"Setelah memastikan suamiku baik-baik saja di sini, sebelum enam puluh hari aku akan kembali untuk membawa suamiku, bukan hanya suamiku saja, Tante. Tapi aku akan membawa segala aset di kampung ini. Apa Tante paham! Aku pastikan warisan yang acap kalian ributkan akan berpindah nama." Ucapanku begitu tegas. Tante Sari tampak shock mendapat perlawanan.Ia terbelalak kaget. Tidak menyangka aku yang biasa memilih mengalah kini melotot melawan ucapannya. Bahkan memanggil diriku dengan sebutan 'aku' bukan 'Rum'***"Kamu itu ya, Rum. Ngomong kok sombong sekali. Aset kampung plus warisan. Tidak usah terlalu banyak ngehalu, takutnya kamu depresi. Mending jualan risoles, bakwan atau apa saja yang bisa menyambung nafkah anak-anak kamu. Kalian sekeluarga memang cocok hidup makan halu, tak ada bedanya dengan si Yuni. Bisa-bisanya kamu ngehalu bakal jadi tuan tanah di sini. Bangun ... jangan mimpi!" Tante Sari mengibaskan tangannya. Aku tertawa mendengar balasan Tante Sari. Terlihat jelas ia men
Hari ini aku baru saja selesai mencuci baju Alya dan Rivo, kemudian berencana akan bicara kembali kepada Bang Rio tentang tinggal di kota. Semoga saja suamiku itu mengijinkan kami, dan aku terhindar dari nenek sihir yang ada di rumah ini.Baru saja kakiku melangkah ke dalam dapur tiba-tiba nenek sihir yang kumaksud sudah di depan mata.Entah ke mana Mili, Dini dan Jini, sepertinya trio kwek-kwek itu tidak terlihat di rumah ini, lebih tepatnya jarang terlihat. Tapi aku tidak kepo apa yang mereka kerjakan di luar, di dalam maupun di sekolahan.Terutama setelah mengetahui semua cerita Bang Rio tentang sosok Om Santoso dan Tante Yuni, semua cerita itu membuatku shock, agak sedikit kasihan melihat nasib Tante Sari yang di duakan, dengan kepongahan dan kesombongannya, aku semakin yakin bahwa Tante Sari punya kelainan jiwa.Mana ada di atas dunia ini yang menandatangani keputusan suaminya boleh menikah lagi kecuali karena sakit jiwa. Jiwanya sakit karena ambisi harta.Aku melangkah tergesa-ge
"Mau gimana lagi, Ma, untung Kak Kinan mau minjamin kita duit. pokoknya Dini gak mau tau. Dini wajib kuliah. Titik." Gelegar suara Dini mengangetkan aku yang sedang memotong wortel. Pinjam. Kinan. Bukannya kemarin itu duitnya Bang Rio. Sedari pagi mereka berdebat soal kuliah, dan segala tetek bengkel keuangan. Kalimat Dini membuat Tante Sari menatapku lalu mengarah Ke Dini dengan emosi. "Kenapa Dini bilang pinjam Kinan, Tante? bukanya kemarin Bang Rio ngasih Tante Duit," potongku pada pembicaraan mereka. Tentu saja aku tidak suka, jerih payah Bang Rio, jadi Jerih payah Kinanti. Apalagi sebenarnya duit itu untuk usaha kami. Harta satu-satunya yang dimiliki suamiku. "Ini urusan ibu dan anak. Bukan urusan kamu, urus saja si Alya dan Rivo," jawab Tante Sari cuek melotot padaku. Lalu ia seolah memberi kode pada Dini. Agar nanti saja melanjutkan perbincangan mereka. oh ... jadi! sama anak sendiri dia berani menyembunyikan fakta. Apalagi sama orang lain. "Tentu saja sekarang menjadi ur
