"Dik, udah liat surat di atas meja kamar?" tanya Bang Rio padaku. Wajahnya sedikit kuyu, gurat letih tersirat jelas dicetakan pertama mertuaku itu.
"Belum, Bang. Surat darimana?" tanyaku balik, heran."Abang untuk sementara standby di rumah, kemungkinan enam bulan ke depan, jika perusahaan membutuhkan, abang dipanggil lagi,""Kalau tidak," potongku mengerti maksudnya. Kami akan kembali berada di fase memulai. Pemutusan hubungan kerja sepihak yang acap menghantui karyawan kini di depan mata. harus dihadapi tidak sekadar cerita."Kalau tidak, artinya kontrak kita selesai, Dik. Masukin lamaran lagi ke perusahaan lain, artinya proyek perusahaan itu tidak lagi ada yang menang tender di sini," jelasnya panjang. Diam yang cukup lama untuk kami berdua, sibuk dengan pikiran masing-masing. Ia menunduk. Ada sesuatu yang menggenang di dalam matanya.Aku mendekat. Mengelus lembut punggung tangannya, lalu mengangguk, menatap lamat pahatan rupa Glenn Alinskie di hadapan, begitu teduh, netra sendunya balas menatapku.Walaupun rupaku tidaklah secantik Chelsea Olivia, aku tahu sang Glenn sangat mencintaiku. Pasti dia bingung mau cari nafkah ke mana lagi? Kota ini digelar minyak di atas, minyak di bawah tapi sayang nasib kami tak seberuntung para ibu rumahtangga di negeri seberang"Tidak masalah, sayang, untuk sementara anggap saja Tuhan sedang memberi liburan, agar kamu dan aku lebih banyak waktu untuk dua jagoan kita," ucapku tersenyum mengecup lembut pipinya. Genggaman kamu semakin erat. Ia berkali-kali mencium ubun-ubunku.Netra itu berkaca-kaca. Bukan cuma kami, pandemi ini berkepanjangan, hampir lebih tiga ribu orang dalam satu waktu menerima surat pemutusan hubungan kerja."Terimakasih udah jagain anak kita, terimakasih udah capek capek jadi istri abang. Abang belum bisa ngasih kamu apapun, abang belum bisa bahagiakan kamu, Dik!'air mata itu tumpah, aku teringat beberapa teman yang mendapatkan musibah sama dengan kami. Pemecatan secara sepihak dari perusahaan.Reni teman kuliahku lari dari suaminya sebab tidak ada lagi mata pencaharian di kota ini. Ia tak sanggup bersabar, godaan lain membuatnya khilaf.Beno terlilit hutang rentenir, kabur tengah malam meninggalkan rumah kontrakannya yang sudah menunggak tiga bulan, membawa seluruh anak-anaknya masih kecil-kecil, otomatis anak-anak Beno berhenti sekolah. Miris.Di kelurahan sebelah seorang suami dibunuh istrinya baru pulang kerja hanya karena kolektor kreditan motor mengamuk di rumahnya, lalu sang istri malu jadi tontonan warga, motor ditarik kolektor, gaji suami tak mampu menebus.Masa pandemi dipotong tiga puluh persen dari gaji biasa. Dini hari warga geger, sang suami terkapar tak bernyawa, istri kabur, walau akhirnya berhasil diamankan polisi. Luar biasa kejadian demi kejadian masa pandemi.Pandemi ini benar-benar memilukan, entah kapan berakhir.Aku berusaha untuk tetap senyum, lelaki yang sudah membersamaiku sembilan tahun lebih sedikit ini, sangat aku pahami sedang mode bingung, ke depan hidup kami entah seperti apa."Dik, boleh kah abang meminta izin padamu?" ucapnya begitu lembut.Bang Rio memang sangat ahsan memperlakukanku sejak kalimat sah tersorak dari saksi hingga kini kami hampir berkepala empat kurang tiga tahun lagi."Boleh, Sayang. Izin ngapain? tumben pakai izin segala, yang penting bukan poligami," jawabku bersenda, tersenyum membelai jambang tipis yang mulai memanjang.Ia tertawa kecil menanggapi candaanku."Apakah adik rela kita tinggal bareng keluarga abang? untuk menghemat biaya sebelum