Kami punya salah apa, Tante?
*_IL
Pagi hari, udara sejuk pegunungan membuat perutku lekas lapar, kutatap Rivo dan Alya yang begitu nyenyak tertidur. Untung dua buah hatiku ini tidak rewel dan sangat mudah beradaptasi.
Jam di dinding menunjukkan pukul 05.35. Pertanda adzan subuh telah lewat lebih dari tiga puluh menit. Sayup kudengar suara perdebatan kecil dari arah dapur.
Bang Rio dan Tante Sari berdebat? tumben? ini langka sejak kurun aku menikah, aku belum pernah melihat maupun mendengar dua ibu dan anak itu bertengkar.
"Bukannya dua bulan lalu mama bilang sertifikat kebun itu sudah diambil dari pihak bank, mama juga bilang kalo uangnya cair buat bayar utang sama Kinanti, dan ini sudah dua tahun enam bulan, Ma! kenapa sekarang masih di bank sertifikatnya?" Meski pelan namun jelas terdengar suara Bang Rio yang biasa kalem sedkit emosi.
Apa? suamiku dan mertua sedang berdebat masalah utang?
Bukannya setoran yang diberikan Bang Rio setiap bulannya mencapai hampir tiga juta. Setelah sembilan tahun lamanya, baru kali ini untuk pertama kali Suamiku protes masalah keuangan pada ibunya. Aku tahu Tante Sari memang pernah menggadaikan sertifikat kebun karet dalam jangka waktu dua tahun waktu itu alasannya untuk masuk sekolah Dini ke sekolah populer. Jadi butuh biaya mahal.
Awalnya karna khawatir keluarganya tidak bisa bayar Bang Rio menolak. Suamiku meminta ibunya menyekolahkan adik-adik ke sekolah baik walau tidak populer.
Tapi, Tante Sari justru punya cara jitu, ia meminjam uang pada Kinanti dan uang itu berbunga sepuluh persen. Karena takut malu, juga bunga yang begitu besar, akhirnya Bang Rio menyetujui pinjaman dua tahun dengan bunga rendah pada salah satu bank BUMN yang meminjamkan dana dengan margin sangat kecil. Apalagi di pedesaan, bunganya lumayan rendah. Aku manut saja apapun yang diberikan Bang Rio pada keluarganya selagi ia mencukupi nafkah kami di rumah.
Aku bahkan tidak pernah bertanya mengapa Om Santoso santai saja seolah tidak pernah cepat tanggap terhadap kebutuhan anak-anaknya.
"Abang udah gak sayang mama, makanya kena bala, kena kutuk sama Tuhan, tuh gitu akibatnya, sekarang di PHK-'kan!? gitu kalau durhaka, gak mau sedekah sama orangtua, abang tau gak, seorang ibu itu keramat. Rasain sekarang pengangguran."
Ah, itu suara Dini. Ikut-ikutan pula dia? Astagfirulloh. Kasihan Bang Rio.
Abangnya sedang terjatuh malah membahas masalah kapasitas kasih sayang pada orang tua.
"Kamu sekolah yang benar dulu, Din. Gak baik ikut-ikutan urusan orangtua," nasehat Bang Rio masih dengan tutur yang lembut, Sungguh aku yang ingin bar-bar. Napasku sampai naik turun saking menahan emosi,
"Gak inget waktu kecil di asuh mama, disekolahin, dibesarin, mikir kalau mau berdebat sama mama. jangan-jangan istri abang sengaja ya nyuci pikiran abang biar nagih utang ke mama? bukannya abang bilang diikhlasin."
"Abang bukan nagih, Dini. Abang cuma nanya, dua bulan lalu mama bilang sertifikat sudah diambil, utang sudah lunas, sekarang abang nanya ke mama, sertifikat kebun itu ada sama siapa? mama jawabnya belok sana sini. Kalau memang masih ada utang sama siapa? dan untuk apa? abang cuma minta penjelasan dari mama?"
Astagfirulloh. Aku mengusap dada. Sebagai istri aku sangat jengkel, marah, kesal karna aku yang sama sekali tidak tahu masalah, dan selama ini sudah legowo dengan semua tetek bengek keluarga suami malah dituduh macam-macam oleh adik ipar sendiri, dadaku panas, napas ini sesaknya bukan main. Kukepal tangan kuat-kuat.
