Palingan si Kinan sudah cerita duluan. Memotong beberapa bagian cerita, menambahkan sebagian, dan entah apa lagi. Jadilah sebuah ghibah yang menarik.Padahal bertemu dengannya di warung tidak sampai lima menit. "Eh, Rum. Mertua nanya itu dijawab, malah diam?"Aku mau jawab apa? Ntar malah salah lagi.Tapi, bukan Tante Sari namanya kalau obrolannya berhenti sampai di situ. Aku sudah mengenalnya sejak keluar dari rahim ibuku, untung punya anak ganteng, sholeh dan penyayang, kalo tidak. Bakal adu jetos mertua versus menantu."Tadi Kinanti cerita sama Tante, kamu ketemu dia di kedai beli telur, ekpresi kamu itu lo, kok kayak orang sewot jumpa dia, bukannya terimakasih sudah dikasih ayam goreng buat sambal kita satu rumah, eh kamu malah nyeritain kalo si Rio gak suka ayam goreng buatannya.Terus ngapain juga, diceritain kalo si Rio itu tidak suka penyedap rasa. Gak baik seperti itu, harusnya kamu ngucapin terimakasih, sudah gak perlu sampai harus bilang ayam gorengnya gak enak, jadi, Rio l
"Gilang sudah abang kenal lama lo, dia itu kan teman abang waktu masih kerja di perusahaan yang lama, pas kita baru-baru nikah," Bang Rio lagi-lagi menjelaskan kepadaku.Tetapi saja yang namanya orang baru dikenal, aku tidak akan mudah mempercayainya, apalagi aku melihat ada sesuatu yang aneh diantara keluarga ini dan keluarga Kinanti. "Oh, Rumi gak tau," jawabku pura-pura Percaya saja walaupun hatiku dag dig dug. "Iyalah, kan kamu tau nya cuma sama abang," lagi yang mengulang gombalan. "Berarti Gilang pernah kerja di kota kita donk, Yang. Kok abang gak pernah cerita ke Rum?" tanyaku menyimpan heran.Selama ini 9 tahun lamanya aku tidak pernah mendengar nama Gilang ada di kota kami bekerja. Bang Rio tidak pernah cerita apapun tentang Ayah Rehan itu, Alias suami Kinanti, kalau memang Gilang pernah ada di kota yang sama dengan kami, artinya Kinanti pernah datang dong ke sana."Ih, ngapain juga abang ceritain dia ke kamu, Dik. yang ada aneh, Sayang! Lagian kamu kenal abang, 'kan? Abang
"Rum Rum ...." Itu suara suamiku. Ya Allah. Ada apa ini. "Rio, bertahanlah!" Dan ... itu suara Gilang. Setelah suara Gilang, tiba-tiba hening. Aku panik. Menangis histeris. "Tolong! Siapapun kalian yang bisa menolong suamiku." Aku seperti orang gila. Mondar mandir tidak karuan. "Bang Rio kenapa?" teriakku menggigil. Suaraku gemetar. Dunia serasa runtuh. Tidak satu orang pun yang mendengar. Ingin rasanya menangis. Jantungku gemuruh hebat. Apa yang terjadi pada suamiku, Tuhan?Mondar mandir antara kamar depan dan ruang tamu, aku berharap bertemu Tante Sari. Atau siapa saja yang bisa menolong suamiku.Di mana mereka? Apakah dia tidak tahu kalau anaknya dalam bahaya, kepanikanku merambat ke mana-mana aku sampai lupa mengabarkan Aliya dan Rivo.Aku bahkan tidak melihat Alya yang sudah duduk lesehan, dia menatap bingung ke arahku."Mama, ngapain kayak setrikaan? maju mundur?" tanya Alya heran. Tanganku gemetar. Kupeluk Alya ketakutan. Napas ini tidak lagi beraturan tarikannya. Aku tidak