"Ssst. Dia sudah pergi." Suara bisikan itu terdengar jelas saat aku berlalu. Ohh jadi ini bagian dari rencana Tante Sari mendekatkan Kinanti dengan Bang Rio. Awas kalian! Akan kubalas mereka semua. * "Bang, uang kita sudah tidak ada. Pesangon kamu, sudah sama Tante Sari semuanya. Sedangkan kita tidak tahu, esok atau lusa seperti apa tinggal di rumah ini. Rivo harus pindah sekolah jika memang kita tinggal di sini dalam jangka lama. Sedangkan Alya butuh asupan nutrisi." Aku tengah memijit telapak kaki Bang Rio sambil mengutarakan unek-unek, keadaan yang kelak akan menimpa karena seluruh uang pesangon sudah diberikan pada Tante Sari, ibunya. Jangan Tante Sari mengia aku akan diam saja. Meskipun seorang menantu harus rela bersabar demi mertua tetap saja aku pandai pandai membuat Bang Rio pro padaku. "Dik, papa meninggalkan luka pada hati mama, kamu sudah tau itu, sakit pasti. Abang tidak ingin menambah rasa sakit itu dengan mendurhakainya. Yakinlah! mama juga seorang wanita. Sisi
Cerai!" Teriakan kecil yang begitu bahagia keluar dari kerongkongan Tante Sari. "Iya, Ma. Tadi Mas Gilang teriak malahan pas ngomong, 'ia Kinan ... Sekarang kau sah tidak lagi jadi istriku. Haram kau kusentuh' begitu bahasanya, Ma," adu Mili berapi-api pada Tante Sari sambil memamerkan struk pembayaran SPP di atas tikar. "Wah ... Bagus. Jadi si Rehan gi mana? Harusnya anak itu juga dibawa ayahnya," tepuk Tante Sari begitu semangat. Matanya berbinar, seakan ia baru saja menerima jackpot miliyaran."Enggak, malahan tadi nangis kejer. Ternyata si Rehan itu bukan anaknya Bang Gilang. Kasian juga ya, Ma. Anak kecil belum ngerti apa-apa. Tapi ngalamin nasib begitu. Kira-kira siapa di kampung ini pacarnya kak Kinanti? sampai menghamili tanpa Mas Gilang tau, tapi menurut Mili Mas Gilang baik juga. Kabarnya dia udah lama tau Rehan bukan anaknya, tapi masih menerima Kak Kinanti. Artinya dia cinta banget sama Kak Kinanti."Kulihat Dini masuk dari arah dapur, wajahnya menyiratkan tak senang at
Malam tiba. Sayup suara adzan isya berkumandang. Aku membawakan nasi dan lauk sup yang sudah kubuat spesial untuk Bang Rio. "Abang makan dulu, ya," suapku pada Bang Rio. Ia mengangguk, memberi tempat pada dudukan. "Alya sama Rivo sudah makan, Dik?" Aku menyuruh ia makan, yang diingat justru dua kurcaci kecil miliknya. Tentu saja Alya dan Rivo lebih dulu kuberi makan. Sebelum empat penyihir itu makan masakanku. "Alhamdulillah sudah.""Kamu sendiri sudah makan?""Perut seorang ibu akan terasa kenyang saat anak-anaknya bahagia dan merasa nyaman.""Dik, kenapa bilang begitu?" Bang Rio mengusap rambutku. Ia memang acap melakukannya untuk menenangkan aku. "Bang, kalau Rumi gak salah, selain pesangon, kita juga punya jamsostek untuk dicairkan, ya kan, Bang?" Hati-hati sekali aku memulai pembicaraan, aku tak ingin labi-labi penghisap darah itu mengetahui kalau kami masih punya simpanan cadangan. Suara sengaja kupelankan.Rencana yang telah kususun. Aku tahu, suamiku ini sangat lemah te
Maafkan Rum, Bang. Rum harus melanggar titah abang. Ini semua demi kebaikan kita bersama, demi keutuhan rumah tangga kita. Demi masa depan anak-anak kita nantinya. Aku mengetik pesan pada Hen. Tidak ada jalan lain. (Hen, kirim aku duit dua digit. Sekarang.)(Baiklah) balasnya dengan cepat. Setelah Kinanti pulang dan Tante Sari mengekorinya dari belakang. Aku kembali bercerita tentang niatku pada Bang Rio."Abang hanya ingin kamu di sini nemenin abang, Dik! In sya Allah abang segera sembuh kita kembali ke kota." Lelakiku itu menunduk. "Ya, tapi berapa lama? Sebulan dua bulan ... " Aku menahan lidah untuk tidak banyak bicara. Laki-laki yang tidak lagi memiliki apa-apa akan mudah tersinggung. "Bagaimana sekolah Rivo. Dia butuh kuota, butuh perlengkapan buku dan sebagainya, ditambah signal di sini kurang bagus. Rum harus manjat rumah orang mencari signal agar Rivo bisa daring," jelasku berusaha membuat Bang Rio mengerti. "Satu hari, dua hari. Tetangga mau mengerti, kalau sampai seti
