“Bolehkah?”
Nampak sekali Nami takut mengganggu kegiatan beribadah keluarga Juun, jika dia bersikeras untuk ikut.Aisyah yang mendengarnya sontak berbalik menghadap sang Ummi, kemudian bertanya dengan nada yang sangat ceria. "Ummi, Oni-chan mau ikut belajar shalat. Boleh tidak?"Ummi Fatimah tersenyum lembut ke arah keduanya. "Ma syaa Allah ... tentu saja boleh." Beliau pun melanjutkan, "Sekarang bantu, Oni-chan berwudhu dan bersiap-siap. Ummi, Abi dan yang lain akan shalat sunnah dua rakaat dulu, baru kalian menyusul ya?"Nampak Nami maupun Aisyah tersenyum bahagia mendapatkan respon positif dari sang ibu. Begitupun dengan Juun yang nampak ikut bahagia mendengarnya. Hanya Namira serta orang tuanya—paman dan bibi Juun—yang nampak kesal.Namun, mereka tidak berani berkata apa-apa, karena mau bagaimana pun, mereka bekerja di bawah naungan Abi Rahmat dalam bidang konveksi. Abi dan Ummi memang memiliki usaha konveksi pakaian syar'i serta alat shalat dan perlengkapan haji yang terkenal di daerahnya.Gegas Aisyah mengajak Nami untuk berwudhu di kamarnya. Karena baru pertama kali melakukannya, Nami banyak sekali melakukan kesalahan, sehingga dirinya menghabiskan waktu 30 menit baru selesai berwudhu.Namun dengan sabar, Aisyah membantunya. Berkat didikan sang ibu, Aisyah tumbuh menjadi gadis yang berhati lembut serta penuh dengan sopan santun. Meskipun Nami berbeda, tapi dirinya sendiri tidak mempermasalahkannya karena sang ibu telah memberi tahu terlebih dahulu tentang masalah ini.Sedangkan di musala, Juun, Ummi-Abi, paman dan bibi, juga Namira nampak menunggu kehadiran Aisyah dan Nami. Di ruangan yang sudah tergelar sajadah itu, hanya Abi yang tidak berkomentar sedikit pun. Sedangkan paman, bibi serta putrinya—Namira, nampak tidak setuju dengan hal tersebut.Mereka menganggap, Nami sungguh tidak layak berada di tengah-tengah keluarga mereka. Sementara Juun, tidak ambil pusing dengan protes yang di layangkan oleh keluarga sang paman terhadapnya. Dimana dirinya dianggap akan mencoreng nama baik keluarga, jika berhubungan dengan Nami."Abang yakin mengizinkan gadis itu ikut shalat berjamaah bersama kita semua?" Tanya Namira kesal."Iya, Abang yakin!" Jawab Juun."Bukankah dia tidak beragama? Kenapa harus mengizinkannya shalat bersama kita?!" Tanya Namira kembali sembari menggembungkan pipinya, kesal mendengar jawaban yang Juun berikan."Urusannya apa denganmu?" Tanya Juun balik dengan datar."Tentu saja ada! Dia tidak pantas berada di tengah-tengah kita semua!" Jawab Namira sembari mendengus."Kamu siapa, berani berkata seperti itu?!" Balas Juun ketus, merasa terpancing emosinya kini. Kesal pujaan hatinya di hina sedemikian rupa."Ya, ak—''"Begini loh, nak Ian … maksud Namira itu baik, dia hanya berusaha melindungi nama baik keluarga kita saja. Jika, Nak Ian masih bersikeras, bagaimana dengan omongan orang lain bahwa ada perempuan yang tidak beragama ikut melaksanakan shalat bersama kita. Mereka pasti menganggap Nami menghina agama kita,'' timpal bibi Rumaisyah."Bukan bermaksud penghinaan agama kita, Bi. Siapa tahu, Nami akan menjadi mualaf nantinya,''"Maksud Bibi, kita 'kan keluarga. Masa tidak ikut