Belum tau mereka siapa, Rumi!
Untung saja perkara ekonomi tidak membuat aku dan suami setiap hari berdebat seperti kebanyakan rumahtangga.
Kuusap wajah kasar, menghirup udara menenangkan hati, mengepal tangan menahan emosi. Melangkah santai menuju dapur yang hanya berlapis satu dinding dari kamar yang kami tempati. Pintu kamar belakang langsung berhadapan dengan dapur, untuk itu suara mereka sangat terdengar jelas di telingaku. Aku keluar kamar dengan wajah ditekuk lima lipat.
"Apa Rum salah waktu
"Dik," panggil Bang Rio terkejut melihatku yang berdiri di depan pintu menghadap mereka bertiga. Dini dan Tante Sari saling melempar tatapan. Mungkin dalam hati mereka sudah tahu aku mendengar semua, atau bisa jadi sengaja bersuara dengan keras agar aku ikut mendengar. Entah yang mana satu.
"Kok pada kaget? kayak habis ngeghibah massal ya?" tanyaku sarkas. Sengaja mengirim tatapan menerkam pada Dini.
Mereka semua benar-benar lupa daratan. Seenaknya Dini itu menunjuk-nunjuk muka suamiku dengan cincin satu gram mas murni hadiah dari Bang Rio. Apa dia lupa merengek minta belikan cincin itu? untung tidak trantum kayak anak usia dua tahun.\
Tidak tau diri sekali mereka!
"Dik, wudu dulu sana! Subuh dulu, gak baik bangun-bangun ngomongnya ngelantur," ucap Bang Rio mendekat ke arahku merangkul bahuku menuju kamar mandi. Mengusap bahu, berakhir mengelus pucuk kepalaku. Dia memang sosok suami yang selalu berdiri di tengah saat ada dua hati yang saling berperang.
"Sudah jatuh miskin, masih belagu sombong," bisik Dini masih terdengar jelas saat aku melangkah menuju kamar mandi, hendak mencuci muka.
"Abang lupa Rum lagi dapat. Hari ini in sya Allah mandi wajib, jadi gak perlu wudu, hmm, bukannya biasanya abang hafal jadwalnya Rum, biasanya juga nanya melulu ndak sabaran," jawabku sengaja menggoda Bang Rio di depan mereka. Biar mereka tahu, apapun yang terjadi aku amat sangat mencintai suamiku, dan apapun yang terjadi suamiku tidak akan termakan omongan mereka.
"Lapar, Dik? Kalau gitu ayuk makan!" ajak Bang Rio menarik tanganku menuju meja makan. Wajah itu masih sama dengan sembilan tahun lalu, merona kala rayuan maut istri menggoda.
"Abang makan aja duluan, Rum ngerapikan pakaian anak-anak dulu, tadi kaget aja dengar suara ribut, untung Alya gak bangun, kasian 'kan dia masih mau beradaptasi malah gak betah nanti. Meskipun jatuh miskin Rum masih punya saudara kaya raya jika abang ngasih izin kita numpang di rumah saudara Rum saja," ulasku melirik tajam ke arah Tante Sari.
"Mama gak tau lagi, Rio. Kalau uangnya gak ada dalam seminggu ini, kebun bakal disita sama pihak bank. Kemarin mama bilang lunas itu karena papa kamu niat ngelunasin, nyata ... hmm sudahlah, mama capek, kalau kamu masih mau melihat mama hidup, turuti yang mama bilang." Tante Sari berlalu menarik tangan Dini yang berdiri menantang ikut serta.
Aku tidak merespon omongan Tante Sari, biarkan saja urusan mereka dengan suamiku.
"Sini makan sama-sama." Bang Rio membuka tudung saji. Tante Sari benar, hanya ada gulai daun singkong yang ditumbuk campur ikan teri, gulai yang sepertinya dipanasin tadi malam. Bagiku ini enak kok. Bang Rio bukan tipe lelaki pemilih dalam hal makanan.
