Palingan si Kinan sudah cerita duluan. Memotong beberapa bagian cerita, menambahkan sebagian, dan entah apa lagi. Jadilah sebuah ghibah yang menarik.
Padahal bertemu dengannya di warung tidak sampai lima menit.
"Eh, Rum. Mertua nanya itu dijawab, malah diam?"
Aku mau jawab apa? Ntar malah salah lagi.
Tapi, bukan Tante Sari namanya kalau obrolannya berhenti sampai di situ. Aku sudah mengenalnya sejak keluar dari rahim ibuku, untung punya anak ganteng, sholeh dan penyayang, kalo tidak. Bakal adu jetos mertua versus menantu.
"Tadi Kinanti cerita sama Tante, kamu ketemu dia di kedai beli telur, ekpresi kamu itu lo, kok kayak orang sewot jumpa dia, bukannya terimakasih sudah dikasih ayam goreng buat sambal kita satu rumah, eh kamu malah nyeritain kalo si Rio gak suka ayam goreng buatannya.
Terus ngapain juga, diceritain kalo si Rio itu tidak suka penyedap rasa. Gak baik seperti itu, harusnya kamu ngucapin terimakasih, sudah gak perlu sampai harus bilang ayam gorengnya gak enak, jadi, Rio lebih memilih makan telur daripada makan ayam,"
"Sebentar Tante," ucapku menyela kalimat panjang itu, membuat Tante Sari diam.
Mau tidak mau aku harus menyela ucapannya. Salah besar. Semua kalimat Tante Sari adalah tuduhan, fitnah. Kapan pula aku bilang ke Kinanti kalau ayam gorengnya tidak enak dan Bang Rio lebih suka kumasakin telur.
Astagfirullah.
"Kenapa, Rum? Kamu mau bilang Kinanti bohong, membela diri lagi, seperti tadi kejadian di dapur."
Astaghfirullah. Aku kembali menelan Saliva, menahan cekat di tenggorokan, ada apa dengan mertuaku ini?
Tante Sari ternyata masih belum move on dari kejadian di dapur tadi. mode tak suka karena aku menyela omongannya bertambah dengan gurat benci.
Aku sadar sedari dulu hanya Om Santoso yang sangat setuju dengan pernikahanku. Tapi, seiring waktu Tante Sari menerima keberadaan diri ini. Bahkan kami sering belanja bersama jika lebaran tiba, membuat kue bersama, tertawa berdua, Tante Sari juga kerap curhat tentang kisah cintanya dengan beberapa pemuda desa zaman dahulu kala.
Sembilan tahun bukan waktu yang sejenak bercengkrama, kenangan demi kenangan kami ukir bersama di keluarga ini.
Kini, terik mentari selama sembilan tahun, seakan tak berarti hanya karena hujan sehari.
Hujan sehari? aku bingung dengan istilah itu. Ibuku bilang, arti hujan sehari itu, ketika kita pernah berbuat kesalahan, nah ini yang aku tidak tau. Kesalahan apa yang telah aku perbuat sampai mertua segitunya menilai?
Aku menikah saat Mili masih kecil, Dini belum mengerti apa-apa saat itu. Sedangkan Jini masih belum berakal juga. Kini mereka semua sudah beranjak dewasa
Aku bagai memiliki tiga adik sekaligus mendapatkan Bang Rio. Pulang kampung, biasanya akulah yang berkutat di dapur bersama Tante Sari. Sambil masak kami selalu bercerita apa saja, dari gosip baru, artis kawin cerai, usaha terkini, bahkan presiden yang tak kunjung berbeda tingkahnya dari zaman merdeka.
Selalu berakhir tawa, tanpa jeda. Sungguh tontonan indah antara menantu dan mertua.
Tiada lagi hari untuk kukenang, sejak berencana menumpang, kisah mentari bersinar sebab hujan telah tiba harus aku jalani. Aku harus mengerti mereka semua berubah.
Aku harus mengerti, kebahagiaan hanya ketika kita kaya di mata mereka.
Om Santoso tidak terlihat sudah beberapa hari selama kami datang. Aku lupa menanyakan pada Bang Rio, sedangkan bertanya pada mertua, lebih besar rasa sungkan daripada rasa penasaranku.
Di mana ayah dari ayahnya anak-anakku itu? Sudah dua hari tidak kelihatan sama sekali.
Bahkan Bang Rio tidak bercerita apapun padaku. Ini sesuatu yang aneh, tidak biasa.
"Hei, Tante bicara sama kamu, dengar gak sih! Pura-pura telmi kamu ini."