melindungi keluarganya sendiri agar tidak salah jalan," jawab Bibi Rumaisyah tanpa merasa bersalah."Aku tidak perduli, kalian mau setuju atau tidak. Bukan kalian yang menentukan keputusan di rumah ini!" Balas Juun, enggan meneruskan perdebatan. Dirinya kembali menatap ke depan.''Kamu kok begitu?" Tanya bibi Rumaisyah kesal, saat mendengar ucapan sang keponakan."Tidak sopan kamu bicara!'' sentak Rahman, menyetujui ucapan istrinya. Pun dengan Namira.Juun terdiam, ia sama sekali tidak perduli dengan ucapan Bibi dan juga pamannya. Entah kenapa dirinya sangat keras kepala. Padahal itu semua demi kebaikan keluarga."Sebetulnya Teteh yang mengizinkan teman Ian ini untuk ikut belajar shalat bersama kita. Jadi, apa salahnya jika temen Ian ikut shalat berjamaah bersama kita?!'' timpal Ummi Fatimah."Kenapa Teteh izinkan?" Rumaisyah heran."Gadis itu ingin belajar agama kita, karena itu teteh izinkan dirinya ikut belajar shalat bersama kita semua, sebagai bekal pembelajaran buatnya nanti. Jika bukan kita yang mengajari? Siapa lagi?" Jawab ummi Fatimah lugas. Membungkam mulut ketiganya, sementara Juun sendiri nampak semringah karena pujaan hatinya mendapatkan pembelaan dari sang Ummi."Juun!" panggil Nami, sembari menatap ke arah Juun, saat mereka duduk di kursi teras yang bersebelahan dan dihalangi oleh meja, di mana tersaji sepiring ubi goreng yang masih mengepulkan asap, dan 2 buah cangkir teh hangat. Tak lupa, ulekan sambel petis pedas andalan Ummi Fatimah. Keduanya nampak menikmati pemandangan di pagi hari di samping rumah. Pemandangan yang sangat sejuk, karena di pekarangan rumah penuh dengan pepohonan buah-buahan, sayur-sayuran serta tanaman obat-obatan herbal. Sesekali nampak burung hinggap di dahan pohon, serta kupu-kupu beterbangan di sekitar pohon yang nampak mulai berbunga. "Ya," sahut Juun sembari menoleh ke arah Nami. "Ibu kamu baik ya? Adik kamu juga," ucapnya dalam bahasa Jepang, sembari tersenyum manis. Gadis itu nampak menyelipkan rambutnya yang terbang tertiup angin ke belakang telinganya. "Iya, ibu dan adikku orang baik." Juun menjawab disertai senyum manis yang sontak membuat Nami tersenyum malu-malu. Meskipun mereka telah bersama sekian tahun lamanya, tetapi entah mengapa … gadis itu selalu merasa seperti mereka baru saja bersama. Meskipun tanpa ada kata ‘jadian’ di antara keduanya, tetapi kebersamaan mereka lebih berarti dari segalanya bagi Nami.Karena kenal Juun, Nami tidak lagi suka clubbing. Bahkan dia sudah 5 tahun tidak pernah lagi menyentuh minuman beralkohol. Pakaiannya pun sekarang menjadi lebih sopan daripada sebelumnya. Jika dulu dirinya senang memakai rok pendek serta tanktop, sekarang sudah berubah menjadi baju lengan panjang serta celana panjang.Bahkan gadis itu mulai sedikit-sedikit belajar agama Islam dengan Juun sebagai pembimbingnya. Devina saja, sahabat baiknya nampak terkagum-kagum. Ibu muda itu sangat bahagia jika Nami mendapatkan jodoh sebaik Juun yang notabene adalah sahabat suaminya sendiri."Kenapa Nami-chan?" tanya Juun heran, saat melihat gadis itu malah terdiam seribu bahasa setelah memanggilnya barusan."Terima kasih banyak," ucap Nami penuh haru dan membuat