Tanganku bergetar mendengar semua ungkapan Mas Ahmad yang terdengar manis di depan Minah. Padahal selama ini Suamiku terlihat yang paling setia dan yang paling tidak mungkin tergoda dengan wanita lain. Aku membantu dan menjaga Mas Ahmad selama sakit, aku mengurusnya dan menerimanya meski keadaan Kami sulit dan tidak punya apa-apa saat itu. Namun sekarang? Perlakuan-perlakuan manisnya itu membuatku merasa penasaran, Kenapa bisa suamiku berubah seperti ini. Apa yang sedang terjadi?Semua catatan medis yang dibutuhkan oleh Bang Ashraf sudah aku catat dan kami keluar setelah memberikan informasi bahwa Minah akan melakukan proses sesar dan juga penanganan untuk kanker yang menyebar di tubuhnya. Membayangkannya mungkin sangat menyakitkan dan kasihan tetapi jika mengingat kelakuannya yang menginginkan suamiku tentu rasanya aku ingin memakinya saja. Soalnya, masih sakit saja bikin toxic hidup orang apalagi kalau dia sehat nanti."Kenapa murung?" Tanya bang Ashraf membuyarkan lamunanku saat k
Aku mengetuk pintu dan sama sekali tidak ada jawaban dari dalam setelah beberapa kali aku melakukannya. Aku mencoba untuk mengucapkan salam meskipun tetap tidak ada jawaban dari dalam. Aku masih ingat tentang kunci rumah di sini Yang biasanya ditinggal di bawah keset. Aku mencarinya dan menemukan kunci itu ada di sana.Dapat. Aku segera membukanya dan melihat rumah yang sangat berantakan dan gelap. Padahal waktu sudah sore tetapi Jani belum pulang sekolah. Atau mungkin dia mampir ke rumah teman dan malas untuk pulang karena tidak ada orang di rumah. Kasihan sebenarnya tetapi mau bagaimana lagi karena keluarganya saja tidak peduli.Aku menyalakan lampu lalu meletakkan tas yang aku bawa di atas kursi. Setelah itu aku mencari sapu dan membersihkan satu persatu ruangan di rumah ini. Suara sepeda motor terdengar berhenti di depan halaman saat aku sedang mencuci piring-piring kotor yang sudah menumpuk. Suara salam terdengar dan itu suara mas Ahmad yang ternyata sudah pulang.Hatiku berdeba
"Pemilu sudah selesai dan nggak usah kebanyakan janji kalau nggak mau masuk rumah sakit jiwa kayak yang lain!" ketusku. Aku benar-benar tidak kuasa saat masa Ahmad menjelaskan dengan wajah yang berkaca-kaca Bahkan dia memeluk erat-erat seperti balon. Padahal aku saja sedang galon. Ah, dasar Delon. Jadi istri yang melankolis Tentu nggak bisa langsung bass dan memutuskan untuk pergi. Aku dipikir orang yang nggak mau nyerah dan nggak mau mudah terpancing atau terprovokasi dengan hal yang aku ketahui dari satu pihak. Posisiku sudah aman karena punya tempat lain untuk berteduh dan aku juga punya profesi yang bisa aku gunakan untuk mendapatkan pemasukan uang. Akan aku ganti betul-betul alasan Mas Ahmad menemani Minah selain dari apa yang tadi dia sebutkan."Mas Janji Minah, Mas hanya cinta sama kamu dan gak ada yang lain. Kalaupun Minah dekat dengan aku itu karena paksaan dari keluarganya dan ibu. Itu karena aku diminta untuk menemaninya sampai selesai operasi dan tindakan medis yang dilak
