Nami bungkam seribu bahasa. Kepalanya bahkan tertunduk dalam, tidak berani mengatakan isi hatinya yang kini tidak berbentuk lagi akibat peristiwa buruk yang telah terjadi padanya.
Ummi Fatimah pun berusaha mengerti. Ia ikut bungkam, membiarkan Nami berkutat dalam lamunan. Hanya jemarinya yang menggenggam sebagai bentuk jika dirinya perduli pada sang calon menantu. Nami perlahan mengangkat kepala, menatap wajah teduh Ummi Fatimah yang kini melepaskan niqab miliknya. Sementara Juun dan Abi Rahmat pergi keluar guna bicara empat mata. "Ummi, apakah saya boleh mengatakan sesuatu?" ujarnya meminta dengan sopan, meskipun suaranya terdengar serak."Katakan saja, Nak! Apa yang ingin kamu bicarakan?" ujar Ummi Fatimah, mengijinkan.Nami terdiam, kesedihannya terasa mencekam. Ummi Fatimah mengangguk sambil tersenyum hangat. "Katakanlah, Nak."<Nami enggan menjawab, ia justru segera berjalan cepat ke arah jendela hingga membuat Ummi Fatimah semakin terkejut saat melihat Nami membuka kaca, lalu melompat ke bawah. "NAMI!" Ummi Fatimah berteriak kencang d bersama degup jantung berdetak kencang seraya berlari ke arah jendela. Wanita itu segera melongok ke bawah bersama seluruh perasaan takut mendera. Namun, akhirnya ia bisa bernapas lega saat melihat di bawah sana sang putra tengah memeluk Nami yang lemas dalam dekapan. Ummi Fatimah bahkan tanpa sadar mengucap syukur karena Nami selamat. Sementara itu, Juun segera menggendong Nami ala bridal, lalu meletakkannya di atas brankar yang segera didorong oleh para perawat menuju ruang perawatan. Salah seorang dokter, rekan sejawatnya bahkan segera menepuk pundak Juun seraya berujar dengan nada menguatkan, "Kamu harus kuat, Dokter Juun. Hanya kamu yang bisa menguatkan Dokter Nami saat ini. Lagipula kami semua men
Ummi Fatimah pun terpaksa menceritakan semua yang terjadi pada suaminya, di ma a lelaki itu hanya bisa bungkam seribu bahasa. Sesekali terdengar ucapan istighfar lolos dari celah bibirnya yang kini mulai tertutupi dengan kumis. "Bagaimana menurut, Akang?" tanya Ummi Fatimah cemas. "Panggil Ian kemari. Tapi, sebelum itu..., Akang mau melihat keadaan Nami. Neng mau ikut?" ajak Abi Rahmat seraya mengulurkan tangan kanannya disertai tatapan lurus menghujam mata. "Iya, Kang. Neng ikut!" tukas Ummi Fatimah bersemangat sambil menerima uluran tangan. Keduanya lantas berjalan bersisian ke arah luar guna mencari ruangan Nami dirawat. "Oh ya, Akang mengerti, ya, isi pembicaraan orang-orang?" tanya Ummi Fatimah setelah suaminya bertanya pada salah seorang petugas keamanan mengenai ruang rawat Nami yang baru. "Sedikit-sedikit, Sayang. Akang diam-diam setiap malam belajar Bahasa Jepang, biar gak bingung saat diajak berinteraksi dengan calon besan
Juun akhirnya menjelaskan semuanya tanpa satupun yang tertinggal. Sementara Abi Rahmat, hanya bungkam seribu bahasa, enggan menginterupsi sedikitpun. Hanya hela napas berat bersama gumam istighfar yang senantiasa lolos dari bibirnya sebagai respon atas semua berita buruk ini. Juun akhirnya ikut terdiam setelah sekian lama berucap. Ia ikut menghela napas pendek, pasrah akan keputusan sang ayah. Abi Rahmat berjalan perlahan ke arah tembok kawat yang ada di rooftop hingga angin senja meniup rambut pendeknya yang sudah dipenuhi uban. Matanya menatap lurus ke arah matahari tenggelam di antara gedung-gedung yang berseberangan dengan rumah sakit. "Apa yang akan kamu lakukan sekarang, Ian?" tanya Abi Rahmat tanpa menoleh pada sang putra yang kini ikut berdiri di samping kirinya, Juun ikut mengarahkan pandangan kemana ayahnya memandang. "Aku mencintainya, Abi. Tapi, jika Abi tidak berkenan? Aku —""Apa kamu akan berhenti berjuang?!" tegur Abi
Pesawat Garuda Indonesia tujuan Tokyo - Jakarta mendarat di bandara Soekarno-Hatta tepat pada pukul 20:00 malam wib. Nampak seorang pemuda berusia 25 tahun keluar dari gateway dengan setelan serba hitam berjalan beriringan dengan seorang gadis berkulit putih dengan setelan yang sama, berbarengan dengan penumpang lainnya.Dia mencari ke seluruh penjuru arah. Kedua matanya berbinar, senyumnya langsung merekah ketika melihat seorang wanita berjilbab tengah memegang papan bertuliskan namanya. Pemuda itu lantas berjalan ke arah wanita yang ternyata bersama keluarganya. "Assalamualaikum, Abi, Ummi, semuanya," sapa Juun sumringah. "Waalaikum salam, Juun," sahut semuanya serempak. Pemuda itu pun langsung mencium punggung tangan sang ayah dan ibunya bergantian. Kemudian tangan paman serta bibinya. Tak lupa sang adik mencium punggung tangan Juun. Sedangkan untuk satu gadis yang memegang papan bertuliskan namanya yaitu putri dari paman sendiri, dirinya hanya menangkupkan tangan di dada, yang d