Juun terkejut."Untuk?" tanya Juun heran."Semuanya ... terima kasih karena sudah mengijinkanku menyukaimu," sahut Nami sembari tersenyum manis, membuat Juun salah tingkah dibuatnya. Bahkan wajah Juun memerah. Gegas pemuda itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, saat mendapatkan pernyataan cinta dari pujaan hatinya. "Ak—" "Abang Ian!" panggil Namira, memotong ucapan Juun. Gadis itu berdiri di depan pintu yang menghadap ke arah mereka berdua, sembari menatap Nami intens.Baik Juun dan Nami menoleh ke arah Namira berdiri saat ini. "Ya, Dek!" sahut Juun."Abang dipanggil Ummi," ucap Namira kesal, sembari menatap Nami dengan sinis.Dirinya merasa cemburu, karena melihat pemuda yang disukainya dekat dengan perempuan lain. Dirinya merasa kalah bersaing dengan gadis di depannya yang dia yakin hanya menang di rupa saja. Soal keimanan, dirinya merasa lebih baik dari gadis di depannya ini."Oh, ok.” Juun kemudian beranjak dari kursi menuju pintu di mana Namira berada, membuat gadis itu tersenyum salah tingkah. "Umminya di mana, Dek?" tanya Juun kembali pada gadis berusia 20 tahun yang sedang memakai baju syar'i berwarna fuschia dengan hijab dan niqab senada. Pemuda itu melirik sebentar ke arah Namira, kemudian memalingkan wajahnya ke arah pintu. "Di kamar Aisyah, Bang. Lagi bantu Aisyah berkemas," sahut Namira, seraya melirik malu-malu.Juun mengangguk. Pemuda itupun berlalu meninggalkan keduanya.Wajah Namira yang semula tersenyum manis, sekarang berubah secepat kilat menjadi cemberut. Gadis itu berjalan mendekati Nami. Sedangkan Nami mengerutkan dahinya, bingung melihat Namira memasang wajah kesal seperti itu."Kamu!" Tunjuk Namira dengan jari telunjuk kanan mengacung ke depan wajah Nami. "Jangan sok ganjen ya, sama babang aku!?"Nampak dari niqabnya, gadis itu mendelik tajam ke arah Nami. Selain karena gadis itu tidak mengerti apa yang dibicarakan Namira, dia juga susah melihat ekspresi wajah Namira saat ini."Maksudnya?" tanya Nami heran. Keningnya nampak berkerut, tidak mengerti."Dasar, cewek gak jelas!" Namira menghentakkan kakinya ke lantai dengan kesal. "Pokoknya awas, kalo kamu deket-deket dengan calon suami aku! Habis kamu!!" ancam Namira kembali, kemudian berbalik dan pergi meninggalkan Nami yang hanya bisa memasang raut wajah cengo. "Dia bicara apa?" gumam Nami melihat Namira yang semakin menjauh. "Gadis yang aneh ….”Selepas Namira pergi, Nami pun mengambil ponselnya yang berada di atas meja. Dia berusaha menghubungi Devina, tetapi ternyata yang mengangkat justru bocah berusia 7 tahun yang memiliki wajah begitu tampan. "Moshi-moshi!" sapa Danryuu dari seberang dengan suara imutnya. Nami terkekeh geli melihat Danryuu dan wajahnya yang lucu. “Moshi-moshi!" sahut Nami balik, tersenyum manis. "Mama Ryu di mana?" tanya Nami kembali. "Sebentar aku panggil, Nami-chan!" Nampak layar handphone bergoyang ke sana kemari, seiring langkah si bocah yang berlari mencari ibunya. "Mama ... Nami-chan nyari Mama!” Suara menggema Danryuu terdengar melalui sambungan telepon Nami, membuat wanita itu terkekeh geli. "Danryuu ... sudah Mama bilang, jangan panggil Nami-chan? Dia seusia Mama, Sayang. Panggil bibi, ya?" Suara Devina yang gemas menyahuti anaknya terdengar frustrasi mengingatkan sang anak untuk memanggil Nami dengan sebutan Bibi. Kekehan Nami semakin tak terhenti. Apalagi saat mengingat bocah tampan itu
