Aku akan pergi, terserah abang izin atau tidak," ucapku berlalu dari hadapannya. "Rumi!" Aku sama sekali tidak menggubris teriakan Bang Rio berulang. Yakin seratus persen, Mamanya sedang tersenyum melihat menantunya ini bertengkar dengan anak ATM--nya. _IL Setelah membereskan semua pakaian Rivo dan Alya ke dalam koper. Disaksikan netra Bang Rio yang berkaca-kaca. Kelopak itu ... aku tak tahan melihatnya. Kuat Rum! Kuat ... aku mensugesti diri sendiri. "Mah, tadi Rivo liat Onti Dini di rumah Om Gilang," lapor Rivo padaku tepat di depan Bang Rio. Berhenti sejenak memasukkan pakaian ke dalam koper. Sejurus kemudian aku tidak menghiraukan celotehan Rivo. "Mungkin sedang mengambil sesuatu, Vo. Bisa jadi ngajarin Rehan," jawabku agar Rivo tidak berpikir ke mana-mana. Kembali melanjutkan aktivitas. "Tapi, Ma. Sekarang Tante Kinan kan tinggalnya gak di situ. Tadi Rivo mau ngajak Rehan maen, eh pas Rivo masuk ada Onti Dini sama Om Gilang," tuturnya dengan raut bingung. Sangat paham
"Sari itu punya rahasia besar yang tidak diketahui Rio, dan Santoso bukan tidak punya alasan buat poligami, walau aku tahu Yuni itu mantan pacarnya, suatu hari kamu akan tahu rahasia besar itu. Mana ada seorang wanita rela dipoligami kalo bukan karena sesuatu yang besar?" Aku tercenung. Apakah yang ada dalam pikiranku sama dengan Paman ini? Tunggu, Bang. Rumi akan kembali membongkar rahasia keluarga penjilat harta itu. * "Iya, Bu. Masih kosong ya, Bu? Alhamdulillah," lirih aku berucap menelpon Bu Relon. Pemilik kontrakan tempat aku dan Bang Rio dulu berjuang. Maafkan Rumi, Bang. Mungkin abang meragukan cinta Rumi, tapi tidak ada jalan lain selain ini agar kita bisa berkumpul lagi. Aku masih terngiang suara pengantar ojek itu, "rahasia Sari" begitu bunyinya. Kasihan suamiku jika yang ada dalam pikiran ini benar adanya, ingin rasanya segera mengadukan pada Bang Rio, tapi, aku takut. Takut lelaki itu justru mengira memfitnah keluarganya. Bang Rio bisa saja mengatakan aku berha
Tiittt. Kedua kali rem berdecit. Kenapa sih dengan si Hen? "Berarti Mili sama Dini bakal ke sini, Rum?" Aku diam saja, tidak merasa ingin menjawab. * "Ini rukonya, Rum, kita sudah sampai." Aku turun sebelum Hen membukakan pintu untukku. Hen memang aneh, membuat aku sedikit takut, kepalang basah, aku harus tetap maju. Hanya perlu meningkatkan kewaspadaan, meskipun dia kawan yang amat baik buatku saat ini. Menatap takjub ruko di depan netra, Rivo sudah berlari duluan menyusul Hen yang berdiri di depan penjual eskrim. Tepat di kiri ruko tempat yang akan kami tempati."Hen ini-- kan jalan protokol, besar lo sewa di sini," tanyaku ragu, terbayang algoritma yang akan terbang dari kepala. Hen tidak menggubris, ia lebih peduli menyuap es krim bersama Rivo. Memberi beberapa gorengan di piring, duduk santai di semen pembatas antar bangunan. "Enak, Mah. Mau gak?" Tawar Rivo padaku. Sedari dulu, aku bukan tipe penyuka es krim. Memilih duduk di kursi yang disediakan oleh penjual gorenga