Aku akan pergi, terserah abang izin atau tidak," ucapku berlalu dari hadapannya. "Rumi!" Aku sama sekali tidak menggubris teriakan Bang Rio berulang. Yakin seratus persen, Mamanya sedang tersenyum melihat menantunya ini bertengkar dengan anak ATM--nya. _IL Setelah membereskan semua pakaian Rivo dan Alya ke dalam koper. Disaksikan netra Bang Rio yang berkaca-kaca. Kelopak itu ... aku tak tahan melihatnya. Kuat Rum! Kuat ... aku mensugesti diri sendiri. "Mah, tadi Rivo liat Onti Dini di rumah Om Gilang," lapor Rivo padaku tepat di depan Bang Rio. Berhenti sejenak memasukkan pakaian ke dalam koper. Sejurus kemudian aku tidak menghiraukan celotehan Rivo. "Mungkin sedang mengambil sesuatu, Vo. Bisa jadi ngajarin Rehan," jawabku agar Rivo tidak berpikir ke mana-mana. Kembali melanjutkan aktivitas. "Tapi, Ma. Sekarang Tante Kinan kan tinggalnya gak di situ. Tadi Rivo mau ngajak Rehan maen, eh pas Rivo masuk ada Onti Dini sama Om Gilang," tuturnya dengan raut bingung. Sangat paham
"Ma, Rivo ke mesjid dulu, ya. Ntar abis isya maen ke rumah Rehan lagi," pamit Lajangku membuyarkan lamunan. "Ri ... !" Teriakku. Kehilangan kata, putra satu-satunya telah menghilang di balik pintu. Semoga ini bukan ujian awal untukku. Gulai dan sekarang? Kinanti! "Kenapa,? Kok kamu teriak-teriak manggil si Rivo." Sudah seperti hantu, ibu mertua tiba-tiba nongol di depan pintu. Astaghfirullah. "Gak da, Tante. Si Rivo maen melulu, Rumi pengen dia istirahat. Baru juga sampai, malah keluyuran," jelasku sedikit malas. Air muka Tante Sari kelihatan tidak nyaman, ia menarik bibirnya ke kanan sedikit. Apa yang tengah ia pikirkan? "Heleh, kan dah dibilang si Rivo, ke rumahnya Rehan," timpalnya lagi. "Iya, tapi segan Rumi, Tante. Rivo makan di sana, malam ini kalo maen ke sana lagi, ntar makan lagi, Rumi cuma takut aja, Bang Rio lagi nganggur, jangan sampai anak-anak Rumi nyusahin orang lain," jelasku lagi. "Hadeehh, kamu ini ya Masih syukur ada yang kasih makan! Pake acara se
Setelah mereka pergi, suasana nampak semakin sepi. Bang Rio mengajak kami untuk masuk kembali kedalam rumah. Aku menuturi Bang Rio dari belakang. Hingga sampai di ruang tengah rumah itu, kami duduk bersama. Semua terasa hening. Bang Rio melipat tangannya di atas dada sambil terus diam. Sama seperti yang Aku lakukan. Mili pun tak bisa berbuat lebih selain melihat tingkah mereka yang jadi pendiam. "Kenapa jadi pada diam seperti ini? Bukanya seharusnya kita senang karena mkita menang?" Tanya Mili melirik liar ke dua belah arah. Aku menarik nafas dalam sekali lalu membuangnya hingga dadaku terasa lega. "Aku hanya kasihan melihat Kinanti dan Om Budiman di seret polisi seperti itu," ucapku lirih. Aku memang kesal dan dongkol dengan sikap dan kelakuan dari keduanya. Hingga taut wajah muram tak bisa aku sembunyikan. Tapi, rasa kemanusiaanku tiba-tiba saja muncul. Aku tak bisa bayangkan bagaimana mereka akan menderita di balik jeruji besi. Bang Rio duduk mendekat ke arahku. Dia adalah pria