Rumah Sakit."Dik," panggil Bang Rio setelah membuka netranya yang beberapa waktu lalu tertidur. Aku menyeka ujung mata, tanpa sadar ternyata aku ikut terlelap di sampingnya. Terlalu banyak hal yang harus aku pikirkan dari mulai penemuan Revo sampai kata-kata dokter juga keanehan-keanehan yang selama ini menjadi hal yang harus aku analisa. "Iya sayang, Rum di sini," jawabku mendekat kewajahnya. Kugenggam tangan berinfus itu, mentransfer kekuatan agar hatinya tenang. "Mama, mana?" tanyanya lemah. Betapa ia anak yang berbakti. Andai saja Bang Rio tahu seperti apa watak asli ibunya itu. Ah, aku tidak tega mengatakannya. Suatu hari Bang Rio akan melihat sendiri seperti apa Wanita yang ia anggap malaikat itu di belakangnya. "Tadi di sini, mungkin pulang sebentar, atau ke depan. Apa mau Rum cariin?" tawarku basa-basi. Tentu saja aku tidak akan memanggil nenek lampir itu untuk menjenguk suamiku. Aku juga belum tahu siapa di balik kejadian ini, bisa saja Gilang, Kinanti atau mamanya
Setelah mendapat penjelasan dari dokter mengenai serum, obat dan kadar dosis yang harus diminum Bang Rio. Aku memutuskan pulang. Bang Rio lebih dulu sampai karena memakai mobil Kinanti.Sedangkan aku sengaja singgah di pasar bersama Rivo. Aku juga sengaja menyuruh Mili membawa Alya. Di antara semua adik-adik Bang Rio mungkin Mili salah satu yang sepertinya masih sedikit kupercaya, karena Mili pernah tinggal bersama kami.Aku yakin dia juga masih punya perasaan sayang meski itu hanya setitik untuk anak-anakku, hanya saja aku yakin Mili punya alasan tertentu ketika ia ikut-ikutan menaruh rasa benci padaku.Tak apa lambat laun aku yakin ia akan kembali ke setelan pabrik tetap menyayangi Bang Rio dan anak-anakku. Seperti dulu saat dia masih tinggal bersama kami.Makanya aku membiarkan Mili membawa Alia karena takut kelamaan di jalan.Ada sesuatu hal yang harus aku kerjakan yang tidak boleh ada yang tahu. Entah mengapa aku punya firasat yang tidak nyaman dan tidak enak untuk kurasakan. Tapi
"Setelah memastikan suamiku baik-baik saja di sini, sebelum enam puluh hari aku akan kembali untuk membawa suamiku, bukan hanya suamiku saja, Tante. Tapi aku akan membawa segala aset di kampung ini. Apa Tante paham! Aku pastikan warisan yang acap kalian ributkan akan berpindah nama." Ucapanku begitu tegas. Tante Sari tampak shock mendapat perlawanan. Ia terbelalak kaget. Tidak menyangka aku yang biasa memilih mengalah kini melotot melawan ucapannya. Bahkan memanggil diriku dengan sebutan 'aku' bukan 'Rum' *** "Kamu itu ya, Rum. Ngomong kok sombong sekali. Aset kampung plus warisan. Tidak usah terlalu banyak ngehalu, takutnya kamu depresi. Mending jualan risoles, bakwan atau apa saja yang bisa menyambung nafkah anak-anak kamu. Kalian sekeluarga memang cocok hidup makan halu, tak ada bedanya dengan si Yuni. Bisa-bisanya kamu ngehalu bakal jadi tuan tanah di sini. Bangun ... jangan mimpi!" Tante Sari mengibaskan tangannya. Aku tertawa mendengar balasan Tante Sari. Terlihat jelas
Hari ini aku baru saja selesai mencuci baju Alya dan Rivo, kemudian berencana akan bicara kembali kepada Bang Rio tentang tinggal di kota. Semoga saja suamiku itu mengijinkan kami, dan aku terhindar dari nenek sihir yang ada di rumah ini. Baru saja kakiku melangkah ke dalam dapur tiba-tiba nenek sihir yang kumaksud sudah di depan mata.Matanya melotot, senyumnya sangat menyeramkan, tangan bertengger di pinggang dan sorot pandangannya siap untuk menerkam, tapi bukan Rena Arumi kalau takut dengan nenek lampir satu ini. Meskipun dia adalah ibu dari suamiku.Ya sampai saat ini masih begitu anggapanku, sampai aku menemukan bukti keanehan yang terjadi di keluarga ini.Entah ke mana Mili, Dini dan Jini, sepertinya trio kwek-kwek itu tidak terlihat di rumah ini, lebih tepatnya jarang terlihat. Tapi aku tidak kepo apa yang mereka kerjakan di luar, di dalam maupun di sekolahan. Strategiku cuma satu mendekati Mili kembali, Dini dan Jini yah ... terserah mereka. Terutama setelah mengetahui semua