Kali ini, Kinanti akan kubuat kapok selalu dalang fitnah. Dia tidak berubah walau sembilan tahun telah berjalan. Tahun-tahun lalu Kinanti tidak pernah mengganggu, mungkin karena kami pulang kampung hanya beberapa hari. Sekarang tentu dia tahu kami akan di sini sampai Bang Rio mendapatkan pekerjaan.
"Kenapa diam kamu, Rum? Terasa kalau salah, apalagi mengucapkan kata-kata itu di kedai, kalo tukang kedainya dengar gi mana?"
"Apa yang Tante bilang itu fitnah, sama sekali tidak pernah Rum lakukan, jangankan untuk bercerita tentang ayam goreng buatan Kinanti, menyapanya saja sebenarnya Rum sungkan, Rum gak pandai buat ramah-ramahan tanpa sebab, dan mungkin Tante masih ingat pesan Kinanti, saat awal menikah dulu yang sangat vulgar itu masih teringat jelas. Tante lupa?
Untung Rum maafkan, kalau menurut Tante, Rum itu suka menjelekkan orang dan cemburu kepada Kinanti, kenapa tidak dari awal, waktu kami baru nikah saja, Kinanti itu Rum permalukan. Asal tante tau, Kinanti bukan level perempuan yang harus Rum cemburui, bahkan saat itu Rum punya bukti kuat buat mempermalukannya, ternyata Rum tidak lakukan apapun, justru memaafkan pesan mesumnya itu. Sekarang cuma gara-gara ayam goreng, trus Tante percaya Kinanti mengatakan hal seperti itu di warung? Tante bisa tanya sama tukang warungnya,apa Fitnah perempuan murahan itu benar atau tidak." jelasku panjang lebar, dadaku sedikit naik turun. Kesal, kecewa masuk sekaligus.
Sesak. Entahlah aku sedikit sensitif.
"Wah, apa yang kamu katakan ini sudah terlihat jelas kamu cemburu sama Kinanti, Rum! kalau tidak benar, ngapai juga kamu emosi," ucap Tante Sari menyimpulkan sendiri.
"Cemburu?" tanyaku ulang mengerut dahi. Tadinya tidak ingin melayani Tante Sari. Tapi mulutnya sungguh keterlaluan, aku juga punya daya sabar.
Astagfirullah. Aku menahan untuk tidak berkata-kata lagi. Entah mengapa hati ini jengkelnya bukan main. Ingin kugeprek rasanya mulut comberan Kinanti itu.
"Ya iya lah kamu cemburu. Buktinya kamu nge gas, kalau gak benar ya santai saja, lagian ngapain Tante nanyain hal begituan sama tukang kedai, kayak kurang kerjaan aja, bisa jadi tukang kedainya dengar, tapi demi netral dia diam saja, namanya juga kedai! Takut donk dia musuhan sama orang. Entar malah gak laku dagangannya, makanya yang namanya tukang jualan pasti netral."
Melirik masam wajah mertuaku, aky kembali diam saja, sama sekali tidak menyahut lagi, sengaja berpura-pura melipat baju, yang baru saja Alya berantakin, aku bersyukur dengan tingkah Alya, jadi bisa kulipat ulang dengan rapi. Sebagai alasan menghindari lidah mertua.
Menyibukkan diri dengan yang lain. Membongkar pakaian yang sebenarnya sudah kurapikan. Beresin ulang saja, daripada melayani hati orang yang sudah buta. Entah apa yang menjadikan Tante Sari berubah, kembali ke zaman dahulu--Kembali tidak menyukaiku.
"Punya menantu kok gini amat, payah!" gerutunya ngedumel sendiri karena tidak kulayani.
Ternyata benar. Dengan diam diri, Tante Sari keluar dari kamar. Walau wajahnya sedikit menggambarkan tidak senang.
Aku menepuk-nepuk punggung Alya yang bergerak hendak terbangun akibat suara yang sedikit berisik. Melonggarkan pinggang, aku berbaring di sisi Alya. Menatap langit-langit kamar. Mataku basah.
Titt ponsel dengan signal ilang timbul berbunyi. Suara pesan masuk.
(Rum, ini Tante Yuni. Kamu sekarang di kampung? tante juga di kampung)
Aku langsung telonjak kaget membaca pesan adik ibuku itu.
(Tante Di mana? rumah nenek dulu?) tanyaku. Soalnya rumah nenek dari ibuku itu kosong sejak semua sanak saudara ibu memilih tinggal di perantauan termasuk Tante Yuni. Setahuku adik bungsu ibu itu ada di Jakarta. Bukan di kampung.