"Kamu kok nggak pernah nanya tentang Rio sih, nggak pengen tahu kabar suami aku." Aku mencoba mencairkan suasana. Memalingkan wajah kembali membuka anak kunci. "Buat apa? Kan udah tau, tadi di mobil si Rivo cerita," sahut Hen tergelak. "Oleh-oleh penganan tadi boleh dibawa masuk, ya, atau mau kamu bawa pulang lagi?" "Bawa masuk aja, itu emang untuk Rivo." "Asiiik, makasih ya Om, Alya pasti suka, nanti Rivo bagi dua sama Alya." Rivo berlari kembali membuka mobil dan mengambil kue. "Oh iya terima kasih, Rum, udah nerima hadiah dari aku, pulang dulu, besok datang ke sana untuk pengecekan semua perbelanjaan sparepart seperti barang-barang yang lainnya juga nanti aku catat semuanya, kamu besok ada juga di sana, kan?" "Harus donk. Semua debt en kredit, bukannya bendahara wajib membuat laporan." Aku tertawa menanggapi keseriusan Hen menjalani kerjasama ini. "Insya Allah aku bisa sekalian juga ngenalin kamu dengan Deni dan Dery Didin, anak-anak PPL yang aku bilang tadi, kita bisa ber
Walau aku sepemikiran, tentu harus jelas semuanya, mengapa harus sekarang identitas Bang Rio seolah jadi bahan perbincangan, Setelah usianya matang, lulus kuliah, menikah, bahkan punya anak. Sangat tidak logis jika hanya karena saat ini Bang Rio pengangguran, serta merta semua seakan punya kepentingan membicarakan urusan pribadi suamiku itu. "Pas Tante balik ke Jakarta, Tante akan singgah ke rumah kamu, Rum. Pokoknya siapkan diri untuk kelanjutan kelicikan mereka." "Rum, paham, Tante," sahutku mengangguk, meski Tante Yuni tidak akan melihat anggukan kepala ini. "Segera, selagi Tante di sini, Rio masih aman, tapi ... Kelak kami berangkat ke Jakarta, bukan hanya ular berbisa yang akan menerkamnya, mereka semua akan berubah menjadi binatang tanpa rasa." Innalilahi ... Aku terdiam. Awas kalian, akan kupelihara singa-singa liar jika berani macam-macam dengan suamiku.Tanganku mengepal. Menahan endapan emosi yang memuncak untuk disalurkan. Meminum air putih--menenangkan diri, gegas men
"Itu namanya cinta ambisi. Waktu dia patah hati--kamu menikah dengan Rio, Kinanti gelap mata dan rela ditiduri siapa saja. Ambisi cinta yang menutup hati." "Mengapa kamu tau semua? Kamu gak pernah ke kampung Bang Rio. Juga gak pernah kenal Kinanti? Atau itu hanya opini, prediksi yang bisa jadi iya bisa jadi tidak." "Rum, cinta buta sama ambisi cinta itu beda dengan cinta tulus. Cinta yang tulus akan membiarkan seorang yang ia cintai bahagia, dan melakukan segala cara jika yang ia cintai berada di posisi otewe terluka." Aku lagi-lagi terdiam. Ambigu kembali hadir. Antara aku dan Hen. "Mah, tadi papa Pici Rivo dari hape Bu Guru," adu Rivo setelah balik dari westafel. "Papa bilang apa, sayang." "Gak ada, cuma nanyain kabar, katanya kangen. Kemarin Alya ditelpon via Sania, sekarang Rivo ditelpon ke nomor gurunya. Lalu, Bang Rio menganggapku apa? Sehabis urut, dan terapi katanya mau menghubungi kembali. Karena ada panggilan masuk tiba-tiba. Sampai malam kutunggu, tidak ada panggilan
"Mili kamu tega. Itu minuman untuk abangmu." Aku mendengar jelas suara itu dari seberang sebelum mengucap hallo. Suara khas Kinanti. Mengapa Kinanti ada di rumah? "Hallo." "Assalamualaikum, Kamu sehat?" Tumben banget Bang Rio formal begitu. "Ya, abang sehat?" "Alhamdulillah ya, Rum! kamu gak ingin jenguk abang?" tanyanya membuat sisi hati terdalamku merasa bersalah telah meninggalkan seorang suami. Tapi, semua harus aku lakukan. Membuang rasa tega itu demi keutuhan rumah tangga dan membongkar skandal selama ini yang mereka mainkan. "Sangat ingin," jawabku cepat. "Tapi, kehidupan dan masa depan anak kita lebih prioritas saat ini. Jika Rum bertahan di sana, atau bolak-balik ke kampung, kasihan Alya dan Rivo. Telinga, mata dan jiwa mereka akan terkontaminasi dengan akhlak adik-adik abang." "Rum, abang ... eh ... abang." Suara seakan tercekat. Kudengar helaan napas panjang. Aku yakin suamiku kacau, kurun sembilan tahun kami tak pernah bertengkar kecuali hanya salah paham biasa, kel