abang mendapat pekerjaan baru," tanya sekaligus alasan dari keinginan Bang Rio kembali ke kampung. Mataku menangkap resah di bola matanya.Aku tertawa kecil. Semenit kemudian mengangguk manis. Ucapan hamdalah mengalun dari bibirnya."Serius, Sayang. Kamu mau?" Aku mengangguk lagi.Apa salahnya tinggal di kampung, Alya Rohali gadis kecil kami, yang berusia lima tahun suka sekali bermain di sungai, sedangkan Rivo Richardo, Lajangku yang duduk di kelas dua sekolah dasar sangat dekat dengan kakeknya-bagian Bang Rio."Yakin kamu kuat tinggal sama mertua?" tanya Bang Rio tampak ragu. Tentu saja dia ragu, aku besar di kota, sedangkan dia besar di pedesaan, ke kota hanya sebagai perantau mengadu nasib. Untung nasibnya bagus.Selama ini, aku tidak pernah melihat cacat sifat mertua, mereka sangat baik padaku. Pulang ke kampung, balik ke rumah kami selalu dibawakan oleh-oleh dari rumah mertua, berupa beras, jeruk, cabe dan hasil kebun lainnya.Suamiku juga sangat baik terhadap keluarganya. Setiap bulan Bang Rio selalu rutin mengirim bantuan belanja pada ibu mertua yang kerap kupanggil Tante. Panggilan karena terbiasa sejak mengenal Bang Rio--sedari gadis.Ibuku dan mertua satu kampung, satu nenek juga, masih saudara jauh. Ibu perempuan perantau, sedari kecil sudah merantau, pulang hanya ketika lebaran tiba, nah saat lebaran masa remaja aku mulai mengenal Bang Rio di kampung ibu, di sanalah kami berkenalan.Makanya, ketika Bang Rio datang melamar, menanyakan pada keluargaku untuk mendampingi hidupnya, Ibu langsung mengiyakan, katanya biar bisa pulang kampung dan pengikat keluarga, Suatu keberuntungan mendapat menantu masih satu nenek, perekat hubungan yang hampir terberai. Begitu istilah keluarga kami di saat jalinan akad terjalin.Aku memang sudah kenal sedari remaja dengan Tante Sari, mamanya Bang Rio. Suamiku itu anak pertama dari empat bersaudara, Dini, Mili dan Jini. Ia menjadi anak paling ganteng di keluarganya, anak satu-satunya lelaki. Untuk itu ia merasa bertanggungjawab atas ibu dan ayahnya. Aku bangga untuk itu. Tidak pernah terbersit sedikitpun untuk melarang Bang Rio menafkahi keluarganya.Dini masih sekolah, sebentar lagi kuliah. Jini duduk di kelas dua SMA. Sedangkan Mili tahun ini masuk SMA, ketiganya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sejak sembilan tahun silam Bang Rio selalu membantu menopang ekonomi keluarganya. Membayar semua kebutuhan adik-adiknya. Aku tidak pernah bertanya mengapa Om Santoso tidak mencukupi biaya keluarganya, sosok mertua yang cukup baik dalam pandangan mataku.Hingga sembilan tahun menikah kami belum punya rumah, belum punya tanah meski sejengkal, masih tinggal di kontrakan, menghitung bulan demi bulan, aku berusaha untuk tidak berutang, karena akan bingung membayarnya darimana.Menajemen keuangan benar-benar wajib di hendle dengan apik. Kalau tidak ingin kebobolan seperti Beno.Ide menumpang sementara kuaminkan. Bukan kah selama ini kami banyak membantu, aku yakin Tante Sari, mertuaku akan menerima kami lapang hati.Ada sedikit penyesalan di hati. Mengapa dulu tidak kulanjutkan saja kuliahku, saat begini bisa bantu suami. Nasi sudah menjadi bubur. Aku berhenti kuliah saat mengandung Alya, kuliah sebelumnya setahun satu semester, karena Rivo sedang lasak-lasaknya.Sebenarnya sudah sangat menanggung. Aku bahkan sudah menyelesaikan PPL dan Kukerta. Membawa Rivo bersusah payah. Berjuang bersama, namun akhirnya tepar, bedrest saat Alya nongol di rahim.Mengalah, cinta itu butuh pengorbanan. Aku