Bab 97
"Alea?" Gorge dan Nadine berucap bersamaan. Nadine mendekati putri semata wayangnya. Kedua tangan yang terbentang untuk memeluk. Namun terlihat Alea menghindar. "Mama sama Papa ingin bercerai, kan? Mengapa begitu tiba-tiba? Sedang selama ini keluarga kita baik-baik saja. Dan teman-teman banyak yang iri sama Alea. Mereka kagum sama keluarga kecil kita yang selalu nampak damai. Tapi mengapa harus begini akhirnya Ma, Pa? Mengapa? Apa karena aku belum bisa menjadi yang terbaik buat kalian?" Alea bertanya bertubi-tubi dengan mata berkaca-kaca.
Pertanyaan demi pertanyaan yang ia lontarkan menghancurkan hati kedua orang tuanya. Terutama Nadine, Nadine merasa hatinya sakit, amat sakit. Sedih dan tak tega.
"Nak, dengarkan mama dulu, Nak! Alea tidak pernah mempunyai kesalahan apapun atas masalah yang dihadapi oleh Mama dan Papa. Alea anak yang sangaBab 98 "Apakah ceritamu bisa dipercaya, George?" Nadine tidak bisa langsung percaya begitu saja pada ucapan lelaki yang sudah terlanjur di anggapnya telah menyembunyikan kebohongan tersebut."Tidak, Ma. Aku sama sekali tidak bohong." George memastikan. "Aku minta maaf karena tidak mempercayaimu sejak awal. Aku merasa berdosa, Ma." George memeluk Nadine. Jauh di dalam hatinya, Nadine masih bisa percaya pada ucapan suaminya, namun tidak seutuhnya. Maklum saja bagi seorang wanita, foto-foto kebersamaan yang sedemikian dekat sebagaimana potret-potret George yang tengah tertidur di kamar Zea bukanlah sesuatu yang bisa dengan mudah dimaafkan. Itu adalah sebuah masalah besar yang harus benar-benar di pertanyakan dan juga harus di ketahui alasannya dengan jelas sejelas-jelasnya. Di samping itu juga, kebersamaan keduanya di sebuah kafe beberapa hari
Bab 99 Percakapan demi percakapan mengalir dari rekaman tersebut. Percakapan tersebut tidak lain adalah percakapan serius antara Zea dan Arza. Apalagi jika bukan percakapan mereka di Exotic Bar beberapa malam yang lalu. Kala itu, kedua orang tersebut, Arza dan juga Zea sama sekali tidak mengetahui jika George telah datang terlebih dahulu dan bahkan merekam percakapan mereka. Dan rekaman itu bukan hanya satu.Satu persatu rekaman tersebut diperdengarkan. Perlahan-lahan terlihat raut wajah Nadine berubah. Seolah tersadar dari anggapannya yang salah. Wajahnya yang sedari tadi terlihat datar sekarang mulai berubah merah. "Bajingan sekali lelaki ini!" ucap Nadine menengadahkan kepala. Menahan kemarahan agar tidak tumpah secara keseluruhan. Nadine sadar, meskipun ia melepaskan kemarahan sekarang, namun semuanya tidaklah me
Bab 100. Kebenaran akan kenyataan yang sekian lama terpendam, sekarang telah nampak ke permukaan. Tapi di samping itu masih ada beberapa pertanyaan yang mengganggu pikiran Nadine. "Maaf sebenarnya bagaimana bisa dengan video Papa yang sedang berada di kamar Zea?" Nadine menyampaikan prahara di hatinya. "Nah ini, Ma. Yang menjadi pertanyaan terbesar kami. Ini harus diselidiki. Makanya secepatnya aku dan Richardo akan menyerahkan masalah ini pihak yang berwenang." tutur George. "Apa? Richardo? Richardo yang mana?" Nadine merasa heran. Ia mencoba mengingat-ingat. "Pengacara Richardo, Ma. Pengacara yang dulu juga membantu mengurus perceraian antara Mama dan Arza." George menjawab. "Ooh ... pengacara Richardo? Kamu minta bantuan padanya, Pa?" "Sebenarnya aku juga tahu masalah ini
