Share

Tamparan Kata

Author: Inoeng Loebis
last update Last Updated: 2022-11-14 13:21:46

"Ma, Rivo ke mesjid dulu, ya. Ntar abis isya maen ke rumah Rehan lagi," pamit Lajangku membuyarkan lamunan.

"Ri ... !" Teriakku. Kehilangan kata, putra satu-satunya telah menghilang di balik pintu.

Semoga ini bukan ujian awal untukku. Gulai dan sekarang?

Kinanti!

"Kenapa,? Kok kamu teriak-teriak manggil si Rivo."

Sudah seperti hantu, ibu mertua tiba-tiba nongol di depan pintu. Astaghfirullah.

"Gak da, Tante. Si Rivo maen melulu, Rumi pengen dia istirahat. Baru juga sampai, malah keluyuran," jelasku sedikit malas.

Air muka Tante Sari kelihatan tidak nyaman, ia menarik bibirnya ke kanan sedikit.

Apa yang tengah ia pikirkan?

"Heleh, kan dah dibilang si Rivo, ke rumahnya Rehan," timpalnya lagi.

"Iya, tapi segan Rumi, Tante. Rivo makan di sana, malam ini kalo maen ke sana lagi, ntar makan lagi, Rumi cuma takut aja, Bang Rio lagi nganggur, jangan sampai anak-anak Rumi nyusahin orang lain," jelasku lagi.

"Hadeehh, kamu ini ya Masih syukur ada yang kasih makan! Pake acara segan. Kinanti itu baik dan gak pelit juga,"

Salahku di mana? Kok Tante Sari malah bertambah marah. Malah tadi ngomongnya pakai acara nunjuk ke arah mukaku.

"Bukan begitu, Tante. Rumi tidak enak hati merepotkan orang," ucapku hati-hati, takut Tante Sari tersinggung makin mekar marahnya.

"Kinanti gak bakal merasa repot, dia itu wanita baik, Rio pasti menyesal gak nikahin dia,"

Glek, Duart. Suara petir seakan memecah gendang telingaku. 'nyesal gak nikahin dia'

"Apakah Bang Rio menyesal menikahi Rumi, Tante?" Tanyaku gemas. Jauh di lubuk hati, aku bermonolog, memang Bang Rio menyesal menikah denganku.

Seperti ucapan Bang Rio tempo-tempo hari.

"Abang nyesal banget, Dik. Nyesal nikah sama kamu?"

"Kok ngak diceraikan," sahutku sewot.

"Nyesal kok sembilan tahun lalu dinikahin, coba pas usia baru nemu dewasa dah dinikahin, minimal tamat SMA mungkin nyesalnya kurang dikit."

Bang Rio tertawa keras, menjawil pipiku. Aku mencubit perutnya yang akhir-akhir ini sudah mulai sedikit berkurang lemak.

Dulu, aku hanya iseng menjawab pertanyaan Bang Rio. Ia kerap main ke rumah, bahkan ke kampus, suamiku itu rajin olahraga futsal dekat kampus. Aku yang sudah mengenalnya lama, bahkan punya rasa padanya sedari mencuri pandang saat ia memikul gabah di area persawahan.

Sebab satu kampung, aku kagum pada wajah tampannya yang cool pake banget. Tidak ramah pada wanita. Jarang senyum kecuali padaku. Eh.

Kerap datang malam Minggu membawa makanan, kadang mengantarkan aku kuliah, mengajar les dan lainnya. Iseng aku yang mengetahui bahwa Bang Rio ikut salah satu pengajian berniat mengerjainya.

"Eh, Bang. Tiap hari bawa malam Minggu bawa makanan buat aku emang gak rugi, terus ngantar ngantarin begini di golongan abang gak haram ya?" Tanyaku pengen ngikik dalam hati saat itu.

"Sebenarnya haram, ini lagi cari cara supaya halal," ucapnya menunduk malu. Rasanya aku ingin tertawa keras.

Bang Rio emang rada pemalu. Aku tahu dia tidak pernah berinteraksi dengan wanita selain suatu yang sangat urgensi.

"Harus konsisten, jangan mencampur adukkan, haram dan halal," ujarku sebelum turun dari motor jadulnya.

"Emang situ pilih mana, halal atau haram?" Tanyanya tiba-tiba.

"Halal lah, kalo Abang pilih mana?" tanyaku lucu. Biasanya perempuan sedikit malu, di sini Bang Rio yang tidak berani menatapku. Malu. Atau aku yang terlalu agresif. Terserah deh.

"Jadi, kalau abang tidak ingin halal dan haram itu bercampur, ya ... besok suruh ayah abang datang," ucapku sengaja mengerjainya.

Mana mungkin dia menyuruh ayahnya datang secara usia Bang Rio masih sembilan belas tahun. Kami hampir sebaya hanya beda bulan saja.

"Buat apa beliau ke sini?"

Tanya Bang Rio bikin kesal plus menggemaskan, ingin kujitak agar loadingnya lebih cepat lagi.

"Buat ngantarin aku ke warung," jawabku meloyor pergi dari hadapannya. Sama sekali tidak hendak melihat ekpresi wajahnya.

Betapa aku terkejut, sewaktu mamah menelpon, ayah Bang Rio--Papa Santoso datang melamar aku untuk Bang Rio.

Sebab, satu kampung, juga masih saudaraan jauh. Mama menyetujui tanpa memberitahuku, yang sebenarnya juga sangat setuju. Hari itu juga keluarga Bang Rio membawakan hantaran meskipun tak ada permintaan hantaran dari aku.

Sembilan tahun lalu, aku tersenyum kecil mengenang kenangan mengenal cinta yang begitu indah.

"Hei, sejak kapan hobi melamun?" Tante Sari melirikku tak suka.

"Abis Tante gak jawab, Rumi kan nanya, kenapa sih kok gagal nikahin si Kinan, padahal Kinan cewek baik, masa Bang Rio salah pilih wanita, nikah sama Rumi yang gak ada apa-apanya ini," ujarku sedikit menyindir. Terlihat Tante Sari sedikit gusar tapi ditahan.

"Mana tau, Tante. Tanyalah si Rio," jawabnya lugas hampir membuat aku tertawa.

Telanj*ng bulat juga si Kinanti, di depan Bang Rio. Kujamin Bang Rio yang ngacir lari.

Aku sangat mengenal Bang Rio, lelakiku itu tidak akan pernah menyakitiku.

Tapi Kalimat Tante Sari, sungguh menancap di hati ini.

"Mil, kamu darimana?" Tanya Tante Sari yang melihat Mili datang dari pintu dapur. Wajahnya sedikit lusuh.

"Daring di rumah Meri, abis tu ke rumah Kak Kinan," jawab Mili sambil mengeluarkan bungkusan berisi rantang. Ada ayam goreng yang Mili pindahkan ke wadah lain.