mengorbankan pendidikan demi keluarga."Kemasi barang-barang kita, Dik. In sya Allah besok berangkat. Tanggal enam sudah masuk bulan baru kontrakan kita, biar jangan lewat tanggal,""Tapi, kan belum jelas dari perusahaan, Bang. Masih mengambang. Mana tahu nanti abang dipanggil bagaimana? Bukan Rumi gak mau ke kampung, Lo. Abang jangan suuzon ya, Sayang," usapku pada telapak tangannya."Kamu benar, surat itu isinya mengambang, tapi, isu dari HRD menyatakan pasti tidak akan dipanggil, karena perusahaan tempat abang kerja itu kalah tender. Jadi, sangat tipis kemungkinan akan dipanggil lagi, sementara perusahaan lain tidak ada yang membuka lowongan di masa pandemi ini, yang ada pengurangan besar-besaran,""Baiklah, Sayang. Semoga yang terbaik untuk kita," ucapku mengangguk, berusaha sekuat tenaga memberi support padanya. Aku tahu Bang Rio tengah Down.Lamat, kutatap dua bocah yang tengah berbaring lelap di sisi kanan."Selamat ya, Nak. Kita akan beradaptasi dengan kampung, semoga betah, tak ada mol di sana, juga tidak mandi bola, apalagi panjat rumah pohon," ucapku berbicara sendiri.Bang Rio tersenyum melihat tingkahku. Ia mendekat. Menarikku dalam pelukannya, hangat. Setetes bening jatuh mengenai punggung tanganku. Suamiku tercinta menangis. Tidak. Dia tidak boleh down. Kami harus kuat."In sya Allah semua akan kita lewati, abang akan bicara sama Papa, ada bagian kebun warisan kakek yang punya papa biar bisa dijual buat buka usaha bengkel lagi. Semoga kita gak lama di kampung." Aku tahu hatinya begitu berat menumpang di rumah orangtuanya sendiri.Bang Rio sedari remaja sudah terbiasa merantau dan sekolah dengan biaya sendiri tanpa bantuan keluarga,Sebenarnya kami punya usaha bengkel motor, beberapa bulan lalu, karyawan yang masih satu kampung dengan Bang Rio, terbilang masih saudara, melarikan uang dalam laci yang jumlahnya lumayan untuk beli spare part dan alat-alat motor lainnya.Tidak dicari. Jelaslah! Biasa, kasus saudara, ya di peti es kan oleh korban sendiri.Begitulah.Akhirnya aku menyewakan kembali bengkel itu pada orang lain. Beserta barang-barang di dalamnya kujual abis.Sisa sewa kusimpan untuk wanti-wanti darurat. Namanya Rino, lajang tanggung alias remaja beranjak dewasa, baru lulus SMK, padahal sangat diberi kepercayaan. Ya sudahlah!Bukankah tugas istri, mematuhi perintah suami? Bersabar menyikappi keadaan namun tetap waspada.*_IL"Assalamualaikum, Mah," Bang Rio memberi ucapan, mengulur tangan, menyalami Tante Sari yang memang sudah menunggu kedatangan kami di ambang pintu. Aku mengikuti Bang Rio, mencium takzim punggung tangan mertuaku. Wanita yang masih tampak awet mudah di usianya yang memasuki lima puluhan itu tersenyum paksa. Apa aku yang terlalu suudzon, mengapa wajah tante Sari tampak tidak suka dengan kedatangan kami?"Waalaikumussalam. Kamar belakang sudah disiapkan Dini sedari kamu menelpon mau di sini selama enam bulan ke depan," ucap Tante Sari tidak biasanya, ia berbicara sedikit jutek dan tanpa jeda. Matanya sama sekali tak berniat menatap Bang Rio.Astaghfirullah, apa karena kami tidak membawa rengginang, atau kaleng Khong ghuan isi kacang tojin, mete, kacang arab, kripik pisang dan staf-staf kue kering lainnya.Aku mengusap dada berusaha berhusnuzon.Melirik Dini yang baru keluar dari kamar belakang sambil membawa sprei, dengan wajah ditekuk, melewati kami.Aneh!Biasanya, Dini dan Mili berebut menyalami abang satu-satunya itu. Jini akan menggendong Alya ke sungai sambil tertawa. Ini adik-adik Bang Rio hanya lewat tanpa