"Nggak enak, Mbak. Ini asin banget, Mbak gimana sih nyaranin Kasih garamnya?" tanya Jani kesal."Lah, tadi kamu masukin setengah sendok kecil kan?" Tanyaku."Iya, Mbak. Tapi ini asin banget loh. Ah, Jani nggak berbakat buat masak. Mbak makan aja tuh, Jani males!" gerutunya.Aku mencoba untuk mencicipi makanan buatan Jani dan itu benar-benar sangat asin luar biasa. Padahal tadi resep yang aku berikan sudah benar."Ini pasti kamu salah masukin gula malah dimasukin garamnya semua. Makanya nasi gorengnya berubah jadi air laut," kekehku.Kasihan melihat wajahnya yang kelelahan akhirnya aku putuskan untuk memberikan nasi padang yang tadi aku beli."Nih! Untuk hari ini aku anggap kamu gagal dalam menjalani tes calon menantu terbaik. Besok harus di asah lagi buat masak-masak di rumah. Kalau nggak ada orang di rumah kamu itu harus mikir buat masak dan mengenyangkan perut sendiri. Kalau kamu tidak bisa menyenangkan perut sendiri Bagaimana kamu bisa menyenangkan dan mengenyangkan perut orang l
“Mbak jangan berasa seperti orang yang nggak butuh uang karena Mbak Minah juga nggak minta yang muluk-muluk kok. Dia ikhlas Mas Ahmad tetap berada di sini dan menemani Mbak sampai tua, bahkan rela berbagi meskipun harus membayar kita untuk biaya hidup setiap hari. Apalagi yang harus diperhitungkan dan dipikirkan?""Ya ampun, bocil! Di dunia ini nggak ada yang gratis dan semuanya itu harus ada pengorbanan juga timbal baliknya!" Jawabku."Tapi, enak tahu bisa mendapatkan uang tanpa harus kerja susah-susah jualan Sempol. kan?"Kutatap wajah adik iparku ini, Kenapa bisa bocah sekecil itu mengatakan hal tidak bermoral seperti ini. Itu artinya mereka sudah berkonspirasi untuk menjual suamiku kepada wanita ulat bulu itu dan aku sangat tidak terima. Aku yakin Mas Ahmad berontak dengan hal ini dan aku yakin dia pasti menyembunyikan sesuatu yang aku sendiri tidak tahu. Sekarang, aku ingin tahu sejauh mana mereka melakukan rencana ini. Aku harus berpura-pura menerima dan melakukan kesepakatan de
"Tentu saja tidak, aku sudah mempunyai istri sepertimu Kenapa harus mencari wanita yang lebih sempurna dari mu? Minah hanyalah masa lalu dan kedatangannya saat ini hanya untuk membantu ibu dan Mbak minta sedangkan aku hanya disebut jadikan sebagai objek sasaran mereka untuk melunasi hutang.""Maksudnya?" tanyaku heran."Sebenarnya rumah ini dan juga tanah yang ada adalah milik dari keluarga Minah. Selama ini kita menumpang dan berhutang kepada mereka. Minah dan keluarga nya ingin ibu dan Mbak Mita keluar dari rumah ini jika tidak bisa mengembalikan uang yang pernah digunakan oleh Bapak saat masih hidup. Minah hamil tetapi tidak mempunyai suami sehingga dia memintaku untuk bertanggung jawab. Jadi, terjadilah kesepakatan itu dan akhirnya Mas harus menyetujui Kalau Mas harus ada di samping Minah sampai kapanpun jika dibutuhkan.""Jadi lelaki yang kemarin datang itu?""Ayah Minah, dia yang punya tanah ini dan dia pula yang melakukan perjanjian saat malam itu. Mungkin kamu tidak mendengark
"Maaf kan Mas, Dek. Mas akan antar kamu ke rumah abang dan akan meminta izin untuk menitipkan kamu ke rumah mereka dengan alasan merantau. Mas akan pastikan kebutuhan kamu selama di kampung halaman tercukupi. Mas janji itu," ucapnya."Gak perlu! Itu akan sangat menyakitkan hati abang-abang ku dan mungkin saja mereka akan bertanya banyak hal seperti ini jika tahu aku pulang diantar untuk hal semacam itu. Mas kan sudah janji, lalu buat apa menambah dosa dengan kebohongan-kebohongan lagi? Kebohongan kecil akan menjadi sebuah kebiasaan yang memicu kebohongan besar dan Nina nggak mau kalau Mas melakukan dosa yang lebih banyak. Mas tidak perlu khawatir untuk mencari Nina. Mungkin, Nina akan bekerja setelah ini. Nina akan bekerja untuk mencukupi kebutuhan Nina sendiri di luar sana. Anggap kita bukan siapa siapa, agar saat Mas sudah jauh mas bisa menyadari Apa arti sebuah pengorbanan."Aku bangkit, melepas mukena dan Mas Ahmad memelukku. Dia Justru malah menangis di pelukanku membuatku semaki