"Mau gimana lagi, Ma, untung Kak Kinan mau minjamin kita duit. pokoknya Dini gak mau tau. Dini wajib kuliah. Titik." Gelegar suara Dini mengangetkan aku yang sedang memotong wortel. Pinjam. Kinan. Bukannya kemarin itu duitnya Bang Rio. Sedari pagi mereka berdebat soal kuliah, dan segala tetek bengkel keuangan. Kalimat Dini membuat Tante Sari menatapku lalu mengarah Ke Dini dengan emosi. "Kenapa Dini bilang pinjam Kinan, Tante? bukanya kemarin Bang Rio ngasih Tante Duit," potongku pada pembicaraan mereka. Tentu saja aku tidak suka, jerih payah Bang Rio, jadi Jerih payah Kinanti. Apalagi sebenarnya duit itu untuk usaha kami. Harta satu-satunya yang dimiliki suamiku. "Ini urusan ibu dan anak. Bukan urusan kamu, urus saja si Alya dan Rivo," jawab Tante Sari cuek melotot padaku. Lalu ia seolah memberi kode pada Dini. Agar nanti saja melanjutkan perbincangan mereka. oh ... jadi! sama anak sendiri dia berani menyembunyikan fakta. Apalagi sama orang lain. "Tentu saja sekarang menjadi ur
"Ma, Rivo ke mesjid dulu, ya. Ntar abis isya maen ke rumah Rehan lagi," pamit Lajangku membuyarkan lamunan. "Ri ... !" Teriakku. Kehilangan kata, putra satu-satunya telah menghilang di balik pintu. Semoga ini bukan ujian awal untukku. Gulai dan sekarang? Kinanti! "Kenapa,? Kok kamu teriak-teriak manggil si Rivo." Sudah seperti hantu, ibu mertua tiba-tiba nongol di depan pintu. Astaghfirullah. "Gak da, Tante. Si Rivo maen melulu, Rumi pengen dia istirahat. Baru juga sampai, malah keluyuran," jelasku sedikit malas. Air muka Tante Sari kelihatan tidak nyaman, ia menarik bibirnya ke kanan sedikit. Apa yang tengah ia pikirkan? "Heleh, kan dah dibilang si Rivo, ke rumahnya Rehan," timpalnya lagi. "Iya, tapi segan Rumi, Tante. Rivo makan di sana, malam ini kalo maen ke sana lagi, ntar makan lagi, Rumi cuma takut aja, Bang Rio lagi nganggur, jangan sampai anak-anak Rumi nyusahin orang lain," jelasku lagi. "Hadeehh, kamu ini ya Masih syukur ada yang kasih makan! Pake acara se
Setelah mereka pergi, suasana nampak semakin sepi. Bang Rio mengajak kami untuk masuk kembali kedalam rumah. Aku menuturi Bang Rio dari belakang. Hingga sampai di ruang tengah rumah itu, kami duduk bersama. Semua terasa hening. Bang Rio melipat tangannya di atas dada sambil terus diam. Sama seperti yang Aku lakukan. Mili pun tak bisa berbuat lebih selain melihat tingkah mereka yang jadi pendiam. "Kenapa jadi pada diam seperti ini? Bukanya seharusnya kita senang karena mkita menang?" Tanya Mili melirik liar ke dua belah arah. Aku menarik nafas dalam sekali lalu membuangnya hingga dadaku terasa lega. "Aku hanya kasihan melihat Kinanti dan Om Budiman di seret polisi seperti itu," ucapku lirih. Aku memang kesal dan dongkol dengan sikap dan kelakuan dari keduanya. Hingga taut wajah muram tak bisa aku sembunyikan. Tapi, rasa kemanusiaanku tiba-tiba saja muncul. Aku tak bisa bayangkan bagaimana mereka akan menderita di balik jeruji besi. Bang Rio duduk mendekat ke arahku. Dia adalah pria
