POV Zen Tentang Zen.Aku membolak-balikkan halaman kitab ini dengan pikiran kosong. 5 bulan sudah aku mengalami gejala yang tidak aku tahu apa penyakitnya, yang jelas semenjak kepulangan Mama sama perempuan itu pikiranku melalang buana sendiri.Aku di sini sudah menjadi pengajar untuk santri putra kelas pertama. Hidupku aku dedikasikan dengan belajar dengan giat hingga ini akhirnya, aku lulus lebih awal dibandingkan teman seangkatanku. Sekarang aku tidak perlu ikut mengaji di majelis, karena aku langsung dibimbing oleh Abah langsung dengan seangkatan para ustadz yang lebih awal mengajar.Tapi Semenjak kehadiran perempuan itu, hidupku sangat berantakan, seringkali aku meminta ijin untuk bolos mengajar. Karena percuma, di dalam kelas pun aku hanya menghabiskan waktuku dengan melamun hingga seorang santri yang mengingatkan. Itu sangat membuatku malu, aku yang terkenal paling giat dan antusias dalam belajar tapi bisa kecolongan dengan memikirkan wanita yang tidak jelas.Aku memijit pelip
Dia berdiri mengusap kasar wajahnya. Sepertinya tidak terima dengan apa yang aku katakan barusan. Aneh! Aku yang curhat dia yang gusar sendiri. Lagian kenapa dengan janda. Buatku tidak masalah yang penting setelahnya hanya aku yang memiliki.“Kang Dimas, boleh minta tolong lagi, Ndak?““Apa?““Pinjamkan ponsel di ustadz Zaki, pengen nelpon orang rumah aku.““Huh, Kamu ini. Ya sudah lah. Aku ke tempat kang Zaki dulu.“Aku mengangguk lega, setidaknya mungkin ini bisa membantu. “Assalamualaikum. Kang Zen. Ada tamu di bawah nyariin, Kang Zen,” seru seorang santri dari luar.Aku lekas keluar dan merapikan baju. “Terimakasih, Kang.“ Sebelum turun ke bawah aku menepuk pundak kang Ilham untuk turun lebih awal.Mungkinkah itu Ibu? Semoga saja benar dan bersama wanita itu, batinku girang dengan setengah berlari menuju ke tempat yang biasa untuk bertemu dengan wali murid.Benar saja, dari jauh terlihat Ibu sudah duduk manis di kursi tunggu dengan memainkan ponselnya. Kulanjutkan langkah ini l
“Ibu pulang, ya. Sudah jam 8 malam lebih, apalagi ibu ke sini nyetir seorang diri. Kapan-kapan Ibu akan ke sini lagi,” pamit Ibu dengan menunjukkan jam di ponselnya. Aku mengangguk, rasanya ingin sekali menahan lebih lama, tapi kasihan ibu semakin lama, jalanan makin gelap juga sepi pengendara. “Ibu pamit, ya. Nanti sesampai kamar ini makanan semua langsung dimakan bersama, ya! Ibu harus segera pulang, assalamualaikum!“ Pamitnya langsung bangkit dan menyalamiku. Aku menatap ibu yang berjalan dengan sedikit tergesa, aku sangat tahu, ibu paling takut dengan kegelapan. Kasihan. Sudah seharusnya aku lekas menikah agar ibu tidak kerepotan ke sini hanya menjengukku seorang. *** POV AUTHOR. Mobil yang ditumpangi Tante Yanti melaju membelah jalan raya yang lumayan sepi, ia pun memelankan lalu kendaraannya dan ingin lebih berhati-hati, apalagi sesama pengendara mobil pun ngebut-ngebut. Itu mampu membuat Tante bergidik ngeri. Di jalan pun dia sibuk dengan pikiran yang berkelana memikirka