menoleh. Bahkan tak menyapaku. Bang Rio melirikku dari ekor matanya. Lirikan yang aku paham agar tenang dan tidak mengambil hati penyambutan ini.Di mana Om Santoso? Biasanya mendengar kami datang, Lelaki parlente yang masih sangat tampan di usia setengah abad lebih itu sudah stanby di ruang tamu, tidak kemana-mana, ia benar-benar menunggu kedatangan kami.Sekarang, jangankan menunggu, batang hidung sang Mertua lelaki tidak terlihat keberadaannya. Ada apa ini?"Kalian istirahat lah! Kalau mau makan gulai di dapur cuma ada daun singkong ditumbuk pakai teri. Beli kerupuk dua ribu di kedai untuk tambahan lauk," ucap Tante Sari menjelaskan seolah kami datang menambah beban saja, dengan langkah' seribu ia beranjak dari hadapan. Aku kembali melongo.Apakah karena ...Banyak pertanyaan tiba-tiba mampir di otak. Penyambutan terhadap keluargaku kali ini, sungguh berbeda dengan penyambutan tahun-tahun lalu.Bahkan Tante Sari sama sekali tak melirik Alya yang kugendong, atau Rivo yang baru saja berlari mencari teman.Kami punya salah apa, Tante?Kami punya salah apa, Tante? *_IL Pagi hari, udara sejuk pegunungan membuat perutku lekas lapar, kutatap Rivo dan Alya yang begitu nyenyak tertidur. Untung dua buah hatiku ini tidak rewel dan sangat mudah beradaptasi. Jam di dinding menunjukkan pukul 05.35. Pertanda adzan subuh telah lewat lebih dari tiga puluh menit. Sayup kudengar suara perdebatan kecil dari arah dapur. Bang Rio dan Tante Sari berdebat? tumben? ini langka sejak kurun aku menikah, aku belum pernah melihat maupun mendengar dua ibu dan anak itu bertengkar. "Bukannya dua bulan lalu mama bilang sertifikat kebun itu sudah diambil dari pihak bank, mama juga bilang kalo uangnya cair buat bayar utang sama Kinanti, dan ini sudah dua tahun enam bulan, Ma! kenapa sekarang masih di bank sertifikatnya?" Meski pelan namun jelas terdengar suara Bang Rio yang biasa kalem sedkit emosi. Apa? suamiku dan mertua sedang berdebat masalah utang? Bukannya setoran yang diberikan Bang Rio setiap bulannya mencapai hampir tiga juta. Set
Padahal, aku masih sangat ingat, bagaimana suara Mili yang manja bicara padaku pasca Alya lahir. "Kak, nanti kalo kakak lahirin anak cewek, gak usah cari babysister ya, aku aja, aku suka ngasuh anak cewek, gak bawel, mudah diurus, apalagi ponakan, sekalian belajar jadi ibu," ucapnya manja kala itu. "Lo, kamu kan harus sekolah, Mil?" "Kan udah tamat esde, Kak," "Iya, masa gak masuk SMP?" "Pending dulu setahun, Mili mau cari kerja, tapi mana ada ya, yang sudi mempekerjakan lulusan esde, selain rumah makan pinggir jalan sama jadi pembantu, mama kayaknya gak punya duit kalau Mili masuk SMP Bunda Jaya." "Kenapa harus SMP Bunda Jaya, Mil. Swasta mahal, Negeri banyak juga yang berkualitas," nasehatku kala itu. "Gengsi donk, Kak. Teman-temanku lima puluh persen masuk ke Bunda Jaya. Dua puluh persen ke sekolah negeri populer, rating tertinggi di kecamatan, eh masa aku mau masuk sekolah gorong gorong sih, mending nganggur, tapi jangan nganggur di kampung donk. Kalo aku nganggur di kampung
