Bab 103
"Itu hanyalah omong kosong. Lagian pula, Tahu apa lamu tentang kami?" bentak Arza dengan muka memerah menahan malu. "Lho ... lho ... sabar dulu Pak! Saya kan cuma sebatas nanya, dan menyesuaikan dengan kata kata Bapak kemarin dulu. Kok bapaknya malah marah-marah? Bukankah wajar apabila saya bertanya?" Pak Farid yang sudah terkenal rempong tersebut bertanya seolah tanpa rasa bersalah. "Tidak usah terlalu dalam ingin mengikuti kehidupanku, Farid!" Arza mengingatkan. "Halah! Nggak usah sewot, Pak! Seandainya saja wanita tua tadi benar-benar Ibu anda sekalipun, seharusnya Anda tidak usah malu mengakuinya sebagai ibu dong." serobot pak Farid lagi.
Muka Arza semakin merah padam.
"Sudah kubilang dia itu bukan ibuku. Kok kamu yang nyolot amat! Dia itu hanya seorang ibu angkat yang kebetulan sekali kujenguk kemBab 104 "Farid janganlah kamu terlalu bersikap seolah-olah tahu seluruh seluk beluk hidupku! Termasuk soal mobil yang memang pada kenyataanya banyak aku miliki. Apa aku harus memberitahumu jika mobil yang sedang kuparkir di depan kontrakan ibu angkatku sekarang adalah mobil lamaku? Lagian juga aku cuma ke kontrakan kecil seperti ini, buat apa pula aku harus mengendarai mobil mewah." Arza berkata pas dengan alasan yang sedang melintas dalam benaknya. "Oh ya, maaf Pak! Maaf jika ucapan saya barusan terdengar salah." Farid menangkupkan kedua tangan didepan dada."Nah kan tahu kamu!" "Hmm ... maaf, sebenarnya saya bela-belain datang ke sini untuk meminjam uang, Pak." lanjut Farid malu-malu. "Ooh, mau pinjam uang?" mata Arza melotot. "Iya Pak, saya mau minjam karena sedang sangat membutuhknnya. Dan ini amatlah p
Bab 105 "Rencana jitu? Bagaimana maksudnya?" tanya Zea penasaran. Debbie tersenyum. "Akan kuberitahu kau pada saat yang tepat. Tapi ingat! Tidak ada seorangpun yang boleh tahu kecuali kita berdua. Tugasmu hanya sedikit saja."Zea mengangguk.***Matahari telah lama tenggelam di ufuk barat. Menyisakan malam yang perlahan mulai gemerlap dengan cahaya. Davin dan dan Divan melangkah keluar dari masjid. Usai menunaikan ibadah sholat isya. Ya, hari ini mereka pulang. Para mahasiswa dan mahasiswi sedang bersukacita menikmati libur selama beberapa hari. Seperti biasa, dua anak tersebut selalu menyempatkan diri untuk melakukan ibadah shalat untuk sekedar mengingat Tuhan dan mengungkapkan rasa syukur. Di dekat mobil, mata Davin dikejutkan oleh seorang w
Bab 106"Aku wanita, tapi aku bisa melebihi kekuatanmu. Dasar anak gendut! Huuuh ...!" wanita itu semakin menekankan pistolnya ke leher Divan. Sebutkan kedua tangan wanita tersebut yang semakin keras, membuat Divan merasa tercekik luar biasa. Nafasnya tak mampu untuk keluar melintasi tenggorokan. Pita suaranya tak mampu lagi untuk mengeluarkan teriakan. Tenaganya benar-benar kalah. "Bersiaplah untuk mati! Badjingan!" Geram sang perempuan."Mama! Saatnya dendammu terbalaskan tanpa meninggalkan jejak!"Senjata api di tangannya bersiap untuk di tembakkan. Prank!!! Tiba-tiba kaca mobil pecah dengan diiringi seseorang melompat masuk. Wanita bermasker tersebut terkesiap. "Kak Davin!" Divan seperti menemui malaikat penolong. "Cepat keluar Divan!" Serta
Bab 107Seorang wanita berjalan tergopoh-gopoh keluar dari mobil. Sedangkan seorang perempuan yang lain menunggunya di kamar apartemen. "Bagaimana, Debb? apa semua berjalan lancar? mengapa kau tidak segera menelponku?" Zea menghampiri Debbie dengan langkah tergopoh-gopoh. Debbie belum juga menjawab. Nafasnya masih ngos-ngosan. "Debbie, apa kau dalam keadaan baik-baik saja?" Zea khawatir dengan sikap Debbie yang menyiratkan gelisah. "Lihat!" tiba-tiba Debbie menunjukkan lengan atasnya. Sebuah luka menganga terlihat di sana hingga membuat Zea sendiri bergidik melihatnya. darah segar mengucur. "Mereka meluikaiku!" Debbie kembali bersuara. "Astaga! Mengapa bisa sampai terjadi seperti ini?" Zea kaget mendengarnya. "Bukankah kau bilang telah meng