Wajah Abi Rahmat tampak memerah, menahan geram akan ulah putra kesayangannya, yang sudah berani melanggar perintah agama.Apalagi dirinya dan sang istri, sudah sangat memberikan penjelasan sedetail mungkin tentang hukum halal dan haram kepada putra putrinya. Bahkan Juun sempat bersekolah di pondok pesantren selama 4 tahun lamanya, jenjang Diniyah dan Tsanawiyah. Saat Aliyah saja dirinya bersekolah di luar negeri, yakni Tokyo - Jepang karena mendapatkan beasiswa pertukaran pelajar dari bupati setempat."Tolong jelaskan pada Abi, apa maksud dari perbuatan kalian barusan?" Tanya Abi Rahmat, memulai pembicaraan, menatap tajam kearah Juun, yang menundukkan kepalanya, malu kepada keluarganya karena dirinya telah mencoreng nama baik keluarga. Meskipun tidak sampai berbuat yang tidak-tidak, namun tetap saja, berhasil membuat malu dirinya sekeluarga yang di kenal taat dalam agama."Maaf, Abi," ucap Juun lirih, menyesali perbuatannya yang mudah terbawa suasana."Kenapa kamu melakukannya?" Tanya
POV JuunAku tidak menyangka hal ini akan terjadi.Gadis yang ku cintai, terpaksa pergi meninggalkan ku.Semua ini karena kesalahanku yang suka terbawa suasana, jika sudah bersamanya.Gadis supel nan periang, yang selalu mewarnai hari-hari ku selama 7 tahun ini, akhirnya terpaksa kembali ke negaranya dengan sejuta luka dan tangis, akan ketidakberdayaan ku. Pemuda culun nan bodoh.Meskipun awalnya, aku tidak memiliki rasa sedikitpun dengannya, namun melihat keceriaan dan kebaikan yang selalu dia tawarkan, di kala gundah ku, akhirnya membuatku mencintainya, meskipun aku tau, jika untuk bersamanya, akan banyak rintangan yang menghadang.Apalagi, aku tau, jika kedua orang tua ku, tidak mungkin memberikan restu, jika keadaan kami masih senantiasa berbeda seperti ini."Ian!" Panggil Ummi sembari menyentuh pundak ku. Membuatku tersentak dari lamunan."Iya, Ummi," sahutku lembut, seraya tersenyum pada beliau. Karena mau bagaimana marahnya aku, tetap aku tidak mampu menyakiti surgaku ini. Karen
POV JuunBaru satu hari Nami pulang ke negaranya, aku sudah merasa seperti satu tahun lamanya.Kangen...Aku rindu padanya.Membuatku jadi teringat obrolan dengan sahabatku Ryu di waktu dulu. Saat dirinya ditinggalkan oleh Devina pergi begitu saja, tanpa jawaban, setelah dirinya melamar.Yang tentu saja sempat ku ledek, ketika melihat wajah frustasi dari sahabatku kala itu. Padahal dia sempat berkata, jika Devina sebelum kepergiannya waktu itu, sempat berkata jujur, jika dirinya juga mencintai sahabatku itu.Flashback on"Hei, kamu baik-baik saja?" Tanyaku pada Ryu yang ku lihat asyik meneguk minuman beralko**l di club, tanpa merespon ucapanku sedikit pun, bahkan dirinya juga tidak merespon saat ada seorang wanita berpakaian sek** menggodanya."Pergi kamu, dasar jal***! Aku benci wanita jal***!" Makinya kesal, mendorong tubuh wanita itu yang duduk di atas pangkuannya.Alunan musik terdengar begitu memekakkan telinga. Membuat telingaku menjadi pengang, apalagi saat melihat di sekitar, o
