-benar menangis. Menangis untuk sesuatu yang tak mungkin terjadi. Menangis untuk sebuah penyesalan yang tak bertepi serta rindu yang tak berkesudahan.Kuhela napas dalam-dalam dan kuhembuskan kasar. Terisak dalam beberapa waktu sampai akhirnya aku yakin untuk meninggalkan rumah sakit.Kali ini kendaraanku melaju membelah jalanan ibukota. Kulajukan dengan kecepatan s
"Aku Wahyu. Ayahnya anak-anak kita. Kamu cepat pulang, biar segera ketemu anak-anak, ya!""Oh ... Bapak suamiku berarti. Maafkan aku ya, malah sakit begini. Pasti capek ya ngurusin anak-anak. Aku lupa wajah anak-anakku seperti apa? Apa mereka sudah besar?"Lagi-lagi Tika tak mengenaliku dan anak-anak. Dengan sabar aku harus menjawab semua pertanyaannya.Tika mengangguk-angguk saat aku menerangkan tentang anaknya. Kuceritakan semuanya, tentang Faiz dan Kia. Tika tersenyum dan bahagia saat kuceritakan semua padanya."Mas, aku mau ketemu anak-anak. Kita pulang sekarang aja," katanya."Nggak bisa, kalau pulang dari sini harus seizin dokter, Dek.""Aku mau pulang, Mas. Kangen sama kalian." Ia berusaha bangun, tapi tak bisa. "Aw!" serunya."Hati-hati, Dek. Kamu nggak usah mau bangun. Kan masih belum bisa.""Iya, deh." Ia kembali pada posisi tiduran. "Oya, aku bawa bakpia loh. Mau dimakan sekarang nggak?" tanyaku."Bakpia? Memang aku suka bakpia?""Iya, kamu suka banget. Kalau ada bakpia, b
Aku putuskan untuk mencari Yuni. Sebelumnya kutitipkan anak-anak pada ibunya Yuni. Aku akan mencari sepanjang jalan menuju rumah sakit.Kemana kira-kira Yuni pergi? Mengapa ia tak mengabari kalau ia terlambat misalnya ke rumah sakit?Malam ini aku fokus mencari Yuni. Sepanjanh jalan tadi, aku tak menemukan jejak Yuni. Entah ia di mana sekarang.Tibalah aku di rumah sakit. Aku mencari di sekeliling rumah sakit pun tak ketemu. Dimana Yuni berada sekarang?Sampailah di kamar perawatan Tika. Kubuka pelan pintunya, Bapak sedang tertidur di sofa. Tika juga sedang terlelap. Tak ada Yuni di sini. Tapi, apa mungkin Yuni diculik atau sesuatu terjadi padanya?Kututup kembali pintu kamar diam-diam. Aku harus mencari Yuni lagi karena memang ia tak ada. Sedikit info mengenai teman-teman Yuni. Aku tak memiliki banyak info tentang teman-temannya.Kutelepon dua orang teman di sekolah tempatnya mengajar dan keduanya pun tak tau dimana Yuni. Aku takut terjadi sesuatu padanya. Sebaiknya kucari lagi kelil
Aku mengerutkan kening ini. Mencoba menelisik siapa yang benci Yuni. Lalu aku teringat seseorang yang mengusirnya dari rumahku."Ada. Dia mantan istri kedua saya yang bernama Cynthia. Apa mungkin ia yang melakukannya?""Bisa jadi. Siapapun bisa melakukannya. Akan kami selidiki. Terima kasih atas informasinya. Nanti anda berikan informasi detail tentang Cynthia, alamat dan lain-lain.""Baiklah, Pak.""Baik. Kami permisi dulu. Kalau korban sudah sadar, kami akan ke sini lagi untuk menanyai korban. Ada petugas kami yang berjaga." Mereka berdua berdiri dan bersiap untuk pulang."Iya, Pak. Terima kasih."Aku mengantar mereka sampai lobi rumah sakit. Dari sana aku kembali melihat keadaan Yuni. Ia masih belum sadar juga.Selanjutnya aku ke kamar perawatan Tika saja karena untuk memberitahukan Bapak kalau Yuni sudah ketemu. Biar bisa gantian, aku yang jagain Tika saja.Saat pintu dibuka, keduanya sudah bangun. Tika sedang sarapan sedangkan Bapak duduk di samping Tika untuk menyuapinya. "Itu