Magrib tiba, azan baru saja mengalun dari speaker toa, lokasi mesjid hanya berkisar sepuluh rumah dari rumah ini. "Ke mesjid, Bang?" tanyaku pada suami tercinta. Walau sudah tahu jawabannya, pasti iya, tetap saja aku bertanya, komunikasi suami istri itu penambah lekat telepati. Baju koko dan sarung yang menempel menunjukkan tanda, pencuri rusukku tak perlu menjawab tanya. "Iya, Dik. Alya tadi udah abang kasih makan, Rivo kayaknya belum, mandi juga belum dia, main melulu," ucap Bang Rio kode agar aku memperhatikan Rivo. "Kaget liat sungai dia, Bang. Kegirangan. Tuh, sekarang lagi mandi, padahal dah Rumi kasih tau, mandi magrib itu tidak baik. Rivo kan gitu, baru ketemu teman, suka lupa waktu. Entar siap sholat, Rumi ingatin, gih abang ke mesjid! takutnya telat." Aku mendorong tubuhnya keluar kamar. Malah suamiku itu masuk lagi dua langkah dari pintu. "Kamu yang sabar, ya. Maklumin, namanya di kampung mungkin mama ... " Kalimat itu terjeda. Aku menggeleng dengan senyuman masih menem
"Sebentar Rivo!" teriakku menghentikan Rivo yang sudah hampir mencapai pintu depan untuk keluar. "Sejak kapan Rehan di kampung? setau mama mereka tinggal di Jawa!" tanyaku entah mengapa merasa sesuatu yang lain. Banyak anak-anak di kampung mengapa Rivo langsung akrab dengan Rehan yang rumahnya di ujung kampung. Kapan pula mereka bertemu? "Gak tau, Ma. Ini Rehan, mama nanya, Han. Sejak kapan kamu tinggal di kampung?" tunjuknya ke depan halaman, berdiri seorang laki-laki lebih muda dari Rivo. Copasan wajah Kinanti. Tapi ....Aku menelisik wajah anak itu. Ada mirip-mirip seseorang. Siapa ya? merasa familiar dengan wajah polos di teras rumah, aku memasang senyum mengembang. "Kenapa? kamu kok gak senang gitu Rivo akrab sama anak Kinanti? curiga? atau baper? cemburu!" Tiba-tiba wajah Tante Sari muncul di belakangku, mencibir. Duh, apa tidak ada makhluk lain yang bisa menggantikan posisi manusia di belakangku ini. Berada lagi main sama tukang bully yang gak punya teman aku tu, mendadak m
Tentang Bang Rio. Lelaki yang kuyakin seorang imam yang sempurna. Tapi tidak ada manusia yang sempurna. Aku berharap Allah menyempurnakan semua yang ada pada dirinya untuk diriku. Dulu, aku hanya iseng menjawab pertanyaan Bang Rio. Ia kerap main ke rumah, bahkan ke kampusku, suamiku itu rajin olahraga futsal dekat kampus. Lelakiku itu kuliah beda kampus denganku. Ia membuka bengkel dan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi swasta dengan biaya sendiri. Aku yang sudah mengenalnya lama, sejak remaja bahkan sejak lama pula punya rasa padanya, sedari mencuri pandang saat ia memikul gabah di area persawahan. Sebab satu kampung, aku kagum pada wajah tampannya yang cool pake banget. Tidak ramah pada wanita. Jarang senyum kecuali padaku. Eh. Kerap datang malam Minggu membawa makanan, kadang mengantarkan aku kuliah, mengajar les dan lainnya. Iseng aku yang mengetahui bahwa Bang Rio ikut salah satu pengajian berniat mengerjainya. "Eh, Bang. Tiap hari bawa-bawa aku. Tiap malam Min
"Ma, Rivo ke mesjid dulu, ya. Ntar abis isya maen ke rumah Rehan lagi," pamit Lajangku membuyarkan lamunan. "Ri ... !" Teriakku. Kehilangan kata, putra satu-satunya telah menghilang di balik pintu. Semoga ini bukan ujian awal untukku. Gulai dan sekarang? Kinanti! "Kenapa,? Kok kamu teriak-teriak manggil si Rivo." Sudah seperti hantu, ibu mertua tiba-tiba nongol di depan pintu. Astaghfirullah. "Gak da, Tante. Si Rivo maen melulu, Rumi pengen dia istirahat. Baru juga sampai, malah keluyuran," jelasku sedikit malas. Air muka Tante Sari kelihatan tidak nyaman, ia menarik bibirnya ke kanan sedikit. Apa yang tengah ia pikirkan? "Heleh, kan dah dibilang si Rivo, ke rumahnya Rehan," timpalnya lagi. "Iya, tapi segan Rumi, Tante. Rivo makan di sana, malam ini kalo maen ke sana lagi, ntar makan lagi, Rumi cuma takut aja, Bang Rio lagi nganggur, jangan sampai anak-anak Rumi nyusahin orang lain," jelasku lagi. "Hadeehh, kamu ini ya Masih syukur ada yang kasih makan!