"Maafkan Rum, Bang. Rum harus melanggar titah abang. Ini semua demi kebaikan kita bersama, demi keutuhan rumah tangga kita. Demi masa depan anak-anak kita nantinya. "Aku menyeka ujung mata. Tak pernah terpikir sebelumnya, rumahtanggaku yang adem, nyaris tanpa konflik. Bang Rio yang selalu menjadi suami siaga, ayah terbaik untuk dua buah hati kami. Kini kami bagai dipaksa memakan buah simalakama.Siapa yang harus aku minta tolong selain Hen. Tidak ada. Mau tidak mau aku harus mengetik pesan pada Hen. Tidak ada jalan lain lagi. (Hen, kirim aku duit dua digit. Sekarang!) (Siap! Princess. Untuk kamu aku selalu ada) balasnya dengan cepat. Seolah Hen menunggu pesanku di kolom aplikasi hijau itu."Kalian tunggu saja pembalasannku, Tante, Kinanti?" tawaku mengiring langkah kaki keluar dari kamar. Sempat kudengar Bang Rio terduduk lalu terisak. "Andai bisa memilih, abang ingin kamu sabar menghadapi mama dan tinggal di sini! andai bisa memilih, Abang ingin kamu merawat Abang sampai sembuh da
"Ma, Rivo ke mesjid dulu, ya. Ntar abis isya maen ke rumah Rehan lagi," pamit Lajangku membuyarkan lamunan. "Ri ... !" Teriakku. Kehilangan kata, putra satu-satunya telah menghilang di balik pintu. Semoga ini bukan ujian awal untukku. Gulai dan sekarang? Kinanti! "Kenapa,? Kok kamu teriak-teriak manggil si Rivo." Sudah seperti hantu, ibu mertua tiba-tiba nongol di depan pintu. Astaghfirullah. "Gak da, Tante. Si Rivo maen melulu, Rumi pengen dia istirahat. Baru juga sampai, malah keluyuran," jelasku sedikit malas. Air muka Tante Sari kelihatan tidak nyaman, ia menarik bibirnya ke kanan sedikit. Apa yang tengah ia pikirkan? "Heleh, kan dah dibilang si Rivo, ke rumahnya Rehan," timpalnya lagi. "Iya, tapi segan Rumi, Tante. Rivo makan di sana, malam ini kalo maen ke sana lagi, ntar makan lagi, Rumi cuma takut aja, Bang Rio lagi nganggur, jangan sampai anak-anak Rumi nyusahin orang lain," jelasku lagi. "Hadeehh, kamu ini ya Masih syukur ada yang kasih makan! Pake acara se
Setelah mereka pergi, suasana nampak semakin sepi. Bang Rio mengajak kami untuk masuk kembali kedalam rumah. Aku menuturi Bang Rio dari belakang. Hingga sampai di ruang tengah rumah itu, kami duduk bersama. Semua terasa hening. Bang Rio melipat tangannya di atas dada sambil terus diam. Sama seperti yang Aku lakukan. Mili pun tak bisa berbuat lebih selain melihat tingkah mereka yang jadi pendiam. "Kenapa jadi pada diam seperti ini? Bukanya seharusnya kita senang karena mkita menang?" Tanya Mili melirik liar ke dua belah arah. Aku menarik nafas dalam sekali lalu membuangnya hingga dadaku terasa lega. "Aku hanya kasihan melihat Kinanti dan Om Budiman di seret polisi seperti itu," ucapku lirih. Aku memang kesal dan dongkol dengan sikap dan kelakuan dari keduanya. Hingga taut wajah muram tak bisa aku sembunyikan. Tapi, rasa kemanusiaanku tiba-tiba saja muncul. Aku tak bisa bayangkan bagaimana mereka akan menderita di balik jeruji besi. Bang Rio duduk mendekat ke arahku. Dia adalah pria