"Rum beli kerupuk dulu ya, Bang," ucapku sambil masuk ke dalam kamar. Memperbaiki selimut Alya dan Rivo, Membuka koper pakaian yang rencananya hendak kususun, nanti saja susun menyusunnya, kuurungkan sejenak aktivitas merapikan kamat. Sepertinya suamiku lapar, daerah pegunungan, wajar saja. Udara dingin membuat perut cepat keroncongan.
Lebih baik membeli kerupuk untuk teman makan Bang Rio. Cacing di perutku juga sudah berdisko ria, tadi malam tidak sempat makan, hanya Alya dan Rivo yang makan, aku membawa nugget dari rumah. Masak nugget lumayan juga, ah tidak. Ini buat lauk Alya dan Rivo. Aku mengurung niat menggoreng nugget.
Dingin menusuk tulang, kurapatkan jaket. Subuh seperti ini di kampung warung-warung sudah pada buka, bahkan ada yang buka sebelum subuh tiba.
Mili datang ke kamar belakang, ia memang biasa mencolok androidnya di kamar yang biasa kami tempati, terhuyung antara masih ingin tidur tapi bangkit malas-malasan. Biasanya dia paling semangat menyambut kami. Menyapa pun tidak Mili lakukan kali ini. Entah apa yang merasukinya.
Hanya sibuk mengutak ngatik ponsel padahal matanya merem melek, sesekali ponsel di tangannya hampir terjatuh, sedangkan dia antara sadar dengan tidak sadar, aku geleng-geleng kepala.
Ponsel yang ia pegang itu android yang aku belikan setahun lalu untuk memudahkannya mengakses pelajaran. Melihat aku yang ada di kamar, Mili hendak beranjak keluar lagi. Sama sekali tidak menyapa.
"Gak papa baring di situ aja, Mil. Kakak mau ke kedai. Titip Alya bentar, ya!"
Aku menahan punggungnya yang hendak beranjak.
"Hmmm," jawab Mili tanpa mengeluarkan kalimat lain, kemudian tetap beranjak keluar kamar. Aku mendesah, mengusap pelan dadaku sendiri.
Ya Allah, aku bukan manusia baik, kata ibu, aku sedikit lebih barbar di antara saudara lain. Semoga saja aku tidak mengeluarkan jurus bar-barku di sini.
Mengapa mereka semua berubah seratus delapan puluh derajat? Aku gegas keluar rumah, dengan berbagai pikiran berlompatan.
Sebenarnya apa yang sedang terjadi?
Mili yang dulu begitu dekat kini menjauh, Jini yang suka sekali dengan tawa Alya kini seolah sengaja menjaga jarak dengan putriku. Sedangkan Dini, yang selama ini kuanggap paling dewasa, lebih parah lidahnya, tajam seakan adab santun tak lagi ada.
Ada apa dengan keluarga ini?
Aku yang tidak tau diri karena menumpang? atau mereka yang berpura-pura lupa dengan apa yang kami berikan selama sembilan tahun.
"Dik! abang bisa liat Alya dari dapur, kamu ke warung saja." Lagi-lagi suamiku itu mengalah di antara dua hati,
Entah terbuat dari apa hatimu, Bang? begitu baik pada saudaramu, padahal sudah jelas terlihat mereka tidak menyukai kedatangan kita.
Apa kami kembali saja ke kota?
Bagaimana caranya aku menyampaikan ini pada Bang Rio? kami harus kembali ke kota, ide yang baik. Aku bisa minjam duit pada sahabatku untuk modal jualan apa saja daripada hidup menumpang seperti kain lap. Disepelekan. Dihina. Bahkan dibanding-bandingkan dengan wanita lain.
Sangat menyakitkan. Aku tidak akan membiarkan keluarga kecil kamu terhina.
Lihat saja kalian! akan aku kenalkan diriku sebagai Rena Arumi pada kalian wahai keluarga suamiku!
Kalian jual, aku beli. Tunggu saja! Rena Arumi bukan wanita sembarangan seperti yang kalian kira.
Kata-kata Dini melekat sepanjang jalan menuju warung.
"MISKIN!"
