"Hei, Mas, hidupku selalu bahagia ya meskipun beberapa kali kamu sakiti, kamu tenang saja, dan yang harus bahagia itu kamu, bukan aku, karena kalau kamu stres tensi darahmu pasti naik lalu beresiko kena serangan stroke." Aku terkikik pelan"Dasar sombong! Karena kamu tidak pernah berubah maka aku tidak akan menghadiri acara perpisahan Desti, kamu saja sana yang hadiri, jadilah ayah dan ibu yang baik untuk anak itu."Telpon tiba-tiba dimatikan, dan disaat yang bersamaan Desti datang dengan mengenakan pakaian kebaya modern warna ungu Lilac."Ma, gimana udah ok?""Sangaat ok, cantik banget sih, Kak," pujiku dengan wajah gemas."Iya dong pasti cantik siapa dulu yang dandanin," sahut Lira yang keluar dari arah kamar.Lira lah yang mendandani Desti untuk acara perpisahan ini, dan hasilnya sangat memuaskan meski ia tak pernah belajar tentang makeup pada seseorang."Ayah mau datang ga, Ma?" tanya Desti lagi membuat dadaku sedikit berdenyut.Malang sekali nasibmu, Nak, andai kamu tahu apa yang
Tujuh tahun telah berlalu, tak terasa putri-putriku kini telah tumbuh besar, Desti yang kini berumur delapan belas tahun, anak keduaku berumur enam belas tahun dan si bungsu Dara berumur tiga belas tahun.Menjadi orang tua tunggal tentu tak mudah, apalagi mengurus tiga anak perempuan dengan karakter berbeda, terlebih di usia memasuki remaja yang cenderung ingin banyak tahu dan mencoba hal-hal baru.Sebagai orang tua kita harus bisa menjadi sahabat untuk mereka, berusaha membuat nyaman tanpa rasa terkekang apalagi tertekan.Terkadang aku mengevaluasi diri menuruti perkembangan zaman agar anak-anak tak sungkan berbagi cerita dengan ibunya, aku tidak ingin mereka tumbuh dan berkembang dengan dunia luar bersama teman-temannya.Aku ingin mereka tetap menjadi putri kecilku, yang akan tetap selalu kembali dan membutuhkan ibunya ini.Ketiga putriku tumbuh tanpa kekurangan apapun, mereka bisa membeli apapun yang diinginkan, liburan ke mana saja, mentraktir teman-temannya, dan kasih sayang yang
"Ada apaan, Mas?" tanyaku dengan tatapan aneh."Yul, bisa kita bicara sebentar?"Aroma alkohol tercium ketika Mas Ferdi bicara, sepertinya pria ini habis menegak minuman keras.Aku memerintahkan anak-anak untuk masuk ke dalam rumah."Iya, duduk aja."Kami pun duduk berdampingan di bangku teras, sebelum memulai kata Mas Ferdi terlihat membakar rokoknya, menghisap benda itu dan mengembuskannya ke udara."Aku lagi perlu uang, Yul, kamu bisa pinjemin aku ga?"Mataku membulat mendengar hal itu, apa aku tak salah dengar? Seorang Ferdi yang begitu angkuh dan keras kepala meminjam uang padaku."Ayolah, Yul, bantu aku, lima juta aja, aku janji dua Minggu lagi langsung dibayar," pintanya lagi dengan memelas.Aku menghela napas, sungguh miris dengan penderitaan sekaligus rasa tidak tahu malunya, datang-datang bukan memberi uang untuk ketiga putrinya malah meminjam uang ."Uang buat apa sih, Mas? Emang kamu ga malu minjam uang sama orang yang banting tulang hidupin anak kamu?" tanyaku dengan tata
Jantungku berdetak kencang dengan tubuh berkeringat dingin, mencari kunci mobil di laci dengan cara mengacak -ngacak segala benda yang ada di dalamnya.Setelah ketemu aku langsung berlari ke luar membuka pintu mobil dan menginjak gas dengan kecepatan penuh.Tujuanku adalah kantor polisi karena katanya Talia sudah ada di sana untuk melapor."Gimana, Talia?" tanyaku saat sudah sampai di halaman depan kantor polisi.Cuaca sedang mendung dan kini gerimis mulai turun."Aku sudah buat laporan, Tante, maafin aku ya," ujarnya dengan ketakutan.Aku hanya mengangguk lalu masuk ke dalam kantor dengan tergesa, dunia ini terasa runtuh saat mendengar sesuatu hal buruk terjadi pada anakku."Saya ibunya Desti, Pak, anak yang diculik itu.""Oh iya, Bu, silakan tanda tangani berkas-berkas ini ya."Ia menyodorkan beberapa lembar kertas, tanpa pikir panjang aku pun langsung menuliskan tanda tangan di sana."Apa Ibu memiliki poto terkahir saudari Desti?""Ada, Pak, sebentar."Aku pun segera mengirimkan Po