4.Akhirnya aku berada di posisi ini. Dimana diriku sangat sebal melihat orang yang selalu bertingkah munafik. Merasa diri paling benar, tersenyum baik di hadapan kita namun di belakang aslinya sangat busuk.Aku mengeratkan genggaman tanganku hanya untuk menahan sebuah amarah. Benci dan muak menatap wajah wanita itu, sampai-sampai aku ingin sekali melemparkan sebuah pukulan di pelupuk matanya. Untung saja, aku tipe orang yang tak suka kekerasan.Menyelesaikan masalah ini dengan otak dingin lebih baik dibandingkan harus adanya pertumpahan darah. Bisa diingat oleh semuanya jika masalah besar kita bersangkutan dengan uang, maka jati diri seseorang bisa terlihat jelas. Hal yang sama nampak dari wajah Bang Romi. Matanya memerah setiap kali berhadapan dengan sosok Kinanti. Seperti sudah dijodohkan oleh tuhan, Kinanti bersikap acuh tak acuh percis dengan Budiman yang belum datang. "Jangan berbelit-belit lagi. Sebaiknya, kamu jujur saja. Semua ini a
Aku dan Bang Rio, sedang duduk di ruang tamu rumah. Kami merasa putus asa dalam upaya kami untuk membuktikan bahwa Om Om Budiman dan Kinanti telah melakukan tindakan yang hendak mencelakakan Bang Rio.Tiba-tiba, pintu rumah terbuka dan Milli, adik iparku, tiba-tiba masuk dengan wajah yang pucat dan serius."Aku punya sesuatu untuk kalian berdua," katanya sambil menyerahkan sejumlah bukti kasus itu kepada kami.Bang Rio dan aku saling pandang, takjub dengan apa yang Milli berikan kepada kami.“Kamu dapatkan semua ini dari mana, Milli?” tanya Bang Rio. Milli menggelengkan kepalanya perlahan, “Abang dan Mbak Rum ga perlu tau, yang jelas semua bukti ini bisa membawa mereka ke terali besi,” katanya. Aku menghela napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Akhirnya aku bisa menemukan keadilan untuk suamiku. “Di dalam sini juga ada bukti-bukti jika Om Budiman memang sudah menyabotase harta yang seharus
Bang Rio duduk di depan pengacara dengan sorot mata yang tajam. Ia merasa gerah dan marah karena sudah terlalu lama ia berdiam tentang masalah keluarganya."Pak, saya butuh bantuan Anda. Saya yakin ada masalah dalam keluarga Budiman," ujarnya sambil mengeluarkan sebuah folder dari tasnya.Pengacara itu memperhatikan Bang Rio dan menerima folder yang dia tawarkan. Dia membuat catatan dan menanyakan sedikit lebih banyak tentang situasi keluarga Budiman."Saya memiliki banyak bukti yang menunjukkan bahwa selama bertahun-tahun, mereka telah mengambil aset dan harta keluarga saya, termasuk rumah warisan ibu saya. Semua itu dilakukan tanpa sepengetahuan saya dan bahkan tanpa itikad baik," lanjut Bang Rio sambil menatap tajam pengacara tersebut.Pengacara tersebut merasa kagum akan keseriusan Bang Rio dalam menyelesaikan permasalahan ini. Ia lalu bertanya tentang bukti yang dimiliki Bang Rio.Bang Rio kemudian
Sore itu, entah mengapa Mili mengumpulkan semua orang di kampung halaman Bang Rio, termasuk aku dan Bang Rio menyusul Mili ke rumah yang ada di kampung. Ia berkata ada sesuatu yang penting untuk kami ketahui. Ternyata, Milli merasa sakit hati dan marah ketika dia mengetahui betapa banyak kesalahan ibunya telah dilakukan terhadap Bang Rio. Dia tidak bisa membiarkan hal itu terus terjadi dan harus mengambil tindakan segera. Saat semua sudah berkumpul, Milli memutuskan untuk membuka kedok ibunya di hadapan semua orang . Dia tahu itu akan menjadi momen yang sulit bagi keluarga mereka, tetapi dia merasa bahwa kebenaran harus diketahui. Ketika Tante Sari datang ke acara itu, dia melihat putrinya berdiri dengan tegas dan tak gentar. Milli pun mulai berbicara dengan suara yang lantang, “Saya ingin berbicara tentang ibu saya, Sari. Dia telah melakukan sejumlah besar kesalahan terhadap Rio, kakak saya. Dia telah membohongi kita semua, termasuk saya.Ibu sudah bekerja sama dengan Kinanti untuk