Setelah selesai membantu Ummi dan Aisyah yang berkemas, karena sebentar lagi mau pulang ke pesantren, aku pun bergegas menemui Namira, karena penasaran ingin tahu apa yang mau dia bicarakan. "Adek mau ngomong apa?" Tanyaku pada Namira, yang duduk di kursi. Membuat gadis itu menoleh ke arahku sebentar, kemudian menundukkan wajahnya kembali."Hmmm ... Itu bang, Mira mau nanya? Tapi Abang jangan marah ya?" Ucap Namira malu-malu. Bahkan dirinya menggoyangkan bahunya, membuat keningku berkerut heran. Tetapi enggan bertanya."Tanya saja?!" Sahutku cepat-cepat ingin menghentikan diskusi ini."Hmmm ... Mira ingin tahu, temen Abang yang di bawa itu siapa?" Tanyanya, sedikit menatapku kemudian menundukkan wajahnya kembali."Ya, temanku. Kenapa?" Tanyaku bingung, tidak mengerti arah pembicaraan."Iya ... Aku tau! Maksudnya itu, temen dalam arti apa bang? Orang spesial kah dia? Gitu???" Sahutnya dengan bibir mengerucut. Namun tidak terlihat dari balik niqab yang gadis itu kenakan. Merasa sedikit k
Bandar Udara Narita, pukul 08.00 waktu setempat.Dengan langkah gontai, Nami berjalan dari arah gerbang arrived, menuju ke lobi, dimana terlihat sang sahabat bersama putranya Danryuu, datang menjemput.Setelah sebelumnya, Nami menghubungi Devina, guna menjemputnya. nampak pula di belakangnya, Reiko serta Wisnu beserta putra mereka, Inoue yang kini berusia 5 tahun."Vina-chan!" sapa Nami dengan gurat sendu. yang di balas Devina dengan merentangkan tangannya. Nami pun bergegas masuk kedalam pelukan sang sahabat, yang kini menangis tersedu-sedu."Sudah! Tidak apa-apa. Kamu kuat!" ucap Devina, menenangkan."Nami-chan kenapa menangis?" celetuk Danryuu, menarik ujung jaket yang Nami kenakan.Sontak Nami dan Devina saling melepaskan pelukan mereka. sembari mengusap air mata, Nami sedikit membungkukkan badannya, menatap kearah Danryuu, yang mengulurkan tangannya, meminta di genggam.Nami menurut, menggenggam tangan Danryuu, sembari mengulas senyum tipis."Jangan nangis, Nami-chan! jika kamu be
"Pagi, dokter Okahara!" Sapa suster Mitsui, adik dari dokter Reiko, dengan ceria. Saat dirinya berpapasan dengan Nami di parkiran rumah sakit.Nami yang baru keluar dari dalam mobilnya, sontak menoleh kebelakang, "Pagi, Mitsui-chan!" Balas Nami, tak lupa tersenyum manis pula padanya."Dokter hari ini tugas pagi?" Tanya Mitsui kembali, matanya berbinar-binar, seraya mendekap buku jurnal keperawatan di dada, sementara tas ransel berwarna hitam, tercangklong di punggungnya."Huum! Iya!" Jawab Nami lugas, berpaling sebentar, menutup pintu mobil, tak lupa menguncinya. Setelahnya memasukkan kunci ke dalam tas tangannya. "Apa yang sedang kamu cari?" Tanya Nami, bingung, saat melihat Mitsui nampak celingak-celinguk, seolah mencari keberadaan seseorang atau sesuatu."Dimana, Kakak?" Tanya Mitsui, heran."Siapa? Ryu?" Tanya Nami balik, bingung akan pertanyaan yang di berikan oleh Mitsui."Bukan ... Juun-kun! Dimana dia? Bukankah, kalian selalu berdua?" Tanya Mitsui dengan mata berbinar.Nami pun