Sebenarnya perutku terasa lapar. Gulai tadi siang sudah habis. Biarlah menahan lapar, menunggu Bang Rio pulang dari mesjid, daripada aku makan dan nanti ada masalah. "Assalamualaikum," suara Bang Rio bersamaan si sulungku Rivo mengucap salam langsung menerobos kamar. "Katanya mau main dulu sama Rehan, kok gak jadi?" Tanyaku pada Rivo sengaja dengan suara sedikit keras, agar Tante Sari mendengar, tidak terjadi salah paham lagi. Jangan sampai ia berpikir aku melarang Rivo untuk ke rumah Kinanti. "Gak jadi, kata papah mau ngajak Rivo mancing di kali kecil yang dekat sawah," "Iya, Dik. Biar Rivo gak bosan, abang bawa ke kali dekat sawah kiri itu, masih ingat gak?" Tanyanya tersenyum mengenang. Eh dia bernostalgia. Sawah kiri. Iya, ingat donk. Tiap lebaran tiba, aku sengaja main atau ikut nenek memetik kopi di sawah kiri. Pinggiran sebelum sawah ada tanaman kopi warisan nenek. Sebelah kanan dari sawah kiri itu berbatasan langsung dengan sawahnya Bang Rio. Sengaja banget
Palingan si Kinan sudah cerita duluan. Memotong beberapa bagian cerita, menambahkan sebagian, dan entah apa lagi. Jadilah sebuah ghibah yang menarik. Padahal bertemu dengannya di warung tidak sampai lima menit. "Eh, Rum. Mertua nanya itu dijawab, malah diam?" Aku mau jawab apa? Ntar malah salah lagi. Tapi, bukan Tante Sari namanya kalau obrolannya berhenti sampai di situ. Aku sudah mengenalnya sejak keluar dari rahim ibuku, untung punya anak ganteng, sholeh dan penyayang, kalo tidak. Bakal adu jetos mertua versus menantu. "Tadi Kinanti cerita sama Tante, kamu ketemu dia di kedai beli telur, ekpresi kamu itu lo, kok kayak orang sewot jumpa dia, bukannya terimakasih sudah dikasih ayam goreng buat sambal kita satu rumah, eh kamu malah nyeritain kalo si Rio gak suka ayam goreng buatannya. Terus ngapain juga, diceritain kalo si Rio itu tidak suka penyedap rasa. Gak baik seperti itu, harusnya kamu ngucapin terimakasih, sudah gak perlu sampai harus bilang ayam gorengnya gak enak, jadi,
"Ma, Rivo ke mesjid dulu, ya. Ntar abis isya maen ke rumah Rehan lagi," pamit Lajangku membuyarkan lamunan. "Ri ... !" Teriakku. Kehilangan kata, putra satu-satunya telah menghilang di balik pintu. Semoga ini bukan ujian awal untukku. Gulai dan sekarang? Kinanti! "Kenapa,? Kok kamu teriak-teriak manggil si Rivo." Sudah seperti hantu, ibu mertua tiba-tiba nongol di depan pintu. Astaghfirullah. "Gak da, Tante. Si Rivo maen melulu, Rumi pengen dia istirahat. Baru juga sampai, malah keluyuran," jelasku sedikit malas. Air muka Tante Sari kelihatan tidak nyaman, ia menarik bibirnya ke kanan sedikit. Apa yang tengah ia pikirkan? "Heleh, kan dah dibilang si Rivo, ke rumahnya Rehan," timpalnya lagi. "Iya, tapi segan Rumi, Tante. Rivo makan di sana, malam ini kalo maen ke sana lagi, ntar makan lagi, Rumi cuma takut aja, Bang Rio lagi nganggur, jangan sampai anak-anak Rumi nyusahin orang lain," jelasku lagi. "Hadeehh, kamu ini ya Masih syukur ada yang kasih makan! Pake acara se
Setelah mereka pergi, suasana nampak semakin sepi. Bang Rio mengajak kami untuk masuk kembali kedalam rumah. Aku menuturi Bang Rio dari belakang. Hingga sampai di ruang tengah rumah itu, kami duduk bersama. Semua terasa hening. Bang Rio melipat tangannya di atas dada sambil terus diam. Sama seperti yang Aku lakukan. Mili pun tak bisa berbuat lebih selain melihat tingkah mereka yang jadi pendiam. "Kenapa jadi pada diam seperti ini? Bukanya seharusnya kita senang karena mkita menang?" Tanya Mili melirik liar ke dua belah arah. Aku menarik nafas dalam sekali lalu membuangnya hingga dadaku terasa lega. "Aku hanya kasihan melihat Kinanti dan Om Budiman di seret polisi seperti itu," ucapku lirih. Aku memang kesal dan dongkol dengan sikap dan kelakuan dari keduanya. Hingga taut wajah muram tak bisa aku sembunyikan. Tapi, rasa kemanusiaanku tiba-tiba saja muncul. Aku tak bisa bayangkan bagaimana mereka akan menderita di balik jeruji besi. Bang Rio duduk mendekat ke arahku. Dia adalah pria