Aku diam saja, tidak mengomentari Tante Sari lagi, sepertinya ayam goreng pemberian Kinanti yang dibawa Mili.

"Mana Bang Rio, Mah. Ini Kak Kinan pesan ayam goreng buat Bang Rio. Mili tadi bantuin Kak Kinan masukin tomat sama terung dalam keranjang, agennya datang, lumayan banyak panen ladangnya Kak Kinan,"

"Ah, si Kinan memang rajin, walaupun sering ke kebun wajahnya masih cantik aja, padahal sudah punya anak satu, pinter cari duit, si Rio aja dulu yang matanya buta," ucap selentingan dari Tante Sari, sungguh tidak mengenakkan hati ini.

Memilih berdiam diri di kamar pilihan paling baik.

Azan isya berkumandang, aku menggendong Alya ke ruang tamu. Biasanya jam segini suka ada tamu yang datang, kalau aku di kamar, apa kata tamu, 'menantu pemalas, yang tidak mau berbaur dengan keluarga?'

Serba salah emang kalau tinggal di kampung.

Kutahan hati, bermain bersama Alya di ruang tamu bukan masalah, walau dulu biasanya, Tante Sari gemar bermain bersama Alya, membuatnya tertawa, bahkan rela menjadi kuda-kuda, karena katanya Alya itu mewarisi semua punya sang ayah, dari wajah sampai tingkah.

"Ma, besok mandi sungai, Yuk!" Ajak Alya sambil menyusun lego yang sengaja kubawa dari rumah, agar ia tak bosan di kampung.

"Okeh, tapi jangan sampai menggigil, yang gak tahan lama pijitin Mamah, ya," jawabku mengacung kelingking.

"Kalo dapet ikan, ikannya kita goreng ... !" Teriaknya kencang.

Alya tertawa saat aku memperagakan orang yang tengah masak ikan dan ikannya menyiprat.

Dini baru saja datang, wajahnya sedikit merona, baru ketemu pacar kayaknya.

"Hai onti, Dini!" Sapa Alya lembut melambai pada Dini yang melewatinya. Aku tersenyum miris. Bebas banget si Dini sekarang.

"Gi mana, Mah. Jadi kan aku kuliah, masa udah daftar, udah lulus, cuma bayar UKT doank kita gak bisa, malu Dini sama teman-teman kalau gak jadi," Dini berucap santai menuju meja makan, mengambil nasi, netranya sedikit terbelalak meihat ayam goreng.

"Siapa yang ngasih ayam, Mil!" Teriak Dini dari dapur, aku yang tadi sama beranjak dengannya dari ruang tamu, menuju dapur kehilangan selera makan.

"Kak Kinan," Jawab Mili santai.

"Hah, aku ada ide, Mah." Tiba-tiba Dini nyelutuk sambil satu jari menempel di keningnya.

"Ide apa?" Kerut Mili tak mengerti.

"Kenapa kita tidak minjam duit Kak Kinan Aja buat kuliah Dini, Mah. Entar pas panen raya kita ganti." Usul Dini mendadak berbinar.

"Emang bakal dikasih, bukan dikit

lo, biaya kuliah itu," sahut Mili seakan mencibir ide Dini.

"Bilangin ke Bang Rio, biar dia yang minjam, pasti dikasih, nyawanya aja dia bakal kasih sama Bang Rio, apalagi cuma pinjaman buat kuliah," ucap Dini semangat sekali.

Aku mengelus dada. Mencoba memahami, ternyata sakit juga.

Sebenarnya perutku terasa lapar. Gulai tadi siang sudah habis. Biarlah menahan lapar, menunggu Bang Rio pulang dari mesjid, daripada aku makan dan nanti ada masalah lagi.

"Wah ....ide bagus tu, minjam sama Kak Kinan," balas Mili dan Jini serentak.

"Apalagi sekarang kabarnya suami Kak Kinan udah jadi tangan kanan pemerintah daerah," Jini berucap sambil memainkan jarinya seolah itu hal luar biasa.

"Keren ya keluarga mereka, agen perkebunan, agen penjualan eh tangan kanan pemerintah pula," celoteh Mili lagi.

"Makanya aku mau tadi siang waktu Kak Kinan minta tolong, mana tahu entar dikasih kerjaan, plus adeknya Kak Kinan si Fatur kan ganteng bingit."

Mili menyenggol b*k*ng Jini saat mengucapkannya, tawanya berderai. Aku hanya melihat dari ruang tamu yang langsung tembus ke arah meja makan.

"Kan, sudah mama bilang ke kalian, si Rio nyesal gak Nerima Kinan, selain cantik juga super cari duit. Coba aja menantu mama si Kinan, kamu pasti gak perlu repot cari pinjaman duit, Din."

Gak perlu repot-repot. Aku sedikit curiga dengan. kelakuan mereka sejak Bang Rio resmi jadi pengangguran.

Benar kata pepatah. saat kita punya uang semua mengaku saudara. Ketika kita jatuh semua menjauh, seakan kita membawa virus di kehidupan mereka.

Hanya yang tak habis pikir olehku. Tante Sari. Ibu yang melahirkan Bang Rio tega melakukan ini padanya. Menunjukkan sifat tidak suka hanya karena Bang Rio tidak lagi memiliki duit.

Apakah Dia bukan ibu kandung. ah ya kenapa aku terlalu jauh memikirkan hal hal aneh ini.

Aku mencoba rileksasi. menarik napas. lalu menghembusnya.

"Kenapa sih Bang Rio bisa cinta mati banget sama Rumi itu, mama aja geli liatnya," ucapnya menyenggol Dini.

Rasanya hatiku tertampar. Walau mereka tidak menampar.

Sakit. Kutahan mengepal tangan. Berusaha terus. bertahan, mendengar ocehan unfaedah itu. Apalagi yang akan mereka bahas.

"Mah, dengar-dengar dari sodara Papa, sebenarnya papa punya bagian warisan lumayan, tapi belum bisa ditebus sama oom kan, Ma," bisik Dini namun jelas terdengar.

Oh jadi membahas warisan sekarang!

"Iya, besok kalau papa datang kita cari cara untuk dapatin warisan itu biar dijual, gak perlu minjam si Kinan juga."

"Mama sih, percuma punya Bang Rio tapi gak bisa di andelin," cerocos Mili.

"Terus mama harus gimana?"

"Ya gak gimana gimana, mama cuma harus tegas biar bang Rio tidak disetir istrinya. Lakukan segala cara donk, Ma. Kalau aku sih yes Bang Rio kita jodohkan dengan Kak Kinan. Seperti kata mama. Kita akan sejahtera kalau menantu mama itu Kinanti bukan Rumi. Jauh panggang dari api kalau sama Rumi itu."

