Kami sudah memasuki area perumahan elit yang berjajar rapi bangunan-bangunan tinggi dan megah. Hal yang membuatku tidak mungkin bermimpi dan berangan-angan untuk memilikinya saat ini dan aku hanya bisa mengucapkan shalawat Siapa tahu suatu saat nanti bisa memiliki salah satu di antara jejeran rumah-rumah mewah.Aku melihat mobil berhenti di sebuah rumah berlantai 2 dan bercat kuning gading. Suamiku tampak turun terburu-buru. Aku jadi penasaran Sebenarnya apa yang suamiku lakukan di dalam sana."Rumah siapa itu?" tanyaku lirih."Pak Sendy, pengusaha yang amat disegani di perumahan ini."Jawaban dari Bang Ashraf membuatku menengok pada lelaki yang sepertinya tahu sesuatu tentang rumah itu."Abang kenal?" "Dia salah satu teman dari ayahku, sekarang sedang sakit. Aku akan masuk ke dalam demi kamu," ucap Bang Ashraf membuatku bingung."Kayaknya nggak usah deh, bang. Terlalu monoton jika kita menampakkan diri langsung di depan mereka. Memang ada yang gak beres ini, tapi kita nggak usah bla
"Barang-barangku yang terserah aku lah. Kamu lapar 'kan? Nih! Mbak bawakan nasi padang buat kamu."Aku sudah menyiapkan nasi Padang karena aku memang tadinya mau memakannya setelah sampai rumah baruku. Namun, Melihat adik iparku yang kelaparan sepulang sekolah tentu aku tidak tega. "Nggak mau! Mbak mau ke mana bawa barang semua ini?""Pindah, di sini nggak betah!" jawabku.Jani terlihat bingung."Udah, nggak usah nangis. Kamu masih punya kakak dan juga Ibu, kamu bisa minta makan sama mereka dan uang saku sama mereka. Bilang sama mereka kalau misalnya ditanya tentang Mbak, Mbak pamit dulu. Kalau misal Mas Ahmad cariin Mbak, bilang aja suruh jelaskan sama Ibuku," ucapku.Aku ingin lihat, seberapa kuat lelaki itu bertemu dengan keluargaku di kampung halaman. Meskipun aku tidak berada di sana tetapi aku ingin Mas Ahmad yang lebih dulu memberitahu tentang masalah ini. Jika aku yang mengatakannya pasti akan menjadi masalah yang besar di awal ini seperti yang Bang Ashraf ucapkan."Mbak m
Aku memasak menu makan malam di rumah baru Bang Ashraf yang cukup nyaman ini. Aku menyajikannya di karpet yang sudah digelar dan Bang Ashraf pun terlihat sudah menunggu."Masak ini dulu deh, belum bisa masak yang berat-berat karena sudah keduluan beban hidup yang berat daripada masakannya," ucapku membuat Bang Ashraf terkekeh."Abang yakin semua yang kamu masak selalu enak. Markidang, mari kita Madang," jawab Bang Asraf.Ada ada saja. Markidang, mari kita Madang dan menikmati menu makan malam berdua dengan mantan. Dosa belakangan, soalnya kalau sedang seperti ini rasanya sulit untuk menerima kebaikan orang lain. Jika nanti Bang Ashraf punya niatan buruk maka aku bisa kembali ke rumah orang tua tetapi masalahku jelas sudah tidak begitu memuncak seperti ini. Bang Asraf hanya aku jadikan tempat singgah sementara untuk menenangkan diri. Terdengar sangat jahat memang tetapi aku memang butuh bantuan seseorang untuk membantuku menyelesaikan masalah ini. Selain meminta bantuan kepada sang pen
Setelah Bang Asraf pulang aku menyiapkan berkas lamaran pekerjaan. Ijazah SMA yang pernah aku dapatkan menjadi suatu hal yang mengingatkan kepada kenangan-kenangan bersama dengan Bang Ashraf saat itu. Bang Ashraf adalah kakak yang sering menjemput adik kesayangannya itu di kelas 10. Saat itu bang Asraf sudah menjadi anak kuliahan dan aku menjadi anak ABG remaja yang lagi nakal-nakalnya. Sempat aneh juga karena ternyata kami bertemu di kota yang sama Padahal tentu saja rumah kami sangat jauh bahkan berbeda desa. Hidup memang selucu itu. Lamaran sudah siap, berkas yang dibutuhkan sudah siap dibawa dan besok aku hanya tinggal menunggu tindakan Bang Ashraf untuk membawa lamaran ini agar aku bisa mendapatkan pekerjaan. Aku juga penasaran dengan apa yang akan bangsa setelah melakukan untuk membuatku tidak dikenali keluarga suamiku. Berharap bukan operasi plastik karena itu dilarang oleh agama. Berharap juga bukan pura-pura menjadi laki-laki karena itu juga menentang kodrat. Ting!"Tidur