"Kok bisa?" tanya Bang Ashraf yang terlihat sangat kaget."Ya bisa dong, sepertinya memang ini sudah rencana Tuhan untuk membuatku lebih strong jadi wanita degan gelar istri yang belum mempunyai anak sama Mas Ahmad Setelah 5 tahun menikah."Aku menceritakan semua yang terjadi malam itu dan Bang Ashraf terlihat diam sambil mendengarkan semua ceritaku. Percakapan kami terhenti saat Tania masuk ke dalam ruangan untuk memberikan daftar pasien hari ini."Saya mengganggu ya Dok?" Tania tersenyum kepada kami berdua."Kamu kan sudah biasa mengganggu, jadi biasa saja," kekeh Bang Ashraf. "Pasien sudah banyak ya?""Lumayan. Ini daftarnya. Mau mulai pemeriksaan atau mau melanjutkan perbincangan dengan Suster Nina nih?" ledek Tania."Silakan mulai saja karena kami memang sedang menunggu kamu datang ke ruangan ini," jawab bang Ashraf yang sudah mulai serius untuk profesinya dan pekerjaannya hari ini.Aktivitas pagi ini kami mulai seperti yang kemarin sudah dikerjakan. Aku menemani Bang Ashraf mem
Aku baru tahu ternyata papa sengaja mengundang keluarga besar. Papa merencanakan untuk menghadiahkan kami tiket liburan bersama dengan keluarga besar. Kali ini liburan kami bukan kaleng kaleng. Selain ke tanah suci untuk umrah bersama, Papa juga memberikan liburan ke Dubai dan juga perjalanan wisata keluarga ke kota kota wisata di sekitarnya. Keluarga besar Papa diajak untuk ikut dan niatnya kami akan seminggu di luar negeri untuk menghabiskan waktu bersama-sama. Semua sengaja mengosongkan waktu bahkan yang membuatku bahagia adalah Papa dan keluarga mama papa yang patungan membiayai semua perjalanan bulan madu ini."Di mana-mana Kalau bulan madu itu ya hanya berdua. Kok bisa-bisanya satu keluarga diikutkan semua?" Tanya Cinta."Emang elo aja yang pengin have fun?" Tanya Fildan. "Memangnya nggak mau ngintip pengantin baru belah duren? Kalau gue sih, hayo aja!" kekeh Fildan."Huu …." Om Yudistira melempar kulit kacang pada Fildan yang jadi sponsor rencana papa liburan bersama."Berhu
Sejak Mama menampakkan penerimaannya terhadap keberadaanku, aku dan Mama sudah tak lagi seperti air dan minyak. Mama mulai perlahan mau mengajakku mengobrol. Dari hal yang sepele, sampai hal yang cukup pribadi seperti sekarang.“Papa mertua kamu itu, sibuknya minta ampun akhir akhir ini. Mama jadi kesepian dan sebal sama dia,” ucap Mama.“Sabar ya, Ma. Namanya juga aki aki, kalau nggak lambat kerjanya ya … lambat pekanya,” kekehku.“Iya juga ya?”“Huum, kan memang begitu. Mama harus sering doakan Papa, semoga sehat dan bisa selalu ada di sampung kita. Mama nggak mau kan papa kenapa napa?”“Kadang kalau sibuk begini suka kasihan, semua anak anaknya sibuk juga. Untung ada Ashraf yang juga bantu usaha papanya,” ucap Mama.“Bang Ashraf nguli juga?” tanyaku.“Kok nguli?”“Lah, kerja sama Papa namanya nguli lah. Kalau buka usaha sendiri, baru namanya bos,” jawabku.Mama tersenyum, meski hanya sekilas. “Itu juga setelah menikahi kamu, Ashraf mau bantuin Ppaa.”“Eh,, gitu?”“Iya, dari dulu an
