Nami kembali memulai harinya seperti biasa, seolah-olah peristiwa buruk yang terjadi 2 bulan yang lalu hanya sebuah mimpi buruk semata. Gadis itu bahkan terlihat begitu ceria karena hubungannya dengan Juun menunjukkan kemajuan berarti.
Mereka bahkan tidak segan saling menunjukkan perasaan masing-masing di tempat kerja."Bagaimana rasanya?" tanya Nami sambil menatap penuh harap Juun. Keduanya tengah duduk di bangku taman rumah sakit yang biasanya digunakan para pekerja magang untuk menyantap bekal makan siang."Enak." Juun menyahut cepat setelah berhasil menelan makanan yang ada di dalam mulut. Lelaki itu lantas tersenyum manis sambil merapikan poni Nami yang tertiup angin sehingga menutupi mata kirinya.Nami tersipu, ia tidak menyangka jika akan mendapatkan pujian dari mulut kekasihnya."Apapun yang kamu buat, rasanya sungguh enak di lidahku." Juun melanjutkan pujiannya hingga membuat wajah Nami semakin bersemu merah."Kamu malu?Nami tercekat. Air matanya tanpa sadar menetes saat melihat hasil test pack miliknya. Kedua tangannya bahkan bergetar hebat hingga benda tersebut jatuh ke atas lantai, tepat di samping kanan kakinya, seiring isakannya yang terdengar menyayat hati."Kenapa? Ini tidak mungkin ...," Kepalanya menggeleng kuat-kuat, masih berharap jika ini semua mimpi buruk belaka.Namun harapannya harus sirna saat ia memberanikan diri kembali menatap pada benda tersebut, hasilnya tetap menunjukkan garis dua, pertanda jika dirinya benar-benar hamil.Tangisnya pun kembali pecah. Ia lantas menggigit punggung tangannya saat mendengar pintu diketuk seseorang dari luar disusul suara yang ia kenal dengan baik. "Afwan, Oni Chan. Apa Oni Chan baik-baik saja?" tanya Aisyah khawatir.Aisyah bahkan belum menanggalkan mukena karena baru selesai salat isya. Keningnya berkerut saat tidak mendengar sahutan dari dalam. "Oni Chan!" panggilnya kencang sembari menggedor pintu. Perasaan takut tiba-tiba hadir."Oni Chan!" pangg
Baju Juun penuh dengan da rah yang tentu saja berasal dari Nami. Sementara gadis itu kini telah berada di dalam ruang operasi tempat mereka bekerja guna menyelamatkan nyawanya.Dirinya tidak diijinkan ikut serta karena semua teman-temannya khawatir lelaki itu tidak bisa bertindak profesional. Apalagi saat melihat wajah panik juga lolongan histeris yang ia berikan beberapa saat yang lalu.Juun duduk di atas kursi tunggu sembari mengacak-acak rambutnya hingga berantakan dengan kepala tertunduk dalam. Sementara Aisyah ikut duduk di samping kanannya, mengusap punggung sang kakak guna memberikan dukungan."Abang," panggil Aisyah lirih sembari membersit hidungnya yang mampet dari balik niqab yang ia kenakan."Hmmm," sahut Juun menggumam, enggan mengangkat kepala. "Abang yang tenang, ya," pinta Aisyah, kembali sesenggukan.Juun tersentak. Ia lantas dengan cepat menoleh pada sang adik dengan tatapan menuntut jawaban.Aisyah lan
Juun terdiam. Matanya menatap tajam pada Nami yang balas menatapnya datar. "Omong kosong apa yang baru saja kamu ucapkan, Nami Chan?" tanyanya geram.Nami tersenyum sinis. Ia membalas tatapan itu tidak kalah dingin. "Ba yi sia lan itu, Juun. Apa dia sudah ma ti?"Juun menggebrak tepi brankar hingga membuat Nami terkejut setengah mati. Jantungnya terdengar berdetak kencang, namun gadis itu berusaha untuk tidak menjerit. Ia bahkan semakin menatap dingin pada sang kekasih."Aku rasa otakmu perlu dicuci hingga bersih agar berhenti mengatakan sebuah omong kosong." Suara Juun terdengar berdesis kuat. Ia tidak mampu lagi menahan emosinya hingga tanpa sadar mengatakan sesuatu yang buruk."Ya, tentu saja." Nami menyahut dengan santai, terlihat tidak merasa bersalah sedikitpun."Agar otakku tidak mengingat kembali jika ja nin sia lan itu masih bersarang di rahimku." Nami melanjutkan ucapannya.Juun menggeram. Ia bahkan melepaskan pegangan tangannya dengan sedikit kasar hingga Nami pun semakin te