Bab 108 Debby seakan abai dengan pertanyaan Zea. Dia masih saja sibuk mencari-cari sesuatu. Tidak lama kemudian, gadis itu berlari keluar. Ke arah parkiran mobilnya. Zea mengikuti langkah itu dari belakang. Beberapa kali terlihat Debbie memeriksa seisi mobil. Namun sepertinya ia tidak menemukan apa yang ia cari. Masker dan sarung tangannya tetap tidak ia lepaskan. "Kau terlihat sangat panik, Debb. Katakan padaku apa yang telah terjadi?" Zea melirik Debbie aneh. "Ssst ...!" Debbie menempelkan telunjuk pada mulutnya yang sedikit maju. "Bisakah kau membantuku, Mbak Zea?" Debbie menghentikan aktivitasnya. "Membantu apa? Jika aku bisa, mengapa aku harus menolak."Debbie tersenyum mendengar jawaban itu. "Bisakah Mbak Zea aku mintai tolong untuk membawa mobilku k
Bab 109 (47) "Nak, ada apa dengan kalian?"Nadine terlihat gusar mendapati Divan dan Divan pulang dalam keadaan letih, lesu dan arah jarum jam yang sudah menunjukkan waktu mulai larut malam. Davin dan Divan merasa bingung dan bimbang harus bercerita mulai dari mana. Mereka merasa belum siap menceritakan semuanya. "Duduklah terlebih dahulu!" Nadine menyodorkan air putih kepada putra kembarnya. "Tenangkan diri kalian terlebih dahulu! Setelah nanti kalian merasa tenang, baru kalian memberitahu kami apa sebenarnya yang telah terjadi." George ikut menimpali. "Tidak, Pa. Kami tidak apa-apa." sahut Davin berbohong. George memperhatikan baik-baik sorot mata kedua anaknya. Mata mereka sungguh tidak bisa menyembunyikan kegelisahan yang kini tengah mereka sembunyikan.
Bab 110Serta merta Nadine memperhatikan ke arah sumber suara. "Siapa di sana?" rimbun dedaunan bonsai menghalanginya untuk melihat wajah sang pemanggil. "Ini aku, Nyonya." seseorang tersebut kembali menjawab seraya membuka masker yang tengah ia kenakan. Nadine kian merasa heran melihat seseorang berdaster hitam yang menjawab pertanyaannya. Seperti tidak asing. "Haa? Bik Lasmi? Kenapa pagi-pagi buta begini sudah berada di taman?" Nadine bertanya. di samping rasa heran yang menghinggapi relung hatinya melihat Bik Lasmi telah berada di taman, sedangkan hari masih begitu gelap.Bik Lasmi adalah pembantu yang telah bekerja padanya selama bertahun-tahun. "Ah tidak, Nyonya. Tadi saya melihat ada yang aneh di taman ini. Eh ternyata hanya kucing tetangga yang mencoba masuk ke rumah." lanjut Bik Lasmi. Setidaknya
111 "Apa? Kalian tahu soal ini?" tentu saja ucapan putranya membuat Nadine kaget. "Ssst ...! Ada sesuatu yang harus kita selidiki dari Bik Lasmi." ujar Davin dengan tatapan mata serius. Nadine menyimak kata demi kata. "Ya, Ma. Kak Davin benar. Tadi pagi aku mendengar Bik Lasmi berbicara dengan seseorang di telepon genggamnya." timpal Divan. "Apa yang dia bicarakan dan pada siapa dia berbicara?" tanya Nadine tak sabar. "Sepertinya kita juga harus memberi tahu Papa. Tapi pelan-pelan, kita harus mencari tempat yang tepat. Jangan sampai membuat Bik Lasmi curiga." ucap Davin. "Baiklah." Nadine beranjak. Sedangkan di taman, Bik Lasmi masih terbayang-bayang dengan pembicaraannya dengan seseorang beberapa waktu yang lalu. *** Kala itu pada saat menjelang subuh. Bik Lasmi berjalan tergopoh-