"Mama kok bisa kepikiran nyusul ke sini?" tanyaku saat kami sudah kembali dari sawah."Pengin," jawab mama singkat.Aku tersenyum saja. Padahal saat di sawah tadi Mama begitu menikmati pemandangan bahkan bertepuk tangan Saat melihatku mencari banyak Tutut di tengah-tengah sawah yang sedang dipanen padinya. Mama bahkan menggendong Altaf yang saat aku tinggalkan untuk mencari tutut dan memanen genjer yang ada di sekitar tanaman-tanaman padi."Ma, aku harus balik ke rumah sakit. Fildan bilang, dokter yang piket malam mendadak minta libur karena istrinya meninggal.""Innalillahi, kasihan sekali. Iya, ayo! Kita pulang sekarang!" ajak Mama. "Altaf gendong, Ash," perintah mama sembari memberikan Altaf pada Bang Ashraf. Aku tersenyum, perilaku mama yang seperti ini aku anggap menggemaskan karena secara tidak sengaja memintaku untuk pulang dan ikut dengan Mama."Bang," panggilku."Altaf nggak bisa jauh dari ibunya jadi lebih baik kamu berkemas dan ikut Abang pulang. Lain kali kita main lagi
Abang abangku sudah kembali ke tempat mereka bekerja karena aja tahu libur mereka sudah habis. Kini tinggallah Aku di rumah ini bersama dengan anakku dan juga Ibu serta Abang Hadi dan istrinya.Pagi ini aku membantu ibu menyiapkan bekal menuju ke sawah. Bang Hadi sedang panen dan aku ingin melihat mereka memanen padi di sawah."Nina ikut ya, Bang," ucapku."Kamu di rumah saja sama Altaf. Di sawah itu panas dan nanti kulit kamu jadi gosong dan jelek. Bisa-bisa nanti suamimu ala pangling saat tahu kamu berubah jadi item dan dekil," balas Bang Hadi."Mana ada seharian di bawah sinar matahari langsung hitam? Lagian dari awal juga udah sama matang. Bosen banget di rumah kalau nggak ada temen ngobrol, Mbak Aminah juga ikut ke pasar sama Nisa. Nina ikut ya, Bang?" rengekku."Udah, Hadi. Biarkan saja adikmu itu. Barangkali dia pengen nyicipin air sawah," sahut Ibu.Ye, akhirnya aku diperbolehkan untuk ikut ke sawah setelah hampir satu minggu aku di rumah ibu. Aku mengajak Altaf dan menggendon
Ternyata aku yang sudah menikah ini masih diperlakukan seperti bayi oleh Abang abangku. Mereka menanyakan apakah aku bahagia menikah dengan Bang Ashraf, apa aku tercukupi kebutuhannya, apa aku diterima keluarga suamiku. Mereka layaknya ayah yang terlahir kembali dalam hidupku. Malam ini Abang Abangku mengadakan syukuran. Ibu bilang, Bang Cakra naik jabatan dan akan dipindah tugaskan ke luar kota. Ibu tak menangisi atau sedih akan hal ini. Bahkan, Ibu begitu senang dan malah mendoakan agar Bang Cakra bisa sukses dan kembali dengan kabar bahagia.“Bu, Cakra sekalian mau minta izin lamar anak orang tahun ini. Bukan apa, Cakra udah nggak muda. Takutnya ketuaan kalau nunggu sukses dulu. Boleh, Bu?” tanya Bang Cakra di sela sela kami mengemasi sisa sisa makanan di ruang tamu.“Ya Allah, tentu boleh, Nak. Ibu sedang menunggu anak anak ibu ini laku, tapi kalau mau jadi bujang lama juga gak apa apa. Ibu gak pernah melarang anak anak Ibu menikah. Siapa aja, boleh. Asal bisa menerima anak Ib
Aku sampai terbengong saat bangun tidur dan duduk begitu lama di sisi tempat tidur. Hingga suara pintu terbuka dan panggilan kakak ipar mengagetkanku."Aku kira kamu belum bangun, Nin. Ibu tadi berpesan kalau kamu bangun suruh langsung mandi. Tadi ibu udah masakin air anget.""Memang udah sore?""Tadi kan kamu tidur siang lama banget sekarang udah sore."Aku melirik ke arah jam dinding yang ada di sisi lemari dan ternyata memang sudah jam setengah lima. Altaf terlihat sudah tidak ada di sisiku."Altaf ke mana, Mbak?""Tadi dibawa ibu ke warung depan. Kamu tidurnya pules banget sampai nggak denger anaknya nangis."Aku tersenyum dan bangkit dari tempat tidur. Aku langsung mandi terlebih dahulu.Selesai mandi aku langsung shalat ashar dan menyusul ibu yang ternyata sudah pulang dari warung bersama dengan Altaf. Altaf juga sudah mandi dan wangi sepertinya karena sudah berganti pakaian."Anak mama udah ganteng, tadi mandi sama siapa nih?" Tanyaku sambil menciumi pipi Altaf."Tadi nangis ka