Aku meringis. Geleng-geleng kepala, mengusap dada berusaha istigfar berkali-kali. Benar-benar hujan sehari telah melenyapkan mentari selama sembilan tahun bercahaya.

"Rio itu anak mama yang sangat berbakti. Kalian tenang saja, mama akan buat dia percaya sama kita. Dia harus bisa mencari akal. Bukankah anak lelaki itu selamanya milik ibunya, Rio kan sangat paham itu. Berbakti adalah kewajiban anak lelaki. Istri dilarang protes."

Berbakti katanya!

Aku jijik mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Tante Sari. Dia tidak seperti perempuan yang aku kenal selama kami masih bergelimang harta. Ketika bengkel kami maju, aku disanjung mereka. Ketika gaji bang Rio naik dari biasanya. apalagi menerima bonus. mereka lebih dulu tahu bonus itu daripada aku.

Luar biasa radar bau uang idung keluarga Bang Rio ini. Aku tidak menyangka sama sekali. Pertolongan kami selama beberapa tahun belakangan sama sekali tidak lengket di memori mereka.

Minimal bersyukur.

Sekarang Bang Rio tidak memiliki pekerjaan. Sebagai ibu seharusnya. Tante Sari yang memberikan pekerjaan atau menolong Mario dari keterpurukan ekonomi, bukankah dia sendiri yang bilang bahwa selamanya anak lelaki itu milik ibunya, maka selayaknya dia tidak hanya menginginkan hartanya saja tetapi dia juga harus menolong ketika Anaknya hidup dalam keterpurukan Bukan malah seperti sekarang.

disayang ketika punya uang ditendang ketika kehabisan uang.

lama-lama otakku benar-benar memikirkan Apakah sebenarnya Bang Rio bukan anak kandung dari Tante Sari, karena dia sangat berbeda memperlakukan Bang Rio daripada anak-anaknya yang lain.

Bang Rio seolah sapi perah yang tidak ada habisnya diperah, sementara ketiga anak gadisnya hidup dalam kebebasan manja padahal tinggal di kampung semua fasilitas wajib terpenuhi kalau tidak merengek tidak karuan seperti anak yang hendak tantrum.

"Hai, Rum! kenapa kamu lihat-lihat kami, nge gosip? mau ikutan gosip juga!" tiba-tiba Tante Sari melirik kepadaku dengan tajam karena aku memang sedang mempelototi mereka satu persatu.

Dia pikir aku takut.

"Oh no!" takut bukanlah tipe Rumi, aku makin membesarkan mata ini menatap mereka berdua yang tengah menyusun strategi untuk mendapatkan uang suamiku lagi dan lagi, bahkan pada saat pengangguran seperti ini saat kami terpuruk karena Bang Rio tidak bekerja, Tante Sari Masih memikirkan cara bagaimana menghabisi uang dari suamiku.

Ini sesuatu yang aneh dan benar-benar aneh, Aku sama sekali tidak menyangka Tante Sari punya sifat ke binatangan yang luar biasa.

Hanya saja Bagaimana aku bisa menceritakan kepada Bang Rio tentang keanehan mereka semua, karena suamiku itu adalah lelaki yang maha yang sangat lembut.

Aku yakin dia tidak akan percaya ketika aku mengatakan ini buktinya aneh dan adik-adiknya juga aneh.

"hei kok malah bengong, kamu pengen punya rencana ingin menceritakan apa yang kami bulang barusan kepada Rio. Halah .... Rum! kami sudah mengenal Rio sejak kecil. Kamu tidak akan pernah berhasil mencuci otak Rio, karena akulah memang membesarkan Rio dan sangat tahu seperti apa Rio itu, jadi jangan pernah berpikir untuk mengadu domba kami ya," ucap Tante Sari sambil menarik tangan Sini berlalu dari hadapanku.

Kesal benci jengkel menjadi satu aku harus mengambil sikap lebih cepat.

Ini tidak bisa dibiarkan. Keluarga kecilku harus segera di selamatkan dari keluarga toxic.

***

Azan isya sudah berlalu sedari tadi, pantas saja Bang Rio sudah kembali.

Mendengar Bang Rio datang. Aku melepas selimut dan bantal, menggendong Alya keluar. Biasanya jam segini suka ada tamu yang datang juga, kalau aku di kamar, apa kata tamu, 'menantu pemalas, yang tidak mau berbaur dengan keluarga?'

Begitulah di kampung ini. Aku dan Bang Rio satu kampung, tapi mama sama papa sudah merantau sejak aku kecil. Kami hanya pulang ketika lebaran tiba.

Serba salah emang kalau tinggal di kampung.

Kutahan hati, bermain bersama Alya di ruang tamu bukan masalah, walau dulu biasanya, Tante Sari gemar bermain bersama Alya, membuatnya tertawa, bahkan rela menjadi kuda-kuda, karena katanya Alya itu mewarisi semua punya sang ayah, dari wajah sampai tingkah.

Entah mengapa sekarang semua berubah.

Semua berubah, sejak kami tidak punya apa-apa. Miskin lebih tepatnya.

"Ma, besok jadi ya mandi sungainya!" ajak Alya sambil terus menyusun warna lego yang sama, sengaja kubawa dari rumah, agar ia tak bosan di kampung.

Bang Rio tidak terlihat, mungkin kembali keluar, mungkin dia mengira kami sudah tidur, sepertinya bersua seseorang.

Biasa, di kampung warga yang datang dari perantauan selalu disapa dengan ramah sekali. Seolah tamu istimewa.

Mataku tak lepas dari wajah dini, baju seksi, bibir merah merona. Astaghfirullah. Aku tersenyum miris. Bebas banget si Dini sekarang. Putriku dicuekin. Cueknya dia gak apa apa sih. Tapi aneh aja wajahnya. Kayak pengantin dengan make up ketebalan. Parfumnya juga menguar bikin mual.

"Mau ke mana, dan abis dari mana?" Aku merutuk jiwa kepo yang memang ada di dalam diri setiap wanita. Larat. Aku tidak mau saja, suatu hari Abang dan ayah kandungnya masuk neraka hany gara gara dia.

"Gi mana, Mah. Jadi kan aku kuliah, masa udah daftar, udah lulus, cuma bayar UKT doank kita gak bisa, malu Dini sama teman-teman kalau gak jadi," Dini berucap santai menuju meja makan, mengambil piring, ia langsung menyendok nasi, matanya sedikit terbelalak meihat ayam goreng.

"Siapa yang ngasih ayam, Mil!" teriak Dini dari dapur, aku yang tadi sama beranjak dengannya dari ruang tamu, menuju dapur kehilangan selera makan.

"Kak Kinan," jawab Mili santai. Mili yang dulu kusayang-sayang ikut berubah menyikapi keadaan. Mengelus dada. Sakit!