Hari-hari Nami lalui kini dengan penuh semangat. Berusaha menguatkan dirinya sendiri, jika nanti pada saatnya dirinya akan bersama-sama kembali dengan orang yang dia cintai.Rutinitasnya sebagai seorang dokter residen, kini semakin penuh dengan kesibukan. Apalagi jika dokter senior, seperti dokter Reiko meminta bantuan para dokter residen yang bertugas dalam hal menangani pasien gawat darurat. Seperti halnya hari ini, dimana seorang pasien terkena luka tembak yang berasal dari peluru nyasar di dadanya, harus mereka tangani secepat mungkin. Dimana Nami juga harus ikut terlibat didalamnya, hanya karena sang pasien menarik jas dokter yang dirinya kenakan. Terpaksa Nami ikut membantu menanganinya."Aku tidak mau orang lain yang menangani ku! aku mau istriku yang melakukannya?!" teriak sang pasien dengan wajah pucat, kekurangan darah, memaksa Nami memeriksanya. Membuat Reiko jengah. Karena pekerjaannya terpaksa tertunda oleh rengekan si pasien yang diperkirakan berusia 30 tahun. "Kenapa kam
Juun akhirnya menjelaskan semuanya tanpa satupun yang tertinggal. Sementara Abi Rahmat, hanya bungkam seribu bahasa, enggan menginterupsi sedikitpun. Hanya hela napas berat bersama gumam istighfar yang senantiasa lolos dari bibirnya sebagai respon atas semua berita buruk ini. Juun akhirnya ikut terdiam setelah sekian lama berucap. Ia ikut menghela napas pendek, pasrah akan keputusan sang ayah. Abi Rahmat berjalan perlahan ke arah tembok kawat yang ada di rooftop hingga angin senja meniup rambut pendeknya yang sudah dipenuhi uban. Matanya menatap lurus ke arah matahari tenggelam di antara gedung-gedung yang berseberangan dengan rumah sakit. "Apa yang akan kamu lakukan sekarang, Ian?" tanya Abi Rahmat tanpa menoleh pada sang putra yang kini ikut berdiri di samping kirinya, Juun ikut mengarahkan pandangan kemana ayahnya memandang. "Aku mencintainya, Abi. Tapi, jika Abi tidak berkenan? Aku —""Apa kamu akan berhenti berjuang?!" tegur Abi
Ummi Fatimah pun terpaksa menceritakan semua yang terjadi pada suaminya, di ma a lelaki itu hanya bisa bungkam seribu bahasa. Sesekali terdengar ucapan istighfar lolos dari celah bibirnya yang kini mulai tertutupi dengan kumis. "Bagaimana menurut, Akang?" tanya Ummi Fatimah cemas. "Panggil Ian kemari. Tapi, sebelum itu..., Akang mau melihat keadaan Nami. Neng mau ikut?" ajak Abi Rahmat seraya mengulurkan tangan kanannya disertai tatapan lurus menghujam mata. "Iya, Kang. Neng ikut!" tukas Ummi Fatimah bersemangat sambil menerima uluran tangan. Keduanya lantas berjalan bersisian ke arah luar guna mencari ruangan Nami dirawat. "Oh ya, Akang mengerti, ya, isi pembicaraan orang-orang?" tanya Ummi Fatimah setelah suaminya bertanya pada salah seorang petugas keamanan mengenai ruang rawat Nami yang baru. "Sedikit-sedikit, Sayang. Akang diam-diam setiap malam belajar Bahasa Jepang, biar gak bingung saat diajak berinteraksi dengan calon besan