Selamat sejahtera untuk semua pembaca Novel KKBS (Kubiarkan Kau Bersama Selingkuhanmu) 🤚🤚🤚 Author mau kasih info terbaru nih buat teman-teman pembaca semua. Author kasih tahu kalau sekarang udah update sekuel novel KKBS ya. Dengan judul : Ketika Istriku Mulai Membangkang Pembaca boleh kepoin novelnya sekarang ya, hehee. Othor usahain akan update rutin setiap hari. Jadi para pembaca semua tidak usah khawatir kalo nanti Author jarang update, jarang nongol, apalagi sampai novelnya nggak tamat. Oh iya, Author boleh minta dukungannya ya, dukung Author dengan rate bintang lima, terus tambahkan novelnya ke pustaka. Hehee ... Makaciih semua pembacaku... Semoga novel "Ketika Istriku Mulai Membangkang" ini bisa menghibur para pembaca semua. Amiiin Suksesnya seorang Author tak lepas dari dukungan para pembaca setianya. peluk jauh dari Author....😘😘😘😘😘
Bab 162 "Aduuuh!" Zea menengadahkan kepala. Menahan sakit. Sekarang sakit itu kian naik ke ubun-ubun. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Di tengah malam sepi ini ia sendiri berbaring di ranjang rumah sakit. "Ya Tuhan tolong aku!" dalam kegelisahannya, Zea mengadu dan memohon kepada Tuhan. Karena kesakitan yang ia rasakan, sejenak ia melupakan derita masalah ekonomi yang tengah ia hadapi. Ya, malam ini adalah malam terakhir Zea dirawat di rumah sakit ini. Sebenarnya masih panjang riwayat perawatan yang harus ia kalani, namun karena semua biaya yang mengalir benar-benar telah menguras kering semua isi tabungan. sekaligus kendaraan dan apapun yang dimiliki telah hangus terjual tanpa tersisa. Tidak ada lagi yang bisa ia gunakan untuk menjalani prosedur kesehatan. Untuk selan
Bab 161 "Ibu!" Arza tergagap. Arza kembali mencoba menyentuh telapak tangan sang Bunda. Lagi lagi hanya dingin terasa. Mendadak Arza jatuh lunglai. "Ibu ...!" gumamnya lirih. Air matanya menetes. Namun sebanyak apapun tetesan air mata yang meleleh di pipinya, semua itu tidak akan pernah mengembalikan nyawa ke raga sang ibu yang kini telah terbaring dingin dan kaku. Arza menangis sendiri. Memperhatikan keadaan orang tuanya yang terbaring sendirian sejak malam menjelang. Arza menyesal. Setelah menemui ibunya yang telah terbujur dengan kaku. Sepertinya nyawa telah lama melayang meninggalkan raga si ibu. Sedangkan Arza baru saja menyadari bahwa ibunya telah tiada sejak semalam.***  
Bab 160 "Silakan kamu bayar dulu uang tunggakan kontrakan selama 2 bulan belakangan ini Arza!" suara Bu Dian terdengar kasar. Muka Arza memerah menahan rasa malu sebab suara Bu Dian menggema dan didengar oleh orang-orang yang menguping pertengkaran mereka. "Tuh orang kaya, bayar dulu kontrakanmu! Katanya kaya, tapi kontrakan nunggak, mana selama dua bulan lagi. Aduh, kaya dari mana? Aku saja yang merasa orang miskin tidak pernah Tunggak menunggak. Nggak malu tuh ngaku-ngaku sebagai orang kaya?" suara laki-laki yang tadi bertengkar dengannya membuat kuping Arza memanas. Dengan bergegas ArzaMelangkah mendekati Bu Dian. "Iya Bu, saya pasti bayar kok tapi tolong bicaranya jangan terlalu keras. Bisa malu saya kalau didengar sama tetangga." Arza berusaha untuk merayu. "Kalau mau
Bab 159"Kau pasti sudah dengar kalau aku bilang apa?" pria tua tersebut memandang tajam. "Jangan pernah kau merendahkan aku seperti tadi, Pria tua busuk!" sergah Arza. "Nah jika kau tidak ingin dibilangi tak baik, seharusnya kau juga jangan keterlaluan bicara kotor dan menyinggung perasaan lawan bicaramu. Bagaimana kau sakit hati mendengar ucapan buruk orang terhadapmu, maka begitu juga perasaan orang lain ketika menerima ucapanmu!" Arza menghela nafas panjang. Kekesalan nampak jelas pada raut wajahnya. Arza sungguh tidak terima akan ucapan laki-laki tersebut. "Tapi kau tidak bisa balik mengatakan aku seperti itu" Arza menunjuk muka lelaki itu."Mengapa tidak? Nukankah aku juga bisa bicara, Arza?" "Tapi aku tidak bisa terima kau bilang aku miskin." sergah Arza. "Lhoo, kenapa nggak bi