Kita lihat nanti, Dini. Siapa yang kamu maksud miskin.
k
Padahal, aku masih sangat ingat, bagaimana suara Mili yang manja bicara padaku pasca Alya lahir. "Kak, nanti kalo kakak lahirin anak cewek, gak usah cari babysister ya, aku aja, aku suka ngasuh anak cewek, gak bawel, mudah diurus, apalagi ponakan, sekalian belajar jadi ibu," ucapnya manja kala itu. "Lo, kamu kan harus sekolah, Mil?" "Kan udah tamat esde, Kak," "Iya, masa gak masuk SMP?" "Pending dulu setahun, Mili mau cari kerja, tapi mana ada ya, yang sudi mempekerjakan lulusan esde, selain rumah makan pinggir jalan sama jadi pembantu, mama kayaknya gak punya duit kalau Mili masuk SMP Bunda Jaya." "Kenapa harus SMP Bunda Jaya, Mil. Swasta mahal, Negeri banyak juga yang berkualitas," nasehatku kala itu. "Gengsi donk, Kak. Teman-temanku lima puluh persen masuk ke Bunda Jaya. Dua puluh persen ke sekolah negeri populer, rating tertinggi di kecamatan, eh masa aku mau masuk sekolah gorong gorong sih, mending nganggur, tapi jangan nganggur di kampung donk. Kalo aku nganggur di kampung
Magrib tiba, azan baru saja mengalun dari speaker toa, lokasi mesjid hanya berkisar sepuluh rumah dari rumah ini. "Ke mesjid, Bang?" tanyaku pada suami tercinta. Walau sudah tahu jawabannya, pasti iya, tetap saja aku bertanya, komunikasi suami istri itu penambah lekat telepati. Baju koko dan sarung yang menempel menunjukkan tanda, pencuri rusukku tak perlu menjawab tanya. "Iya, Dik. Alya tadi udah abang kasih makan, Rivo kayaknya belum, mandi juga belum dia, main melulu," ucap Bang Rio kode agar aku memperhatikan Rivo. "Kaget liat sungai dia, Bang. Kegirangan. Tuh, sekarang lagi mandi, padahal dah Rumi kasih tau, mandi magrib itu tidak baik. Rivo kan gitu, baru ketemu teman, suka lupa waktu. Entar siap sholat, Rumi ingatin, gih abang ke mesjid! takutnya telat." Aku mendorong tubuhnya keluar kamar. Malah suamiku itu masuk lagi dua langkah dari pintu. "Kamu yang sabar, ya. Maklumin, namanya di kampung mungkin mama ... " Kalimat itu terjeda. Aku menggeleng dengan senyuman masih menem
"Sebentar Rivo!" teriakku menghentikan Rivo yang sudah hampir mencapai pintu depan untuk keluar. "Sejak kapan Rehan di kampung? setau mama mereka tinggal di Jawa!" tanyaku entah mengapa merasa sesuatu yang lain. Banyak anak-anak di kampung mengapa Rivo langsung akrab dengan Rehan yang rumahnya di ujung kampung. Kapan pula mereka bertemu? "Gak tau, Ma. Ini Rehan, mama nanya, Han. Sejak kapan kamu tinggal di kampung?" tunjuknya ke depan halaman, berdiri seorang laki-laki lebih muda dari Rivo. Copasan wajah Kinanti. Tapi ....Aku menelisik wajah anak itu. Ada mirip-mirip seseorang. Siapa ya? merasa familiar dengan wajah polos di teras rumah, aku memasang senyum mengembang. "Kenapa? kamu kok gak senang gitu Rivo akrab sama anak Kinanti? curiga? atau baper? cemburu!" Tiba-tiba wajah Tante Sari muncul di belakangku, mencibir. Duh, apa tidak ada makhluk lain yang bisa menggantikan posisi manusia di belakangku ini. Berada lagi main sama tukang bully yang gak punya teman aku tu, mendadak m