"Hah, aku ada ide, Ma." Tiba-tiba Dini nyelutuk sambil satu jari menempel di keningnya.

Tante Sari tampak serius mendengar Dini. Wanita paruh baya itu seolah tidak peduli dengan penampilan Dini yang semakin berani dari hari ke hari.

"Ide apa?" Kerut Mili yang kembali ke dapur, tak mengerti.

"Ya, usul apa tu?" Tante Sari antusias.

"Usul yang kita bicarakan kemarin itu, Mamah harus segera rayu Bang Rio, biar dia aja yang minjam, atau mama bilang ini untuk kebutuhan Bang Rio, seribu persen dini yakin pasti dikasih. Kinanti itu bucin level gila dengan Bang Rio, kita manfaatin aja. Ketimbang sama Kak Rumi. Issh kan sekarang mereka udah bangkrut. Nyawanya aja Kak Kinan bakal kasih sama Bang Rio, apalagi cuma pinjaman buat kuliah," ucap Dini semangat sekali.

Aku mengelus dada. Mencoba memahami, ternyata sakit juga.

Sebenarnya perutku terasa lapar. Gulai tadi siang sudah habis. Biarlah menahan lapar, menunggu Bang Rio pulang dari mesjid, daripada aku makan dan nanti ada masalah lagi.

Oh ... ya Gilang itu sekarang PNS? dalam hati aku berucap aneh. Bukannya setau aku si Gilang itu gak tamat sekolah ya.

Tapi, buat apa juga aku pikirin. Mending mikirin usaha apa yang bisa kujalani tanpa harus meninggalkan suamiku.

Affiliasi online sudah. Tiktok afiliasi juga aku tekuni. Alhamdulillah sih, angkanya semakin naik. Jika tabunganku full. Aku bakal meminta Bang Rio untuk kembali ke kota.

Sakit. Kutahan mengepal tangan. Mereka semua sudah gila. Kinanti itu sudah punya suami.

Mengapa membicarakannya seolah-olah Kinanti janda yang butuh suami.

Awas saja emosiku meledak. "Tahah, Rum! tahan ....

Warisan!

"Iya, besok kalau papa datang kita cari cara untuk dapatin warisan itu biar dijual, gak perlu minjam si Kinan juga. Tapi kalau si Rio ramah tamah sama si Kinan kita bisa da ... pet dou ... ble," ucap Tante Sari semangat sekali.

"Mama sih, percuma punya Bang Rio tapi gak bisa di andelin," cerocos Mili.

Aku meringis. Geleng-geleng kepala, mengusap dada berusaha istigfar berkali-kali. Benar-benar hujan sehari telah melenyapkan mentari selama sembilan tahun bercahaya.

"Assalamualaikum," suara Bang Rio bersamaan si sulungku Rivo mengucap salam langsung menerobos masuk. Aku dan Alya menyambut rebutan. Waktu masuk pertama, aku gak dengar salam suamiku itu. Bisa jadi tadi dia keluar lagi menjemput putra tercinta.

"Katanya mau main dulu sama Rehan, kok gak jadi?" tanyaku pada Rivo sengaja dengan suara sedikit keras, agar Tante Sari mendengar, tidak terjadi salah paham lagi. Jangan sampai ia berpikir aku melarang Rivo untuk ke rumah Kinanti. Walau begitu aku pasang mode waspada.

Aku harus tahu ada apa dengan mereka sampai begitu getol menjodohkan istri orang dengan suami orang.

"Gak jadi, kata papa mau ngajak Rivo mancing di kali kecil yang dekat sawah, banyak ikannya."

"Iya, Dik. Biar Rivo gak bosan, abang bawa ke kali dekat sawah kiri itu, masih ingat gak?" tanyanya tersenyum mengenang. Eh dia bernostalgia. Tentu saja aku ingat.

Sawah kiri yang banyak ularnya.

Iya, ingat donk. Tiap lebaran tiba, aku sengaja main atau ikut nenek memetik kopi di sawah kiri. Pinggiran sebelum sawah ada tanaman kopi warisan nenek.

Sebelah kanan dari sawah kiri itu berbatasan langsung dengan sawahnya Bang Rio. Sengaja banget aku dulu. Ingin melihat wajah Glenn Alinskie versi malu-malu dari jarak dekat.

Wajahku mendadak memanas. Bang Rio mengingatkan kejadian belasan tahun lalu.

"Kok senyum sendiri, ingat masa lalu, ya?" usilnya mendelik Mesra. Aih, lupa ada si Rivo dan ada para nenek lampir. Bang Rio mengusap kepalaku lembut. Hmm. Ada yang berdebar tapi bukan kresekan. Eh.

Aku membalas tajam sambil menarik ujung alis berkode arah Rivo. Bang Rio tertawa. Mengusap lembut lagi kepalaku, berganti mengusap Rivo juga.

Satu di antara tingkahnya yang selalu bikin aku senyum sepanjang hari. Bunga-bunga seakan bermekaran setiap saat di hati ini. Melupakan rasa sakit hati dengan sederet ocehan mertua plus para ipar.

Bang Rio begitu cerdas, juga baik dalam menunjukkan kasih sayang seorang tulang punggung keluarga.

"Ya sudah, sana maen sama Papa, tapi makan dulu yang banyak, entar kalau udah selesai jangan kelewatan ya Nak. ini kampung, gak sama kayak di rumah kita," saranku sambil menguncir rambut Alya yang datang dari ruangan membawa kuncir kudanya yang tertinggal tahun lalu.

Ada-ada saja si Alya, masih ingat saja barang pribadi.

Kami berempat beranjak menuju dapur.

Bang Rio dan Rivo duduk sebelahan. Para nenek lampir sejak tadi sudah pindah ke ruang tengah, melanjutkan ghibahan.

"Mah, Rivo gak makan lagi, ya. Tadi udah makan di rumah Rehan," tolaknya saat aku hendak mengambil nasi ke piring.

"Itu kan tadi siang, Nak. Sekarang makan malam," balasku tak nyaman mendengar nama Rehan.

"Tapi masih kenyang, tadi dikasih kue bolu sama es krim goreng, enak banget es krim gorengnya." Rivo bercerita semangat sekali.

"Siapa yang ngasih?" tanyaku menyelidik, dengan suasana hati yang sudah sangat tidak enak talunya.

"Tante Kinanti," jawab Rivo membuat Bang Rio melirikku. Aku berdiri di samping Bang Rio.

"Mantanmu, Bang!" bisikku usil menjamin Rivo tidak akan dengar.

Bang Rio menyepak kecil betisku. Mencubit dagu mesra namun melirik tak suka. Aku tertawa, senang rasanya ngerjain suami tercinta.