"Mas, kamu lagi apa sih?""Iya sebentar." Aku mencoba mendekatinya dan menghiburnya. Tak lama suara ketukan, dan masuklah Dokter beserta beberapa Perawat. Mereka akan memeriksa Tika. "Pasti yang ini dokter ya sama suster?" tanyanya."Iya. Apa yang ibu rasakan sekarang?" tanya Dokter Satria--itulah nama yang melekat di bajunya."Saya ingin jalan, Dok. Saya udah sembuh, mau pulang. Itu ada suami saya dateng," katanya dengan semringah walau wajahnya pucat."Ya udah, sebentar saya periksa dulu. Kalau nggak demam dan semua baik, Ibu bisa pulang," kata Dokter."Benarkah, Dok?""Iya, sebentar ya!"Dokter memeriksa keadaan Tika. Ia mengangguk berkali-kali. "Gimana Dok?" tanyaku pada Dokter yang sudah memeriksanya."Bapak, kita bisa ngobrol di ruangan saya ya!"Aku kembali pada Tika, meminta izin padanya untuk keluar sebentar."Aku keluar sebentar ya! Ada yang harus disampaikan Dokter," ucapku."Kenapa nggak di sini aja?""Mungkin ada sesuatu yang penting, jadi aku keluar dulu ya, Dek!"Ia
Tika dibantu perawat dan olehku untuk duduk di kursi rodanya. Kami meninggalkan kamar perawatan. Aku bersyukur bisa keluar dari sini. Semoga Tika berangsur sehat agar ia tak kembali lagi ke sini."Rumahku jauh nggak?" Ia bertanya saat kami sedang di mobil."Dekat. Sebentar lagi juga sampai," jawabku."Baiklah. Aku mau tidur dulu ya! Nanti Bapak sama Ibu ada di rumah kan?" tanyanya."Ada Ibu. Kalau Bapak sedang diluar," jawabku.Aku menjawab tanpa memandangnya karena fokus ke depan. Kulihat dari ekor mata, ia sudah tertidur. Mirip Kia yang tidur saat ia sudah capek.Kami tiba di rumah, sedangkan Tika masih tidur."Dek, udah sampe!"Ia bangun mengerjapkan matanya, lalu melihat kearahku. Ia masih bergeming, apa mungkin karena baru bangun tidur?"Ini dimana? Aku siapa? Kamu siapa? Kenapa aku di sini?" tanya Tika tiba-tiba."Udah, Dek. Kita masuk saja dulu. Nanti dijelaskan di dalam." Aku langsung meminta perawat untuk mengurusinya.Saat suster membukakan pintu untuknya, aku pun membantuny
Aku meminta Ibu untuk membawa Tika ke kamar yang sudah disiapkan untuknya. Sementara aku akan memberikan pengertian pada anakku--Faiz."Faiz, ke sini sebentar!" Aku memintanya duduk di sampingku."Iya, Yah." Ia datang dengan bibir cemberut. Ku berikan senyuman untuk Faiz karena ia sudah semringah menyambut bundanya. Tapi yang ia dapatkan malah kekecewaannya. Aku tak mau menambah beban kecewa di hatinya."Sayang, maafkan bundamu ya! Memang sebenarnya Bunda masih capek. Jadi tak terlalu menanggapi Faiz," sahutku."Iya, Yah. Nggak apa-apa. Aku ngerti.""Kamu memang dewasa sekali." Aku memujinya."Terima kasih, Yah. Aku tak ingin merepotkan Ayah dan Bunda. Kalau misalnya Bunda masih sakit, aku menerima semuanya, Yah. Kata Bu Guru, kita harus menerima ketentuan dan ketetapan Allah SWT. Aku belajar seperti itu, Yah.""Masya Allah kamu pintar sekali, Faiz. Ayah bangga sama kamu." Kali ini aku memeluk Faiz. Laki-laki kecil ini sudah memahami keadaan orang tuanya.Selanjutnya kudengar Kia terb