Tentang Bang Rio. Lelaki yang kuyakin seorang imam yang sempurna. Tapi tidak ada manusia yang sempurna. Aku berharap Allah menyempurnakan semua yang ada pada dirinya untuk diriku. Dulu, aku hanya iseng menjawab pertanyaan Bang Rio. Ia kerap main ke rumah, bahkan ke kampusku, suamiku itu rajin olahraga futsal dekat kampus. Lelakiku itu kuliah beda kampus denganku. Ia membuka bengkel dan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi swasta dengan biaya sendiri. Aku yang sudah mengenalnya lama, sejak remaja bahkan sejak lama pula punya rasa padanya, sedari mencuri pandang saat ia memikul gabah di area persawahan. Sebab satu kampung, aku kagum pada wajah tampannya yang cool pake banget. Tidak ramah pada wanita. Jarang senyum kecuali padaku. Eh. Kerap datang malam Minggu membawa makanan, kadang mengantarkan aku kuliah, mengajar les dan lainnya. Iseng aku yang mengetahui bahwa Bang Rio ikut salah satu pengajian berniat mengerjainya. "Eh, Bang. Tiap hari bawa-bawa aku. Tiap malam Min
"Ma, Rivo ke mesjid dulu, ya. Ntar abis isya maen ke rumah Rehan lagi," pamit Lajangku membuyarkan lamunan. "Ri ... !" Teriakku. Kehilangan kata, putra satu-satunya telah menghilang di balik pintu. Semoga ini bukan ujian awal untukku. Gulai dan sekarang? Kinanti! "Kenapa,? Kok kamu teriak-teriak manggil si Rivo." Sudah seperti hantu, ibu mertua tiba-tiba nongol di depan pintu. Astaghfirullah. "Gak da, Tante. Si Rivo maen melulu, Rumi pengen dia istirahat. Baru juga sampai, malah keluyuran," jelasku sedikit malas. Air muka Tante Sari kelihatan tidak nyaman, ia menarik bibirnya ke kanan sedikit. Apa yang tengah ia pikirkan? "Heleh, kan dah dibilang si Rivo, ke rumahnya Rehan," timpalnya lagi. "Iya, tapi segan Rumi, Tante. Rivo makan di sana, malam ini kalo maen ke sana lagi, ntar makan lagi, Rumi cuma takut aja, Bang Rio lagi nganggur, jangan sampai anak-anak Rumi nyusahin orang lain," jelasku lagi. "Hadeehh, kamu ini ya Masih syukur ada yang kasih makan!
Sebenarnya perutku terasa lapar. Gulai tadi siang sudah habis. Biarlah menahan lapar, menunggu Bang Rio pulang dari mesjid, daripada aku makan dan nanti ada masalah. "Assalamualaikum," suara Bang Rio bersamaan si sulungku Rivo mengucap salam langsung menerobos kamar. "Katanya mau main dulu sama Rehan, kok gak jadi?" Tanyaku pada Rivo sengaja dengan suara sedikit keras, agar Tante Sari mendengar, tidak terjadi salah paham lagi. Jangan sampai ia berpikir aku melarang Rivo untuk ke rumah Kinanti. "Gak jadi, kata papah mau ngajak Rivo mancing di kali kecil yang dekat sawah," "Iya, Dik. Biar Rivo gak bosan, abang bawa ke kali dekat sawah kiri itu, masih ingat gak?" Tanyanya tersenyum mengenang. Eh dia bernostalgia. Sawah kiri. Iya, ingat donk. Tiap lebaran tiba, aku sengaja main atau ikut nenek memetik kopi di sawah kiri. Pinggiran sebelum sawah ada tanaman kopi warisan nenek. Sebelah kanan dari sawah kiri itu berbatasan langsung dengan sawahnya Bang Rio. Sengaja banget
Palingan si Kinan sudah cerita duluan. Memotong beberapa bagian cerita, menambahkan sebagian, dan entah apa lagi. Jadilah sebuah ghibah yang menarik. Padahal bertemu dengannya di warung tidak sampai lima menit. "Eh, Rum. Mertua nanya itu dijawab, malah diam?" Aku mau jawab apa? Ntar malah salah lagi. Tapi, bukan Tante Sari namanya kalau obrolannya berhenti sampai di situ. Aku sudah mengenalnya sejak keluar dari rahim ibuku, untung punya anak ganteng, sholeh dan penyayang, kalo tidak. Bakal adu jetos mertua versus menantu. "Tadi Kinanti cerita sama Tante, kamu ketemu dia di kedai beli telur, ekpresi kamu itu lo, kok kayak orang sewot jumpa dia, bukannya terimakasih sudah dikasih ayam goreng buat sambal kita satu rumah, eh kamu malah nyeritain kalo si Rio gak suka ayam goreng buatannya. Terus ngapain juga, diceritain kalo si Rio itu tidak suka penyedap rasa. Gak baik seperti itu, harusnya kamu ngucapin terimakasih, sudah gak perlu sampai harus bilang ayam gorengnya gak enak, jadi,
