Bab 106
"Aku wanita, tapi aku bisa melebihi kekuatanmu. Dasar anak gendut! Huuuh ...!" wanita itu semakin menekankan pistolnya ke leher Divan. Sebutkan kedua tangan wanita tersebut yang semakin keras, membuat Divan merasa tercekik luar biasa. Nafasnya tak mampu untuk keluar melintasi tenggorokan. Pita suaranya tak mampu lagi untuk mengeluarkan teriakan. Tenaganya benar-benar kalah. "Bersiaplah untuk mati! Badjingan!" Geram sang perempuan."Mama! Saatnya dendammu terbalaskan tanpa meninggalkan jejak!"
Senjata api di tangannya bersiap untuk di tembakkan.
Prank!!! Tiba-tiba kaca mobil pecah dengan diiringi seseorang melompat masuk. Wanita bermasker tersebut terkesiap. "Kak Davin!" Divan seperti menemui malaikat penolong. "Cepat keluar Divan!" SertaBab 107Seorang wanita berjalan tergopoh-gopoh keluar dari mobil. Sedangkan seorang perempuan yang lain menunggunya di kamar apartemen. "Bagaimana, Debb? apa semua berjalan lancar? mengapa kau tidak segera menelponku?" Zea menghampiri Debbie dengan langkah tergopoh-gopoh. Debbie belum juga menjawab. Nafasnya masih ngos-ngosan. "Debbie, apa kau dalam keadaan baik-baik saja?" Zea khawatir dengan sikap Debbie yang menyiratkan gelisah. "Lihat!" tiba-tiba Debbie menunjukkan lengan atasnya. Sebuah luka menganga terlihat di sana hingga membuat Zea sendiri bergidik melihatnya. darah segar mengucur. "Mereka meluikaiku!" Debbie kembali bersuara. "Astaga! Mengapa bisa sampai terjadi seperti ini?" Zea kaget mendengarnya. "Bukankah kau bilang telah meng
Bab 108 Debby seakan abai dengan pertanyaan Zea. Dia masih saja sibuk mencari-cari sesuatu. Tidak lama kemudian, gadis itu berlari keluar. Ke arah parkiran mobilnya. Zea mengikuti langkah itu dari belakang. Beberapa kali terlihat Debbie memeriksa seisi mobil. Namun sepertinya ia tidak menemukan apa yang ia cari. Masker dan sarung tangannya tetap tidak ia lepaskan. "Kau terlihat sangat panik, Debb. Katakan padaku apa yang telah terjadi?" Zea melirik Debbie aneh. "Ssst ...!" Debbie menempelkan telunjuk pada mulutnya yang sedikit maju. "Bisakah kau membantuku, Mbak Zea?" Debbie menghentikan aktivitasnya. "Membantu apa? Jika aku bisa, mengapa aku harus menolak."Debbie tersenyum mendengar jawaban itu. "Bisakah Mbak Zea aku mintai tolong untuk membawa mobilku k
Bab 109 (47) "Nak, ada apa dengan kalian?"Nadine terlihat gusar mendapati Divan dan Divan pulang dalam keadaan letih, lesu dan arah jarum jam yang sudah menunjukkan waktu mulai larut malam. Davin dan Divan merasa bingung dan bimbang harus bercerita mulai dari mana. Mereka merasa belum siap menceritakan semuanya. "Duduklah terlebih dahulu!" Nadine menyodorkan air putih kepada putra kembarnya. "Tenangkan diri kalian terlebih dahulu! Setelah nanti kalian merasa tenang, baru kalian memberitahu kami apa sebenarnya yang telah terjadi." George ikut menimpali. "Tidak, Pa. Kami tidak apa-apa." sahut Davin berbohong. George memperhatikan baik-baik sorot mata kedua anaknya. Mata mereka sungguh tidak bisa menyembunyikan kegelisahan yang kini tengah mereka sembunyikan.