POV Sherly.Akhirnya acara berjalan dengan sangat lancar. Aku pun kini membereskan barang-barangku yang masih tersimpan rapi di dalam kardus. Kukeluar satu per satu lalu memindahkan ke dalam lemari yang baru saja sampai.Di saat ingin mengeluarkan isi tas dari kantong demi kantong, aku menemukan beberapa perhiasan punya mantan mertua. Aku menghela napas ini, lalu kukeluarkan perlahan. Semua ingatan saat bersama Bu Leni terlintas lagi, bahkan video Bu Leni pun masih tersimpan rapi di ponsel.Aku meraih ponsel lalu menghidupkannya.Kucari video kiriman dari Ratih itu. Segera aku putar kembali. Aku melihat Ibu mertua yang ketahuan oleh seseorang saat lolos mencuri gelang emas di toko emas. Aku juga tidak menyangka ibu mertua bisa selihai itu bahkan bisa sampai tidak ketahuan oleh petugas di sana.Biarlah masalah dosa ditanggung beliau. Aku pun segera menekan tombol hapus dari galeri ku.Aku menerawang, hidupku kini lebih bahagia, rasanya untuk menyebarkan video ini terlalu jahat untuk
“Bapak kunci ruko ini ya, Mak juga, Sherly tunggu di mobil,” ujarku lagi sambil ke luar rumah. Segera kuhidupkan mesin mobil lalu mengeluarkan dari parkiran. Aku mengatur napas ini. Namun rasa gugupku tidak bisa aku hilangkan begitu saja. Aku sangat takut Tante mengalami hal buruk. Bila itu terjadi aku akan mengalahkan diri ini karena membuat Tante kecewa tadi pagi. Saat itu Tante menanyaiku lagi tentang jawaban lamaran kemarin. Hingga aku tidak sengaja berucap dengan nada sedikit lebih tinggi. Tapi itu murni tidak aku sengaja karena memang aku sangat capek dan tidak ingin memikirkan sejauh itu. Setelah aku berucap, mimik wajah Tante menjadi lesu dan sering diam bahkan pamit pulang lebih awal. Aku yakin pasti Tante kecewa dan karena aku Tante menjadi tidak fokus menyetir hingga menyebabkan kecelakaan. Aku mengigit bibirku. Aku tidak bisa menahan air mataku yang berjatuhan. Aku merasa sangat menyesal. Saat melihat emak Bapak berjalan ke arah sini, aku segera menghapus air mata
Aku mengetuk-ngetuk jemariku di atas dasbor dengan tangan satunya menopang daguku. Kuamati pintu pondok dengan seksama dengan berharap ada seorang santri yang keluar.Detik hingga menit berganti namun apa yang aku tunggu tak kunjung keluar. Iseng-iseng aku menatap diri ini ke spion. Wajahku ternyata sangat kusut. Bibirku pun pucat tak sempat terpoles oleh lipstik. Aku pun menilik ke bawah. Aku memakai sandal jepit dan celana kulot serta blazer berwarna biru muda. Aku menggigit bibir ini, apa kata orang nanti saat melihat diriku yang sangat berantakan ini. Juga Zen.Ah, Biarlah. Masa bodo dengan pandangan Zen ke aku nanti. Kutahan rasa kantukku dengan mengucek kedua mata ini juga sesekali melebarkan kelopak mata.Hingga apa yang aku tunggu membuahkan hasil. Suara pintu gerbang pondok terdengar. Segera aku keluar menyambut saat melihat seorang santri keluar dengan handuk terselampir di pundaknya.“Assalamualaikum, Mas. Mas kenapa dengan Zen? Ahmad Zaenal? Boleh minta tolong?““Kenal,
POV Sherly.Kami sudah sampai di parkiran rumah sakit jam 6.30.00. perutku terasa sangat melilit karena dari semalaman belum terisi satu butir nasi pun.“Pak. Ke dalamnya duluan saja ya! Hapal kan pak jalannya? Sherly mau ke kantin sebentar,”pamitku ke Bapak.“Hapal. Ya sudah sana! Jangan lama-lama, ya!““Baik, Pak.“Aku pun segera masuk ke mobil kembali untuk mengambil uang yang memang selalu di simpan untuk jaga-jaga di laci dasboard, setelahnya tidak lupa aku mengunci pintu mobil ini.Zen sama Bapak sudah semakin menjauh. Aku pun segera berjalan, bertanya ke orang yang aku jumpai di mana letak kantin rumah sakit ini. Aku berjalan sesuai petunjuk. Lalu sejenak berhenti sesampainya kantin. Di sini banyak macam makanan yang di jual. Etalase berjejeran dibuat serapi mungkin. Aku pun berjalan pelan menyusuri tiap etalase. Sepertinya per etalase untuk 1 penjual.Sebelum menentukan pilihan apa yang akan di beli. Aku sempat kebingungan mencari mana makanan yang cocok untuk Kami. Apalagi a