Kesadaranku akhirnya sudah penuh. Aku lepaskan ia, dan ternyata ia Yuni, bukan Tika. Beruntung aku tak menyebut nama almarhumah istriku, takutnya nanti Yuni tersinggung jika aku menyebutnya."Eh, iya. Maafkan ya, Yun. Mas Wahyu masih kangen dan ingin selalu dekat kamu. Kamu benar-benar ngegemesin buat Mas," sahutku sambil menjawil hidungnya yang bangir."Eh, Mas Wahyu terus aja colek-colek. Aku mau wudhu lagi sekarang. Mas jangan gangguin lagi ya!" sahutnya dengan wajah galaknya. Lebih tepatnya sok galak, padahal aku tau kalau Yuni nggak bakal bisa galakin suaminya."Iya, silahkan Dek. Aku juga dari tadi nungguin kamu kok, sampe ketiduran gini."Yuni kembali ke kamar mandi, sementara pandanganku tertuju pada ponselku.[Mas, aku sudah keluar dari sel tahanan kemarin. Bisa kita bertemu?] tanyanya di pesan aplikasi hijau.Mau apa Cynthia menghubungiku? Apa ia mau menjadi istriku kembali? Ah, jangan harap karena aku sudah memiliki istri shalihah seperti Yuni.Pikiranku masih dipenuhi pert
Aku memandangi wajahnya lagi. Menelisik kebenaran yang ada padanya. Akhirnya aku memutuskan untuk tetap di kamar ini, bersama dengan Yuni dan Kia. Biarlah aku dengan mereka malam ini."Yah, ayo kemari!" Kia menunjuk-nunjuk pada tempat tidur yang sudah ia naiki lebih dulu.Aku melempar senyum dan menghampiri anakku. Yuni pun mengikuti di belakang. "Iya, Sayang. Ayah akan tidur di sebelah Kia. Sekarang udah malam, Kia cepat-cepat tidur karena esok kita ada agenda untuk bertemu bunda," sahutku mengingatkannya.Kia mengerutkan dahinya. Ia baru mengingat agenda kami esok. Atau mungkin Kia belum tau kalau kami memang akan mengunjungi makam Almarhumah Tika."Iya, Yah. Aku mau tidur sekarang aja. Kan mau ketemu Bunda. Tapi, sepertinya aku tidur di kamarku saja. Kasian Kak Faiz tidur sendirian di sana. Biar aku di sana saja, takutnya kakak besok kesiangan, jadi aku harus membangunkannya," jawab Kia.Gadis kecilku malah akan meninggalkan kamar kami. Pandanganku beralih pada Yuni, ia menunduk,
Yuni menganggukkan kepalanya. Setelah terlihat agak sepi, Kia meminta Yuni duduk. Ia memijati Yuni, kulihat Yuni jadi salah tingkah saat kakinya diminta diangkat dan bertumpu pada salah satu kursi yang dibawa Kia. Kia memijat Yuni pada posisi jongkok."Udah ... udah Kia. Nggak usah, nanti aja ya. Kamu juga pasti capek kan?" Yuni berusaha mendaratkan kakinya. Ia merayu Kia dan akhirnya Kia tak meneruskan pijatannya karena tamu datang kembali. Mereka sudah antri untuk bersalaman dengan kami."Kia, udah ya! Tolong bawa kembali kursinya. Nanti kalau acara sudah selesai, kamu bisa pijat kaki Mama," jelasku. Ia mengerti dan tak meneruskannya. Bapak membantu Kia untuk membawakan kursi ke tempatnya kembali.Acara berlangsung lancar dan tak ada kendala yang begitu sulit. Semua bisa diatasi dengan baik oleh tim panitia.Tibalah kami untuk beristirahat. Yuni sudah ke kamar lebih dulu, sedangkan aku masih mengobrol dengan Ibuku dan kedua orang tua Yuni."Nak Wahyu, kalau sudah capek, kamu istirah