Bab 110Serta merta Nadine memperhatikan ke arah sumber suara. "Siapa di sana?" rimbun dedaunan bonsai menghalanginya untuk melihat wajah sang pemanggil. "Ini aku, Nyonya." seseorang tersebut kembali menjawab seraya membuka masker yang tengah ia kenakan. Nadine kian merasa heran melihat seseorang berdaster hitam yang menjawab pertanyaannya. Seperti tidak asing. "Haa? Bik Lasmi? Kenapa pagi-pagi buta begini sudah berada di taman?" Nadine bertanya. di samping rasa heran yang menghinggapi relung hatinya melihat Bik Lasmi telah berada di taman, sedangkan hari masih begitu gelap.Bik Lasmi adalah pembantu yang telah bekerja padanya selama bertahun-tahun. "Ah tidak, Nyonya. Tadi saya melihat ada yang aneh di taman ini. Eh ternyata hanya kucing tetangga yang mencoba masuk ke rumah." lanjut Bik Lasmi. Setidaknya
111 "Apa? Kalian tahu soal ini?" tentu saja ucapan putranya membuat Nadine kaget. "Ssst ...! Ada sesuatu yang harus kita selidiki dari Bik Lasmi." ujar Davin dengan tatapan mata serius. Nadine menyimak kata demi kata. "Ya, Ma. Kak Davin benar. Tadi pagi aku mendengar Bik Lasmi berbicara dengan seseorang di telepon genggamnya." timpal Divan. "Apa yang dia bicarakan dan pada siapa dia berbicara?" tanya Nadine tak sabar. "Sepertinya kita juga harus memberi tahu Papa. Tapi pelan-pelan, kita harus mencari tempat yang tepat. Jangan sampai membuat Bik Lasmi curiga." ucap Davin. "Baiklah." Nadine beranjak. Sedangkan di taman, Bik Lasmi masih terbayang-bayang dengan pembicaraannya dengan seseorang beberapa waktu yang lalu. *** Kala itu pada saat menjelang subuh. Bik Lasmi berjalan tergopoh-
Bab 112 "Gak tahu itu punya siapa kok jadi kayak aneh gitu ya? Serius." mata Bik Lasmi seperti keheranan. "Aduh ... Apa saya buang aja kali ya? Saya takut ini ada apa-apa, soalnya ada firasat buruk juga. Kenapa bisa bungkusan ini berada di samping minuman Den Divan yang barusan saja aku buat. Kalau ada apa-apa sama Den Divan, bisa-bisa aku yang di salahkan bahkan bisa di pecat." Bik Jum semakin panik dan khawatir. Bik Ladmi juga nampak gusar. "Aku aku takut benda dalam bungkusan ini berbahaya. Tapi siapa yang menaruh benda seperti ini di sana. Ntar kalau ada yang tidak-tidak, pasti aku yang disalahkan sama nyonya?" Bik Jum kembali mengulangi kalimat yang sama dalam keadaan panik. "Tadi barusan aku ingin menanyakan perihal bungkusan ini kepada secara langsung sama Den Divan. Tapi saya lihat Den Divan sedang
Bab 113Divan membawa ke kamarnya sebuah gelas yang berisi susu coklat yang tadi dibuatkan oleh Bik Jum untuknya. Di tangga menuju ke lantai atas di mana kamar Divan berada, tidak sengaja anak itu berpapasan dengan Bik Lasmi. "Hmmm ... mantap benar aromanya susu coklat ini, Bik." ujar Divan sembari tersenyum. "Ya, buatan Bik Jum memang selalu sedap, Den. Selamat menikmati. Aromanya memang strong." Bik Lasmi sedikit membungkukkan tubuhnya. Sebuah senyum manis pun terukir di bibir wanita paruh baya tersebut. Dalam hati, sesungguhnya Bik Lasmi ingin tertawa ketika melihat aksi Divan. "Pasti berhasil!" Dalam hati Bik Lasmi kembali bersorak. Bik Lasmi terus turun melangkah ke lantai bawah sambil menenteng sapu."Bik, hari ini kami akan bepergian sejenak. Titip
Bab 114 Dari hasil menguping itulah Davin tahu jikalau Bik Lasmi telah bekerjasama kepada seseorang yang sedang menelponnya. Itulah poin penting yang diceritakan oleh Davin kepada kedua orang tuanya, George dan juga Nadine. "Astaga ya Tuhan ..! Mengapa Bik Lasmi tega melakukan ini?" Beberapa kali kalimat istighfar meluncur dari bibirnya. George juga dibuat tidak kalah kagetnya. "Ini sama seperti kejutan. Kejutan dari orang-orang kita percaya. Hampir saja kita berhasil dicelakai oleh orang yang berada di rumah kita sendiri." tandas George. Berita yang sungguh-sungguh cukup memukul hati Nadine maupun George. Keduanya tidak menyangka sama sekali jikalau Bik Lasmi tega bekerja sama pada seseorang yang ingin menjahati keluarga mereka. &nbs