Hari pertamaku ke rumah sakit ditemani Bang Ashraf tentu untuk memberikan surat lamaran dan menemui kepala rumah sakit. Kesan pertama saat meninggalkan pertemuan di rumah sakit ini adalah grogi dan juga gugup karena ternyata pemilik rumah sakit ini adalah keluarga dari Bang Ashraf sendiri. Awalnya sangat grogi dan akhirnya sedikit melemah saat Omnya Bang Asraf justru mengajakku bercanda. Padahal jika kedua orang tua Bang Ashraf yang aku temui tentu mereka pasti akan menolak. Mereka pasti akan menolak jika tahu aku dekat kembali dengan Bang Ashraf.“Biasanya bukan saya yang mengurus tentang penerimaan dokter atau perawat di rumah sakit ini. Cuma keponakan saya ini meminta saya untuk melihat kamu sendiri,” kekeh Om Yudistira.“Maaf, Pak,” jawabku.“Maaf?”“Ya, maaf kalau nanti saya merepotkan semua pihak selama nanti bekerja di sini.”Selain kata maaf memangnya aku bisa mengucapkan apa? Bahkan lidah ini terasa kering untuk mengatakan apapun kecuali yang ditanyakan, itu pun sampai panas
“Jangan suka membicarakan aib orang lain bersama-sama karena itu dosanya bisa berjamaah. Suster Tania, kamu siapkan ruang perawatan untuk pasien yang tadi karena kita akan memindahkannya ke ruangan yang lebih nyaman. Suster Nindira, kamu bereskan ruang periksa di sini,” ucap Bang Ashraf.“Siap, Dok,” jawabku menghormat.“Saya bukan anggota sipil jadi kamu tidak perlu hormat seperti itu. Kerjakan!”Aku mendengar Tania yang terkekeh dan keluar dari ruangan sedangkan aku merenges kembali. Untuk saat ini kita berada di ruangan Bang Ashraf berdua. “Abang kok jadi galak kalau lagi kerja?” tanyaku sambil melipat selimut yang sudah digunakan untuk periksa pasien tadi.“Emangnya aku galak?” kekeh Bang Ashraf.“Iya lah. Suster Tania sampai ketakutan loh saat ditanyai kayak tadi. Kalau Nina sih nggak masalah dan sudah terbiasa lihat wajah bang Ashraf yang kayak papan cucian pas marah,” kekehku.“Emangnya aku biasanya marah sama kamu?” tanya Bang Ashraf.“Enggak sih, tapi pernah lihat wajah Bang
Tanganku bergetar mendengar semua ungkapan Mas Ahmad yang terdengar manis di depan Minah. Padahal selama ini Suamiku terlihat yang paling setia dan yang paling tidak mungkin tergoda dengan wanita lain. Aku membantu dan menjaga Mas Ahmad selama sakit, aku mengurusnya dan menerimanya meski keadaan Kami sulit dan tidak punya apa-apa saat itu. Namun sekarang? Perlakuan-perlakuan manisnya itu membuatku merasa penasaran, Kenapa bisa suamiku berubah seperti ini. Apa yang sedang terjadi?Semua catatan medis yang dibutuhkan oleh Bang Ashraf sudah aku catat dan kami keluar setelah memberikan informasi bahwa Minah akan melakukan proses sesar dan juga penanganan untuk kanker yang menyebar di tubuhnya. Membayangkannya mungkin sangat menyakitkan dan kasihan tetapi jika mengingat kelakuannya yang menginginkan suamiku tentu rasanya aku ingin memakinya saja. Soalnya, masih sakit saja bikin toxic hidup orang apalagi kalau dia sehat nanti."Kenapa murung?" Tanya bang Ashraf membuyarkan lamunanku saat k
Aku mengetuk pintu dan sama sekali tidak ada jawaban dari dalam setelah beberapa kali aku melakukannya. Aku mencoba untuk mengucapkan salam meskipun tetap tidak ada jawaban dari dalam. Aku masih ingat tentang kunci rumah di sini Yang biasanya ditinggal di bawah keset. Aku mencarinya dan menemukan kunci itu ada di sana.Dapat. Aku segera membukanya dan melihat rumah yang sangat berantakan dan gelap. Padahal waktu sudah sore tetapi Jani belum pulang sekolah. Atau mungkin dia mampir ke rumah teman dan malas untuk pulang karena tidak ada orang di rumah. Kasihan sebenarnya tetapi mau bagaimana lagi karena keluarganya saja tidak peduli.Aku menyalakan lampu lalu meletakkan tas yang aku bawa di atas kursi. Setelah itu aku mencari sapu dan membersihkan satu persatu ruangan di rumah ini. Suara sepeda motor terdengar berhenti di depan halaman saat aku sedang mencuci piring-piring kotor yang sudah menumpuk. Suara salam terdengar dan itu suara mas Ahmad yang ternyata sudah pulang.Hatiku berdeba