"Abang gak pernah pacaran, jangankan sama dia, sama siapapun juga gak pernah. Pacarannya cuma sama kamu itupun setelah menikah," protesnya panjang, Rivo menghadap ke arah kami berdua, lalu diam menikmati cubitan ayam goreng dari piring papanya. Bocah kelas dua sekolah dasar itu belu mengerti pembahasan orang dewasa.

"Kok rasa ayamnya kayak pakai penyedap gini, ya." Lidah bang Rio berdecak beberapa kali.

Aku mengangkat bahu, tersenyum lucu melihat ekpresi Bang Rio yang mirip orang sedang merasakan mangga kecut.

"Kenapa, Bang? apa ayam gorengnya basi?" tanyaku yang sedari tadi belum merasakan ayam goreng ala Kinanti itu. Ilfil. Jangan-jangan ada peletnya.

Ternyata suaraku menghadirkan Tante Sari di ambang pintu dapur mengirim tatapan tajam membunuh.

"Kamu bilang apa, Rum? Basi? enak saja kamu bilang pemberian orang seikhlas itu basi, kamu sendiri bisa ngasih apa sama Rio. Saat dia banyak duit kamu menikmatinya, sekarang giliran dia lagi jatuh, kamu berbuat apa menyelamatkan ekonominya," ucapnya ketus menghampiri meja makan. Napas Tante Sari naik turun terlihat sesak.

Aku bingung. Pasti salah paham lagi.

"Rum gak bilang sambalnya basi, Tante. Rum lagi nanya Bang Rio kok pas makan wajahnya kayak lagi makan mangga gitu, apa sambalnya basi," jelasku pada Tante Sari.

Terlihat kesal di wajahnya.

"Harusnya kamu terimakasih sama Kinanti, zaman sulit pandemi seperti ini, masih ada orang baik yang ngasih sambal sampai sebanyak itu. Ayam lagi mahal. Tau apa kamu tentang masak memasak, Tante sangat tau siapa kamu. Istri yang jarang mengurus suaminya. Baju suami saja pakai jasa laundry."

Aku saling pandang dengan Bang Rio. Kaget dengan semburan dadakan itu.

"Rum benar, Ma. Dia cuma nanya," bela Bang Rio pada Tante Sari. Ia berdiri mendekati ibunya itu.

"Mama udah makan?" tanya Bang Rio kemudian, tersenyum pada ibunya. Merangkul manja. Tante Sari mengelak di rangkul. Wajahnya masih mengisaratkan marah.

"Nanya kok seperti itu, bersyukur dikasih orang, masa otak suami dicuci hal buruk melulu!"

"Astagfirullah, mama, Rum itu cuma nanya, karena ayam goreng ini lain rasanya di lidah Rio, Rum tau benar mana yang Rio suka dan tidak suka, apalagi itu soal rasa masakan, mama juga tau 'kan lidah Rio sedari dulu sangat sensitif jika masakan terlalu banyak penyedap."

"Kinanti juga tau kamu gak suka banyak penyedap. Ini ayam goreng baru di goreng waktu di bawa kemari, mana mungkin basi, dan Kinanti sangat mengenal lidah kamu, Rio, dan kamu Rum. Kamu pikir Kinanti itu perempuan tidak becus, Kinanti itu paling pandai masak, sangat mengenal makanan kesukaan Rio."

"Mama!" teriak Bang Rio murka.

"Mengapa kami yang sedari tadi makan gak merasakan ada rasa penyedap di ayam goreng itu! jangan-jangan kamu Rum yang masukin. Karena kamu tau kalau Rio tidak suka sambal dengan penyedap. Sengaja kamu memfitnah Kinan! cemburu! istri macam apa kamu ini!"

"Mama!" teriak Bang Rio lagi. Aku tersenyum tegar berdiri.

Entah apa yang merasuki Tante Sari, bisa-bisanya dia mengatakan hal buruk begitu, menuduhku yang bukan-bukan.

"Rio tidak percaya mama mengatakan hal sepicik itu tentang Rum, dia menantu mama," ucap Bang Rio tegas, kalimat yang menampar ibunya sendiri.

"Rio percaya sama istri Rio, Ma. Rum bukan Kinanti yang suka memanipulasi."

Wah. Apa aku tidak salah dengar? Bang Rio membelaku dengan menjelekkan Kinanti?

Hmm, aku menunggu mertuaku itu membela diri?

"Satu lagi, Rio mohon sama mama, jangan pernah banding-bandingkan Rum dengan Kinanti. Bagi Rio, Rumi satu-satunya ibu hebat dari anak-anak Rio. Tidak akan ada yang bisa dibandingkan dengan dia," ucapnya langsung mencuci tangan kulihat. Sang suamiku itu tidak lagi selera makan.

Aku mencibir Tante Sari. Rasakan tuh omongan anak sendiri.

Related chapters

  • Kubeli Suamiku Dari Keluarganya   Fitnah Kinan

    Sebenarnya perutku terasa lapar. Gulai tadi siang sudah habis. Biarlah menahan lapar, menunggu Bang Rio pulang dari mesjid, daripada aku makan dan nanti ada masalah. "Assalamualaikum," suara Bang Rio bersamaan si sulungku Rivo mengucap salam langsung menerobos kamar. "Katanya mau main dulu sama Rehan, kok gak jadi?" Tanyaku pada Rivo sengaja dengan suara sedikit keras, agar Tante Sari mendengar, tidak terjadi salah paham lagi. Jangan sampai ia berpikir aku melarang Rivo untuk ke rumah Kinanti. "Gak jadi, kata papah mau ngajak Rivo mancing di kali kecil yang dekat sawah," "Iya, Dik. Biar Rivo gak bosan, abang bawa ke kali dekat sawah kiri itu, masih ingat gak?" Tanyanya tersenyum mengenang. Eh dia bernostalgia. Sawah kiri. Iya, ingat donk. Tiap lebaran tiba, aku sengaja main atau ikut nenek memetik kopi di sawah kiri. Pinggiran sebelum sawah ada tanaman kopi warisan nenek. Sebelah kanan dari sawah kiri itu berbatasan langsung dengan sawahnya Bang Rio. Sengaja banget

    Last Updated : 2022-11-16
  • Kubeli Suamiku Dari Keluarganya   Si Tamu Bulanan

    Palingan si Kinan sudah cerita duluan. Memotong beberapa bagian cerita, menambahkan sebagian, dan entah apa lagi. Jadilah sebuah ghibah yang menarik.Padahal bertemu dengannya di warung tidak sampai lima menit. "Eh, Rum. Mertua nanya itu dijawab, malah diam?"Aku mau jawab apa? Ntar malah salah lagi.Tapi, bukan Tante Sari namanya kalau obrolannya berhenti sampai di situ. Aku sudah mengenalnya sejak keluar dari rahim ibuku, untung punya anak ganteng, sholeh dan penyayang, kalo tidak. Bakal adu jetos mertua versus menantu."Tadi Kinanti cerita sama Tante, kamu ketemu dia di kedai beli telur, ekpresi kamu itu lo, kok kayak orang sewot jumpa dia, bukannya terimakasih sudah dikasih ayam goreng buat sambal kita satu rumah, eh kamu malah nyeritain kalo si Rio gak suka ayam goreng buatannya.Terus ngapain juga, diceritain kalo si Rio itu tidak suka penyedap rasa. Gak baik seperti itu, harusnya kamu ngucapin terimakasih, sudah gak perlu sampai harus bilang ayam gorengnya gak enak, jadi, Rio l

    Last Updated : 2022-11-18
  • Kubeli Suamiku Dari Keluarganya   Kenapa Suamiku?