Nami bungkam seribu bahasa. Kepalanya bahkan tertunduk dalam, tidak berani mengatakan isi hatinya yang kini tidak berbentuk lagi akibat peristiwa buruk yang telah terjadi padanya. Ummi Fatimah pun berusaha mengerti. Ia ikut bungkam, membiarkan Nami berkutat dalam lamunan. Hanya jemarinya yang menggenggam sebagai bentuk jika dirinya perduli pada sang calon menantu. Nami perlahan mengangkat kepala, menatap wajah teduh Ummi Fatimah yang kini melepaskan niqab miliknya. Sementara Juun dan Abi Rahmat pergi keluar guna bicara empat mata. "Ummi, apakah saya boleh mengatakan sesuatu?" ujarnya meminta dengan sopan, meskipun suaranya terdengar serak."Katakan saja, Nak! Apa yang ingin kamu bicarakan?" ujar Ummi Fatimah, mengijinkan. Nami terdiam, kesedihannya terasa mencekam. Ummi Fatimah mengangguk sambil tersenyum hangat. "Katakanlah, Nak."
Nami enggan menjawab, ia justru segera berjalan cepat ke arah jendela hingga membuat Ummi Fatimah semakin terkejut saat melihat Nami membuka kaca, lalu melompat ke bawah. "NAMI!" Ummi Fatimah berteriak kencang d bersama degup jantung berdetak kencang seraya berlari ke arah jendela. Wanita itu segera melongok ke bawah bersama seluruh perasaan takut mendera. Namun, akhirnya ia bisa bernapas lega saat melihat di bawah sana sang putra tengah memeluk Nami yang lemas dalam dekapan. Ummi Fatimah bahkan tanpa sadar mengucap syukur karena Nami selamat. Sementara itu, Juun segera menggendong Nami ala bridal, lalu meletakkannya di atas brankar yang segera didorong oleh para perawat menuju ruang perawatan. Salah seorang dokter, rekan sejawatnya bahkan segera menepuk pundak Juun seraya berujar dengan nada menguatkan, "Kamu harus kuat, Dokter Juun. Hanya kamu yang bisa menguatkan Dokter Nami saat ini. Lagipula kami semua men
Ummi Fatimah pun terpaksa menceritakan semua yang terjadi pada suaminya, di ma a lelaki itu hanya bisa bungkam seribu bahasa. Sesekali terdengar ucapan istighfar lolos dari celah bibirnya yang kini mulai tertutupi dengan kumis. "Bagaimana menurut, Akang?" tanya Ummi Fatimah cemas. "Panggil Ian kemari. Tapi, sebelum itu..., Akang mau melihat keadaan Nami. Neng mau ikut?" ajak Abi Rahmat seraya mengulurkan tangan kanannya disertai tatapan lurus menghujam mata. "Iya, Kang. Neng ikut!" tukas Ummi Fatimah bersemangat sambil menerima uluran tangan. Keduanya lantas berjalan bersisian ke arah luar guna mencari ruangan Nami dirawat. "Oh ya, Akang mengerti, ya, isi pembicaraan orang-orang?" tanya Ummi Fatimah setelah suaminya bertanya pada salah seorang petugas keamanan mengenai ruang rawat Nami yang baru. "Sedikit-sedikit, Sayang. Akang diam-diam setiap malam belajar Bahasa Jepang, biar gak bingung saat diajak berinteraksi dengan calon besan