(Tante beli tanah di ujung kampung dekat ke jalan raya, besok kita ketemuan, yuk! soalnya besok sore Tante sudah harus kembali ke Jakarta) tulisnya menjawab pesanku.
Tumben! Biasanya Tante Yuni hanya pulang kampung sekali setahun, kadang malah jadi dua tahun sekali.
Lebaran masih empat bulanan lagi, kok Tanteku itu ada di kampung? apa Tante Yuni tidak bekerja?
TIIt, suara vibrasi ponsel. Nama tante Yuni ada di layar.
"Ya, Tante,' ucapku melirik ke arah pintu kamar seolah ada yang mengetuk.
"Dik sayang, Alhamdulillah ada kabar gembira buat kita."
Aku hampir terlonjak kaget, mendengar suara berat dari sosok yang ingin kumenangis di dadanya. Menyelinap masuk kamar dan langsung berada tepat bersandar di bahuku.
"Kok kaget gitu? lagi nelpon siapa?"
"Gak siapa-siapa kok,Tante Yuni--kangen katanya," jawabku tipis, sengaja agar Tante Yuni mendengarkan lalu mematikan sambungan selular.
Ada apa sampai semringah begitu. Bela-belain datang ke rumah, lumayan jauh berjalan kaki.
Pelan tanpa suara, tiba-tiba sudah berada di kamar. Bisa aja Bang Rio mengatur gerakan kakinya.
Bang Rio mengunci kamar segera. Menghampiriku dengan senyumnya yang tak lekang. Siapa coba yang tidak jatuh cinta tiap hari.
Suamiku ini bisa membuat jantungku bermasalah detaknya.
"Kabar gembira apa, Abang? Rumi liat wajah semringah abang tiap hari, udah berasa dapat kabar gembira melulu," gombalku pada suami sendiri, bukan suami orang.
Ia menarikku mendekat. Melingkari tangannya di pinggang, pinggang yang lebih lebar sedikit dari pinggangnya Kinanti. Wangi segar sabun Lux menguar. Jadi traveling ke mana-mana ini otak.
"Si tukang gombal sampe tua tetap aja suka ngegombal, suami sudah jadi pengangguran aja dirayu mulu, gak pengen kebalikannya, sesekali abang yang rayu," ucap Bang Rio memainkan alisnya ke atas. Makin mempererat pelukan.
Aduch pikiranku.
Sayangnya, si tamu bulanan baru saja mengetuk pintu. Sial kan? Padahal kampung Bang Rio dingin banget. Minta dikelonin tiap saat rasanya. Astagfirullah. Otak oh otak.
Perlakuan mesra itu sampai lupa aku menanyakan di mana Rivo. Apa Bang Rio meninggalkan sendiri di kali?
"Sayang, coba tebak kabar gembira apa yang mau abang sampaikan?"
"Ih ... Gak tau donk. Masa disuruh nebak, kalo Rumi sih, ada kabar buruk yang mau disampaikan," jawabku membelalakkan netra Bang Rio.
"Kabar buruk apa sayang?" tanya Bang Rio kaget, wajah semringahnya berubah cemas.
"Kenapa, Dik?" tanyanya lagi mengusap lembut pipiku. Aduch jadi lupa mau ngerjain suami. Malah dikerjain duluan.
"Kabar buruk apa?" Tak sabar ia bertanya lagi, wajah cemasnya mengalahkan logika di mana ia mencuri berkali-kali bibirku yang ingin berucap. Dasar suami.
"Gi mana caranya Rumi bisa cerita kalo abang ciumin melulu," cubitku pada pinggangnya.
Ia tertawa. Lalu membawaku dalam dada.
"Kamu cerita duluan, kabar buruk apa, sayang?"
"Ini nih, si tamu bulanan datang, padahal kan pengennya jangan datang biar Alya punya adik," jawabku tak berdosa. Bang Rio langsung tertawa terbahak. Mengacak rambutku. Tawanya hampir saja membangunkan Alya.
Aku menyumbat mulut merah tanpa bau nikotin itu agar berhenti tertawa.
Tentu saja menyumbat dengan mulutku juga. Istri mesum sama yang halal boleh ya?
"Kamu ini, abang kirain apa-an?" Ia masih tersenyum, memandangku penuh cinta. Kalau sudah begini, seribu kali difitnah Kinanti tidak akan membuatku emosi.