Bab 158Arza duduk dan menikmati secangkir kopi di teras kontrakan. menyeruput kopi hangat sambil memperhatikan gadis-gadis remaja berlalu lalang di depan kontrakan. Mereka sedang berjalan menuju ke sekolah terdekat. Sesekali nampak bibir Aeza tersenyum nakal.Deretan kontrakan tersebut memang terlihat kumuh. Di tambah dengan ketersediaan air bersih yang kurang memadai. keadaan itu membuat sebagian besar penduduk pergi kesungai yang tidak bisa di bilang bersih untuk mencuci pakaian dan sebagainya. Untuk minum, mereka menggantungkan kebutuhan air minum pada saluran pdam yang kecil dan hanya tersedia di siang hari saja. Itupun terkadang tidak menentu. Oleh sebab itulah mereka terpaksa menggantungkan kebutuhan selain untuk minun pada air sungai yang jauh dari standar kesehatan. Karena nampak jelas jika aliran sungai tersebut menghitam dan bau. namun karena keterpaksaan, mereka terpaksa melakukan itu. Apalagi pada cuaca panas kala ini.
Bab 157 "Pak Arza, saya punya kabar besar buat Bapak." Farid datang tergopoh-gopoh menghampiri Arza yang tengah duduk beristirahat. "Kabar apa?" Arza tak terlalu mempedulikan pria yang baru saja datang padanya. Sebenarnya ia tak terlalu suka terhadap sosok Farid yang beberapa waktu lalu Arza anggap taelah merendahkan harga diri Arza. "Pak, ini kabar sangaat penting. Apa Bapak ingin dengar?" Farid memainkam sebelah mata "Jangan bertele-tele. Katakan saja terus terang." sergah Arza. "Pak Arza ... tidak bisa asal memberitahu doang, dong. Kita perlu ini .." Farid terkekeh seraya mengisyaratkan jarinya. Bermaksud mengatakan jika Arza harus membayar. "Kau ingin meminta bayaran hanya untuk sebuah berita yang kau bawa?" "Tentu saja!" Pak Farid tersenyum. &n
Bab 156 "Ada apa ini, Pak? Apa-apaan ini?" Zea bertanya kaget.Tentu saja ua kaget melihat orang-orang itu datang secara tiba-tiba. "Kami membawa surat perintah penangkapan terhadap Ibu Zea Marlinda. Atas dugaan tersangka kasus percobaan pembunuhan." Seorang lelaki menyodorkan selembar kertas surat perintah. Zea menyipitkan mata. Merasa aneh dan bingung.Dalam kebingungannya, Zea memperhatikan durat perintah itu dengan seksama. Mata Zea menelisik huruf demi huruf, poin demi poin yang tertera di sana. Tak terasa air mata Zea meleleh. "Apaaa?" Zea terkesiap melihat data dirinya memang tertera dengan jelas di sana. "Ini tidak mungkin." Zea menggelengkan kepala. "Ini semua sudah berdasarkan fakta se
Bab 155 Zea duduk di sisi sofa menghadap televisi yang tengah menyala. Namun perhatian perempuan itu bukanlah tertuju pada layar televisi. Melainkan kembali teringat pada ucapan-ucapan dokter spesialis yang ia datangi tadi siang. "Aku akan ikuti semua saran dokter. Tak peduli jika aku harus mengeringkan isi rekening." Zea bertekad dalam hati. Untuk melakukan semua prosedur pengobatan, Zea sadar jika ia harus menguras banyak uang.Sekarang, yang menjadi masalahnya adalah, ia mempertanyakan apakah seluruh isi rekeningnya cukup untuk melakukan seluruh biaya pengobatan tersebut Atau tidak?Zea sadar, ia harus segera mencari bantuan. sebab uang di rekening yang telah jauh menipis akibat hidup foya-foyayang ia lakukan sebelumnya.Untuk mencoba mencari jalan keluar buat menghadapi kemungkinan tersebut, Zea menghubungi beberapa teman seperjuangan yang ia mili