Nami enggan menjawab, ia justru segera berjalan cepat ke arah jendela hingga membuat Ummi Fatimah semakin terkejut saat melihat Nami membuka kaca, lalu melompat ke bawah. "NAMI!" Ummi Fatimah berteriak kencang d bersama degup jantung berdetak kencang seraya berlari ke arah jendela. Wanita itu segera melongok ke bawah bersama seluruh perasaan takut mendera. Namun, akhirnya ia bisa bernapas lega saat melihat di bawah sana sang putra tengah memeluk Nami yang lemas dalam dekapan. Ummi Fatimah bahkan tanpa sadar mengucap syukur karena Nami selamat. Sementara itu, Juun segera menggendong Nami ala bridal, lalu meletakkannya di atas brankar yang segera didorong oleh para perawat menuju ruang perawatan. Salah seorang dokter, rekan sejawatnya bahkan segera menepuk pundak Juun seraya berujar dengan nada menguatkan, "Kamu harus kuat, Dokter Juun. Hanya kamu yang bisa menguatkan Dokter Nami saat ini. Lagipula kami semua men
Nami bungkam seribu bahasa. Kepalanya bahkan tertunduk dalam, tidak berani mengatakan isi hatinya yang kini tidak berbentuk lagi akibat peristiwa buruk yang telah terjadi padanya. Ummi Fatimah pun berusaha mengerti. Ia ikut bungkam, membiarkan Nami berkutat dalam lamunan. Hanya jemarinya yang menggenggam sebagai bentuk jika dirinya perduli pada sang calon menantu. Nami perlahan mengangkat kepala, menatap wajah teduh Ummi Fatimah yang kini melepaskan niqab miliknya. Sementara Juun dan Abi Rahmat pergi keluar guna bicara empat mata. "Ummi, apakah saya boleh mengatakan sesuatu?" ujarnya meminta dengan sopan, meskipun suaranya terdengar serak."Katakan saja, Nak! Apa yang ingin kamu bicarakan?" ujar Ummi Fatimah, mengijinkan. Nami terdiam, kesedihannya terasa mencekam. Ummi Fatimah mengangguk sambil tersenyum hangat. "Katakanlah, Nak."
Juun terdiam. Matanya menatap tajam pada Nami yang balas menatapnya datar. "Omong kosong apa yang baru saja kamu ucapkan, Nami Chan?" tanyanya geram.Nami tersenyum sinis. Ia membalas tatapan itu tidak kalah dingin. "Ba yi sia lan itu, Juun. Apa dia sudah ma ti?"Juun menggebrak tepi brankar hingga membuat Nami terkejut setengah mati. Jantungnya terdengar berdetak kencang, namun gadis itu berusaha untuk tidak menjerit. Ia bahkan semakin menatap dingin pada sang kekasih."Aku rasa otakmu perlu dicuci hingga bersih agar berhenti mengatakan sebuah omong kosong." Suara Juun terdengar berdesis kuat. Ia tidak mampu lagi menahan emosinya hingga tanpa sadar mengatakan sesuatu yang buruk."Ya, tentu saja." Nami menyahut dengan santai, terlihat tidak merasa bersalah sedikitpun."Agar otakku tidak mengingat kembali jika ja nin sia lan itu masih bersarang di rahimku." Nami melanjutkan ucapannya.Juun menggeram. Ia bahkan melepaskan pegangan tangannya dengan sedikit kasar hingga Nami pun semakin te
Baju Juun penuh dengan da rah yang tentu saja berasal dari Nami. Sementara gadis itu kini telah berada di dalam ruang operasi tempat mereka bekerja guna menyelamatkan nyawanya.Dirinya tidak diijinkan ikut serta karena semua teman-temannya khawatir lelaki itu tidak bisa bertindak profesional. Apalagi saat melihat wajah panik juga lolongan histeris yang ia berikan beberapa saat yang lalu.Juun duduk di atas kursi tunggu sembari mengacak-acak rambutnya hingga berantakan dengan kepala tertunduk dalam. Sementara Aisyah ikut duduk di samping kanannya, mengusap punggung sang kakak guna memberikan dukungan."Abang," panggil Aisyah lirih sembari membersit hidungnya yang mampet dari balik niqab yang ia kenakan."Hmmm," sahut Juun menggumam, enggan mengangkat kepala. "Abang yang tenang, ya," pinta Aisyah, kembali sesenggukan.Juun tersentak. Ia lantas dengan cepat menoleh pada sang adik dengan tatapan menuntut jawaban.Aisyah lan