Saat kami tiba di rumah, terlihat sebuah mobil baru saja berhenti di depan rumah kami. Dan seseorang turun dari mobil itu berjalan masuk ke halaman rumah. Kemudian mobil itu pun segera berlalu. Sepertinya mobil itu hanya taksi online. Aku dan Bang Rio saling berpandangan. “Sepertinya ada tamu, Bang. Apa kamu memberitahukan alamat kita kepada orang lain Rum? Maksud Abang kepada saudara kita?” Aku menggelengkan kepala, “Hmm, tidak ada orang yang tahu alamat rumah ini. Entah kalau misalkan orang itu memang sengaja mencari alamat rumah kita dan ingin bertemu dengan kita. Ya sudahlah, Bang ... Kita temui saja. Kita kan nggak tahu siapa tamunya,” kataku Kami pun bergegas memasuki halaman dan membuka pintu rumah. Saat pintu dibuka seseorang yang sudah familiar tampak sedang duduk bersama ibuku di ruang tamu dan saat melihat kami orang itu langsung berdiri dan tersenyum. “Bang Rio, Kak Rumi.” “Mili, kok kamu di sini?” tanyaku. Ya, yang datang adalah Mili adiknya Bang Rio. Selama ini seta
“Aku merasa sangat kecolongan. Ternyata selama ini ada banyak sekali hak yang harus aku perjuangkan. Hak yang seharusnya aku nikmati bersama anak dan istriku, dinikmati oleh orang lain yang tidak berhak sebetulnya,” kata Bang Rio ketika kami dalam perjalanan pulang ke rumah. Aku hanya menganggukan kepalaku.“Ya, selama ini kamu terlalu sabar dan selalu saja menjadi orang baik, Bang. Baik itu boleh tetapi jika orangnya seperti kamu itu bukan baik lagi... tetapi terlalu baik. Bahkan kamu membiarkan orang-orang yang benci kamu mendzalimi kamu begitu saja. Termasuk juga Tante Sari. Kamu ingat betapa kamu kemarin begitu ngotot untuk mengeluarkan dia dari penjara, padahal aku sudah mengatakan jika aku memiliki alasan kenapa aku menuntutnya. Kamu baru diam setelah aku berikan bukti-bukti nyata kan, Bang,” ujarku kepada Bang Rio.“Maafkan Abang Rumi, selama ini Abang dibutakan. Abang tahu jika Abang bersalah dan abang minta maaf,” kata Bang Rio kepadaku. Aku menghela napas panjang dan mengang
Aku sangat terkejut ketika mendengar dari anak buahku jika ada yang mencariku dan Bang Rio. Maka kami pun segera mencuci tangan kemudian bergegas menuju ke depan. Kami tidak mau jika tamu yang dikenal itu menunggu terlalu lama. Saat kami ke depan ternyata ada seorang lelaki separuh baya sedang menunggu, wajahnya tampak tak asing, dan saat menoleh ke arah aku dan Bang Rio datang, Ia pun tersenyum dengan ramah. Dimana aku melihat lelaki ini? Memoriku tak sedikitpun menangkap. “Selamat siang Pak, Anda mencari siapa?” tanyaku dengan sopan. Aku berpikir jika kemungkinan dia adalah pelanggan baru di bengkel kami, maka kami pun harus bersikap ramah kepada pelanggan? Meski ini sedikit aneh,karena jarang sekali langganan kami meminta untuk bertemu langsung dengan pemiliknya. “Maaf, tadi saya mendengar ibu dan bapak mencari Pak Rustandi. Apakah betul demikian?” tanya lelaki itu. Aku dan Bang Rio mengerutkan dahi, kami saling berpandangan tetapi kemudian aku mengganggukan kepala dengan cepa