Ia ikut kaget dan langsung mengulaskan senyum ke arahku. Ah, sial! Kenapa manis sekali ....Aku langsung menunduk dan berbalik lagi. Kami pun sarapan bersama di dalam ruangan ini, aku melihat ke mereka secara gantian. Nampaknya mereka begitu menikmati makanannya hingga tidak menunggu lama sudah habis tersiksa.Sementara aku daritadi mengaduk-aduk isi stereofom ini tanpa menyuap. Rasa laparku seperti menguar begitu saja.Pikiranku melalang buana dan membayangkan saat ini seperti sedang makan di suatu meja makan bersama dan saling bercanda.Kupandangi Lelaki yang melamarku itu. Ah, bukan dia yang melamarku, tapi ibunya. Dia hampir mendekati sempurna bahkan dibanding dengan kondisiku, membuatku menjadi minder untuk hidup bersama dengannya.“Kenapa?“Aku terkejut saat lekukkan bibir itu menanyaiku dan bodohnya aku, aku hanya tertegun tanpa menarik pandanganku.Aku menggeleng setelah kesadaranku kembali. Segera aku menunduk dan mencari ponselku sebagai pelarian rasa malu ini.Ingin sekali
“Sebentar, Aku tuliskan alamatnya dulu,” ungkapnya lalu masuk.“Jaga Amira baik-baik ya, Pram. Sherly sangat menyayangi wanita itu,” ujar Zen berpesan. “Baik. Aku akan kabari perkembangan Amira dan sewaktu-waktu akan membawa ke sini untuk berkunjung.““Kamu adalah lelaki baik.“Aku hanya mengangguk. Lalu tidak lama Sherly keluar lagi dan kini menyodorkan kertas ke arahku. “Ini alamat dan nomor telepon panti. Bisa kunjungi kapan pun,” ujar Sherly kemudian. “Terima kasih. Kami mohon pamit dulu.““Sini Amira, Mama cium dulu.“Amira langsung turun dari gendonganku dan mendekat ke arah Sherly. Mereka berpelukan cukup lama lalu Sherly menghujami beberapa ciuman di pipi Amira. Setelah usai aku menyalami semua orang yang ada di rumah ini. Lalu berjalan ke luar di temani Zen sambil membantuku membawakan barang Amira. “Terima kasih.“ “Hati-hati di jalan.“ Pesan Zen.Aku mengangguk lalu masuk ke mobil dan mendudukkan Amira di jok sampingku dan memasangkan seat belt.Kubunyikan klakson pel
Hening mulai tercipta. Aku menunduk, lalu tanpa sengaja melihat tangan Sherly mengelus tangan Bu Yanti. Jujur, perasaanku kalut saat ini. Andaikan Amira benar tidak boleh dibawa. Aku tidak akan memaksa dan tetap menjalani hidup meskipun tanpa penyemangat.Tidak lama Sherly bangkit pun dengan Bu Yanti lalu pergi meninggalkanku seorang diri. Aku tidak berani mendongak. Aku malu menatap mantan Mertuaku, setiap aku melihat mereka, disitulah aku teringat dengan sikap buruk yang pernah aku lakukan tempo dulu.Aku kembali nunduk, cukup lama hingga ada seseorang menepuk punggungku. Aku mendongak lalu bangkit berdiri saat melihat Pak Anton dan Bu Lastri yang sudah berdiri di depanku. Aku menyalami mereka satu persatu.“Bagaimana kabarmu?“ tanya Pak Anton.Aku mengangguk-angguk. Suaraku sepertinya terhenti di tenggorokan.“Maafkan Pram, Pak. Bu,” ujarku lirih setelah berhasil menguasai keadaan. “Sudah kami maafkan cukup lama. Rileks Pram! Alhamdulillah kondisi kami jauh lebih baik apalagi sebe
Aku melangkah gontai dan kembali ke mobil. Aku harus menemukan Amira bagaimana pun caranya. Kuputar arah lalu melajukan mobil dengan kaca pintu terbuka. Sesekali kepalaku melongok keluar untuk melihat dan berharap mendapatkan Amira di rumah tetangga atau apalah. Sepertinya aku harus mampir ke rumah Bu Yanti. Dia sedikit paham dengan rumah tanggaku. Semoga saja aku bisa mendapatkan info di mana tempat tinggal Amira yang sekarang.Setelah sampai di depan halaman rumah Bu Yanti. Aku sedikit ragu melangkah masuk. Sepertinya di dalam sana sedang ada acara karena ramainya suara yang bersahut-sahutan dari dalam. Aku terpaku untuk sesaat, bingung antara masuk atau pergi, tapi bukankah ini adalah salah satu jalan agar bisa menemukan Amira?Baiklah aku putuskan untuk masuk! Kuhela napas panjang untuk mempersiapkan diri. Tidak kupedulikan nanti bila respon mereka mencaciku lalu mengusir. Yang terpenting usaha dulu. Kubuka gerbang dengan gerakan pelan. Sepelan mungkin agar tidak menimbulkan s