Nami tercekat. Air matanya tanpa sadar menetes saat melihat hasil test pack miliknya. Kedua tangannya bahkan bergetar hebat hingga benda tersebut jatuh ke atas lantai, tepat di samping kanan kakinya, seiring isakannya yang terdengar menyayat hati."Kenapa? Ini tidak mungkin ...," Kepalanya menggeleng kuat-kuat, masih berharap jika ini semua mimpi buruk belaka.Namun harapannya harus sirna saat ia memberanikan diri kembali menatap pada benda tersebut, hasilnya tetap menunjukkan garis dua, pertanda jika dirinya benar-benar hamil.Tangisnya pun kembali pecah. Ia lantas menggigit punggung tangannya saat mendengar pintu diketuk seseorang dari luar disusul suara yang ia kenal dengan baik. "Afwan, Oni Chan. Apa Oni Chan baik-baik saja?" tanya Aisyah khawatir.Aisyah bahkan belum menanggalkan mukena karena baru selesai salat isya. Keningnya berkerut saat tidak mendengar sahutan dari dalam. "Oni Chan!" panggilnya kencang sembari menggedor pintu. Perasaan takut tiba-tiba hadir."Oni Chan!" pangg
Nami kembali memulai harinya seperti biasa, seolah-olah peristiwa buruk yang terjadi 2 bulan yang lalu hanya sebuah mimpi buruk semata. Gadis itu bahkan terlihat begitu ceria karena hubungannya dengan Juun menunjukkan kemajuan berarti.Mereka bahkan tidak segan saling menunjukkan perasaan masing-masing di tempat kerja."Bagaimana rasanya?" tanya Nami sambil menatap penuh harap Juun. Keduanya tengah duduk di bangku taman rumah sakit yang biasanya digunakan para pekerja magang untuk menyantap bekal makan siang."Enak." Juun menyahut cepat setelah berhasil menelan makanan yang ada di dalam mulut. Lelaki itu lantas tersenyum manis sambil merapikan poni Nami yang tertiup angin sehingga menutupi mata kirinya.Nami tersipu, ia tidak menyangka jika akan mendapatkan pujian dari mulut kekasihnya."Apapun yang kamu buat, rasanya sungguh enak di lidahku." Juun melanjutkan pujiannya hingga membuat wajah Nami semakin bersemu merah."Kamu malu?
Akira terkejut mendengarnya. Ia bahkan tanpa sadar mengumpat di dalam hati. 'Sial ... sial! Bagaimana bisa Ketua Klan Shinryuu mengetahui hal ini, dan bagaimana bisa lelaki mengerikan itu mengenal Nami? Jangan-jangan dia ...!' Matanya terbelalak sambil menoleh cepat pada Nami yang kini berusaha mundur setelah jambakannya terlepas. Nami bahkan tidak perduli penampilannya berantakan dengan rambut kusut masai juga pipi basah bekas air mata. Sementara itu di seberang sana, Ryu yang tidak sabaran segera memberikan sebuah peringatan. "Aku akan menghitung dari 1 sampai 3. Jika kamu tidak melepaskan Okahara Nami. Maka malam ini adalah malam terakhir Klan Tiger bisa bernapas di muka bumi." Akira pun memucat, ia bahkan mulai kesulitan menelan ludahnya yang tiba-tiba berubah menjadi sebongkah batu. Dengan wajah kikuk bercampur takut, juga senyum dipaksakan, lelaki itupun menjawab. "Oh ... ba-baik, Ketua. Mohon tunggu sebentar!" Akira lantas mematikan sambungan telepon setelah mendengar sahuta