    "Gilang sudah abang kenal lama lo, dia itu kan teman abang waktu masih kerja di perusahaan yang lama, pas kita baru-baru nikah," Bang Rio lagi-lagi menjelaskan kepadaku.Tetapi saja yang namanya orang baru dikenal, aku tidak akan mudah mempercayainya, apalagi aku melihat ada sesuatu yang aneh diantara keluarga ini dan keluarga Kinanti. "Oh, Rumi gak tau," jawabku pura-pura Percaya saja walaupun hatiku dag dig dug. "Iyalah, kan kamu tau nya cuma sama abang," lagi yang mengulang gombalan. "Berarti Gilang pernah kerja di kota kita donk, Yang. Kok abang gak pernah cerita ke Rum?" tanyaku menyimpan heran.Selama ini 9 tahun lamanya aku tidak pernah mendengar nama Gilang ada di kota kami bekerja. Bang Rio tidak pernah cerita apapun tentang Ayah Rehan itu, Alias suami Kinanti, kalau memang Gilang pernah ada di kota yang sama dengan kami, artinya Kinanti pernah datang dong ke sana."Ih, ngapain juga abang ceritain dia ke kamu, Dik. yang ada aneh, Sayang! Lagian kamu kenal abang, 'kan? Abang

    Last Updated : 2022-11-23
  • Kubeli Suamiku Dari Keluarganya   Kemalangan Demi Kemalangan

    "Rum Rum ...." Itu suara suamiku. Ya Allah. Ada apa ini. "Rio, bertahanlah!" Dan ... itu suara Gilang. Setelah suara Gilang, tiba-tiba hening. Aku panik. Menangis histeris. "Tolong! Siapapun kalian yang bisa menolong suamiku." Aku seperti orang gila. Mondar mandir tidak karuan. "Bang Rio kenapa?" teriakku menggigil. Suaraku gemetar. Dunia serasa runtuh. Tidak satu orang pun yang mendengar. Ingin rasanya menangis. Jantungku gemuruh hebat. Apa yang terjadi pada suamiku, Tuhan?Mondar mandir antara kamar depan dan ruang tamu, aku berharap bertemu Tante Sari. Atau siapa saja yang bisa menolong suamiku.Di mana mereka? Apakah dia tidak tahu kalau anaknya dalam bahaya, kepanikanku merambat ke mana-mana aku sampai lupa mengabarkan Aliya dan Rivo.Aku bahkan tidak melihat Alya yang sudah duduk lesehan, dia menatap bingung ke arahku."Mama, ngapain kayak setrikaan? maju mundur?" tanya Alya heran. Tanganku gemetar. Kupeluk Alya ketakutan. Napas ini tidak lagi beraturan tarikannya. Aku tidak

    Last Updated : 2022-11-25
  • Kubeli Suamiku Dari Keluarganya   Mencari Biang Keladi.

    Rumah Sakit."Dik," panggil Bang Rio setelah membuka netranya yang beberapa waktu lalu tertidur. Aku menyeka ujung mata, tanpa sadar ternyata aku ikut terlelap di sampingnya. Terlalu banyak hal yang harus aku pikirkan dari mulai penemuan Revo sampai kata-kata dokter juga keanehan-keanehan yang selama ini menjadi hal yang harus aku analisa. "Iya sayang, Rum di sini," jawabku mendekat kewajahnya. Kugenggam tangan berinfus itu, mentransfer kekuatan agar hatinya tenang. "Mama, mana?" tanyanya lemah. Betapa ia anak yang berbakti. Andai saja Bang Rio tahu seperti apa watak asli ibunya itu. Ah, aku tidak tega mengatakannya. Suatu hari Bang Rio akan melihat sendiri seperti apa Wanita yang ia anggap malaikat itu di belakangnya. "Tadi di sini, mungkin pulang sebentar, atau ke depan. Apa mau Rum cariin?" tawarku basa-basi. Tentu saja aku tidak akan memanggil nenek lampir itu untuk menjenguk suamiku. Aku juga belum tahu siapa di balik kejadian ini, bisa saja Gilang, Kinanti atau mamanya

    Last Updated : 2022-11-28
  • Kubeli Suamiku Dari Keluarganya   Kalian Hanya Menumpang!

    Setelah mendapat penjelasan dari dokter mengenai serum, obat dan kadar dosis yang harus diminum Bang Rio. Aku memutuskan pulang. Bang Rio lebih dulu sampai karena memakai mobil Kinanti.Sedangkan aku sengaja singgah di pasar bersama Rivo. Aku juga sengaja menyuruh Mili membawa Alya. Di antara semua adik-adik Bang Rio mungkin Mili salah satu yang sepertinya masih sedikit kupercaya, karena Mili pernah tinggal bersama kami.Aku yakin dia juga masih punya perasaan sayang meski itu hanya setitik untuk anak-anakku, hanya saja aku yakin Mili punya alasan tertentu ketika ia ikut-ikutan menaruh rasa benci padaku.Tak apa lambat laun aku yakin ia akan kembali ke setelan pabrik tetap menyayangi Bang Rio dan anak-anakku. Seperti dulu saat dia masih tinggal bersama kami.Makanya aku membiarkan Mili membawa Alia karena takut kelamaan di jalan.Ada sesuatu hal yang harus aku kerjakan yang tidak boleh ada yang tahu. Entah mengapa aku punya firasat yang tidak nyaman dan tidak enak untuk kurasakan. Tapi

    Last Updated : 2022-11-28
  • Kubeli Suamiku Dari Keluarganya   Fakta Mengejutkan