Yuni diam. Ia tidak mau berkata-kata lagi terhadapku. Aku masih menunggu ia bicara sambil menghela napas berkali-kali."Maksudnya aku mau jadi istrimu, Mas. Insya Allah aku kan fokus mengurus Kia, Faiz, Andini dan anak-anakku nanti."Aku tak percaya dengan yang baru saja kudengar dari mulut Yuni. Ia mengatakan mau menjadi istriku.Puji syukur pada Allah yang sudah memberikan jawabannya. Akhirnya Kia dan Faiz punya Bunda lagi, begitu juga Andini, mamanya masih menjalankan hukuman. Tapi, ia bisa menganggap Yuni sebagai mamanya juga nanti."Alhamdulillah, terima kasih, Yun. Setelah ini, aku kan menemui Bapak dan Ibu untuk membicarakan pernikahan kita. Kamu maunya gimana?" Aku harus tau maunya Yuni karena ia masih gadis. Setidaknya seorang gadis ingin melaksanakan pesta pernikahannya nanti. Aku tak keberatan dan akan melaksanakan keinginannya."Kalau aku terserah Mas Wahyu saja. Aku ikut saja keputusan pembicaraan Mas Wahyu dan kedua orang tuaku," sahut Yuni."Kamu juga harus ikut karena
"Kan Kia yang minta Tante Yuni selalu jagain Kia. Masa lupa sih?" Aku menimpali anakku yang kebingungan ada tantenya bersamanya saat ini."Iya, Kia yang minta Tante. Kalau Kia nggak mau Tante temenin, ya udah deh. Tante mau pulang dulu," kata Yuni.Kia mencegahnya dan mengatakan kalau ia sangat senang ditemani oleh tantenya."Tante, kapan jadi bundaku?"Tetiba Faiz datang dan nyeletuk pada Kia."Iya aku juga mau kalau yang jadi bundaku selanjutnya itu Tante Yuni. Aku bisa lihat bundaku pada diri Tante," ungkap Faiz. Anak ini juga bicara berdasarkan hatinya."Ya Allah, Tante nggak nyangka kalian punya pikiran seperti itu. Tante hanya nggak mau kalau dianggap sebagai perebut Ayah kalian dari Bunda Tika," sahut Yuni."Nggak dong, Tante. Kan Bunda udah nggak ada. Pasti Bunda seneng kalau Ayah ada yang urus," jawab Faiz bijak.Aku hanya diam mendengarkan percakapan mereka. Sesekali tersenyum mendengar ocehan anak-anak cerdas ini."Baiklah, akan Tante pikirkan dulu ya!" sahut Yuni. Semoga p
"Ya, aku yakin Yun. Bagaimana tanggapanmu? Apa kamu mau menerimaku?" tanyaku dengan penuh keyakinan."Aku ... aku butuh waktu, Mas. Aku tak mau jadi pengkhianat bagi kakakku. Kuburan Teh Tika masih basah, Mas. Mas udah mau menikahiku. Rasanya aku merasa bersalah jika itu terjadi," jawabnya.Ia menolakku. Itu berarti ia tak menginginkannya. "Baiklah jika itu keputusanmu. Itu berarti kamu tak mau kan?" Aku menegaskan kembali."Bukan seperti itu, Mas. Aku hanya tak mau dianggap sebagai perebut mantan suami kakakku," sahut Yuni dengan suara bergetar."Tenang, Yun. Takkan ada yang menganggapmu seperti itu. Aku akan menghadapi mereka langsung. Ini juga keinginan Kia dan Faiz. Mereka tak menginginkanku menikahi wanita lain selain kamu, Yun," sahutku."Tapi, Mas. Aku takut. Bolehkah aku berpikir dan meminta pertimbangan pada Bapak dan Ibu?" tanya Yuni."Baiklah kalau seperti itu. Aku akan menunggu jawabanmu. Sebenarnya Bapak udah tau, beliau memintaku untuk bertanya langsung padamu." Aku ber