Bab 101 Derai air mata Bu Farah semakin deras. "Mengapa kamu mengucapkan kata-kata seperti itu kepada ibu, Nak? Apa kau tidak ingat dari perut ibu inilah kamu terlahir ke dunia." ucap Bu Farah di sela-sela isak tangisnya. "Halah! Sudahlah, Bu! Tidak usah mengingat ketika aku berada dalam perut ibu! Tidak usah pula mengungkit-ungkit jasa Ibu yang telah melahirkan aku. Memangnya dulu aku minta dilahirkan apa? Tidak, Bu! Jadi, sekarang kalau ibu ingin menyesal, menyesal saja pada diri Ibu sendiri! Mengapa dulu ibu mau melahirkan aku ke dunia. Orang tua aneh." jawab Arza sengit. "Ya Tuhan! Maafkan aku yang tidak bisa mendidik dan membesarkan anakku dengan baik, hingga sekarang dia berubah menjadi anak durhaka!" Bu Farah menyeka air matanya. "Nah kan begitu lebih baik. Salahkan diri Ibu sendiri saja." cemooh A
Bab 102 "Arza, mau ke mana kamu?" tanya Bu Farah setengah merintih. Perih perutnya belum jua terobati. "Apa pedulimu wanita buta?" cemoh Arza. "Arza! Sekarang kau boleh saja menghina merendahkan diri ibu yang telah rentah ini, Nak. Tapi sebaiknya kau ingat asal-usulmu! Dahulu aku sama sekali tidak semiskin ini. Hanya karena gara-gara ulahmu lah sehingga hidupku terlunta-lunta seperti sekarang!" ucap bicara sambil terisak. "Oh jadi sekarang ibu ingin menyalahkan aku atas semua kemiskinan yang menimpa kita? Seharusnyaibu yang nesti sadar, dulu kita bisa hidup kaya dan nyaman, itu karena aku yang membiayai. Ibu hanya tahunya menghabiskan uang-uangku saja! Dan sekarang ibu ingin menyalahkan aku? Hebat sekali, Bu. Hebat!" Arza menepuk-nepukkan tangannya. Tok ... tok ... tok ...! Di teng
Bab 103"Itu hanyalah omong kosong. Lagian pula, Tahu apa lamu tentang kami?" bentak Arza dengan muka memerah menahan malu. "Lho ... lho ... sabar dulu Pak! Saya kan cuma sebatas nanya, dan menyesuaikan dengan kata kata Bapak kemarin dulu. Kok bapaknya malah marah-marah? Bukankah wajar apabila saya bertanya?" Pak Farid yang sudah terkenal rempong tersebut bertanya seolah tanpa rasa bersalah. "Tidak usah terlalu dalam ingin mengikuti kehidupanku, Farid!" Arza mengingatkan. "Halah! Nggak usah sewot, Pak! Seandainya saja wanita tua tadi benar-benar Ibu anda sekalipun, seharusnya Anda tidak usah malu mengakuinya sebagai ibu dong." serobot pak Farid lagi.Muka Arza semakin merah padam. "Sudah kubilang dia itu bukan ibuku. Kok kamu yang nyolot amat! Dia itu hanya seorang ibu angkat yang kebetulan sekali kujenguk kem
Bab 104 "Farid janganlah kamu terlalu bersikap seolah-olah tahu seluruh seluk beluk hidupku! Termasuk soal mobil yang memang pada kenyataanya banyak aku miliki. Apa aku harus memberitahumu jika mobil yang sedang kuparkir di depan kontrakan ibu angkatku sekarang adalah mobil lamaku? Lagian juga aku cuma ke kontrakan kecil seperti ini, buat apa pula aku harus mengendarai mobil mewah." Arza berkata pas dengan alasan yang sedang melintas dalam benaknya. "Oh ya, maaf Pak! Maaf jika ucapan saya barusan terdengar salah." Farid menangkupkan kedua tangan didepan dada."Nah kan tahu kamu!" "Hmm ... maaf, sebenarnya saya bela-belain datang ke sini untuk meminjam uang, Pak." lanjut Farid malu-malu. "Ooh, mau pinjam uang?" mata Arza melotot. "Iya Pak, saya mau minjam karena sedang sangat membutuhknnya. Dan ini amatlah p
Bab 105 "Rencana jitu? Bagaimana maksudnya?" tanya Zea penasaran. Debbie tersenyum. "Akan kuberitahu kau pada saat yang tepat. Tapi ingat! Tidak ada seorangpun yang boleh tahu kecuali kita berdua. Tugasmu hanya sedikit saja."Zea mengangguk.***Matahari telah lama tenggelam di ufuk barat. Menyisakan malam yang perlahan mulai gemerlap dengan cahaya. Davin dan dan Divan melangkah keluar dari masjid. Usai menunaikan ibadah sholat isya. Ya, hari ini mereka pulang. Para mahasiswa dan mahasiswi sedang bersukacita menikmati libur selama beberapa hari. Seperti biasa, dua anak tersebut selalu menyempatkan diri untuk melakukan ibadah shalat untuk sekedar mengingat Tuhan dan mengungkapkan rasa syukur. Di dekat mobil, mata Davin dikejutkan oleh seorang w