Hari pertamaku ke rumah sakit ditemani Bang Ashraf tentu untuk memberikan surat lamaran dan menemui kepala rumah sakit. Kesan pertama saat meninggalkan pertemuan di rumah sakit ini adalah grogi dan juga gugup karena ternyata pemilik rumah sakit ini adalah keluarga dari Bang Ashraf sendiri. Awalnya sangat grogi dan akhirnya sedikit melemah saat Omnya Bang Asraf justru mengajakku bercanda. Padahal jika kedua orang tua Bang Ashraf yang aku temui tentu mereka pasti akan menolak. Mereka pasti akan menolak jika tahu aku dekat kembali dengan Bang Ashraf.“Biasanya bukan saya yang mengurus tentang penerimaan dokter atau perawat di rumah sakit ini. Cuma keponakan saya ini meminta saya untuk melihat kamu sendiri,” kekeh Om Yudistira.“Maaf, Pak,” jawabku.“Maaf?”“Ya, maaf kalau nanti saya merepotkan semua pihak selama nanti bekerja di sini.”Selain kata maaf memangnya aku bisa mengucapkan apa? Bahkan lidah ini terasa kering untuk mengatakan apapun kecuali yang ditanyakan, itu pun sampai panas
“Jangan suka membicarakan aib orang lain bersama-sama karena itu dosanya bisa berjamaah. Suster Tania, kamu siapkan ruang perawatan untuk pasien yang tadi karena kita akan memindahkannya ke ruangan yang lebih nyaman. Suster Nindira, kamu bereskan ruang periksa di sini,” ucap Bang Ashraf.“Siap, Dok,” jawabku menghormat.“Saya bukan anggota sipil jadi kamu tidak perlu hormat seperti itu. Kerjakan!”Aku mendengar Tania yang terkekeh dan keluar dari ruangan sedangkan aku merenges kembali. Untuk saat ini kita berada di ruangan Bang Ashraf berdua. “Abang kok jadi galak kalau lagi kerja?” tanyaku sambil melipat selimut yang sudah digunakan untuk periksa pasien tadi.“Emangnya aku galak?” kekeh Bang Ashraf.“Iya lah. Suster Tania sampai ketakutan loh saat ditanyai kayak tadi. Kalau Nina sih nggak masalah dan sudah terbiasa lihat wajah bang Ashraf yang kayak papan cucian pas marah,” kekehku.“Emangnya aku biasanya marah sama kamu?” tanya Bang Ashraf.“Enggak sih, tapi pernah lihat wajah Bang
Tanganku bergetar mendengar semua ungkapan Mas Ahmad yang terdengar manis di depan Minah. Padahal selama ini Suamiku terlihat yang paling setia dan yang paling tidak mungkin tergoda dengan wanita lain. Aku membantu dan menjaga Mas Ahmad selama sakit, aku mengurusnya dan menerimanya meski keadaan Kami sulit dan tidak punya apa-apa saat itu. Namun sekarang? Perlakuan-perlakuan manisnya itu membuatku merasa penasaran, Kenapa bisa suamiku berubah seperti ini. Apa yang sedang terjadi?Semua catatan medis yang dibutuhkan oleh Bang Ashraf sudah aku catat dan kami keluar setelah memberikan informasi bahwa Minah akan melakukan proses sesar dan juga penanganan untuk kanker yang menyebar di tubuhnya. Membayangkannya mungkin sangat menyakitkan dan kasihan tetapi jika mengingat kelakuannya yang menginginkan suamiku tentu rasanya aku ingin memakinya saja. Soalnya, masih sakit saja bikin toxic hidup orang apalagi kalau dia sehat nanti."Kenapa murung?" Tanya bang Ashraf membuyarkan lamunanku saat k
Aku mengetuk pintu dan sama sekali tidak ada jawaban dari dalam setelah beberapa kali aku melakukannya. Aku mencoba untuk mengucapkan salam meskipun tetap tidak ada jawaban dari dalam. Aku masih ingat tentang kunci rumah di sini Yang biasanya ditinggal di bawah keset. Aku mencarinya dan menemukan kunci itu ada di sana.Dapat. Aku segera membukanya dan melihat rumah yang sangat berantakan dan gelap. Padahal waktu sudah sore tetapi Jani belum pulang sekolah. Atau mungkin dia mampir ke rumah teman dan malas untuk pulang karena tidak ada orang di rumah. Kasihan sebenarnya tetapi mau bagaimana lagi karena keluarganya saja tidak peduli.Aku menyalakan lampu lalu meletakkan tas yang aku bawa di atas kursi. Setelah itu aku mencari sapu dan membersihkan satu persatu ruangan di rumah ini. Suara sepeda motor terdengar berhenti di depan halaman saat aku sedang mencuci piring-piring kotor yang sudah menumpuk. Suara salam terdengar dan itu suara mas Ahmad yang ternyata sudah pulang.Hatiku berdeba