4.Akhirnya aku berada di posisi ini. Dimana diriku sangat sebal melihat orang yang selalu bertingkah munafik. Merasa diri paling benar, tersenyum baik di hadapan kita namun di belakang aslinya sangat busuk.Aku mengeratkan genggaman tanganku hanya untuk menahan sebuah amarah. Benci dan muak menatap wajah wanita itu, sampai-sampai aku ingin sekali melemparkan sebuah pukulan di pelupuk matanya. Untung saja, aku tipe orang yang tak suka kekerasan.Menyelesaikan masalah ini dengan otak dingin lebih baik dibandingkan harus adanya pertumpahan darah. Bisa diingat oleh semuanya jika masalah besar kita bersangkutan dengan uang, maka jati diri seseorang bisa terlihat jelas. Hal yang sama nampak dari wajah Bang Romi. Matanya memerah setiap kali berhadapan dengan sosok Kinanti. Seperti sudah dijodohkan oleh tuhan, Kinanti bersikap acuh tak acuh percis dengan Budiman yang belum datang. "Jangan berbelit-belit lagi. Sebaiknya, kamu jujur saja. Semua ini a
Aku dan Bang Rio, sedang duduk di ruang tamu rumah. Kami merasa putus asa dalam upaya kami untuk membuktikan bahwa Om Om Budiman dan Kinanti telah melakukan tindakan yang hendak mencelakakan Bang Rio.Tiba-tiba, pintu rumah terbuka dan Milli, adik iparku, tiba-tiba masuk dengan wajah yang pucat dan serius."Aku punya sesuatu untuk kalian berdua," katanya sambil menyerahkan sejumlah bukti kasus itu kepada kami.Bang Rio dan aku saling pandang, takjub dengan apa yang Milli berikan kepada kami.“Kamu dapatkan semua ini dari mana, Milli?” tanya Bang Rio. Milli menggelengkan kepalanya perlahan, “Abang dan Mbak Rum ga perlu tau, yang jelas semua bukti ini bisa membawa mereka ke terali besi,” katanya. Aku menghela napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Akhirnya aku bisa menemukan keadilan untuk suamiku. “Di dalam sini juga ada bukti-bukti jika Om Budiman memang sudah menyabotase harta yang seharus
Bang Rio duduk di depan pengacara dengan sorot mata yang tajam. Ia merasa gerah dan marah karena sudah terlalu lama ia berdiam tentang masalah keluarganya."Pak, saya butuh bantuan Anda. Saya yakin ada masalah dalam keluarga Budiman," ujarnya sambil mengeluarkan sebuah folder dari tasnya.Pengacara itu memperhatikan Bang Rio dan menerima folder yang dia tawarkan. Dia membuat catatan dan menanyakan sedikit lebih banyak tentang situasi keluarga Budiman."Saya memiliki banyak bukti yang menunjukkan bahwa selama bertahun-tahun, mereka telah mengambil aset dan harta keluarga saya, termasuk rumah warisan ibu saya. Semua itu dilakukan tanpa sepengetahuan saya dan bahkan tanpa itikad baik," lanjut Bang Rio sambil menatap tajam pengacara tersebut.Pengacara tersebut merasa kagum akan keseriusan Bang Rio dalam menyelesaikan permasalahan ini. Ia lalu bertanya tentang bukti yang dimiliki Bang Rio.Bang Rio kemudian