    "Setelah memastikan suamiku baik-baik saja di sini, sebelum enam puluh hari aku akan kembali untuk membawa suamiku, bukan hanya suamiku saja, Tante. Tapi aku akan membawa segala aset di kampung ini. Apa Tante paham! Aku pastikan warisan yang acap kalian ributkan akan berpindah nama." Ucapanku begitu tegas. Tante Sari tampak shock mendapat perlawanan. Ia terbelalak kaget. Tidak menyangka aku yang biasa memilih mengalah kini melotot melawan ucapannya. Bahkan memanggil diriku dengan sebutan 'aku' bukan 'Rum' *** "Kamu itu ya, Rum. Ngomong kok sombong sekali. Aset kampung plus warisan. Tidak usah terlalu banyak ngehalu, takutnya kamu depresi. Mending jualan risoles, bakwan atau apa saja yang bisa menyambung nafkah anak-anak kamu. Kalian sekeluarga memang cocok hidup makan halu, tak ada bedanya dengan si Yuni. Bisa-bisanya kamu ngehalu bakal jadi tuan tanah di sini. Bangun ... jangan mimpi!" Tante Sari mengibaskan tangannya. Aku tertawa mendengar balasan Tante Sari. Terlihat jelas

    Last Updated : 2022-11-29
  • Kubeli Suamiku Dari Keluarganya   Bunglon Profesional

    Hari ini aku baru saja selesai mencuci baju Alya dan Rivo, kemudian berencana akan bicara kembali kepada Bang Rio tentang tinggal di kota. Semoga saja suamiku itu mengijinkan kami, dan aku terhindar dari nenek sihir yang ada di rumah ini. Baru saja kakiku melangkah ke dalam dapur tiba-tiba nenek sihir yang kumaksud sudah di depan mata.Matanya melotot, senyumnya sangat menyeramkan, tangan bertengger di pinggang dan sorot pandangannya siap untuk menerkam, tapi bukan Rena Arumi kalau takut dengan nenek lampir satu ini. Meskipun dia adalah ibu dari suamiku.Ya sampai saat ini masih begitu anggapanku, sampai aku menemukan bukti keanehan yang terjadi di keluarga ini.Entah ke mana Mili, Dini dan Jini, sepertinya trio kwek-kwek itu tidak terlihat di rumah ini, lebih tepatnya jarang terlihat. Tapi aku tidak kepo apa yang mereka kerjakan di luar, di dalam maupun di sekolahan. Strategiku cuma satu mendekati Mili kembali, Dini dan Jini yah ... terserah mereka. Terutama setelah mengetahui semua

    Last Updated : 2022-11-30

Latest chapter

  • Kubeli Suamiku Dari Keluarganya   Ayam Goreng

    "Ma, Rivo ke mesjid dulu, ya. Ntar abis isya maen ke rumah Rehan lagi," pamit Lajangku membuyarkan lamunan. "Ri ... !" Teriakku. Kehilangan kata, putra satu-satunya telah menghilang di balik pintu. Semoga ini bukan ujian awal untukku. Gulai dan sekarang? Kinanti! "Kenapa,? Kok kamu teriak-teriak manggil si Rivo." Sudah seperti hantu, ibu mertua tiba-tiba nongol di depan pintu. Astaghfirullah. "Gak da, Tante. Si Rivo maen melulu, Rumi pengen dia istirahat. Baru juga sampai, malah keluyuran," jelasku sedikit malas. Air muka Tante Sari kelihatan tidak nyaman, ia menarik bibirnya ke kanan sedikit. Apa yang tengah ia pikirkan? "Heleh, kan dah dibilang si Rivo, ke rumahnya Rehan," timpalnya lagi. "Iya, tapi segan Rumi, Tante. Rivo makan di sana, malam ini kalo maen ke sana lagi, ntar makan lagi, Rumi cuma takut aja, Bang Rio lagi nganggur, jangan sampai anak-anak Rumi nyusahin orang lain," jelasku lagi. "Hadeehh, kamu ini ya Masih syukur ada yang kasih makan! Pake acara se

  • Kubeli Suamiku Dari Keluarganya   Tenang

    Setelah mereka pergi, suasana nampak semakin sepi. Bang Rio mengajak kami untuk masuk kembali kedalam rumah. Aku menuturi Bang Rio dari belakang. Hingga sampai di ruang tengah rumah itu, kami duduk bersama. Semua terasa hening. Bang Rio melipat tangannya di atas dada sambil terus diam. Sama seperti yang Aku lakukan. Mili pun tak bisa berbuat lebih selain melihat tingkah mereka yang jadi pendiam. "Kenapa jadi pada diam seperti ini? Bukanya seharusnya kita senang karena mkita menang?" Tanya Mili melirik liar ke dua belah arah. Aku menarik nafas dalam sekali lalu membuangnya hingga dadaku terasa lega. "Aku hanya kasihan melihat Kinanti dan Om Budiman di seret polisi seperti itu," ucapku lirih. Aku memang kesal dan dongkol dengan sikap dan kelakuan dari keduanya. Hingga taut wajah muram tak bisa aku sembunyikan. Tapi, rasa kemanusiaanku tiba-tiba saja muncul. Aku tak bisa bayangkan bagaimana mereka akan menderita di balik jeruji besi. Bang Rio duduk mendekat ke arahku. Dia adalah pria

  • Kubeli Suamiku Dari Keluarganya   Mereka Pergi

    4.Akhirnya aku berada di posisi ini. Dimana diriku sangat sebal melihat orang yang selalu bertingkah munafik. Merasa diri paling benar, tersenyum baik di hadapan kita namun di belakang aslinya sangat busuk.Aku mengeratkan genggaman tanganku hanya untuk menahan sebuah amarah. Benci dan muak menatap wajah wanita itu, sampai-sampai aku ingin sekali melemparkan sebuah pukulan di pelupuk matanya. Untung saja, aku tipe orang yang tak suka kekerasan.Menyelesaikan masalah ini dengan otak dingin lebih baik dibandingkan harus adanya pertumpahan darah. Bisa diingat oleh semuanya jika masalah besar kita bersangkutan dengan uang, maka jati diri seseorang bisa terlihat jelas. Hal yang sama nampak dari wajah Bang Romi. Matanya memerah setiap kali berhadapan dengan sosok Kinanti. Seperti sudah dijodohkan oleh tuhan, Kinanti bersikap acuh tak acuh percis dengan Budiman yang belum datang. "Jangan berbelit-belit lagi. Sebaiknya, kamu jujur saja. Semua ini a

  • Kubeli Suamiku Dari Keluarganya   Pelakor Menantang

    Aku dan  Bang Rio, sedang duduk di ruang tamu rumah. Kami merasa putus asa dalam upaya kami untuk membuktikan bahwa Om Om Budiman dan Kinanti  telah melakukan tindakan yang hendak mencelakakan Bang Rio.Tiba-tiba, pintu rumah terbuka dan Milli, adik iparku, tiba-tiba masuk dengan wajah yang pucat dan serius."Aku punya sesuatu untuk kalian berdua," katanya sambil menyerahkan sejumlah bukti kasus itu kepada kami.Bang Rio dan aku saling pandang, takjub dengan apa yang Milli berikan kepada kami.“Kamu dapatkan semua ini dari mana, Milli?” tanya Bang Rio. Milli menggelengkan kepalanya perlahan, “Abang dan Mbak Rum ga perlu tau, yang jelas semua bukti ini bisa membawa mereka ke terali besi,” katanya. Aku menghela napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Akhirnya aku bisa menemukan keadilan untuk suamiku. “Di dalam sini juga ada bukti-bukti jika Om Budiman memang sudah menyabotase harta yang seharus

  • Kubeli Suamiku Dari Keluarganya   Istri terbaik.