"Gilang sudah abang kenal lama lo, dia itu kan teman abang waktu masih kerja di perusahaan yang lama, pas kita baru-baru nikah," "Oh, Rumi gak tau," jawabku. "Iyalah, kan kamu tau nya cuma sama abang," Kerling nakalnya, membuatku tersenyum. "Kasian deh, Abang. Si tamu masih enam hari lagi baru mudik," ucapku membuatnya tertawa. Mengelus pucuk kepala ini dengan lembut sekali. Coba aja Kinanti ngintip. Huwaaa. "Berarti Gilang pernah kerja di kota kita donk, Yang. Kok abang gak pernah cerita ke Rum?" tanyaku menyimpan heran. "Ih, ngapain juga abang ceritain dia ke kamu, Dik. yang ada aneh, Sayang! Lagian kamu kenal abang, 'kan? Abang kurang suka bergaul akrab seperti orang-orang, punya sahabat saling bestian, abang lucu aja gitu.""Nah, itu yang mau Rum tanyain sama abang, sayang! gak suka bergaul akrab tapi kok bisa niat mancing bareng.""Sebenarnya itu niatnya si Rivo, Dik. Kamu tau sendiri si Rivo hobi banget mancing. Abang dengar dia ngajak Rehan anaknya Gilang buat mancing.
"Ma, Rivo ke mesjid dulu, ya. Ntar abis isya maen ke rumah Rehan lagi," pamit Lajangku membuyarkan lamunan. "Ri ... !" Teriakku. Kehilangan kata, putra satu-satunya telah menghilang di balik pintu. Semoga ini bukan ujian awal untukku. Gulai dan sekarang? Kinanti! "Kenapa,? Kok kamu teriak-teriak manggil si Rivo." Sudah seperti hantu, ibu mertua tiba-tiba nongol di depan pintu. Astaghfirullah. "Gak da, Tante. Si Rivo maen melulu, Rumi pengen dia istirahat. Baru juga sampai, malah keluyuran," jelasku sedikit malas. Air muka Tante Sari kelihatan tidak nyaman, ia menarik bibirnya ke kanan sedikit. Apa yang tengah ia pikirkan? "Heleh, kan dah dibilang si Rivo, ke rumahnya Rehan," timpalnya lagi. "Iya, tapi segan Rumi, Tante. Rivo makan di sana, malam ini kalo maen ke sana lagi, ntar makan lagi, Rumi cuma takut aja, Bang Rio lagi nganggur, jangan sampai anak-anak Rumi nyusahin orang lain," jelasku lagi. "Hadeehh, kamu ini ya Masih syukur ada yang kasih makan! Pake acara se
Setelah mereka pergi, suasana nampak semakin sepi. Bang Rio mengajak kami untuk masuk kembali kedalam rumah. Aku menuturi Bang Rio dari belakang. Hingga sampai di ruang tengah rumah itu, kami duduk bersama. Semua terasa hening. Bang Rio melipat tangannya di atas dada sambil terus diam. Sama seperti yang Aku lakukan. Mili pun tak bisa berbuat lebih selain melihat tingkah mereka yang jadi pendiam. "Kenapa jadi pada diam seperti ini? Bukanya seharusnya kita senang karena mkita menang?" Tanya Mili melirik liar ke dua belah arah. Aku menarik nafas dalam sekali lalu membuangnya hingga dadaku terasa lega. "Aku hanya kasihan melihat Kinanti dan Om Budiman di seret polisi seperti itu," ucapku lirih. Aku memang kesal dan dongkol dengan sikap dan kelakuan dari keduanya. Hingga taut wajah muram tak bisa aku sembunyikan. Tapi, rasa kemanusiaanku tiba-tiba saja muncul. Aku tak bisa bayangkan bagaimana mereka akan menderita di balik jeruji besi. Bang Rio duduk mendekat ke arahku. Dia adalah pria