Juun akhirnya menjelaskan semuanya tanpa satupun yang tertinggal. Sementara Abi Rahmat, hanya bungkam seribu bahasa, enggan menginterupsi sedikitpun. Hanya hela napas berat bersama gumam istighfar yang senantiasa lolos dari bibirnya sebagai respon atas semua berita buruk ini. Juun akhirnya ikut terdiam setelah sekian lama berucap. Ia ikut menghela napas pendek, pasrah akan keputusan sang ayah. Abi Rahmat berjalan perlahan ke arah tembok kawat yang ada di rooftop hingga angin senja meniup rambut pendeknya yang sudah dipenuhi uban. Matanya menatap lurus ke arah matahari tenggelam di antara gedung-gedung yang berseberangan dengan rumah sakit. "Apa yang akan kamu lakukan sekarang, Ian?" tanya Abi Rahmat tanpa menoleh pada sang putra yang kini ikut berdiri di samping kirinya, Juun ikut mengarahkan pandangan kemana ayahnya memandang. "Aku mencintainya, Abi. Tapi, jika Abi tidak berkenan? Aku —""Apa kamu akan berhenti berjuang?!" tegur Abi
Pesawat Garuda Indonesia tujuan Tokyo - Jakarta mendarat di bandara Soekarno-Hatta tepat pada pukul 20:00 malam wib. Nampak seorang pemuda berusia 25 tahun keluar dari gateway dengan setelan serba hitam berjalan beriringan dengan seorang gadis berkulit putih dengan setelan yang sama, berbarengan dengan penumpang lainnya.Dia mencari ke seluruh penjuru arah. Kedua matanya berbinar, senyumnya langsung merekah ketika melihat seorang wanita berjilbab tengah memegang papan bertuliskan namanya. Pemuda itu lantas berjalan ke arah wanita yang ternyata bersama keluarganya. "Assalamualaikum, Abi, Ummi, semuanya," sapa Juun sumringah. "Waalaikum salam, Juun," sahut semuanya serempak. Pemuda itu pun langsung mencium punggung tangan sang ayah dan ibunya bergantian. Kemudian tangan paman serta bibinya. Tak lupa sang adik mencium punggung tangan Juun. Sedangkan untuk satu gadis yang memegang papan bertuliskan namanya yaitu putri dari paman sendiri, dirinya hanya menangkupkan tangan di dada, yang d
Juun akhirnya menjelaskan semuanya tanpa satupun yang tertinggal. Sementara Abi Rahmat, hanya bungkam seribu bahasa, enggan menginterupsi sedikitpun. Hanya hela napas berat bersama gumam istighfar yang senantiasa lolos dari bibirnya sebagai respon atas semua berita buruk ini. Juun akhirnya ikut terdiam setelah sekian lama berucap. Ia ikut menghela napas pendek, pasrah akan keputusan sang ayah. Abi Rahmat berjalan perlahan ke arah tembok kawat yang ada di rooftop hingga angin senja meniup rambut pendeknya yang sudah dipenuhi uban. Matanya menatap lurus ke arah matahari tenggelam di antara gedung-gedung yang berseberangan dengan rumah sakit. "Apa yang akan kamu lakukan sekarang, Ian?" tanya Abi Rahmat tanpa menoleh pada sang putra yang kini ikut berdiri di samping kirinya, Juun ikut mengarahkan pandangan kemana ayahnya memandang. "Aku mencintainya, Abi. Tapi, jika Abi tidak berkenan? Aku —""Apa kamu akan berhenti berjuang?!" tegur Abi
Ummi Fatimah pun terpaksa menceritakan semua yang terjadi pada suaminya, di ma a lelaki itu hanya bisa bungkam seribu bahasa. Sesekali terdengar ucapan istighfar lolos dari celah bibirnya yang kini mulai tertutupi dengan kumis. "Bagaimana menurut, Akang?" tanya Ummi Fatimah cemas. "Panggil Ian kemari. Tapi, sebelum itu..., Akang mau melihat keadaan Nami. Neng mau ikut?" ajak Abi Rahmat seraya mengulurkan tangan kanannya disertai tatapan lurus menghujam mata. "Iya, Kang. Neng ikut!" tukas Ummi Fatimah bersemangat sambil menerima uluran tangan. Keduanya lantas berjalan bersisian ke arah luar guna mencari ruangan Nami dirawat. "Oh ya, Akang mengerti, ya, isi pembicaraan orang-orang?" tanya Ummi Fatimah setelah suaminya bertanya pada salah seorang petugas keamanan mengenai ruang rawat Nami yang baru. "Sedikit-sedikit, Sayang. Akang diam-diam setiap malam belajar Bahasa Jepang, biar gak bingung saat diajak berinteraksi dengan calon besan