Ada saatnya aku mengadukan perihal itu padanya, bukan saat ini. Bang Rio sedang down. Pada fase butuh support bukan butuh celotehan istri tentang ibunya, yang ada ia bakal tambah down.
"Kontrak abang sudah habis, suratnya dikirim via email barusan, sisa kontrak yang seharusnya--dibayar rapel. Tadi sms banking sudah memberitahu. Angkanya lumayan, kalo kamu tidak betah di sini. Kita kembali ke kota, buat usaha. Gi mana sayang?"
Aku menatap wajah lelaki pengertian ini. Tanpa kuceritakan telepati suami istri itu tidak berhijab.
"Rumi ikut abang aja. Apapun keputusan abang, Rumi ikut. Btw mana Rivo? Abang tinggalin Rivo di kali? Sendirian?" Tanyaku bertubi-tubi takut terjadi sesuatu pada Rivo.
Bang Rio malah tertawa,
"Tenang sayang, suami Kinanti ternyata juga hobi mancing, bareng tadi perginya. Gilang,"
Suami Kinanti?
"Ih tapi gak bagus abang ninggalin Rivo sama orang yang kita tidak kenal dekat," protesku pada Bang Rio.
"Gilang sudah abang kenal lama lo, dia itu kan teman abang waktu masih kerja di perusahaan yang lama, pas kita baru-baru nikah,"
"Oh, Rumi gak tau,"
"Iyalah, kan kamu tau nya cuma sama abang,"
Kerling nakalnya, membuatku tersenyum.
"Kasian deh, Abang. Si tamu masih enam hari lagi baru mudik," ucapku membuatnya tertawa. Mengelus pucuk kepala ini dengan lembut sekali.
Coba aja Kinanti ngintip.
Huwaaa.
"Gilang sudah abang kenal lama lo, dia itu kan teman abang waktu masih kerja di perusahaan yang lama, pas kita baru-baru nikah," "Oh, Rumi gak tau," jawabku. "Iyalah, kan kamu tau nya cuma sama abang," Kerling nakalnya, membuatku tersenyum. "Kasian deh, Abang. Si tamu masih enam hari lagi baru mudik," ucapku membuatnya tertawa. Mengelus pucuk kepala ini dengan lembut sekali. Coba aja Kinanti ngintip. Huwaaa. "Berarti Gilang pernah kerja di kota kita donk, Yang. Kok abang gak pernah cerita ke Rum?" tanyaku menyimpan heran. "Ih, ngapain juga abang ceritain dia ke kamu, Dik. yang ada aneh, Sayang! Lagian kamu kenal abang, 'kan? Abang kurang suka bergaul akrab seperti orang-orang, punya sahabat saling bestian, abang lucu aja gitu.""Nah, itu yang mau Rum tanyain sama abang, sayang! gak suka bergaul akrab tapi kok bisa niat mancing bareng.""Sebenarnya itu niatnya si Rivo, Dik. Kamu tau sendiri si Rivo hobi banget mancing. Abang dengar dia ngajak Rehan anaknya Gilang buat mancing.
"Rum Rum ....""Rio, bertahanlah!" tiba-tiba hening. "Bang Rio kenapa?" teriakku menggigil. Tidak satu orang pun yang mendengar. Ingin rasanya menangis. Jantungku gemuruh hebat. Apa yang terjadi pada suamiku, Tuhan? Mondar mandir melupakan Alya yang sudah duduk sempurna menatap bingung ke arahku."Mama, ngapain kayak setrikaan? maju mundur?" tanya Alya heran. Tanganku gemetar. Kupeluk Alya ketakutan.Napas ini tidak lagi beraturan tarikannya. "Rio terpeleset di kali, ada ular tadi, Rum. Rio ... eh Rio dipatuk, sekarang gak bisa ngomong, tolong, Rum! panggilin keluarga sekarang. Pergi ke rumahku katakan pada Kinanti untuk menyiapkan mobil. Kita bawa Rio ke rumah sakit?" "Apa!" Rio-ku kenapa? Lemas sudah kaki ini. Penjelasan Gilang membuat tubuhku rasa melayang tak berpijak pada Bumi. Suamiku tercinta, lelaki yang begitu mencintai meski dengan cara sederhana. Tuhan ... tolong dia!Dalam keadaan bingung, kalut entah harus melakuka