POV PRAMSebulan sudah aku tinggal bersama pak Tony. Rasa rinduku semakin membuncah ke Amira. Apa kabar dia sekarang? Apakah rindu denganku. Bagaimana rupamu sekarang, Nak?Aku memijat pangkal hidung yang terasa gatal. Lalu merobohkan badan ini di teras, menatap beberapa bunga mawar yang sedang berbunga. Aku kesepian di sini. Tanpa ponsel dan teman. Hanya Bapak Tony satu-satunya teman mengobrol. Sherly, apa kabarmu? Apakah kamu bahagia dengan Zen? Sudah hamilkah? Kupejamkan mata ini lalu mendongakkan kepala. Dada ini terasa sesak saat teringat masa lalu. Bukan karena masa yang sulit, melainkan merutuki kebodohanku yang bertumpuk. Tap!Aku terbangun dari lamunanku saat ada seseorang yang menepuk pundakku. Aku menoleh lalu tersenyum saat Pak Tony menawarkan sepiring roti basah dan ikut duduk di sebelahku. “Saya perhatikan dari tadi Kamu nampak murung? Ada masalah?“ tanyanya setelah menyesap teh di tangan lalu meletakkan di samping badannya.Aku diam, bingung mau menjelaskan bagaiman
“Sherly tolong buka pintu mobilnya!“ Raungku dengan memukul kaca mobil.Mereka tanpa menoleh ke arahku. Suara klakson terdengar nyaring, membuatku terlonjak mundur. Saat itu pula mobil mulai dilajukan tanpa aku di sana.Aku merosot, bersimpuh di atas rerumputan liar. Tidak menyangka kalau akhirnya begini, kalau tahu seperti ini aku tidak perlu melakukan hal bodoh di tempat panti yang sebelumnya ini. Bahkan aku tidak mungkin kabur dari sini, tempat ini sangat terpencil dan jauh dari keramaian. Setengah jam berlalu, tidak ada seorang pun yang mencariku dan mengajakku ke dalam. Bahkan lututku terasa mulai kram. Kenapa nasibku bisa seperti ini. Aku bangkit berdiri lalu melangkah lunglai ke dalam. Menoleh ke kanan-kiri, tidak ada satu orang pun penjaga yang mau menyambutku. Padahal di depan sana, ada segerombolan orang yang tengah mengobrol. Sepertinya mereka adalah bagian dari panti ini. Kuhilangkan rasa malu untuk saat ini, saat ini aku ingin makan dan istirahat. Aku butuh kamar. Aku
“Jadi Zen belum tahu kalau Sherly itu mandul?“ tanyaku ulang.“Bagaimana ya, anak dalam keluarga menurut Ibu itu penting. Meskipun kalian kaya harta, tapi kalau tanpa anak itu akan terasa kosong. Ada yang kurang,” ujarku lagi. Aku tersenyum saat melihat Zen manggut-manggut. “Ibu Leni punya anak ya kan, tapi kenapa anak itu membiarkan Ibunya kesusahan ke sana ke mari hanya untuk tempat tinggal? Dan juga. Bukankah yang mandul itu adalah Anak ibu? Dari mana Ibu tahu kalau Sherly mandul?“Aku terhenyak mendengar penuturan Zen, Cukup lama aku terdiam mencerna ucapannya. Sampai saat ini aku tidak pernah mengakui Pram mandul. Meskipun ada surat DNA itu, bisa jadi kan ada kekeliruan dan Aku yakin itu. “Sudahlah, Bu. Cukup urusi urusan Ibu sendiri. Aku mencintai Sherly tanpa syarat, bahkan aku merasa bersyukur telah memilikinya.““Halah, namanya juga pengantin baru, lihat setahun dua tahun kemudian. Pasti ada saja yang akan kalian keluhkan,” cibirku ke arahnya lalu aku melengos ke samping.