Selamat sejahtera untuk semua pembaca Novel KKBS (Kubiarkan Kau Bersama Selingkuhanmu) 🤚🤚🤚 Author mau kasih info terbaru nih buat teman-teman pembaca semua. Author kasih tahu kalau sekarang udah update sekuel novel KKBS ya. Dengan judul : Ketika Istriku Mulai Membangkang Pembaca boleh kepoin novelnya sekarang ya, hehee. Othor usahain akan update rutin setiap hari. Jadi para pembaca semua tidak usah khawatir kalo nanti Author jarang update, jarang nongol, apalagi sampai novelnya nggak tamat. Oh iya, Author boleh minta dukungannya ya, dukung Author dengan rate bintang lima, terus tambahkan novelnya ke pustaka. Hehee ... Makaciih semua pembacaku... Semoga novel "Ketika Istriku Mulai Membangkang" ini bisa menghibur para pembaca semua. Amiiin Suksesnya seorang Author tak lepas dari dukungan para pembaca setianya. peluk jauh dari Author....😘😘😘😘😘
Bab 162 "Aduuuh!" Zea menengadahkan kepala. Menahan sakit. Sekarang sakit itu kian naik ke ubun-ubun. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Di tengah malam sepi ini ia sendiri berbaring di ranjang rumah sakit. "Ya Tuhan tolong aku!" dalam kegelisahannya, Zea mengadu dan memohon kepada Tuhan. Karena kesakitan yang ia rasakan, sejenak ia melupakan derita masalah ekonomi yang tengah ia hadapi. Ya, malam ini adalah malam terakhir Zea dirawat di rumah sakit ini. Sebenarnya masih panjang riwayat perawatan yang harus ia kalani, namun karena semua biaya yang mengalir benar-benar telah menguras kering semua isi tabungan. sekaligus kendaraan dan apapun yang dimiliki telah hangus terjual tanpa tersisa. Tidak ada lagi yang bisa ia gunakan untuk menjalani prosedur kesehatan. Untuk selan
Bab 161 "Ibu!" Arza tergagap. Arza kembali mencoba menyentuh telapak tangan sang Bunda. Lagi lagi hanya dingin terasa. Mendadak Arza jatuh lunglai. "Ibu ...!" gumamnya lirih. Air matanya menetes. Namun sebanyak apapun tetesan air mata yang meleleh di pipinya, semua itu tidak akan pernah mengembalikan nyawa ke raga sang ibu yang kini telah terbaring dingin dan kaku. Arza menangis sendiri. Memperhatikan keadaan orang tuanya yang terbaring sendirian sejak malam menjelang. Arza menyesal. Setelah menemui ibunya yang telah terbujur dengan kaku. Sepertinya nyawa telah lama melayang meninggalkan raga si ibu. Sedangkan Arza baru saja menyadari bahwa ibunya telah tiada sejak semalam.***  
Bab 160 "Silakan kamu bayar dulu uang tunggakan kontrakan selama 2 bulan belakangan ini Arza!" suara Bu Dian terdengar kasar. Muka Arza memerah menahan rasa malu sebab suara Bu Dian menggema dan didengar oleh orang-orang yang menguping pertengkaran mereka. "Tuh orang kaya, bayar dulu kontrakanmu! Katanya kaya, tapi kontrakan nunggak, mana selama dua bulan lagi. Aduh, kaya dari mana? Aku saja yang merasa orang miskin tidak pernah Tunggak menunggak. Nggak malu tuh ngaku-ngaku sebagai orang kaya?" suara laki-laki yang tadi bertengkar dengannya membuat kuping Arza memanas. Dengan bergegas ArzaMelangkah mendekati Bu Dian. "Iya Bu, saya pasti bayar kok tapi tolong bicaranya jangan terlalu keras. Bisa malu saya kalau didengar sama tetangga." Arza berusaha untuk merayu. "Kalau mau