Sore itu, entah mengapa Mili mengumpulkan semua orang di kampung halaman Bang Rio, termasuk aku dan Bang Rio menyusul Mili ke rumah yang ada di kampung. Ia berkata ada sesuatu yang penting untuk kami ketahui. Ternyata, Milli merasa sakit hati dan marah ketika dia mengetahui betapa banyak kesalahan ibunya telah dilakukan terhadap Bang Rio. Dia tidak bisa membiarkan hal itu terus terjadi dan harus mengambil tindakan segera. Saat semua sudah berkumpul, Milli memutuskan untuk membuka kedok ibunya di hadapan semua orang . Dia tahu itu akan menjadi momen yang sulit bagi keluarga mereka, tetapi dia merasa bahwa kebenaran harus diketahui. Ketika Tante Sari datang ke acara itu, dia melihat putrinya berdiri dengan tegas dan tak gentar. Milli pun mulai berbicara dengan suara yang lantang, “Saya ingin berbicara tentang ibu saya, Sari. Dia telah melakukan sejumlah besar kesalahan terhadap Rio, kakak saya. Dia telah membohongi kita semua, termasuk saya.Ibu sudah bekerja sama dengan Kinanti untuk
Saat kami tiba di rumah, terlihat sebuah mobil baru saja berhenti di depan rumah kami. Dan seseorang turun dari mobil itu berjalan masuk ke halaman rumah. Kemudian mobil itu pun segera berlalu. Sepertinya mobil itu hanya taksi online. Aku dan Bang Rio saling berpandangan. “Sepertinya ada tamu, Bang. Apa kamu memberitahukan alamat kita kepada orang lain Rum? Maksud Abang kepada saudara kita?” Aku menggelengkan kepala, “Hmm, tidak ada orang yang tahu alamat rumah ini. Entah kalau misalkan orang itu memang sengaja mencari alamat rumah kita dan ingin bertemu dengan kita. Ya sudahlah, Bang ... Kita temui saja. Kita kan nggak tahu siapa tamunya,” kataku Kami pun bergegas memasuki halaman dan membuka pintu rumah. Saat pintu dibuka seseorang yang sudah familiar tampak sedang duduk bersama ibuku di ruang tamu dan saat melihat kami orang itu langsung berdiri dan tersenyum. “Bang Rio, Kak Rumi.” “Mili, kok kamu di sini?” tanyaku. Ya, yang datang adalah Mili adiknya Bang Rio. Selama ini seta
“Aku merasa sangat kecolongan. Ternyata selama ini ada banyak sekali hak yang harus aku perjuangkan. Hak yang seharusnya aku nikmati bersama anak dan istriku, dinikmati oleh orang lain yang tidak berhak sebetulnya,” kata Bang Rio ketika kami dalam perjalanan pulang ke rumah. Aku hanya menganggukan kepalaku.“Ya, selama ini kamu terlalu sabar dan selalu saja menjadi orang baik, Bang. Baik itu boleh tetapi jika orangnya seperti kamu itu bukan baik lagi... tetapi terlalu baik. Bahkan kamu membiarkan orang-orang yang benci kamu mendzalimi kamu begitu saja. Termasuk juga Tante Sari. Kamu ingat betapa kamu kemarin begitu ngotot untuk mengeluarkan dia dari penjara, padahal aku sudah mengatakan jika aku memiliki alasan kenapa aku menuntutnya. Kamu baru diam setelah aku berikan bukti-bukti nyata kan, Bang,” ujarku kepada Bang Rio.“Maafkan Abang Rumi, selama ini Abang dibutakan. Abang tahu jika Abang bersalah dan abang minta maaf,” kata Bang Rio kepadaku. Aku menghela napas panjang dan mengang
Aku sangat terkejut ketika mendengar dari anak buahku jika ada yang mencariku dan Bang Rio. Maka kami pun segera mencuci tangan kemudian bergegas menuju ke depan. Kami tidak mau jika tamu yang dikenal itu menunggu terlalu lama. Saat kami ke depan ternyata ada seorang lelaki separuh baya sedang menunggu, wajahnya tampak tak asing, dan saat menoleh ke arah aku dan Bang Rio datang, Ia pun tersenyum dengan ramah. Dimana aku melihat lelaki ini? Memoriku tak sedikitpun menangkap. “Selamat siang Pak, Anda mencari siapa?” tanyaku dengan sopan. Aku berpikir jika kemungkinan dia adalah pelanggan baru di bengkel kami, maka kami pun harus bersikap ramah kepada pelanggan? Meski ini sedikit aneh,karena jarang sekali langganan kami meminta untuk bertemu langsung dengan pemiliknya. “Maaf, tadi saya mendengar ibu dan bapak mencari Pak Rustandi. Apakah betul demikian?” tanya lelaki itu. Aku dan Bang Rio mengerutkan dahi, kami saling berpandangan tetapi kemudian aku mengganggukan kepala dengan cepa