4.Akhirnya aku berada di posisi ini. Dimana diriku sangat sebal melihat orang yang selalu bertingkah munafik. Merasa diri paling benar, tersenyum baik di hadapan kita namun di belakang aslinya sangat busuk.Aku mengeratkan genggaman tanganku hanya untuk menahan sebuah amarah. Benci dan muak menatap wajah wanita itu, sampai-sampai aku ingin sekali melemparkan sebuah pukulan di pelupuk matanya. Untung saja, aku tipe orang yang tak suka kekerasan.Menyelesaikan masalah ini dengan otak dingin lebih baik dibandingkan harus adanya pertumpahan darah. Bisa diingat oleh semuanya jika masalah besar kita bersangkutan dengan uang, maka jati diri seseorang bisa terlihat jelas. Hal yang sama nampak dari wajah Bang Romi. Matanya memerah setiap kali berhadapan dengan sosok Kinanti. Seperti sudah dijodohkan oleh tuhan, Kinanti bersikap acuh tak acuh percis dengan Budiman yang belum datang. "Jangan berbelit-belit lagi. Sebaiknya, kamu jujur saja. Semua ini a
Aku dan Bang Rio, sedang duduk di ruang tamu rumah. Kami merasa putus asa dalam upaya kami untuk membuktikan bahwa Om Om Budiman dan Kinanti telah melakukan tindakan yang hendak mencelakakan Bang Rio.Tiba-tiba, pintu rumah terbuka dan Milli, adik iparku, tiba-tiba masuk dengan wajah yang pucat dan serius."Aku punya sesuatu untuk kalian berdua," katanya sambil menyerahkan sejumlah bukti kasus itu kepada kami.Bang Rio dan aku saling pandang, takjub dengan apa yang Milli berikan kepada kami.“Kamu dapatkan semua ini dari mana, Milli?” tanya Bang Rio. Milli menggelengkan kepalanya perlahan, “Abang dan Mbak Rum ga perlu tau, yang jelas semua bukti ini bisa membawa mereka ke terali besi,” katanya. Aku menghela napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Akhirnya aku bisa menemukan keadilan untuk suamiku. “Di dalam sini juga ada bukti-bukti jika Om Budiman memang sudah menyabotase harta yang seharus
Bang Rio duduk di depan pengacara dengan sorot mata yang tajam. Ia merasa gerah dan marah karena sudah terlalu lama ia berdiam tentang masalah keluarganya."Pak, saya butuh bantuan Anda. Saya yakin ada masalah dalam keluarga Budiman," ujarnya sambil mengeluarkan sebuah folder dari tasnya.Pengacara itu memperhatikan Bang Rio dan menerima folder yang dia tawarkan. Dia membuat catatan dan menanyakan sedikit lebih banyak tentang situasi keluarga Budiman."Saya memiliki banyak bukti yang menunjukkan bahwa selama bertahun-tahun, mereka telah mengambil aset dan harta keluarga saya, termasuk rumah warisan ibu saya. Semua itu dilakukan tanpa sepengetahuan saya dan bahkan tanpa itikad baik," lanjut Bang Rio sambil menatap tajam pengacara tersebut.Pengacara tersebut merasa kagum akan keseriusan Bang Rio dalam menyelesaikan permasalahan ini. Ia lalu bertanya tentang bukti yang dimiliki Bang Rio.Bang Rio kemudian
Sore itu, entah mengapa Mili mengumpulkan semua orang di kampung halaman Bang Rio, termasuk aku dan Bang Rio menyusul Mili ke rumah yang ada di kampung. Ia berkata ada sesuatu yang penting untuk kami ketahui. Ternyata, Milli merasa sakit hati dan marah ketika dia mengetahui betapa banyak kesalahan ibunya telah dilakukan terhadap Bang Rio. Dia tidak bisa membiarkan hal itu terus terjadi dan harus mengambil tindakan segera. Saat semua sudah berkumpul, Milli memutuskan untuk membuka kedok ibunya di hadapan semua orang . Dia tahu itu akan menjadi momen yang sulit bagi keluarga mereka, tetapi dia merasa bahwa kebenaran harus diketahui. Ketika Tante Sari datang ke acara itu, dia melihat putrinya berdiri dengan tegas dan tak gentar. Milli pun mulai berbicara dengan suara yang lantang, “Saya ingin berbicara tentang ibu saya, Sari. Dia telah melakukan sejumlah besar kesalahan terhadap Rio, kakak saya. Dia telah membohongi kita semua, termasuk saya.Ibu sudah bekerja sama dengan Kinanti untuk