4.Akhirnya aku berada di posisi ini. Dimana diriku sangat sebal melihat orang yang selalu bertingkah munafik. Merasa diri paling benar, tersenyum baik di hadapan kita namun di belakang aslinya sangat busuk.Aku mengeratkan genggaman tanganku hanya untuk menahan sebuah amarah. Benci dan muak menatap wajah wanita itu, sampai-sampai aku ingin sekali melemparkan sebuah pukulan di pelupuk matanya. Untung saja, aku tipe orang yang tak suka kekerasan.Menyelesaikan masalah ini dengan otak dingin lebih baik dibandingkan harus adanya pertumpahan darah. Bisa diingat oleh semuanya jika masalah besar kita bersangkutan dengan uang, maka jati diri seseorang bisa terlihat jelas. Hal yang sama nampak dari wajah Bang Romi. Matanya memerah setiap kali berhadapan dengan sosok Kinanti. Seperti sudah dijodohkan oleh tuhan, Kinanti bersikap acuh tak acuh percis dengan Budiman yang belum datang. "Jangan berbelit-belit lagi. Sebaiknya, kamu jujur saja. Semua ini a
Aku dan Bang Rio, sedang duduk di ruang tamu rumah. Kami merasa putus asa dalam upaya kami untuk membuktikan bahwa Om Om Budiman dan Kinanti telah melakukan tindakan yang hendak mencelakakan Bang Rio.Tiba-tiba, pintu rumah terbuka dan Milli, adik iparku, tiba-tiba masuk dengan wajah yang pucat dan serius."Aku punya sesuatu untuk kalian berdua," katanya sambil menyerahkan sejumlah bukti kasus itu kepada kami.Bang Rio dan aku saling pandang, takjub dengan apa yang Milli berikan kepada kami.“Kamu dapatkan semua ini dari mana, Milli?” tanya Bang Rio. Milli menggelengkan kepalanya perlahan, “Abang dan Mbak Rum ga perlu tau, yang jelas semua bukti ini bisa membawa mereka ke terali besi,” katanya. Aku menghela napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Akhirnya aku bisa menemukan keadilan untuk suamiku. “Di dalam sini juga ada bukti-bukti jika Om Budiman memang sudah menyabotase harta yang seharus
Bang Rio duduk di depan pengacara dengan sorot mata yang tajam. Ia merasa gerah dan marah karena sudah terlalu lama ia berdiam tentang masalah keluarganya."Pak, saya butuh bantuan Anda. Saya yakin ada masalah dalam keluarga Budiman," ujarnya sambil mengeluarkan sebuah folder dari tasnya.Pengacara itu memperhatikan Bang Rio dan menerima folder yang dia tawarkan. Dia membuat catatan dan menanyakan sedikit lebih banyak tentang situasi keluarga Budiman."Saya memiliki banyak bukti yang menunjukkan bahwa selama bertahun-tahun, mereka telah mengambil aset dan harta keluarga saya, termasuk rumah warisan ibu saya. Semua itu dilakukan tanpa sepengetahuan saya dan bahkan tanpa itikad baik," lanjut Bang Rio sambil menatap tajam pengacara tersebut.Pengacara tersebut merasa kagum akan keseriusan Bang Rio dalam menyelesaikan permasalahan ini. Ia lalu bertanya tentang bukti yang dimiliki Bang Rio.Bang Rio kemudian
Sore itu, entah mengapa Mili mengumpulkan semua orang di kampung halaman Bang Rio, termasuk aku dan Bang Rio menyusul Mili ke rumah yang ada di kampung. Ia berkata ada sesuatu yang penting untuk kami ketahui. Ternyata, Milli merasa sakit hati dan marah ketika dia mengetahui betapa banyak kesalahan ibunya telah dilakukan terhadap Bang Rio. Dia tidak bisa membiarkan hal itu terus terjadi dan harus mengambil tindakan segera. Saat semua sudah berkumpul, Milli memutuskan untuk membuka kedok ibunya di hadapan semua orang . Dia tahu itu akan menjadi momen yang sulit bagi keluarga mereka, tetapi dia merasa bahwa kebenaran harus diketahui. Ketika Tante Sari datang ke acara itu, dia melihat putrinya berdiri dengan tegas dan tak gentar. Milli pun mulai berbicara dengan suara yang lantang, “Saya ingin berbicara tentang ibu saya, Sari. Dia telah melakukan sejumlah besar kesalahan terhadap Rio, kakak saya. Dia telah membohongi kita semua, termasuk saya.Ibu sudah bekerja sama dengan Kinanti untuk