    Bang Rio duduk di depan pengacara dengan sorot mata yang tajam. Ia merasa gerah dan marah karena sudah terlalu lama ia berdiam tentang masalah keluarganya."Pak, saya butuh bantuan Anda. Saya yakin ada masalah dalam keluarga Budiman," ujarnya sambil mengeluarkan sebuah folder dari tasnya.Pengacara itu memperhatikan Bang Rio dan menerima folder yang dia tawarkan. Dia membuat catatan dan menanyakan sedikit lebih banyak tentang situasi keluarga Budiman."Saya memiliki banyak bukti yang menunjukkan bahwa selama bertahun-tahun, mereka telah mengambil aset dan harta keluarga saya, termasuk rumah warisan ibu saya. Semua itu dilakukan tanpa sepengetahuan saya dan bahkan tanpa itikad baik," lanjut Bang Rio sambil menatap tajam pengacara tersebut.Pengacara tersebut merasa kagum akan keseriusan Bang Rio dalam menyelesaikan permasalahan ini. Ia lalu bertanya tentang bukti yang dimiliki Bang Rio.Bang Rio kemudian

  • Kubeli Suamiku Dari Keluarganya   Aksi Mili

    Sore itu, entah mengapa Mili mengumpulkan semua orang di kampung halaman Bang Rio, termasuk aku dan Bang Rio menyusul Mili ke rumah yang ada di kampung. Ia berkata ada sesuatu yang penting untuk kami ketahui. Ternyata, Milli merasa sakit hati dan marah ketika dia mengetahui betapa banyak kesalahan ibunya telah dilakukan terhadap Bang Rio. Dia tidak bisa membiarkan hal itu terus terjadi dan harus mengambil tindakan segera. Saat semua sudah berkumpul, Milli memutuskan untuk membuka kedok ibunya di hadapan semua orang . Dia tahu itu akan menjadi momen yang sulit bagi keluarga mereka, tetapi dia merasa bahwa kebenaran harus diketahui. Ketika Tante Sari datang ke acara itu, dia melihat putrinya berdiri dengan tegas dan tak gentar. Milli pun mulai berbicara dengan suara yang lantang, “Saya ingin berbicara tentang ibu saya, Sari. Dia telah melakukan sejumlah besar kesalahan terhadap Rio, kakak saya. Dia telah membohongi kita semua, termasuk saya.Ibu sudah bekerja sama dengan Kinanti untuk

  • Kubeli Suamiku Dari Keluarganya   Sekongkol dengan Adik Ipar

    Saat kami tiba di rumah, terlihat sebuah mobil baru saja berhenti di depan rumah kami. Dan seseorang turun dari mobil itu berjalan masuk ke halaman rumah. Kemudian mobil itu pun segera berlalu. Sepertinya mobil itu hanya taksi online. Aku dan Bang Rio saling berpandangan. “Sepertinya ada tamu, Bang. Apa kamu memberitahukan alamat kita kepada orang lain Rum? Maksud Abang kepada saudara kita?” Aku menggelengkan kepala, “Hmm, tidak ada orang yang tahu alamat rumah ini. Entah kalau misalkan orang itu memang sengaja mencari alamat rumah kita dan ingin bertemu dengan kita. Ya sudahlah, Bang ... Kita temui saja. Kita kan nggak tahu siapa tamunya,” kataku Kami pun bergegas memasuki halaman dan membuka pintu rumah. Saat pintu dibuka seseorang yang sudah familiar tampak sedang duduk bersama ibuku di ruang tamu dan saat melihat kami orang itu langsung berdiri dan tersenyum. “Bang Rio, Kak Rumi.” “Mili, kok kamu di sini?” tanyaku. Ya, yang datang adalah Mili adiknya Bang Rio. Selama ini seta

  • Kubeli Suamiku Dari Keluarganya   Suamiku kembali

    “Aku merasa sangat kecolongan. Ternyata selama ini ada banyak sekali hak yang harus aku perjuangkan. Hak yang seharusnya aku nikmati bersama anak dan istriku, dinikmati oleh orang lain yang tidak berhak sebetulnya,” kata Bang Rio ketika kami dalam perjalanan pulang ke rumah. Aku hanya menganggukan kepalaku.“Ya, selama ini kamu terlalu sabar dan selalu saja menjadi orang baik, Bang. Baik itu boleh tetapi jika orangnya seperti kamu itu bukan baik lagi... tetapi terlalu baik. Bahkan kamu membiarkan orang-orang yang benci kamu mendzalimi kamu begitu saja. Termasuk juga Tante Sari. Kamu ingat betapa kamu kemarin begitu ngotot untuk mengeluarkan dia dari penjara, padahal aku sudah mengatakan jika aku memiliki alasan kenapa aku menuntutnya. Kamu baru diam setelah aku berikan bukti-bukti nyata kan, Bang,” ujarku kepada Bang Rio.“Maafkan Abang Rumi, selama ini Abang dibutakan. Abang tahu jika Abang bersalah dan abang minta maaf,” kata Bang Rio kepadaku. Aku menghela napas panjang dan mengang

  • Kubeli Suamiku Dari Keluarganya   Ada yang Mencari

    Aku sangat terkejut ketika mendengar dari anak buahku jika ada yang mencariku dan Bang Rio. Maka kami pun segera mencuci tangan kemudian bergegas menuju ke depan. Kami tidak mau jika tamu yang dikenal itu menunggu terlalu lama. Saat kami ke depan ternyata ada seorang lelaki separuh baya sedang menunggu, wajahnya tampak tak asing, dan saat menoleh ke arah aku dan Bang Rio datang, Ia pun tersenyum dengan ramah. Dimana aku melihat lelaki ini? Memoriku tak sedikitpun menangkap. “Selamat siang Pak, Anda mencari siapa?” tanyaku dengan sopan. Aku berpikir jika kemungkinan dia adalah pelanggan baru di bengkel kami, maka kami pun harus bersikap ramah kepada pelanggan? Meski ini sedikit aneh,karena jarang sekali langganan kami meminta untuk bertemu langsung dengan pemiliknya. “Maaf, tadi saya mendengar ibu dan bapak mencari Pak Rustandi. Apakah betul demikian?” tanya lelaki itu. Aku dan Bang Rio mengerutkan dahi, kami saling berpandangan tetapi kemudian aku mengganggukan kepala dengan cepa

DMCA.com Protection Status