4.Akhirnya aku berada di posisi ini. Dimana diriku sangat sebal melihat orang yang selalu bertingkah munafik. Merasa diri paling benar, tersenyum baik di hadapan kita namun di belakang aslinya sangat busuk.Aku mengeratkan genggaman tanganku hanya untuk menahan sebuah amarah. Benci dan muak menatap wajah wanita itu, sampai-sampai aku ingin sekali melemparkan sebuah pukulan di pelupuk matanya. Untung saja, aku tipe orang yang tak suka kekerasan.Menyelesaikan masalah ini dengan otak dingin lebih baik dibandingkan harus adanya pertumpahan darah. Bisa diingat oleh semuanya jika masalah besar kita bersangkutan dengan uang, maka jati diri seseorang bisa terlihat jelas. Hal yang sama nampak dari wajah Bang Romi. Matanya memerah setiap kali berhadapan dengan sosok Kinanti. Seperti sudah dijodohkan oleh tuhan, Kinanti bersikap acuh tak acuh percis dengan Budiman yang belum datang. "Jangan berbelit-belit lagi. Sebaiknya, kamu jujur saja. Semua ini a
Aku dan Bang Rio, sedang duduk di ruang tamu rumah. Kami merasa putus asa dalam upaya kami untuk membuktikan bahwa Om Om Budiman dan Kinanti telah melakukan tindakan yang hendak mencelakakan Bang Rio.Tiba-tiba, pintu rumah terbuka dan Milli, adik iparku, tiba-tiba masuk dengan wajah yang pucat dan serius."Aku punya sesuatu untuk kalian berdua," katanya sambil menyerahkan sejumlah bukti kasus itu kepada kami.Bang Rio dan aku saling pandang, takjub dengan apa yang Milli berikan kepada kami.“Kamu dapatkan semua ini dari mana, Milli?” tanya Bang Rio. Milli menggelengkan kepalanya perlahan, “Abang dan Mbak Rum ga perlu tau, yang jelas semua bukti ini bisa membawa mereka ke terali besi,” katanya. Aku menghela napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Akhirnya aku bisa menemukan keadilan untuk suamiku. “Di dalam sini juga ada bukti-bukti jika Om Budiman memang sudah menyabotase harta yang seharus
Bang Rio duduk di depan pengacara dengan sorot mata yang tajam. Ia merasa gerah dan marah karena sudah terlalu lama ia berdiam tentang masalah keluarganya."Pak, saya butuh bantuan Anda. Saya yakin ada masalah dalam keluarga Budiman," ujarnya sambil mengeluarkan sebuah folder dari tasnya.Pengacara itu memperhatikan Bang Rio dan menerima folder yang dia tawarkan. Dia membuat catatan dan menanyakan sedikit lebih banyak tentang situasi keluarga Budiman."Saya memiliki banyak bukti yang menunjukkan bahwa selama bertahun-tahun, mereka telah mengambil aset dan harta keluarga saya, termasuk rumah warisan ibu saya. Semua itu dilakukan tanpa sepengetahuan saya dan bahkan tanpa itikad baik," lanjut Bang Rio sambil menatap tajam pengacara tersebut.Pengacara tersebut merasa kagum akan keseriusan Bang Rio dalam menyelesaikan permasalahan ini. Ia lalu bertanya tentang bukti yang dimiliki Bang Rio.Bang Rio kemudian
Sore itu, entah mengapa Mili mengumpulkan semua orang di kampung halaman Bang Rio, termasuk aku dan Bang Rio menyusul Mili ke rumah yang ada di kampung. Ia berkata ada sesuatu yang penting untuk kami ketahui. Ternyata, Milli merasa sakit hati dan marah ketika dia mengetahui betapa banyak kesalahan ibunya telah dilakukan terhadap Bang Rio. Dia tidak bisa membiarkan hal itu terus terjadi dan harus mengambil tindakan segera. Saat semua sudah berkumpul, Milli memutuskan untuk membuka kedok ibunya di hadapan semua orang . Dia tahu itu akan menjadi momen yang sulit bagi keluarga mereka, tetapi dia merasa bahwa kebenaran harus diketahui. Ketika Tante Sari datang ke acara itu, dia melihat putrinya berdiri dengan tegas dan tak gentar. Milli pun mulai berbicara dengan suara yang lantang, “Saya ingin berbicara tentang ibu saya, Sari. Dia telah melakukan sejumlah besar kesalahan terhadap Rio, kakak saya. Dia telah membohongi kita semua, termasuk saya.Ibu sudah bekerja sama dengan Kinanti untuk