"Yang sabar ya, Tante." Talia merangkulku dari samping, aku meliriknya lantas memeluk Talia dengan erat sambil menangis.Setegar apapun aku tetap saja tak bisa menyembunyikan kehancuran hati ini, anak-anak adalah sumber kekuatanku, mereka adalah alasanku untuk berjuang."Sekarang kita harus gimana, Tante?" tanya Talia, wajahnya sudah terlihat sembab dengan mata memerah karena menangis."Kita pulang aja ya, urus motor kamu takut ada yang nyuri lama-lama di situ.""Aku ga mikirin motor, Tante, aku mikirin Desti, diapain dia sama orang-orang itu?" Ia masih tetap terisak."Kita berdoa aja ya semoga polisi cepat menemukan Desti."Akhirnya mobilku putar balik setelah menelpon seorang teman untuk mengurus motor Desti."Aku mau nginep di rumah Tante aja ya, aku ga tenang pulang ke rumah," pinta Talia lagi"Ya terserah kamu saja."Aku tak ada waktu untuk membantah apapun keinginan gadis ini, pikiranku benar-benar kacau."Tapi anterin pulang ke rumah dulu ya, Tante, aku mau ganto baju, kotor i
Ketiga lelaki yang sebelumnya naik mobil sedan hitam itu menemui papanya Talia, ini artinya penculikan anakku ada kaitannya dengan lelaki itu.Tapi untuk apa ia menculik anakku? Apa salahku padanya? Dan apa salah anakku pada lelaki tua itu? Aku lantas menoleh ke samping, wajah Talia masih terlihat penuh tanya sambil memandang keempat pria yang sedang bicara serius di depan sana."Apa yang kamu pikirkan, Talia?"Dalam beberapa detik ia menoleh hingga tatapan kami beradu."Emm ...." Gadis itu terlihat ragu berbicara tapi aku yakin pemikirannya sama denganku.Telpon berbunyi lagi, ternyata Andre yang menelpon."Halo, Yuli, kamu di mana sih? Tolong aktifkan GPS-mu."Aku berdecak kesal, ketakutan pria ini memang beralasan, tapi perhatiannya itu kali ini sedikit mengganggu konsentrasiku."Baiklah, sebentar."Aku menutup telpon lantas menuruti apa titah lelaki itu, mungkin ia ingin memantauku dari kejauhan."Talia, bagaimana? Apa isi fikiranmu?" tanyaku lagi dengan sedikit tegas."Emm ...."
Setelah beberapa menit aku sampai tak jauh dari lokasi kejadian, beruntung motor Talia masih di sana, saat mengecek ponsel ternyata orang bengkel tadi mengirimkan pesan tidak bisa menolongku pergi ke tempat ini karena jauh.Tak masalah, hal ini malah menguntungkan bagiku. Cukup lama menunggu akhirnya sebuah mobil datang."Itu, papaku, Tante."Aku langsung bergeser tempat duduk ke dekat Talia, lalu memerintahkan gadis itu membuka pintu dan keluar.Beberapa detik setelah pria itu keluar aku dan Talia pun keluar dari mobil, tangan kiriku mencekik leher Talia menggunakan siku sedangkan tangan kananku menodongkan pistol ke kepala Talia.Tentu saja senjata api itu kudapat dari seseorang dengan bayaran mahal, karena tidak sembarang orang dapat memilikinya."Tante, apa yang mau Tante lakukan?" tanya Talia dengan nada ketakutan"Diamlah, aku tidak akan menembakmu, bersikaplah seolah-olah aku orang jahat yang menyanderamu."Napas Talia terengah-engah lalu ia mengangguk.Aku berjalan beberapa la
"Arghhh! Papa! Sakit!" Satu peluru kulepaskan dan menggores bahu Talia, aku sedikit merasa bersalah pada gadis ini, tetapi yang penting tidak ada peluru yang bersarang di tubuhnya, ia hanya tergores dan mengeluarkan banyak darah."Gila kamu ya, awas saja jika anakku kenapa-napa!" teriaknya sambil pokus menyetir mobil."Makanya jangan macam-macam denganku, karena aku bisa saja menghilangkan nyawa putrimu ini, cepat katakan siapa dalang dibalik penculikan anakku hah?!" teriakku lagi."Ferdi! Harusnya kamu menembak kepala lelaki itu! Dasar perempuan s*nt*ng!" hardiknya.Tubuhku seketika gemetar, jadi Mas Ferdi menjual anaknya sendiri demi melunasi hutang? Oh Tuhan, sebenarnya apa isi pikiran lelaki ituApa aku perlu memecahkan isi kepalanya untuk mengetahui isi fikiran lelaki itu?"Jangan banyak omong, sekarang bawa aku ke tempat putriku berada, aku tidak rela kalian menumbalkan anakku, lagi pula Ferdi memiliki anak lagi dari istrinya yang sekarang.""Lihat saja jika putriku terluka mak