Sherly mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan Layarnya ke arahnya. Duh, kenapa enggak bilang saja ke mana tujuannya. Kan aku penasaran jadinya.Aku memperhatikan mereka dari belakang, Zen menggangguk lalu mulai mengemudikan mobilnya.Aku melongok ke arah panti, selamat tinggal masa lalu. Akhirnya aku berjaya lagi.Zen mulai memutar musik. Aku ikut mengangguk-anggukkan kepala ikut menikmati iramanya. Jiwaku terasa muda kembali, entahlah. Apa mungkin karena rencanaku berhasil, jadi membuatku segirang ini?**Aku mengernyit setelah sekitar 30 menit mobil ini melaju di jalan raya, sekarang sudah mulai masuk ke gang yang sempit lalu berpindah ke gang yang sepi. Banyak pohon liar dan beberapa sampah mengganggu penglihatan. Ini di mana? Aku tidak pernah melewati jalan ini.“Ke mana ini, Sherly?“ tanyaku kemudian.“Nanti Ibu akan tahu sendiri,” jawabnya tanpa mau menoleh ke arahku.“Bu Yanti? Kita mau ke mana?“ Aku menoleh ke arah Bu Yanti yang masih saja diam menatap ke samping jalanan.Bu Y
POV Bu Leni “Sekarang Bu Leni berkemas, kita pulang sekarang!“Aku meremas baju untuk meredakan rasa girangku, sudah kuduga, Sherly sebodoh itu. Aku hanya melakukan bentuk keprotesanku dengan merusak hal-hal di sekitar dan lihat sekarang. Caraku manjur!Aku lekas berbalik, meraih tas dan memasukkan baju ke dalam. Tatapanku ke arah sprei yang sudah banyak bekas guntingan, itu akan menjadi alat bukti sebagai alasan kalau aku di sini dijahati. Tentu saja itu tidak benar, karena aku hanya ingin menarik simpati saja. Memang aku akui tempat ini bersih dan juga pelayanannya ramah, tapi aku ini masih cukup sehat dibanding penghuni lainnya dan lebih muda. Aneh saja aku sudah tinggal di sini. Malu dong. Nanti setelah keluar dari sini, aku akan pamer ke mereka yang pernah menggunjingku. Biar mereka panas. “Sudah, Bu?“ tanya Sherly membuyarkan lamunanku. Aku sedikit tergagap lalu bangkit berdiri dan langsung bersiap.“Sudah, makasih ya, Sherly. Kamu memang anak yang baik.““Sama-sama, Bu. Ma
”Hallo ... assalamualaikum.““Waalaikumsalam, ini dari Rumah Pelita, benar kan ya ini nomornya Bu Sherly, walinya dari Ibu Leni?““Ah ya, benar. Kenapa ya? Apa ada masalah?“ tanyaku lagi. Jujur hatiku berdegup tidak karuan. Jangan sampai Bu Leni berbuat ulah lagi di sana.“Begini, Bu. Apa bisa kalau Ibu ke sini sebentar? Mau membicarakan sedikit masalah yang bersangkutan dengan Bu Leni. Mohon maaf ya, Bu. Kalau mengganggu waktunya ibu.““Harus sekarang ya, Bu?““Ya enggak harus, tapi semakin cepat lebih baik.“Bunda menyenggol lenganku. “Kenapa?“tanyanya tanpa mengeluarkan suara.Aku menggeleng. “Baik, Bu. Kami ke sana sekarang.““Baik, kami tunggu ya, Bu. Hati-hati di jalan.“Sambungan telepon terputus.Lalu aku menoleh ke arah bunda. “Sepertinya ada masalah di panti, Bun. Kita ke sana dulu ya?““Loh, periksa saja dulu, Sherly. Nanti baru ke sana.““Enggak pihak sana sudah menunggu, periksanya bisa kapan-kapan kok. Ini sudah sehat lagi.““Bi, tolong belok ke panti dulu sebentar ya!