Bab 94
Zea tersenyum puas memandang lelaki yang tengah berbaring di tempat tidurnya.Tiba-tiba saja sebuah panggilan masuk dari seseorang dengan nama Alea muncul di layar ponsel milik George.
Dengan sengaja, Zea mematikan panggilan tersebut. Clink! Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponsel George. Dengan mudahnya Zea bisa membuka pesan itu. Sebab sebelumnya, ia telah mengetahui jika ponsel George harus di buka dengan metode sidik jari George. Berita ini Zea dapatkan dari Arza. [Pa, mengapa telepon Alea nggak di angkat?Ini hari udah malam, kenapa masih belum pulang juga? Alea jadi khawatir.] "Oooh pesan dari putri bungsunya." Zea menyeringai tipis. Dengan cepat Zea menuliskan pesan balasan untuk Alea. [Nak, nggak usah nungguin Papa pulang, yBab 95 "Lepaskan aku Zea? Tidak etis apabila aku harus memperlakukanmu dengan kasar!" George berkata. "Terserah Mas ingin memperlakukan aku dengan kasar atau bagaimana. Yang aku tahu, aku mencintaimu, Mas! Mengapa Mas sungguh tidak mengerti perasaanku? Aku tidak menuntut Mas untuk menjadikan aku satu-satunya. Setidaknya jadikan aku yang kedua, Mas!" ucapan Zea semakin ngelantur kemana-mana. "Mengertilah akan perasaanku, Mas!" ulang Zea seraya menangis. "Kau menuntutku untuk mengerti perasaanmu. Tapi kau sungguh tidak bisa mengerti perasaan Nadine dan anak-anakku. Aku tidak bisa menuruti kehendak konyolmu, Zea. Sadarlah jika cara berpikirmu ini tidak benar!" ucap George. "Apa masalahnya, Mas? Mengapa untuk sekedar menjadikan aku yang kedua saja Mas keberatan. Kurasa uang dan hartamu bahkan lebih dari cukup untuk menafkahi sepulu
Bab 96 Hari ini adalah hari kembalinya Nadine. George merasa ada yang berbeda. Ponsel pribadinya juga sepi dari notifikasi yang biasanya muncul dari nomor kontak Nadine. George mencoba menghubungi istrinya. Namun beberapa kali ia memanggil maka sebanyak itulah ia menelan kekecewaan. Nadine tak kunjung mengangkat panggilan darinya. "Akan kujemput kau, Nadine." ucap George pada dirinya sendiri.George merasa ada yang kurang pada kesehariannya. Sebab biasanya, setiap kali Nadine berpergian, istrinya tersebut pasti selalu menghubungi atau setidaknya pulang minta jemputan. Tapi kali ini tidak. George memutar haluan mobil menuju ke rumahnya. Ia harus lebih bergegas. Satpam bergegas membukakan pintu. Di halaman depan, mata George terpaku pada sebuah mobil yang terparkir. Mobil Nadine.&
Bab 97 "Alea?" Gorge dan Nadine berucap bersamaan. Nadine mendekati putri semata wayangnya. Kedua tangan yang terbentang untuk memeluk. Namun terlihat Alea menghindar. "Mama sama Papa ingin bercerai, kan? Mengapa begitu tiba-tiba? Sedang selama ini keluarga kita baik-baik saja. Dan teman-teman banyak yang iri sama Alea. Mereka kagum sama keluarga kecil kita yang selalu nampak damai. Tapi mengapa harus begini akhirnya Ma, Pa? Mengapa? Apa karena aku belum bisa menjadi yang terbaik buat kalian?" Alea bertanya bertubi-tubi dengan mata berkaca-kaca.Pertanyaan demi pertanyaan yang ia lontarkan menghancurkan hati kedua orang tuanya. Terutama Nadine, Nadine merasa hatinya sakit, amat sakit. Sedih dan tak tega. "Nak, dengarkan mama dulu, Nak! Alea tidak pernah mempunyai kesalahan apapun atas masalah yang dihadapi oleh Mama dan Papa. Alea anak yang sanga