"Dik," panggil Bang Rio setelah membuka netranya yang beberapa waktu lalu tertidur. Aku menyeka ujung mata, tanpa sadar ternyata aku ikut terlelap di sampingnya. "Iya sayang, Rum di sini," jawabku mendekat kewajahnya. Kugenggam tangan berinfus itu, mentransfer kekuatan agar hatinya tenang. "Mama, mana?" tanyanya lemah. Betapa ia anak yang berbakti. Andai saja Bang Rio tahu seperti apa watak asli ibunya itu. Ah, aku tidak tega mengatakannya. Suatu hari Bang Rio akan melihat sendiri seperti apa Wanita yang ia anggap malaikat itu di belakangnya. "Tadi di sini, mungkin pulang sebentar, atau ke depan. Apa mau Rum cariin?" tawarku basa-basi. Tante Sari tidak pamitan entah ke mana. Aku curiga, bercampur bingung, entah mengapa hati ini menangkap' signal waspada, melihat tingkah ipar dan Tante Sari yang berbisik melirik Bang Rio saat pingsan membuat aku bertanya-tanya.Apa mereka merasa senang dengan kejadian yang menimpa suamiku?Sekarang aku ikut bingung mau menjawab pertanyaan Bang Rio
Setelah mendapat penjelasan dari dokter mengenai serum, obat dan kadar dosis yang harus diminum Rio. Aku memutuskan pulang. Bang Rio lebih dulu sampai karena memakai mobil Kinanti. Sedangkan aku sengaja singgah di pasar bersama Rivo. Aku juga sengaja menyuruh Mili membawa Alya. ada sesuatu hal yang harus aku kerjakan yang tidak boleh ada yang tahu. Entah mengapa aku punya firasat yang tidak nyaman dan tidak enak untuk kurasakan Tapi aku tidak tahu mengapa tiba-tiba merasa seperti itu.Rivo info Aku sengaja pulang bersamaku sedangkan Aliya walaupun sedikit drama menangis dan merajuk Ia tetap kupaksa untuk satu mobil bersama Bang Rio dan Kinanti. Rivo anak lelaki, dia tidak peka dengan sekitar. Makanya lebih baik di pulang denganku.Berbeda dengan Alya. Apapun perbincangan di dalam mobil. Aku pasti bisa mengorek dari Alya nantinya. Anak perempuan itu memang tidak sama dengan anak lelaki. Aliya meskipun masih berusia kecil dan belum sekolah tapi putriku itu sangat peka terhadap gunjingan
"Setelah memastikan suamiku baik-baik saja di sini, sebelum enam puluh hari aku akan kembali untuk membawa suamiku, bukan hanya suamiku saja, Tante. Tapi aku akan membawa segala aset di kampung ini. Apa Tante paham! Aku pastikan warisan yang acap kalian ributkan akan berpindah nama." Ucapanku begitu tegas. Tante Sari tampak shock mendapat perlawanan.Ia terbelalak kaget. Tidak menyangka aku yang biasa memilih mengalah kini melotot melawan ucapannya. Bahkan memanggil diriku dengan sebutan 'aku' bukan 'Rum'***"Kamu itu ya, Rum. Ngomong kok sombong sekali. Aset kampung plus warisan. Tidak usah terlalu banyak ngehalu, takutnya kamu depresi. Mending jualan risoles, bakwan atau apa saja yang bisa menyambung nafkah anak-anak kamu. Kalian sekeluarga memang cocok hidup makan halu, tak ada bedanya dengan si Yuni. Bisa-bisanya kamu ngehalu bakal jadi tuan tanah di sini. Bangun ... jangan mimpi!" Tante Sari mengibaskan tangannya. Aku tertawa mendengar balasan Tante Sari. Terlihat jelas ia men
Hari ini aku baru saja selesai mencuci baju Alya dan Rivo, kemudian berencana akan bicara kembali kepada Bang Rio tentang tinggal di kota. Semoga saja suamiku itu mengijinkan kami, dan aku terhindar dari nenek sihir yang ada di rumah ini.Baru saja kakiku melangkah ke dalam dapur tiba-tiba nenek sihir yang kumaksud sudah di depan mata.Entah ke mana Mili, Dini dan Jini, sepertinya trio kwek-kwek itu tidak terlihat di rumah ini, lebih tepatnya jarang terlihat. Tapi aku tidak kepo apa yang mereka kerjakan di luar, di dalam maupun di sekolahan.Terutama setelah mengetahui semua cerita Bang Rio tentang sosok Om Santoso dan Tante Yuni, semua cerita itu membuatku shock, agak sedikit kasihan melihat nasib Tante Sari yang di duakan, dengan kepongahan dan kesombongannya, aku semakin yakin bahwa Tante Sari punya kelainan jiwa.Mana ada di atas dunia ini yang menandatangani keputusan suaminya boleh menikah lagi kecuali karena sakit jiwa. Jiwanya sakit karena ambisi harta.Aku melangkah tergesa-ge