Aku disambut baik oleh Bang Hadi dan juga Ibu. Mereka sangat senang melihatku pulang bersama dengan Bang Ashraf. Kami juga membawa banyak oleh-oleh yang sengaja dibeli di jalan untuk orang tuaku dan keluarga abangku."Mau pulang ke rumah nggak ngomong-ngomong," sambut Ibu sambil berpelukan denganku dan bersalaman dengan Bang Ashraf."Ini juga nggak sengaja karena kebetulan Bang Ashraf lagi nggak kerja pagi ini. Dia piket malam jadi bisa nganter Nina pulang pagi ini," jawabku sambil memberikan Altaf pada ibu yang sudah mengulurkan tangannya dan meminta Altaf untuk digendong oleh beliau."Kangen sekali sama cucu nenek, tambah gemuk saja tinggal sama papanya," ucap Ibu sambil mencium kedua pipi Altaf."Kalian sehat?" Tanya Bang Hadi."Alhamdulillah Bang. Mbak Mel, ada hadiah di Bagasi buat Mbak Mel. Mbak Mel mau?" tanyaku."Mau dong, masa dikasih hadiah nggak mau."Bang Ashraf dan Bang Hadi masuk ke dalam membawa Altaf dan ibu sedangkan aku dan Mbak Amelia membongkar oleh-oleh yang sudah
"Baru bangun, ya?" tanyaku. "Biasa, bujang mah tidurnya bebas apalagi kalau hari libur. Dari mana gendut?" tanya Fildan sambil mencubit pipi anakku dan akhirnya anakku menangis karena cubitan Fildan pastilah keras dan sakit. "Aduh, Omnya pagi-pagi udah bikin anak orang nangis," sahut Papa yang juga sudah siap dengan pakaian olahraganya. "Hehehe, Papa nih. Mau ke mana, Pa?" tanya Fildan sambil menggaruk kepalanya tidak kasar karena ketahuan mencubit Altaf. "Olahraga lah, mumpung anak-anak semuanya di rumah. Nin, olahraga yuk!" ajak Papa. "Tadi Nina udah olahraga, Pa. Altaf juga udah keringetan dan pengen mandi. Mama dan Bang Ashraf masih di depan kok, lagi minum susu sama makan camilan," jawabku. "Weh, udah akur tah?" tanya Fildan. "Emangnya dari kemarin kita nggak akur? Kita kan Besti," kekehku yang langsung berjalan membawa Altaf masuk ke dalam kamar. Terlihat keduanya saling melirik saat aku hendak pergi tadi. Semudah itu mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Meskipun ke
Saat aku bangun ternyata Bang Ashraf sudah pulang. Entah jam berapa suamiku sampai di rumah yang jelas aku sangat gelap malam ini hingga tidak sadar jika suamiku sudah pulang pagi-pagi buta.Aku tersenyum saat melihat wajah polos Bang Ashraf yang terlihat sangat kelelahan. Dia sudah memakai piyamanya saat tidur dan itu menambah kesan menggemaskan brondong yang aku nikahi saat ini.Berondong? Bahkan umur dia lebih tua dariku tetapi karena aku yang lebih dulu menikah jadinya aku merasa lebih tua darinya. Aku sama sekali tidak kelihatan jika harus mengalah dalam segala hal termasuk Jika dia mendadak seperti anak kecil seperti sekarang. Tidur dengan memelukku dan menaikkan satu kakinya di atas pinggul.Aku angkat kakinya perlahan agar dia tidak terbangun tetapi rupanya dia sengaja malah menghukum tubuhku agar tidak bangkit."Sudah jam 04.40 lah, Bang. Nanti keburu Altaf bangun aku belum setting sarapan," ucapku sambil berbalik dan menatap wajahnya yang tersenyum meskipun masih memejamkan