Saat kami tiba di rumah, terlihat sebuah mobil baru saja berhenti di depan rumah kami. Dan seseorang turun dari mobil itu berjalan masuk ke halaman rumah. Kemudian mobil itu pun segera berlalu. Sepertinya mobil itu hanya taksi online. Aku dan Bang Rio saling berpandangan. “Sepertinya ada tamu, Bang. Apa kamu memberitahukan alamat kita kepada orang lain Rum? Maksud Abang kepada saudara kita?” Aku menggelengkan kepala, “Hmm, tidak ada orang yang tahu alamat rumah ini. Entah kalau misalkan orang itu memang sengaja mencari alamat rumah kita dan ingin bertemu dengan kita. Ya sudahlah, Bang ... Kita temui saja. Kita kan nggak tahu siapa tamunya,” kataku Kami pun bergegas memasuki halaman dan membuka pintu rumah. Saat pintu dibuka seseorang yang sudah familiar tampak sedang duduk bersama ibuku di ruang tamu dan saat melihat kami orang itu langsung berdiri dan tersenyum. “Bang Rio, Kak Rumi.” “Mili, kok kamu di sini?” tanyaku. Ya, yang datang adalah Mili adiknya Bang Rio. Selama ini seta
“Aku merasa sangat kecolongan. Ternyata selama ini ada banyak sekali hak yang harus aku perjuangkan. Hak yang seharusnya aku nikmati bersama anak dan istriku, dinikmati oleh orang lain yang tidak berhak sebetulnya,” kata Bang Rio ketika kami dalam perjalanan pulang ke rumah. Aku hanya menganggukan kepalaku.“Ya, selama ini kamu terlalu sabar dan selalu saja menjadi orang baik, Bang. Baik itu boleh tetapi jika orangnya seperti kamu itu bukan baik lagi... tetapi terlalu baik. Bahkan kamu membiarkan orang-orang yang benci kamu mendzalimi kamu begitu saja. Termasuk juga Tante Sari. Kamu ingat betapa kamu kemarin begitu ngotot untuk mengeluarkan dia dari penjara, padahal aku sudah mengatakan jika aku memiliki alasan kenapa aku menuntutnya. Kamu baru diam setelah aku berikan bukti-bukti nyata kan, Bang,” ujarku kepada Bang Rio.“Maafkan Abang Rumi, selama ini Abang dibutakan. Abang tahu jika Abang bersalah dan abang minta maaf,” kata Bang Rio kepadaku. Aku menghela napas panjang dan mengang
Aku sangat terkejut ketika mendengar dari anak buahku jika ada yang mencariku dan Bang Rio. Maka kami pun segera mencuci tangan kemudian bergegas menuju ke depan. Kami tidak mau jika tamu yang dikenal itu menunggu terlalu lama. Saat kami ke depan ternyata ada seorang lelaki separuh baya sedang menunggu, wajahnya tampak tak asing, dan saat menoleh ke arah aku dan Bang Rio datang, Ia pun tersenyum dengan ramah. Dimana aku melihat lelaki ini? Memoriku tak sedikitpun menangkap. “Selamat siang Pak, Anda mencari siapa?” tanyaku dengan sopan. Aku berpikir jika kemungkinan dia adalah pelanggan baru di bengkel kami, maka kami pun harus bersikap ramah kepada pelanggan? Meski ini sedikit aneh,karena jarang sekali langganan kami meminta untuk bertemu langsung dengan pemiliknya. “Maaf, tadi saya mendengar ibu dan bapak mencari Pak Rustandi. Apakah betul demikian?” tanya lelaki itu. Aku dan Bang Rio mengerutkan dahi, kami saling berpandangan tetapi kemudian aku mengganggukan kepala dengan cepa