"Mau gimana lagi, Ma, untung Kak Kinan mau minjamin kita duit. pokoknya Dini gak mau tau. Dini wajib kuliah. Titik." Gelegar suara Dini mengangetkan aku yang sedang memotong wortel. Pinjam. Kinan. Bukannya kemarin itu duitnya Bang Rio. Sedari pagi mereka berdebat soal kuliah, dan segala tetek bengkel keuangan. Kalimat Dini membuat Tante Sari menatapku lalu mengarah Ke Dini dengan emosi. "Kenapa Dini bilang pinjam Kinan, Tante? bukanya kemarin Bang Rio ngasih Tante Duit," potongku pada pembicaraan mereka. Tentu saja aku tidak suka, jerih payah Bang Rio, jadi Jerih payah Kinanti. Apalagi sebenarnya duit itu untuk usaha kami. Harta satu-satunya yang dimiliki suamiku. "Ini urusan ibu dan anak. Bukan urusan kamu, urus saja si Alya dan Rivo," jawab Tante Sari cuek melotot padaku. Lalu ia seolah memberi kode pada Dini. Agar nanti saja melanjutkan perbincangan mereka. oh ... jadi! sama anak sendiri dia berani menyembunyikan fakta. Apalagi sama orang lain. "Tentu saja sekarang menjadi ur
"Ssst. Dia sudah pergi." Suara bisikan itu terdengar jelas saat aku berlalu. Ohh jadi ini bagian dari rencana Tante Sari mendekatkan Kinanti dengan Bang Rio. Awas kalian! Akan kubalas mereka semua. * "Bang, uang kita sudah tidak ada. Pesangon kamu, sudah sama Tante Sari semuanya. Sedangkan kita tidak tahu, esok atau lusa seperti apa tinggal di rumah ini. Rivo harus pindah sekolah jika memang kita tinggal di sini dalam jangka lama. Sedangkan Alya butuh asupan nutrisi." Aku tengah memijit telapak kaki Bang Rio sambil mengutarakan unek-unek, keadaan yang kelak akan menimpa karena seluruh uang pesangon sudah diberikan pada Tante Sari, ibunya. Jangan Tante Sari mengia aku akan diam saja. Meskipun seorang menantu harus rela bersabar demi mertua tetap saja aku pandai pandai membuat Bang Rio pro padaku. "Dik, papa meninggalkan luka pada hati mama, kamu sudah tau itu, sakit pasti. Abang tidak ingin menambah rasa sakit itu dengan mendurhakainya. Yakinlah! mama juga seorang wanita. Sisi
"Ma, Rivo ke mesjid dulu, ya. Ntar abis isya maen ke rumah Rehan lagi," pamit Lajangku membuyarkan lamunan. "Ri ... !" Teriakku. Kehilangan kata, putra satu-satunya telah menghilang di balik pintu. Semoga ini bukan ujian awal untukku. Gulai dan sekarang? Kinanti! "Kenapa,? Kok kamu teriak-teriak manggil si Rivo." Sudah seperti hantu, ibu mertua tiba-tiba nongol di depan pintu. Astaghfirullah. "Gak da, Tante. Si Rivo maen melulu, Rumi pengen dia istirahat. Baru juga sampai, malah keluyuran," jelasku sedikit malas. Air muka Tante Sari kelihatan tidak nyaman, ia menarik bibirnya ke kanan sedikit. Apa yang tengah ia pikirkan? "Heleh, kan dah dibilang si Rivo, ke rumahnya Rehan," timpalnya lagi. "Iya, tapi segan Rumi, Tante. Rivo makan di sana, malam ini kalo maen ke sana lagi, ntar makan lagi, Rumi cuma takut aja, Bang Rio lagi nganggur, jangan sampai anak-anak Rumi nyusahin orang lain," jelasku lagi. "Hadeehh, kamu ini ya Masih syukur ada yang kasih makan! Pake acara se
Setelah mereka pergi, suasana nampak semakin sepi. Bang Rio mengajak kami untuk masuk kembali kedalam rumah. Aku menuturi Bang Rio dari belakang. Hingga sampai di ruang tengah rumah itu, kami duduk bersama. Semua terasa hening. Bang Rio melipat tangannya di atas dada sambil terus diam. Sama seperti yang Aku lakukan. Mili pun tak bisa berbuat lebih selain melihat tingkah mereka yang jadi pendiam. "Kenapa jadi pada diam seperti ini? Bukanya seharusnya kita senang karena mkita menang?" Tanya Mili melirik liar ke dua belah arah. Aku menarik nafas dalam sekali lalu membuangnya hingga dadaku terasa lega. "Aku hanya kasihan melihat Kinanti dan Om Budiman di seret polisi seperti itu," ucapku lirih. Aku memang kesal dan dongkol dengan sikap dan kelakuan dari keduanya. Hingga taut wajah muram tak bisa aku sembunyikan. Tapi, rasa kemanusiaanku tiba-tiba saja muncul. Aku tak bisa bayangkan bagaimana mereka akan menderita di balik jeruji besi. Bang Rio duduk mendekat ke arahku. Dia adalah pria