Bab 98 "Apakah ceritamu bisa dipercaya, George?" Nadine tidak bisa langsung percaya begitu saja pada ucapan lelaki yang sudah terlanjur di anggapnya telah menyembunyikan kebohongan tersebut."Tidak, Ma. Aku sama sekali tidak bohong." George memastikan. "Aku minta maaf karena tidak mempercayaimu sejak awal. Aku merasa berdosa, Ma." George memeluk Nadine. Jauh di dalam hatinya, Nadine masih bisa percaya pada ucapan suaminya, namun tidak seutuhnya. Maklum saja bagi seorang wanita, foto-foto kebersamaan yang sedemikian dekat sebagaimana potret-potret George yang tengah tertidur di kamar Zea bukanlah sesuatu yang bisa dengan mudah dimaafkan. Itu adalah sebuah masalah besar yang harus benar-benar di pertanyakan dan juga harus di ketahui alasannya dengan jelas sejelas-jelasnya. Di samping itu juga, kebersamaan keduanya di sebuah kafe beberapa hari
Bab 99 Percakapan demi percakapan mengalir dari rekaman tersebut. Percakapan tersebut tidak lain adalah percakapan serius antara Zea dan Arza. Apalagi jika bukan percakapan mereka di Exotic Bar beberapa malam yang lalu. Kala itu, kedua orang tersebut, Arza dan juga Zea sama sekali tidak mengetahui jika George telah datang terlebih dahulu dan bahkan merekam percakapan mereka. Dan rekaman itu bukan hanya satu.Satu persatu rekaman tersebut diperdengarkan. Perlahan-lahan terlihat raut wajah Nadine berubah. Seolah tersadar dari anggapannya yang salah. Wajahnya yang sedari tadi terlihat datar sekarang mulai berubah merah. "Bajingan sekali lelaki ini!" ucap Nadine menengadahkan kepala. Menahan kemarahan agar tidak tumpah secara keseluruhan. Nadine sadar, meskipun ia melepaskan kemarahan sekarang, namun semuanya tidaklah me
Bab 100. Kebenaran akan kenyataan yang sekian lama terpendam, sekarang telah nampak ke permukaan. Tapi di samping itu masih ada beberapa pertanyaan yang mengganggu pikiran Nadine. "Maaf sebenarnya bagaimana bisa dengan video Papa yang sedang berada di kamar Zea?" Nadine menyampaikan prahara di hatinya. "Nah ini, Ma. Yang menjadi pertanyaan terbesar kami. Ini harus diselidiki. Makanya secepatnya aku dan Richardo akan menyerahkan masalah ini pihak yang berwenang." tutur George. "Apa? Richardo? Richardo yang mana?" Nadine merasa heran. Ia mencoba mengingat-ingat. "Pengacara Richardo, Ma. Pengacara yang dulu juga membantu mengurus perceraian antara Mama dan Arza." George menjawab. "Ooh ... pengacara Richardo? Kamu minta bantuan padanya, Pa?" "Sebenarnya aku juga tahu masalah ini
Bab 101 Derai air mata Bu Farah semakin deras. "Mengapa kamu mengucapkan kata-kata seperti itu kepada ibu, Nak? Apa kau tidak ingat dari perut ibu inilah kamu terlahir ke dunia." ucap Bu Farah di sela-sela isak tangisnya. "Halah! Sudahlah, Bu! Tidak usah mengingat ketika aku berada dalam perut ibu! Tidak usah pula mengungkit-ungkit jasa Ibu yang telah melahirkan aku. Memangnya dulu aku minta dilahirkan apa? Tidak, Bu! Jadi, sekarang kalau ibu ingin menyesal, menyesal saja pada diri Ibu sendiri! Mengapa dulu ibu mau melahirkan aku ke dunia. Orang tua aneh." jawab Arza sengit. "Ya Tuhan! Maafkan aku yang tidak bisa mendidik dan membesarkan anakku dengan baik, hingga sekarang dia berubah menjadi anak durhaka!" Bu Farah menyeka air matanya. "Nah kan begitu lebih baik. Salahkan diri Ibu sendiri saja." cemooh A
Bab 102 "Arza, mau ke mana kamu?" tanya Bu Farah setengah merintih. Perih perutnya belum jua terobati. "Apa pedulimu wanita buta?" cemoh Arza. "Arza! Sekarang kau boleh saja menghina merendahkan diri ibu yang telah rentah ini, Nak. Tapi sebaiknya kau ingat asal-usulmu! Dahulu aku sama sekali tidak semiskin ini. Hanya karena gara-gara ulahmu lah sehingga hidupku terlunta-lunta seperti sekarang!" ucap bicara sambil terisak. "Oh jadi sekarang ibu ingin menyalahkan aku atas semua kemiskinan yang menimpa kita? Seharusnyaibu yang nesti sadar, dulu kita bisa hidup kaya dan nyaman, itu karena aku yang membiayai. Ibu hanya tahunya menghabiskan uang-uangku saja! Dan sekarang ibu ingin menyalahkan aku? Hebat sekali, Bu. Hebat!" Arza menepuk-nepukkan tangannya. Tok ... tok ... tok ...! Di teng