Saat kami tiba di rumah, terlihat sebuah mobil baru saja berhenti di depan rumah kami. Dan seseorang turun dari mobil itu berjalan masuk ke halaman rumah. Kemudian mobil itu pun segera berlalu. Sepertinya mobil itu hanya taksi online. Aku dan Bang Rio saling berpandangan. “Sepertinya ada tamu, Bang. Apa kamu memberitahukan alamat kita kepada orang lain Rum? Maksud Abang kepada saudara kita?” Aku menggelengkan kepala, “Hmm, tidak ada orang yang tahu alamat rumah ini. Entah kalau misalkan orang itu memang sengaja mencari alamat rumah kita dan ingin bertemu dengan kita. Ya sudahlah, Bang ... Kita temui saja. Kita kan nggak tahu siapa tamunya,” kataku Kami pun bergegas memasuki halaman dan membuka pintu rumah. Saat pintu dibuka seseorang yang sudah familiar tampak sedang duduk bersama ibuku di ruang tamu dan saat melihat kami orang itu langsung berdiri dan tersenyum. “Bang Rio, Kak Rumi.” “Mili, kok kamu di sini?” tanyaku. Ya, yang datang adalah Mili adiknya Bang Rio. Selama ini seta
“Aku merasa sangat kecolongan. Ternyata selama ini ada banyak sekali hak yang harus aku perjuangkan. Hak yang seharusnya aku nikmati bersama anak dan istriku, dinikmati oleh orang lain yang tidak berhak sebetulnya,” kata Bang Rio ketika kami dalam perjalanan pulang ke rumah. Aku hanya menganggukan kepalaku.“Ya, selama ini kamu terlalu sabar dan selalu saja menjadi orang baik, Bang. Baik itu boleh tetapi jika orangnya seperti kamu itu bukan baik lagi... tetapi terlalu baik. Bahkan kamu membiarkan orang-orang yang benci kamu mendzalimi kamu begitu saja. Termasuk juga Tante Sari. Kamu ingat betapa kamu kemarin begitu ngotot untuk mengeluarkan dia dari penjara, padahal aku sudah mengatakan jika aku memiliki alasan kenapa aku menuntutnya. Kamu baru diam setelah aku berikan bukti-bukti nyata kan, Bang,” ujarku kepada Bang Rio.“Maafkan Abang Rumi, selama ini Abang dibutakan. Abang tahu jika Abang bersalah dan abang minta maaf,” kata Bang Rio kepadaku. Aku menghela napas panjang dan mengang
Aku sangat terkejut ketika mendengar dari anak buahku jika ada yang mencariku dan Bang Rio. Maka kami pun segera mencuci tangan kemudian bergegas menuju ke depan. Kami tidak mau jika tamu yang dikenal itu menunggu terlalu lama. Saat kami ke depan ternyata ada seorang lelaki separuh baya sedang menunggu, wajahnya tampak tak asing, dan saat menoleh ke arah aku dan Bang Rio datang, Ia pun tersenyum dengan ramah. Dimana aku melihat lelaki ini? Memoriku tak sedikitpun menangkap. “Selamat siang Pak, Anda mencari siapa?” tanyaku dengan sopan. Aku berpikir jika kemungkinan dia adalah pelanggan baru di bengkel kami, maka kami pun harus bersikap ramah kepada pelanggan? Meski ini sedikit aneh,karena jarang sekali langganan kami meminta untuk bertemu langsung dengan pemiliknya. “Maaf, tadi saya mendengar ibu dan bapak mencari Pak Rustandi. Apakah betul demikian?” tanya lelaki itu. Aku dan Bang Rio mengerutkan dahi, kami saling berpandangan tetapi kemudian aku mengganggukan kepala dengan cepa