4.Akhirnya aku berada di posisi ini. Dimana diriku sangat sebal melihat orang yang selalu bertingkah munafik. Merasa diri paling benar, tersenyum baik di hadapan kita namun di belakang aslinya sangat busuk.Aku mengeratkan genggaman tanganku hanya untuk menahan sebuah amarah. Benci dan muak menatap wajah wanita itu, sampai-sampai aku ingin sekali melemparkan sebuah pukulan di pelupuk matanya. Untung saja, aku tipe orang yang tak suka kekerasan.Menyelesaikan masalah ini dengan otak dingin lebih baik dibandingkan harus adanya pertumpahan darah. Bisa diingat oleh semuanya jika masalah besar kita bersangkutan dengan uang, maka jati diri seseorang bisa terlihat jelas. Hal yang sama nampak dari wajah Bang Romi. Matanya memerah setiap kali berhadapan dengan sosok Kinanti. Seperti sudah dijodohkan oleh tuhan, Kinanti bersikap acuh tak acuh percis dengan Budiman yang belum datang. "Jangan berbelit-belit lagi. Sebaiknya, kamu jujur saja. Semua ini a
Aku dan Bang Rio, sedang duduk di ruang tamu rumah. Kami merasa putus asa dalam upaya kami untuk membuktikan bahwa Om Om Budiman dan Kinanti telah melakukan tindakan yang hendak mencelakakan Bang Rio.Tiba-tiba, pintu rumah terbuka dan Milli, adik iparku, tiba-tiba masuk dengan wajah yang pucat dan serius."Aku punya sesuatu untuk kalian berdua," katanya sambil menyerahkan sejumlah bukti kasus itu kepada kami.Bang Rio dan aku saling pandang, takjub dengan apa yang Milli berikan kepada kami.“Kamu dapatkan semua ini dari mana, Milli?” tanya Bang Rio. Milli menggelengkan kepalanya perlahan, “Abang dan Mbak Rum ga perlu tau, yang jelas semua bukti ini bisa membawa mereka ke terali besi,” katanya. Aku menghela napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Akhirnya aku bisa menemukan keadilan untuk suamiku. “Di dalam sini juga ada bukti-bukti jika Om Budiman memang sudah menyabotase harta yang seharus
Bang Rio duduk di depan pengacara dengan sorot mata yang tajam. Ia merasa gerah dan marah karena sudah terlalu lama ia berdiam tentang masalah keluarganya."Pak, saya butuh bantuan Anda. Saya yakin ada masalah dalam keluarga Budiman," ujarnya sambil mengeluarkan sebuah folder dari tasnya.Pengacara itu memperhatikan Bang Rio dan menerima folder yang dia tawarkan. Dia membuat catatan dan menanyakan sedikit lebih banyak tentang situasi keluarga Budiman."Saya memiliki banyak bukti yang menunjukkan bahwa selama bertahun-tahun, mereka telah mengambil aset dan harta keluarga saya, termasuk rumah warisan ibu saya. Semua itu dilakukan tanpa sepengetahuan saya dan bahkan tanpa itikad baik," lanjut Bang Rio sambil menatap tajam pengacara tersebut.Pengacara tersebut merasa kagum akan keseriusan Bang Rio dalam menyelesaikan permasalahan ini. Ia lalu bertanya tentang bukti yang dimiliki Bang Rio.Bang Rio kemudian