Juun pun nampak kebingungan menjawab pertanyaan Ummi. "Jawab pertanyaan Ummi, anak sholeh?!" tanya Ummi Fatimah sekali lagi. Beliau duduk di kursi sembari menatap ke arah Juun yang masih terdiam. Entah bingung menjawab pertanyaan sang Ummi ataukah malu untuk menjawabnya. "Anak sholehnya Ummi?" panggil Ummi Fatimah saat melihat Juun hanya diam membisu sembari tetap menundukkan kepalanya. "Ya, Ummi," sahut Juun pelan sembari mengangkat sedikit kepalanya, lalu melirik ke arah Ummi Fatimah dengan gugup. "Apa kamu mencintainya?" tanya Ummi sembari menatap lembut ke arah sang putra yang sontak terkejut. Nampak semburat merah menghiasi wajahnya. Tanpa perlu bertanya kembali, Ummi Fatimah yakin, jika sang putra sudah menemukan pelabuhan terakhirnya. Hal itu membuat Ummi Fatimah sontak tersenyum penuh keibuan. Wanita paruh baya itupun menepuk kursi kosong di sampingnya agar sang putra duduk di sana, yang langsung dituruti oleh sang putra. "Sholehnya Ummi ternyata sudah besar, ya?" ucap Um
Juun membelalakkan matanya, terkejut jika sang ibu mempertanyakan hal seperti itu padanya. Namun dengan cepat dia memahami situasi yang terjadi. Dirinya paham, jika ini adalah ketakutan sang ibu yang tidak ingin putranya jatuh ke lubang dosa. Apalagi dirinya jauh dari pengawasan orang tua. "Bismillah ... insyaAllah, tidak, Ummi!" sahut Juun dengan tegas. "Alhamdulillah ....'' ucap ummi Fatimah, merasa lega setelah mendengar ucapan sang putra. Ummi Fatimah kemudian memberikan nasihat, meskipun Juun jauh dari kedua orang tua, dan bahkan orang tuanya tidak bisa mengawasi selama 24 jam, Ummi berpersan untuk tetap menjaga diri. Sejatinya, ada Allah SWT yang menjadi Penjaga Terbaik, Penjaga sebenar-benarnya dan tidak ada satu pun manusia yang luput dari pengawasannya. “Jadi, Ummi mohon, jaga kepercayaan Abi dan Ummi? Jaga Marwah kamu sebagai seorang Ikhwan sejati dan jaga tingkah lakumu sebagai umat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Ingat pesan Ummi ya, Anak Sholeh?" lanjutnya kembali
“Bolehkah?” Nampak sekali Nami takut mengganggu kegiatan beribadah keluarga Juun, jika dia bersikeras untuk ikut. Aisyah yang mendengarnya sontak berbalik menghadap sang Ummi, kemudian bertanya dengan nada yang sangat ceria. "Ummi, Oni-chan mau ikut belajar shalat. Boleh tidak?" Ummi Fatimah tersenyum lembut ke arah keduanya. "Ma syaa Allah ... tentu saja boleh." Beliau pun melanjutkan, "Sekarang bantu, Oni-chan berwudhu dan bersiap-siap. Ummi, Abi dan yang lain akan shalat sunnah dua rakaat dulu, baru kalian menyusul ya?" Nampak Nami maupun Aisyah tersenyum bahagia mendapatkan respon positif dari sang ibu. Begitupun dengan Juun yang nampak ikut bahagia mendengarnya. Hanya Namira serta orang tuanya—paman dan bibi Juun—yang nampak kesal.Namun, mereka tidak berani berkata apa-apa, karena mau bagaimana pun, mereka bekerja di bawah naungan Abi Rahmat dalam bidang konveksi. Abi dan Ummi memang memiliki usaha konveksi pakaian syar'i serta alat shalat dan perlengkapan haji yang terkenal
Selepas Namira pergi, Nami pun mengambil ponselnya yang berada di atas meja. Dia berusaha menghubungi Devina, tetapi ternyata yang mengangkat justru bocah berusia 7 tahun yang memiliki wajah begitu tampan. "Moshi-moshi!" sapa Danryuu dari seberang dengan suara imutnya. Nami terkekeh geli melihat Danryuu dan wajahnya yang lucu. “Moshi-moshi!" sahut Nami balik, tersenyum manis. "Mama Ryu di mana?" tanya Nami kembali. "Sebentar aku panggil, Nami-chan!" Nampak layar handphone bergoyang ke sana kemari, seiring langkah si bocah yang berlari mencari ibunya. "Mama ... Nami-chan nyari Mama!” Suara menggema Danryuu terdengar melalui sambungan telepon Nami, membuat wanita itu terkekeh geli. "Danryuu ... sudah Mama bilang, jangan panggil Nami-chan? Dia seusia Mama, Sayang. Panggil bibi, ya?" Suara Devina yang gemas menyahuti anaknya terdengar frustrasi mengingatkan sang anak untuk memanggil Nami dengan sebutan Bibi. Kekehan Nami semakin tak terhenti. Apalagi saat mengingat bocah tampan itu