Nami enggan menjawab, ia justru segera berjalan cepat ke arah jendela hingga membuat Ummi Fatimah semakin terkejut saat melihat Nami membuka kaca, lalu melompat ke bawah. "NAMI!" Ummi Fatimah berteriak kencang d bersama degup jantung berdetak kencang seraya berlari ke arah jendela. Wanita itu segera melongok ke bawah bersama seluruh perasaan takut mendera. Namun, akhirnya ia bisa bernapas lega saat melihat di bawah sana sang putra tengah memeluk Nami yang lemas dalam dekapan. Ummi Fatimah bahkan tanpa sadar mengucap syukur karena Nami selamat. Sementara itu, Juun segera menggendong Nami ala bridal, lalu meletakkannya di atas brankar yang segera didorong oleh para perawat menuju ruang perawatan. Salah seorang dokter, rekan sejawatnya bahkan segera menepuk pundak Juun seraya berujar dengan nada menguatkan, "Kamu harus kuat, Dokter Juun. Hanya kamu yang bisa menguatkan Dokter Nami saat ini. Lagipula kami semua men
Nami bungkam seribu bahasa. Kepalanya bahkan tertunduk dalam, tidak berani mengatakan isi hatinya yang kini tidak berbentuk lagi akibat peristiwa buruk yang telah terjadi padanya. Ummi Fatimah pun berusaha mengerti. Ia ikut bungkam, membiarkan Nami berkutat dalam lamunan. Hanya jemarinya yang menggenggam sebagai bentuk jika dirinya perduli pada sang calon menantu. Nami perlahan mengangkat kepala, menatap wajah teduh Ummi Fatimah yang kini melepaskan niqab miliknya. Sementara Juun dan Abi Rahmat pergi keluar guna bicara empat mata. "Ummi, apakah saya boleh mengatakan sesuatu?" ujarnya meminta dengan sopan, meskipun suaranya terdengar serak."Katakan saja, Nak! Apa yang ingin kamu bicarakan?" ujar Ummi Fatimah, mengijinkan. Nami terdiam, kesedihannya terasa mencekam. Ummi Fatimah mengangguk sambil tersenyum hangat. "Katakanlah, Nak."
Juun terdiam. Matanya menatap tajam pada Nami yang balas menatapnya datar. "Omong kosong apa yang baru saja kamu ucapkan, Nami Chan?" tanyanya geram.Nami tersenyum sinis. Ia membalas tatapan itu tidak kalah dingin. "Ba yi sia lan itu, Juun. Apa dia sudah ma ti?"Juun menggebrak tepi brankar hingga membuat Nami terkejut setengah mati. Jantungnya terdengar berdetak kencang, namun gadis itu berusaha untuk tidak menjerit. Ia bahkan semakin menatap dingin pada sang kekasih."Aku rasa otakmu perlu dicuci hingga bersih agar berhenti mengatakan sebuah omong kosong." Suara Juun terdengar berdesis kuat. Ia tidak mampu lagi menahan emosinya hingga tanpa sadar mengatakan sesuatu yang buruk."Ya, tentu saja." Nami menyahut dengan santai, terlihat tidak merasa bersalah sedikitpun."Agar otakku tidak mengingat kembali jika ja nin sia lan itu masih bersarang di rahimku." Nami melanjutkan ucapannya.Juun menggeram. Ia bahkan melepaskan pegangan tangannya dengan sedikit kasar hingga Nami pun semakin te