Sore itu, entah mengapa Mili mengumpulkan semua orang di kampung halaman Bang Rio, termasuk aku dan Bang Rio menyusul Mili ke rumah yang ada di kampung. Ia berkata ada sesuatu yang penting untuk kami ketahui. Ternyata, Milli merasa sakit hati dan marah ketika dia mengetahui betapa banyak kesalahan ibunya telah dilakukan terhadap Bang Rio. Dia tidak bisa membiarkan hal itu terus terjadi dan harus mengambil tindakan segera. Saat semua sudah berkumpul, Milli memutuskan untuk membuka kedok ibunya di hadapan semua orang . Dia tahu itu akan menjadi momen yang sulit bagi keluarga mereka, tetapi dia merasa bahwa kebenaran harus diketahui. Ketika Tante Sari datang ke acara itu, dia melihat putrinya berdiri dengan tegas dan tak gentar. Milli pun mulai berbicara dengan suara yang lantang, “Saya ingin berbicara tentang ibu saya, Sari. Dia telah melakukan sejumlah besar kesalahan terhadap Rio, kakak saya. Dia telah membohongi kita semua, termasuk saya.Ibu sudah bekerja sama dengan Kinanti untuk
Saat kami tiba di rumah, terlihat sebuah mobil baru saja berhenti di depan rumah kami. Dan seseorang turun dari mobil itu berjalan masuk ke halaman rumah. Kemudian mobil itu pun segera berlalu. Sepertinya mobil itu hanya taksi online. Aku dan Bang Rio saling berpandangan. “Sepertinya ada tamu, Bang. Apa kamu memberitahukan alamat kita kepada orang lain Rum? Maksud Abang kepada saudara kita?” Aku menggelengkan kepala, “Hmm, tidak ada orang yang tahu alamat rumah ini. Entah kalau misalkan orang itu memang sengaja mencari alamat rumah kita dan ingin bertemu dengan kita. Ya sudahlah, Bang ... Kita temui saja. Kita kan nggak tahu siapa tamunya,” kataku Kami pun bergegas memasuki halaman dan membuka pintu rumah. Saat pintu dibuka seseorang yang sudah familiar tampak sedang duduk bersama ibuku di ruang tamu dan saat melihat kami orang itu langsung berdiri dan tersenyum. “Bang Rio, Kak Rumi.” “Mili, kok kamu di sini?” tanyaku. Ya, yang datang adalah Mili adiknya Bang Rio. Selama ini seta
“Aku merasa sangat kecolongan. Ternyata selama ini ada banyak sekali hak yang harus aku perjuangkan. Hak yang seharusnya aku nikmati bersama anak dan istriku, dinikmati oleh orang lain yang tidak berhak sebetulnya,” kata Bang Rio ketika kami dalam perjalanan pulang ke rumah. Aku hanya menganggukan kepalaku.“Ya, selama ini kamu terlalu sabar dan selalu saja menjadi orang baik, Bang. Baik itu boleh tetapi jika orangnya seperti kamu itu bukan baik lagi... tetapi terlalu baik. Bahkan kamu membiarkan orang-orang yang benci kamu mendzalimi kamu begitu saja. Termasuk juga Tante Sari. Kamu ingat betapa kamu kemarin begitu ngotot untuk mengeluarkan dia dari penjara, padahal aku sudah mengatakan jika aku memiliki alasan kenapa aku menuntutnya. Kamu baru diam setelah aku berikan bukti-bukti nyata kan, Bang,” ujarku kepada Bang Rio.“Maafkan Abang Rumi, selama ini Abang dibutakan. Abang tahu jika Abang bersalah dan abang minta maaf,” kata Bang Rio kepadaku. Aku menghela napas panjang dan mengang
Aku sangat terkejut ketika mendengar dari anak buahku jika ada yang mencariku dan Bang Rio. Maka kami pun segera mencuci tangan kemudian bergegas menuju ke depan. Kami tidak mau jika tamu yang dikenal itu menunggu terlalu lama. Saat kami ke depan ternyata ada seorang lelaki separuh baya sedang menunggu, wajahnya tampak tak asing, dan saat menoleh ke arah aku dan Bang Rio datang, Ia pun tersenyum dengan ramah. Dimana aku melihat lelaki ini? Memoriku tak sedikitpun menangkap. “Selamat siang Pak, Anda mencari siapa?” tanyaku dengan sopan. Aku berpikir jika kemungkinan dia adalah pelanggan baru di bengkel kami, maka kami pun harus bersikap ramah kepada pelanggan? Meski ini sedikit aneh,karena jarang sekali langganan kami meminta untuk bertemu langsung dengan pemiliknya. “Maaf, tadi saya mendengar ibu dan bapak mencari Pak Rustandi. Apakah betul demikian?” tanya lelaki itu. Aku dan Bang Rio mengerutkan dahi, kami saling berpandangan tetapi kemudian aku mengganggukan kepala dengan cepa