Saat kami tiba di rumah, terlihat sebuah mobil baru saja berhenti di depan rumah kami. Dan seseorang turun dari mobil itu berjalan masuk ke halaman rumah. Kemudian mobil itu pun segera berlalu. Sepertinya mobil itu hanya taksi online. Aku dan Bang Rio saling berpandangan. “Sepertinya ada tamu, Bang. Apa kamu memberitahukan alamat kita kepada orang lain Rum? Maksud Abang kepada saudara kita?” Aku menggelengkan kepala, “Hmm, tidak ada orang yang tahu alamat rumah ini. Entah kalau misalkan orang itu memang sengaja mencari alamat rumah kita dan ingin bertemu dengan kita. Ya sudahlah, Bang ... Kita temui saja. Kita kan nggak tahu siapa tamunya,” kataku Kami pun bergegas memasuki halaman dan membuka pintu rumah. Saat pintu dibuka seseorang yang sudah familiar tampak sedang duduk bersama ibuku di ruang tamu dan saat melihat kami orang itu langsung berdiri dan tersenyum. “Bang Rio, Kak Rumi.” “Mili, kok kamu di sini?” tanyaku. Ya, yang datang adalah Mili adiknya Bang Rio. Selama ini seta
“Aku merasa sangat kecolongan. Ternyata selama ini ada banyak sekali hak yang harus aku perjuangkan. Hak yang seharusnya aku nikmati bersama anak dan istriku, dinikmati oleh orang lain yang tidak berhak sebetulnya,” kata Bang Rio ketika kami dalam perjalanan pulang ke rumah. Aku hanya menganggukan kepalaku.“Ya, selama ini kamu terlalu sabar dan selalu saja menjadi orang baik, Bang. Baik itu boleh tetapi jika orangnya seperti kamu itu bukan baik lagi... tetapi terlalu baik. Bahkan kamu membiarkan orang-orang yang benci kamu mendzalimi kamu begitu saja. Termasuk juga Tante Sari. Kamu ingat betapa kamu kemarin begitu ngotot untuk mengeluarkan dia dari penjara, padahal aku sudah mengatakan jika aku memiliki alasan kenapa aku menuntutnya. Kamu baru diam setelah aku berikan bukti-bukti nyata kan, Bang,” ujarku kepada Bang Rio.“Maafkan Abang Rumi, selama ini Abang dibutakan. Abang tahu jika Abang bersalah dan abang minta maaf,” kata Bang Rio kepadaku. Aku menghela napas panjang dan mengang
Aku sangat terkejut ketika mendengar dari anak buahku jika ada yang mencariku dan Bang Rio. Maka kami pun segera mencuci tangan kemudian bergegas menuju ke depan. Kami tidak mau jika tamu yang dikenal itu menunggu terlalu lama. Saat kami ke depan ternyata ada seorang lelaki separuh baya sedang menunggu, wajahnya tampak tak asing, dan saat menoleh ke arah aku dan Bang Rio datang, Ia pun tersenyum dengan ramah. Dimana aku melihat lelaki ini? Memoriku tak sedikitpun menangkap. “Selamat siang Pak, Anda mencari siapa?” tanyaku dengan sopan. Aku berpikir jika kemungkinan dia adalah pelanggan baru di bengkel kami, maka kami pun harus bersikap ramah kepada pelanggan? Meski ini sedikit aneh,karena jarang sekali langganan kami meminta untuk bertemu langsung dengan pemiliknya. “Maaf, tadi saya mendengar ibu dan bapak mencari Pak Rustandi. Apakah betul demikian?” tanya lelaki itu. Aku dan Bang Rio mengerutkan dahi, kami saling berpandangan tetapi kemudian aku mengganggukan kepala dengan cepa