"Pemilu sudah selesai dan nggak usah kebanyakan janji kalau nggak mau masuk rumah sakit jiwa kayak yang lain!" ketusku. Aku benar-benar tidak kuasa saat masa Ahmad menjelaskan dengan wajah yang berkaca-kaca Bahkan dia memeluk erat-erat seperti balon. Padahal aku saja sedang galon. Ah, dasar Delon. Jadi istri yang melankolis Tentu nggak bisa langsung bass dan memutuskan untuk pergi. Aku dipikir orang yang nggak mau nyerah dan nggak mau mudah terpancing atau terprovokasi dengan hal yang aku ketahui dari satu pihak. Posisiku sudah aman karena punya tempat lain untuk berteduh dan aku juga punya profesi yang bisa aku gunakan untuk mendapatkan pemasukan uang. Akan aku ganti betul-betul alasan Mas Ahmad menemani Minah selain dari apa yang tadi dia sebutkan."Mas Janji Minah, Mas hanya cinta sama kamu dan gak ada yang lain. Kalaupun Minah dekat dengan aku itu karena paksaan dari keluarganya dan ibu. Itu karena aku diminta untuk menemaninya sampai selesai operasi dan tindakan medis yang dilak
"Nggak enak, Mbak. Ini asin banget, Mbak gimana sih nyaranin Kasih garamnya?" tanya Jani kesal."Lah, tadi kamu masukin setengah sendok kecil kan?" Tanyaku."Iya, Mbak. Tapi ini asin banget loh. Ah, Jani nggak berbakat buat masak. Mbak makan aja tuh, Jani males!" gerutunya.Aku mencoba untuk mencicipi makanan buatan Jani dan itu benar-benar sangat asin luar biasa. Padahal tadi resep yang aku berikan sudah benar."Ini pasti kamu salah masukin gula malah dimasukin garamnya semua. Makanya nasi gorengnya berubah jadi air laut," kekehku.Kasihan melihat wajahnya yang kelelahan akhirnya aku putuskan untuk memberikan nasi padang yang tadi aku beli."Nih! Untuk hari ini aku anggap kamu gagal dalam menjalani tes calon menantu terbaik. Besok harus di asah lagi buat masak-masak di rumah. Kalau nggak ada orang di rumah kamu itu harus mikir buat masak dan mengenyangkan perut sendiri. Kalau kamu tidak bisa menyenangkan perut sendiri Bagaimana kamu bisa menyenangkan dan mengenyangkan perut orang l
“Mbak jangan berasa seperti orang yang nggak butuh uang karena Mbak Minah juga nggak minta yang muluk-muluk kok. Dia ikhlas Mas Ahmad tetap berada di sini dan menemani Mbak sampai tua, bahkan rela berbagi meskipun harus membayar kita untuk biaya hidup setiap hari. Apalagi yang harus diperhitungkan dan dipikirkan?""Ya ampun, bocil! Di dunia ini nggak ada yang gratis dan semuanya itu harus ada pengorbanan juga timbal baliknya!" Jawabku."Tapi, enak tahu bisa mendapatkan uang tanpa harus kerja susah-susah jualan Sempol. kan?"Kutatap wajah adik iparku ini, Kenapa bisa bocah sekecil itu mengatakan hal tidak bermoral seperti ini. Itu artinya mereka sudah berkonspirasi untuk menjual suamiku kepada wanita ulat bulu itu dan aku sangat tidak terima. Aku yakin Mas Ahmad berontak dengan hal ini dan aku yakin dia pasti menyembunyikan sesuatu yang aku sendiri tidak tahu. Sekarang, aku ingin tahu sejauh mana mereka melakukan rencana ini. Aku harus berpura-pura menerima dan melakukan kesepakatan de
"Tentu saja tidak, aku sudah mempunyai istri sepertimu Kenapa harus mencari wanita yang lebih sempurna dari mu? Minah hanyalah masa lalu dan kedatangannya saat ini hanya untuk membantu ibu dan Mbak minta sedangkan aku hanya disebut jadikan sebagai objek sasaran mereka untuk melunasi hutang.""Maksudnya?" tanyaku heran."Sebenarnya rumah ini dan juga tanah yang ada adalah milik dari keluarga Minah. Selama ini kita menumpang dan berhutang kepada mereka. Minah dan keluarga nya ingin ibu dan Mbak Mita keluar dari rumah ini jika tidak bisa mengembalikan uang yang pernah digunakan oleh Bapak saat masih hidup. Minah hamil tetapi tidak mempunyai suami sehingga dia memintaku untuk bertanggung jawab. Jadi, terjadilah kesepakatan itu dan akhirnya Mas harus menyetujui Kalau Mas harus ada di samping Minah sampai kapanpun jika dibutuhkan.""Jadi lelaki yang kemarin datang itu?""Ayah Minah, dia yang punya tanah ini dan dia pula yang melakukan perjanjian saat malam itu. Mungkin kamu tidak mendengark