Kia benar-benar mencecar kami. Terlihat wajah Yuni yang bersemu karena malu. Aku pun jadi tak enak dengannya atas ulah anakku.Yuni tak menjawab pernyataan Kia. Ia mohon diri untuk ke kamarnya. Aku mengizinkannya karena memang kasihan juga dicecar oleh Kia."Kia, udah ya! Nggak boleh ngomong yang aneh-aneh. Kasian Tante Yuni," sahutku sambil membawanya pulang.Kubiarkan Yuni beristirahat karena ia butuh waktu untuk sendiri.***Kia benar-benar menginginkan pernikahan antara aku dan Yuni. Saat ini Kia sedang demam. Ia bergumam terus agar Yuni menjadi bundanya.Faiz juga akhirnya mendesakku untuk menikahi Yuni. Hingga akhirnya aku menghubungi Bapak di kampung, meminta izin padanya untuk menikahi Yuni."Pak, mohon maaf mendadak menelepon Bapak.""Ada apa Nak Wahyu?" tanya Bapak dengan nada khawatir."Kia sedang sakit tiga hari ini. Sebenarnya sudah sepekan ini, Kia memintaku untuk menikahi Yuni. Kalau Bapak tak keberatan, insya Allah aku berniat menikahinya." Akhirnya kuungkapkan juga ke
"Ayah belum berpikir untuk menikah lagi, Sayang," sahutku.Kia mencebik. Ia melipat kedua tangannya di depan dada."Tapi aku kasian sama Ayah. Aku nggak mau kalau Ayah nanti nikah lagi, tapi sama orang lain," jelas Kia. Ia bicara seolah orang dewasa yang menasehati anaknya."Hush ... kamu kenapa sih? Tiba-tiba minta Ayah nikah lagi? Kasian kan Ayah masih sedih," timpal Faiz."Kasian Ayah. Aku juga pengen punya Bunda kayak bundaku," terang Kia.Aku melirik mereka, mereka pun diam."Iya, nanti Ayah pikirkan lagi ya! Kalian tenang saja, kalau Allah sudah menakdirkan, insya Allah bisa berjodoh. Tapi, nggak mungkin Tante Yuni mau sama Ayah. Kan Ayah udab tua." Aku terbahak karena memang aku sudah tua, berbeda dengan Yuni yang masih muda dan masa depan yang cerah."Ah, Ayah payah deh!" kata Kia. Kia tak mau memandang padaku, ia memandang ke arah jendela, pandangannya jauh ke samping jendela.Aku hanya tersenyum mendengar tanggapan anak perempuanku itu. Pemikirannya benar-benar diluar predik
Pemakaman berlangsung lancar dan cuaca mendukung. Anak-anak dan Yuni menangis terus sehingga aku harus menghentikan mereka. Bapak dan Ibu yang membawa Yuni ke kamarnya untuk ditenangkan."Sudah ya, sekarang Bunda udah nggak sakit. Kia dan Faiz masih punya Ayah yang sayang banget dengan kalian.""Iya, Yah." Faiz menyeka air matanya. Kemudian ibu memberi mereka minum teh manis hangat agar mereka lebih tenang."Nak Wahyu juga minum, silahkan!" sahut Ibu. Beliau melirik Kia yang sepertinya sudah mengantuk. "Kia bobo sama Nenek yuk!" Kia mengangguk, ia dan Faiz ikut neneknya. Mereka harus istirahat."Nak Wahyu, makan dulu yuk!" ajak Bapak.Aku ikut saja walau perut tak lapar. "Bu, anak-anak nanti diajak makan juga ya!" pintaku."Iya, sekarang biar istirahat sebentar ya Nak Wahyu! Tadi mereka udah makan roti kok. Tinggal makan nasi yang belum," sahut Ibu."Baiklah, Bu. Terima kasih."Seusai makan, aku diminta istirahat juga oleh Bapak. Katanya kasian karena aku yang paling banyak tak isti