Bab 159"Kau pasti sudah dengar kalau aku bilang apa?" pria tua tersebut memandang tajam. "Jangan pernah kau merendahkan aku seperti tadi, Pria tua busuk!" sergah Arza. "Nah jika kau tidak ingin dibilangi tak baik, seharusnya kau juga jangan keterlaluan bicara kotor dan menyinggung perasaan lawan bicaramu. Bagaimana kau sakit hati mendengar ucapan buruk orang terhadapmu, maka begitu juga perasaan orang lain ketika menerima ucapanmu!" Arza menghela nafas panjang. Kekesalan nampak jelas pada raut wajahnya. Arza sungguh tidak terima akan ucapan laki-laki tersebut. "Tapi kau tidak bisa balik mengatakan aku seperti itu" Arza menunjuk muka lelaki itu."Mengapa tidak? Nukankah aku juga bisa bicara, Arza?" "Tapi aku tidak bisa terima kau bilang aku miskin." sergah Arza. "Lhoo, kenapa nggak bi
Bab 158Arza duduk dan menikmati secangkir kopi di teras kontrakan. menyeruput kopi hangat sambil memperhatikan gadis-gadis remaja berlalu lalang di depan kontrakan. Mereka sedang berjalan menuju ke sekolah terdekat. Sesekali nampak bibir Aeza tersenyum nakal.Deretan kontrakan tersebut memang terlihat kumuh. Di tambah dengan ketersediaan air bersih yang kurang memadai. keadaan itu membuat sebagian besar penduduk pergi kesungai yang tidak bisa di bilang bersih untuk mencuci pakaian dan sebagainya. Untuk minum, mereka menggantungkan kebutuhan air minum pada saluran pdam yang kecil dan hanya tersedia di siang hari saja. Itupun terkadang tidak menentu. Oleh sebab itulah mereka terpaksa menggantungkan kebutuhan selain untuk minun pada air sungai yang jauh dari standar kesehatan. Karena nampak jelas jika aliran sungai tersebut menghitam dan bau. namun karena keterpaksaan, mereka terpaksa melakukan itu. Apalagi pada cuaca panas kala ini.
Bab 157 "Pak Arza, saya punya kabar besar buat Bapak." Farid datang tergopoh-gopoh menghampiri Arza yang tengah duduk beristirahat. "Kabar apa?" Arza tak terlalu mempedulikan pria yang baru saja datang padanya. Sebenarnya ia tak terlalu suka terhadap sosok Farid yang beberapa waktu lalu Arza anggap taelah merendahkan harga diri Arza. "Pak, ini kabar sangaat penting. Apa Bapak ingin dengar?" Farid memainkam sebelah mata "Jangan bertele-tele. Katakan saja terus terang." sergah Arza. "Pak Arza ... tidak bisa asal memberitahu doang, dong. Kita perlu ini .." Farid terkekeh seraya mengisyaratkan jarinya. Bermaksud mengatakan jika Arza harus membayar. "Kau ingin meminta bayaran hanya untuk sebuah berita yang kau bawa?" "Tentu saja!" Pak Farid tersenyum. &n
Bab 156 "Ada apa ini, Pak? Apa-apaan ini?" Zea bertanya kaget.Tentu saja ua kaget melihat orang-orang itu datang secara tiba-tiba. "Kami membawa surat perintah penangkapan terhadap Ibu Zea Marlinda. Atas dugaan tersangka kasus percobaan pembunuhan." Seorang lelaki menyodorkan selembar kertas surat perintah. Zea menyipitkan mata. Merasa aneh dan bingung.Dalam kebingungannya, Zea memperhatikan durat perintah itu dengan seksama. Mata Zea menelisik huruf demi huruf, poin demi poin yang tertera di sana. Tak terasa air mata Zea meleleh. "Apaaa?" Zea terkesiap melihat data dirinya memang tertera dengan jelas di sana. "Ini tidak mungkin." Zea menggelengkan kepala. "Ini semua sudah berdasarkan fakta se
Bab 155 Zea duduk di sisi sofa menghadap televisi yang tengah menyala. Namun perhatian perempuan itu bukanlah tertuju pada layar televisi. Melainkan kembali teringat pada ucapan-ucapan dokter spesialis yang ia datangi tadi siang. "Aku akan ikuti semua saran dokter. Tak peduli jika aku harus mengeringkan isi rekening." Zea bertekad dalam hati. Untuk melakukan semua prosedur pengobatan, Zea sadar jika ia harus menguras banyak uang.Sekarang, yang menjadi masalahnya adalah, ia mempertanyakan apakah seluruh isi rekeningnya cukup untuk melakukan seluruh biaya pengobatan tersebut Atau tidak?Zea sadar, ia harus segera mencari bantuan. sebab uang di rekening yang telah jauh menipis akibat hidup foya-foyayang ia lakukan sebelumnya.Untuk mencoba mencari jalan keluar buat menghadapi kemungkinan tersebut, Zea menghubungi beberapa teman seperjuangan yang ia mili