Baju Juun penuh dengan da rah yang tentu saja berasal dari Nami. Sementara gadis itu kini telah berada di dalam ruang operasi tempat mereka bekerja guna menyelamatkan nyawanya.Dirinya tidak diijinkan ikut serta karena semua teman-temannya khawatir lelaki itu tidak bisa bertindak profesional. Apalagi saat melihat wajah panik juga lolongan histeris yang ia berikan beberapa saat yang lalu.Juun duduk di atas kursi tunggu sembari mengacak-acak rambutnya hingga berantakan dengan kepala tertunduk dalam. Sementara Aisyah ikut duduk di samping kanannya, mengusap punggung sang kakak guna memberikan dukungan."Abang," panggil Aisyah lirih sembari membersit hidungnya yang mampet dari balik niqab yang ia kenakan."Hmmm," sahut Juun menggumam, enggan mengangkat kepala. "Abang yang tenang, ya," pinta Aisyah, kembali sesenggukan.Juun tersentak. Ia lantas dengan cepat menoleh pada sang adik dengan tatapan menuntut jawaban.Aisyah lan
Nami tercekat. Air matanya tanpa sadar menetes saat melihat hasil test pack miliknya. Kedua tangannya bahkan bergetar hebat hingga benda tersebut jatuh ke atas lantai, tepat di samping kanan kakinya, seiring isakannya yang terdengar menyayat hati."Kenapa? Ini tidak mungkin ...," Kepalanya menggeleng kuat-kuat, masih berharap jika ini semua mimpi buruk belaka.Namun harapannya harus sirna saat ia memberanikan diri kembali menatap pada benda tersebut, hasilnya tetap menunjukkan garis dua, pertanda jika dirinya benar-benar hamil.Tangisnya pun kembali pecah. Ia lantas menggigit punggung tangannya saat mendengar pintu diketuk seseorang dari luar disusul suara yang ia kenal dengan baik. "Afwan, Oni Chan. Apa Oni Chan baik-baik saja?" tanya Aisyah khawatir.Aisyah bahkan belum menanggalkan mukena karena baru selesai salat isya. Keningnya berkerut saat tidak mendengar sahutan dari dalam. "Oni Chan!" panggilnya kencang sembari menggedor pintu. Perasaan takut tiba-tiba hadir."Oni Chan!" pangg
Nami kembali memulai harinya seperti biasa, seolah-olah peristiwa buruk yang terjadi 2 bulan yang lalu hanya sebuah mimpi buruk semata. Gadis itu bahkan terlihat begitu ceria karena hubungannya dengan Juun menunjukkan kemajuan berarti.Mereka bahkan tidak segan saling menunjukkan perasaan masing-masing di tempat kerja."Bagaimana rasanya?" tanya Nami sambil menatap penuh harap Juun. Keduanya tengah duduk di bangku taman rumah sakit yang biasanya digunakan para pekerja magang untuk menyantap bekal makan siang."Enak." Juun menyahut cepat setelah berhasil menelan makanan yang ada di dalam mulut. Lelaki itu lantas tersenyum manis sambil merapikan poni Nami yang tertiup angin sehingga menutupi mata kirinya.Nami tersipu, ia tidak menyangka jika akan mendapatkan pujian dari mulut kekasihnya."Apapun yang kamu buat, rasanya sungguh enak di lidahku." Juun melanjutkan pujiannya hingga membuat wajah Nami semakin bersemu merah."Kamu malu?
Akira terkejut mendengarnya. Ia bahkan tanpa sadar mengumpat di dalam hati. 'Sial ... sial! Bagaimana bisa Ketua Klan Shinryuu mengetahui hal ini, dan bagaimana bisa lelaki mengerikan itu mengenal Nami? Jangan-jangan dia ...!' Matanya terbelalak sambil menoleh cepat pada Nami yang kini berusaha mundur setelah jambakannya terlepas. Nami bahkan tidak perduli penampilannya berantakan dengan rambut kusut masai juga pipi basah bekas air mata. Sementara itu di seberang sana, Ryu yang tidak sabaran segera memberikan sebuah peringatan. "Aku akan menghitung dari 1 sampai 3. Jika kamu tidak melepaskan Okahara Nami. Maka malam ini adalah malam terakhir Klan Tiger bisa bernapas di muka bumi." Akira pun memucat, ia bahkan mulai kesulitan menelan ludahnya yang tiba-tiba berubah menjadi sebongkah batu. Dengan wajah kikuk bercampur takut, juga senyum dipaksakan, lelaki itupun menjawab. "Oh ... ba-baik, Ketua. Mohon tunggu sebentar!" Akira lantas mematikan sambungan telepon setelah mendengar sahuta